Anda di halaman 1dari 5

Urgensi Perubahan Aturan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika
Oleh : Ajeng Yustisia Dewi

A. LATAR BELAKANG
Seperti dalam negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia menjadi salah satu
negara yang memiliki aturan tentang Narkotika yang ketat. Pada tahun 1976, Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Konvensi Tunggal
Narkotika 1961. Pengaturan tersebut merupakan hasil ratifikasi dari Single Convention
Drugs Tahun 1961. Dalam perkembangannya, aturan tersebut telah mengalami
amendemen hingga yang terbaru ialah terbitnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
yang kemudian disebut sebagai UU Narkotika. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU Narkotika,
yang dimaksud dengan narkotika ialah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.1
Namun, aturan yang begitu ketat terkait penggunaan narkotika di Indonesia justru
membawa sejumlah masalah. Saat ini, UU Narkotika menimbulkan berbagai
permasalahan, seperti perumusan pasal-pasalnya yang bersifat punitif sehingga
berimplikasi pada overcrowding rutan dan lapas. Berdasarkan catatan dari Jaringan
Reformasi Kebijakan Narkotika atau JRKN, sejumlah lebih dari 60 persen penghuni rutan
dan lapas merupakan narapadina yang tersandung kasus narkotika.2 Selain menambah
beban negara, over capacity dalam rutan dan lapas akibat kasus narkotika juga
berimplikasi pada maraknya perdagangan gelap obat-obat narkotika yang ditransaksikan
di dalam rutan dan lapas tersebut. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya intervensi
pendekatan yang berbasis kesehatan. Sebaliknya, pendekatan dalam UU Narkotika dirasa
terlalu berbasis hukuman (punitif), sehingga tidak mengurangi dampak buruk yang
ditimbulkan.
Dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2022 yang disepakati pada 6 Desember 2021
lalu, UU Narkotika termasuk ke dalam salah satu peraturan yang urgen untuk segera
direvisi.3 Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dilaksanakannya Rapat Kerja
antara Komisi DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM pada 31 Maret 2022 lalu untuk
membahas draft RUU Narkotika yang sebelumnya telah dikirim oleh pemerintah pada

1
Baca Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 1.
2
SemiColonWeb, “RUU Narkotika – Reformasi Narkotika,” accessed June 29, 2023,
https://reformasinarkotika.org/c/ruu-narkotika/.
3
Admin Web, “Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika – LBH Masyarakat,”
lbhmasyarakat.org, accessed June 29, 2023,
https://lbhmasyarakat.org/perlunya-perubahan-besar-dalam-undang-undang-narkotika/.
tanggal 14 Januari 2022.4 Namun, apabila draft RUU Narkotika dicermati, masih terdapat
beberapa permasalahan krusial yang belum diakomodir. Permasalahan tersebut akan
dibahas lebih lanjut dalam pembahasan pada legal review ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah RUU Narkotika telah mengakomodir permasalahan overcrowding dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (UU Narkotika)?
2. Bagaimana urgensi perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (UU Narkotika)
yang bersifat punitif menjadi berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan?

C. PEMBAHASAN
1. Apakah RUU Narkotika telah mengakomodir permasalahan overcrowding dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (UU Narkotika)?
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian latar belakang, lebih dari 60 persen
penghuni rutan dan lapas di Indonesia merupakan narapidana yang tersandung kasus
narkotika. Adanya kriminalisasi pada setiap pengguna narkotika tanpa melihat intensitas
penggunaannya menyebabkan rutan dan lapas di Indonesia menjadi over capacity.
Selama ini, UU Narkotika Indonesia telah mengatur berbagai aspek, seperti substansi
narkotika yang terbagi ke dalam beberapa golongan, pembuatan obat-obatan narkotika,
kegiatan impor dan ekspor obat-obatan narkotika, serta sanksi atau hukuman bagi tindak
penyalahgunaan narkotika. Terkait dengan hukuman tersebut, UU Narkotika
mengkriminalisasi setiap orang yang melakukan perbuatan menanam, memelihara,
memiliki, menguasai, menyediakan, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, serta menukar atau menyerahkan narkotika, tanpa mensyaratkan adanya unsur niat
dalam perbuatan tersebut. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada sejumlah pasal dalam UU
Narkotika, seperti dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 117, Pasal 119, dan Pasal
124.5 Apabila dicermati, pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai pasal karet karena
tidak mampu membedakan perlakuan bagi pengguna, pecandu, dan pengedar narkotika.
Hal tersebut kemudian menjadi akar mengapa UU Narkotika menciptakan
permasalahan overcrowding dalam rutan dan lapas di Indonesia. Dalam hal ini,
pemerintah memang telah menjadikan hal tersebut sebagai perhatian. Namun, solusi yang
ditawarkan berupa rehabilitasi wajib bagi pengguna narkotika dirasa belum
menyelesaikan masalah, justru hanya mentransfer over capacity dalam rutan dan lapas
kepada tempat-tempat rehabilitasi yang makin menambah beban negara. Berdasarkan
data dari World Drug Report 2021, hanya 13% pengguna narkotika yang penggunaannya
bermasalah.6 Artinya, data tersebut membawa konklusi bahwa tidak semua pengguna

4
Ibid.
5
Baca Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
6
Admin Web, “Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika – LBH Masyarakat,”
lbhmasyarakat.org, accessed June 29, 2023,
https://lbhmasyarakat.org/perlunya-perubahan-besar-dalam-undang-undang-narkotika/.
narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib seperti yang dikonsepkan oleh pemerintah.
Apabila mencermati draft RUU Narkotika, isi RUU tersebut belum cukup untuk
mengakomodir permasalahan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kehadiran
pasal-pasal karet yang sebagian besar tidak diperbaiki. Dari pasal-pasal yang memuat
ketentuan pidana tersebut, hanya Pasal 127 yang diusulkan untuk dilakukan perubahan.7
Namun, pasal tersebut juga masih mengatur pidana penjara bagi setiap orang yang
melakukan penyalahgunaan narkotika dengan jumlah narkotika tidak melebihi jumlah
pemakaian satu hari. Hal tersebut perlu menjadi perhatian penting, mengingat dalam UU
Narkotika terdapat suatu kekhususan yang menyimpang dari KUHP berupa pidana
dengan batas waktu minimum khusus, sehingga ketentuan tersebut perlu untuk direvisi.
Kemudian, terhadap sejumlah pengguna yang tidak memerlukan rehabilitasi wajib tadi,
penggunaan narkotika harusnya perlu untuk didekriminalisasi. Dibanding
memberlakukan kebijakan rehabilitasi wajib, pemerintah dapat melakukan penilaian
tingkat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, dan
ekonomi untuk menentukan intervensi apa yang dapat dilakukan terhadap pengguna
narkotika.8 Terkait dengan usulan dekriminalisasi tersebut, JRKN telah melakukan
penilaian yang mengatur mengenai rentang ambang batas penggunaan narkotika yang
dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi tanpa adanya aparat penegak hukum.
Hasilnya, skema tersebut akan berjalan efektif apabila ke depannya, BNN terfokus pada
penanganan perkara yang memang menjadi wewenangnya, sedangkan layanan bagi
pengguna narkotika menjadi wewenang dari Kementerian Kesehatan.

2. Bagaimana urgensi perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (UU Narkotika)


yang bersifat punitif menjadi berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan?
Perubahan UU Narkotika yang semula bersifat punitif menjadi lebih berbasis
kesehatan dan ilmu pengetahuan diperlukan agar reformasi kebijakan tersebut sejalan
dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam Pasal 8 Ayat
(1) UU Narkotika, dijelaskan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.9 Lebih lanjut, UU Narkotika juga mengatur jenis-jenis
narkotika yang termasuk ke dalam golongan I, yang salah satunya adalah ganja.10
Akhir-akhir ini, perdebatan tentang legalisasi ganja tengah menjadi topik yang sensitif di
kalangan masyarakat Indonesia. Pada 2020 silam, sejumlah 3 pemohon yang merupakan
ibu dari anak-anak yang menderita penyakit Cerebral Palsy (CP) melakukan permohonan
uji materi UU Narkotika kepada Mahkamah Konstitusi. Para pemohon tersebut
melakukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi melegalisasikan penggunaan ganja
untuk kebutuhan medis bagi anak mereka. Namun, pada tahun 2022, Mahkamah

7
SemiColonWeb, “RUU Narkotika – Reformasi Narkotika,” accessed June 29, 2023,
https://reformasinarkotika.org/c/ruu-narkotika/.
8
Ibid.
9
Baca Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 8 Ayat 1.
10
Baca Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Konstitusi menolak permohonan pemohon sepenuhnya dengan alasan bahwa belum ada
riset yang memadahi terkait dengan legalisasi ganja tersebut.11 Di sisi lain, meskipun
permohonan tersebut ditolak, akan tetapi Mahkamah Konstitusi memerintahkan
pemerintah agar segera meniliti ganja untuk kebutuhan medis. Berdasarkan pengamatan
dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penelitian ganja untuk keperluan medis
semestinya dapat dituntaskan Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu 2 tahun,
mengingat saat ini pemerintah telah memiliki Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN).12
Kembali pada urgensi perubahan UU Narkotika menjadi berbasis kesehatan,
kasus tersebut menjadi salah satu contoh bahwa peraturan mengenai narkotika perlu
adanya intervensi yang berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan. Apabila diperhatikan,
Putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut mengandung beberapa poin yang
perlu diperhatikan oleh pemerintah. Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa narkotika
golongan I memiliki manfaat yang terbukti di berbagai praktik negara, salah satunya
dalam pelayanan kesehatan.13 Sejumlah negara tersebut salah satunya ialah Thailand yang
mulai melegalisasi ganja dalam praktik kesehatan. Pada 2021, Thailand telah melakukan
dekriminalisasi terhadap ganja. Pemerintah Thailand memprioritaskan pencegahan dan
pelayanan untuk pengguna narkotika dalam skala rendah, dibanding dengan memberikan
hukuman pada mereka. Kebijakan pemerintah Thailand tersebut berhasil menekan jumlah
narapidana hingga hampir sebanyak lima puluh ribu jiwa.14 Beberapa waktu setelahnya,
Malaysia, mengikuti Thailand, berhasil menjadi negara kedua di Asia Tenggara yang juga
membuka peluang untuk penelitian dan dekriminalisasi penggunaan ganja. Saat ini,
pelaksanaan tersebut masih dalam tahap review dan diskusi di antara Kementerian
Kesehatan Malaysia.15
Melihat progress dari negara tetangga tersebut, bukan tidak mungkin pemerintah
Indonesia juga dapat melakukan hal serupa terkait dengan perubahan UU Narkotika yang
semula bersifat punitif menjadi lebih berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini, pemerintah masih luput untuk memasukkan aturan tentang larangan penggunaan
narkotika golongan I untuk kesehatan dalam daftar revisi RUU Narkotika. Berkaitan
dengan tata cara pengubahan golongan pun, hingga saat ini tidak ada aturan jelas
mengenai seberapa parameter negara dapat mengubah, mengeluarkan, atau memasukkan

11
Baca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020.
12
“Legalisasi Ganja Untuk Keperluan Medis Ditolak MK,” BBC News Indonesia, July 20, 2022,
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c19m3k9wvmvo.
13
Baca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020.
14
“Thailand Tightens Laws on Meth Possession amid Regional Drug Boom,” thediplomat.com, n.d.,
https://thediplomat.com/2023/02/thailand-tightens-laws-on-meth-possession-amid-regional-drug-boom/.
15
Afifa, Laila. “Malaysia Aims to Learn from Thailand in Push for Medical Use of Cannabis.” Tempo,
August 17, 2022.
https://en.tempo.co/read/1623900/malaysia-aims-to-learn-from-thailand-in-push-for-medical-use-of-canna
bis.
suatu zat narkotika ke dalam golongan tertentu.16 Oleh karena itu, perumusan aturan yang
menyangkut hal-hal tersebut menjadi urgen untuk dimuat dalam daftar revisi RUU
Narkotika agar aturan tersebut sejalan dengan konstitusi negara Indonesia yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam legal review ini, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 yang kemudian disebut sebagai UU Narkotika masih menciptakan berbagai
permasalahan dalam implementasinya, salah satunya ialah adanya overcrowding pada
rutan dan lapas di Indonesia. Aturan pasal-pasal karet dalam UU Narkotika membuat
ketentuan pemidanaan terhadap pengguna, pecandu, dan pengedar narkotika menjadi
tidak jelas. Di sisi lain, munculnya desakan dari masyarakat untuk melegalisasi ganja
dalam praktik kesehatan membuat pemerintah harus segera melakukan penelitian terkait
hal tersebut dan melakukan perubahan terhadap berbagai ketentuan dalam UU Narkotika.
Apabila dilihat dari peraturan perundang-undangannya, pemerintah Indonesia memang
bersikap konservatif terhadap penggunaan narkotika. Namun, melihat realitas yang
terjadi, bukan tidak mungkin pemerintah dapat bersikap lebih terbuka terhadap penelitian
narkotika golongan I untuk layanan kesehatan, seperti yang telah dilakukan di Thailand
dan Malaysia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak lagi terstigmatisasi
terhadap penggunaan narkotika, melainkan dapat berpusat pada diskusi kebijakan yang
diharap dapat membawa perubahan bagi peraturan mengenai narkotika di Indonesia.

16
Web, Admin. “Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika – LBH Masyarakat.”
lbhmasyarakat.org. Accessed June 29, 2023.
https://lbhmasyarakat.org/perlunya-perubahan-besar-dalam-undang-undang-narkotika/.

Anda mungkin juga menyukai