Anda di halaman 1dari 73

DR BAMBANG UTOYO,AK.

MSI, CA, CFrA, QIA,


Cert IPSAS, CACP, CRGP; Med, AsKom
Ketua AAFI

1
Mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan
Anti Fraud (AUD.FR02.002.01)

No E lemen Kompetens i Unjuk Kerja


01.01 Peraturan perundang-undangan yang
Mengumpulkan peraturan berkaitan dengan fraud dihimpun
1
perundang-uundangan 01.02 Peraturan perundang-undangan
diklasifikasikan sesuai permasalahan
02.01 Peraturan perundang-undangan diketahui dan
dipahami isinya
Menganalisis peraturan 02.02 Hasil pemahaman dituangkan ke dalam kertas
2
yang terkait dengan fraud kerja
02.03 Kertas kerja dikonsultasikan dengan pihak
yang berwenang untuk dketahui
03.01 Simpulan penelaahan peraturan perudang-
Menyimpulkan perauran undangan disusun
3
yang terkait dengan Fraud 03.02 Simpulan disampaikan kepada pihak yang
berwenang
Apresiasi adalah kegiatan mengamati, menilai,
dan menghargai dengan bersungguh-sungguh
sehingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan
yang baik terhadap nilai-nilai keindahan.
Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang
dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis
(bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang
mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat
oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
Kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan
Perundang-undangan adalah:
• bersifat tertulis
• mengikat umum
• dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang
berwenang
Standar Profesi adalah pedoman yang harus
dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik.
Perundang-undangan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diharapkan mampu memenuhi
dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara lebih efektif setiap bentuk
tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara
pada khususnya serta masyarakat pada
umumnya.
Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena :
• berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
• berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.
• Apakah kerugian anak perusahaan BUMN/BUMD merupakan
kerugian Negara
• SEMA 2020
Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
Perbuatan melawan hukum dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi
meliputi perbuatanperbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
secara “melawan hukum” dalam pengertian
formil dan materiil. Termasuk pula mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut
perasaan keadilan masyarakat harus dituntut
dan dipidana.
Ancaman pidana khusus dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi:
1. Denda yang lebih tinggi
2. Pidana penjara
3. Pidana mati
4. Pidana penjara tambahan bagi pelaku yang
tidak dapat membayar uang pengganti
kerugian negara
Untuk memperlancar proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi, penyidik, penuntut umum, atau hakim
sesuai dengan tingkat penanganan perkara
untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal
tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang,
yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut
umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya.
Peraturan Perundang-undangan yang Terkait
Anti-Fraud, dalam hal ini adalah:

• Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
.
TPK MENURUT UU PEMBERANTASAN
TIPIKOR
UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN 2001
• 13 pasal, 30 bentuk/jenis TPK

• Gratifikasi
• Suap Menyuap
2
• Benturan Kepentingan 7 • Kerugian
Keuangan 3
Dalam Pengadaan Negara • Penggelapan Dalam
1 Jabatan

• -Pasal 2 &
6 3 4
• Perbuatan Curang 5 • Pemerasan

17
Tindak Pidana Korupsi adalah:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209, 210, 387 atau 388, 415, 416, 417,
418, dan Pasal 419 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU
Nomor 1 Tahun 1946)…
1)Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968. 2) Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971. 3)Konsep Tim
Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981. 4) Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof.
Soedarto. 5) Konsep RKUHP tahun 1982/1983. 6) Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7) Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April 1987 dan
disempurnakan lagi sampai pada November 1987. 8)Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof.
Marjono Reksodiputro. 8) RUU KUHP Tahun 2022/UU Nomor 1 Tahun 2023
PENGHILANGAN KATA DAPAT
• Kata dapat telah dihilangkan sesuai dengan
Keputusan MK Nomor 25 Tahun 2016
• Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 kata dapat juga
sudah dihilangkan
Tindak Pidana Korupsi adalah:
4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut.
5. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang
secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadi` tindak pidana korupsi.
1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun
para saksi dalam perkara korupsi.
2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar.
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal
421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana.
• Menurut UU No. 31 tahun 1999 bahwa kerugian keuangan
Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan
suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaanwewenang /
kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan
atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh
keadaan di luar kemampuan

• Sementara, definisi kerugian negara berdasarkan Pasal 1 angka 22


UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah,
"kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai."
Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
• alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
• dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.
Dapat dibentuk tim gabungan di bawah kordinasi Jaksa Agung
Jika cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan peradilan
militer, maka ketentuan pasal 123 (1) huruf G UU nomor 31 tahn 1977
tentang Peradilan Militer tidak berlaku
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:
• Meminta keterangan kepada bank tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa (diajukan kepada Bank
Indonesia)
• Meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan
milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari
korupsi
• Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat
dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya
yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak
pidana korupsi yang sedang diperiksa (lihat Hukum Acara
Pidana)
• Penyidik dilarang membuka identitas pelapor
• Dalam hal penyidik unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara Jaksa Pengacara Negara untuk
dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan
1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud di atas digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
3. Ketentuan tersebut merupakan tindak pidana atau perkara pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
4. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
5. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai
hal yang menguntungkan baginya.
1. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum
putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala
keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang
sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang
sekarang.
3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan
oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan,
kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan
sebagaimana dimaksud pada poin pertama.
5. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan
telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan
penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita.
6. Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
Undang-undang ini tidak dapat dimohonkan upaya banding.
7. Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
• Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau
ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri
atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
• Orang yang dibebaskan sebagai saksi, dapat diperiksa
sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.
• Tanpa persetujuan, mereka dapat memberikan keterangan
sebagai saksi tanpa disumpah.
• Kewajiban memberikan kesaksian berlaku juga terhadap
mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas
agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan
rahasia.
Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi dalam bentuk :
• hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
• hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara
tindak pidana korupsi;
• hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
• hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari;
• hak untuk memperoleh perlindungan hukum
Mengkaji Standar Profesi yang Terkait dengan Anti Fraud
(AUD.FR02.003.01)
No E lemen Kompetens i Unjuk Kerja
01.01 Standar Profesi Dihimpun
Mengumpulkan Standar
1 01.02 Standar Profesi diklasifikasikan sesuai
Profesi terkait Anti Fraud
permasalahan
02.01 Standar Profesi diketahui dan dipahami isinya
02.02 Hasil Pemahaman dituangkan ke dalam kertas
Menganalisis diktum-
2 kerja
diktum Standar Profesi
02.03 Kertas Kerja dikonsultasikan dengan pimpinan
untuk diketahui
Menyimpulkan simpulan 03.01 Simpulan penalaahan standar profesi disusun
3 terhadap diktum Standar 03.02 Simpulan disampaikan kepada pimpinan
Profesi
• Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
• Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
• TAP MPR VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi dan arah kebijakan
pemberantasan dan pencegahan KKN
• Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
• UU KPK ( UU 30/2002, Diubah dengan UU 10/2015 tentang Perpu
KPK, UU 19/2019)
• Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan
khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi
• Kewenangan KPK, melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
• Sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja
dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta
keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
• Undang-undang mengenai kpk yaitu :
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI YANG DIUBAH DENGAN UU NOMOR 10
TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERPU KPK
• UU Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan ke dua UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi
yang :
• melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
• mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau (lihat UU19 2019)
• menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
• Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai
"counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan
korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
• Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan;
• Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi
yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger
mechanism);
• Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau
institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu
dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
• Ketentuan yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta
ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
• Ketentuan tentang wewenang KPK yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara
negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku
pejabat negara;
• Ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada presiden republik
indonesia, dewan perwakilan rakyat republik indonesia, dan badan
pemeriksa keuangan;
• Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap
anggota komisi atau pegawai pada KPK yang melakukan korupsi;
dan
• Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada anggota
KPK yang melakukan tindak pidana korupsi.
• KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
• Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai
Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut
terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga
sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK.
• Persyaratan untuk diangkat menjadi anggota KPK:
– dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat
– memenuhi persyaratan administratif
– melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan
oleh Presiden Republik Indonesia.
• KPK sebagai lembaga dalam lingkup eksekutif
• Pegawai KPK adalah ASN
• Adanya Dewan Pengawasan KPK
• Dapat membuat SP3
Dalam menjalankan tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK
mengikuti hukum acara:
1. Undang-undang No.8 Th 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001
Relevan, kompeten,cukup
• Hal Yang Secara Umum Sudah
Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan
• Menjadi Saksi Adalah Kewajiban
• Satu Saksi Bukan Saksi
• Pengakuan Terdakwa Tidak
Menghapuskan Kewajiban Penuntut
Umum Membuktikan Kesalahan
Terdakwa
Fungsi Ahli

Keterangan Ahli merupakan salah satu alat bukti berdasarkan


Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Fungsi ahli adalah untuk memberikan keterangan
berdasarkan keahlian khusus yang dimilikinya tentang
suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, untuk
mendukung keyakinan hakim.

47
Kekuatan Pembuktian
Keterangan Ahli

Keterangan ahli harus diberikan oleh seorang ahli.

Keterangan yg diberikan adalah yg sebaik-baiknya & yg


sebenarnya menurut pengetahuan dlm bid keahliannya

Keterangan ahli harus diberikan di bawah sumpah

Keterangan ahli harus diberikan di depan sidang


pengadilan.

48
49
Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway
Commission (COSO) disponsori dan didanai oleh 5
asosiasi dan lembaga akuntansi profesional:
1. American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA)
2. American Accounting Association(AAA)
3. Financial Executives Institute (FEI)
4. The Institute of Internal Auditors (IIA)
5. The Institute of Management Accountants (IMA).
Tujuan utamanya adalah
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan penggelapan laporan keuangan dan
membuat rekomendasi untuk mengurangi kejadian
tersebut.
COSO mengeluarkan rekomendasi mengenai Komite Audit
yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
fraud dalam laporan keuangan, yaitu :
1. Komite audit independen (mandatory independent audit
committee) menggunakan direktur dari luar organisasi.
2. Piagam tertulis (written charter) yang menetapkan tugas
dan tanggungjawab dari komite audit.
3. Komite audit harus mempunyai sumberdaya dan
wewenang yang memadai untuk mengemban
tanggungjawabnya.
4. Komite audit harus memperoleh semua informasi tentang
organisasi, waspada, dan efektif.
• Akhirnya tahun 1997 profesi auditor
memperluas tanggung jawab auditor dalam
mendeteksi kecurangan dan tidak pidana ilegal
dengan menerbitkan SAS no 82 yang
menyatakan secara jelas bahwa mendeteksi
material misstatement in financial statements
merupakan masalah pokok dalam
pemeriksaan.
• SAS 82 diamandemen menjadi SAS99
• Salah satu gagasan yang dilemparkan oleh Panel on
Audit Effectiveness dari AICPA adalah auditor
hendaknya melaksanakan sejenis pemeriksaan
forensik dalam setiap auditnya untuk meningkatkan
prospek dalam mendeteksi kecurangan.
• Panel menyarankan untuk melakukan tes detail atau
prosedur substantif secara akurat, dengan tidak
menyandarkan diri terhadap tes pengendalian, selain
itu karena perubahan untuk lebih menjaga sikap
skeptisisme tetapkan tes sendiri dengan tidak
menggunakan hasil tes internal auditor atau lakukan
penilaian efektivitas tes oleh internal auditor.
Panel juga menyarankan memasukkan unsur dadakan
(surprise) atau tidak terduga dalam tes audit seperti:
• Kunjungi gudang secara mendadak dan hitung kembali
persediaan
• Lakukan wawancara dengan personel keuangan dan
non-keuangan di tempat berbeda
• Jika diperoleh penjelasan dari pegawai perusahaan
lakukan secara tertulis.
• Tes perkiraan yang biasanya tidak/jarang dilakukan
• Tes perkiraan yang biasanya dianggap berisiko rendah
SAS 99 Consideration of Fraud in Financial
Statement Audit menekankan perlunya pemeriksa
menerapkan professional skepticism dan
mengidentifikasi risiko kecurangan dengan:
• Melakukan brainstorming
• Bertanya kepada manajemen
• Melaksanakan prosedur analitis.
SAS 99 juga menekankan perlunya menaksir risiko
kecurangan setelah evaluasi seluruh program/
pengendalian dan menyesuaikan prosedur
pemeriksaan dengan temuan evaluasi.
Fraud risk factor (faktor risiko kecurangan) yaitu
kejadian atau kondisi yang mengindikasikan adanya
insentif/pressure, dan kesempatan untuk melakukan
kecurangan, atau sikap/rationalization sebagai
pembenaran kecurangannya.
Fraud risk factor dikelompokkan sebagai berikut:
1. Faktor risiko berkenaan dengan Misstatement from fraudulent
financial reporting dan dapat dibagi lagi menjadi
– Faktor risiko karena karakteristik manajemen dan pengaruhnya
terhadap lingkungan pengendalian. (Garuda, Jiwa Sraya, Asabri)
– Faktor risiko karena kondisi industry
– Faktor risiko berhubungan dengan karakteristik operasi dan stabilitas
keuangan.
2. Faktor risiko berkenaan dengan penggelapan aset perusahaan,
dibagi menjadi:
– Faktor risiko kerentanan atau kemudahan aset yang bersangkutan
diselewengkan (uang kas jumlah besar, aset berharga mudah dijual,
persediaan berharga dan sebagainya)
– Faktor risiko berkaitan dengan pengendalian intern.
Dalam hal pendeteksian kecurangan, peran Internal
auditor seperti dijelaskan di muka meliputi tiga dimensi:
1. Perencanaan: belajar mengenali gejala atau indikator
kecurangan (sering disebut Red Flag of Fraud) dengan
analisa sebab dan akibat.
2. Pemeriksaan: mengidentifikasi dan verifikasi indikasi
kecurangan untuk mengetahui sebab dan akibatnya.
3. Pelaporan: kerja sama dengan senior manajemen
untuk menindaklanjuti kecurigaan terhadap
kecurangan dan memperoleh keyakinan bahwa
laporan disusun secara konsisten dan hukuman
dijatuhkan sesuai dengan tindakannya.
• Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)/SAS
• Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
• Standar Pengawasan APIP
• Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional
Pemerintah (SA AFPI)
• Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia
(AAIPI)/IPPF
• Standar Profesinal AFI
Standar profesi merupakan landasan bagi auditor dalam
melaksanakan penugasan (baik pencegahan maupun
penindakan/represif)
Berdasarkan Musyawarah Nasional I Asosiasi
Auditor Forensik Indonesia (AAFI) tanggal
12 April 2013 telah ditetapkan:
• Standar Profesional AFI
• Kode Etik AFI
Tanggung jawab Auditor Menurut Statement on Auditing Standards (SAS) No.99
Auditor Forensik harus menerapkan profesional skepticism dan mengidentifikasi risiko kecurangan dengan:
• Melakukan braistorming
• Bertanya kepada manajemen
• Melaksanakan prosedur analitis
Dalam hal pemeriksaan Auditor Forensik harus mempertimbang Faktor Risiko Kecurangan (Fraud Risk Factor),
yaitu kejadian atau kondisi yang mengindikasikan adanya insentif/poressure, dan kesempatan untuk
melakukan kecurangan, atau sikap/rationalization sebagai pembenaran kecurangannya.
Dalam hal pendeteksian kecurangan, peran internal auditor meliputi tiga dimensi:
1. Perencanaan : belajar mengenali gejala atau indikator kecurangan dengan analisa sebab akibat
2. Pemeriksaan : mengidentifikasi dan verifikasi kecurangan untuk mengetahui sebab akibatnya
3. Pelaporan : kerjasama dengan senior manajemen untuk menindaklanjuti kecurigaan terhadap kecurangan
dan memperoleh keyakinan bahwa laporan disusun secara konsisten dan hukuman dijatuhkan sesuai
dengan tindakannya.
1. PENDAHULUAN
2. PEMBERLAKUAN STANDAR
3. STANDAR UMUM
4. STANDAR PENERIMAAN PENUGASAN
5. STANDAR PELAKSANAAN
6. STANDAR PELAPORAN
7. STANDAR PEMBERIAN KETERANGAN AHLI
PERNYATAAN STANDAR PROFESIONAL
AUDITOR FORENSIK INDONESIA
1. PENDAHULUAN
1.1. Asosiasi Auditor Forensik Indonesia (selanjutnya disingkat Asosiasi) adalah asosiasi profesional yang
menyatakan komitmenya untuk tampil dengan menjunjung tinggi etika dan standar profesi. Anggota Asosiasi
(selanjutnya disingkat Anggota) menyatakan dirinya untuk selalu bertindak dengan integritas dan melakukan
pekerjaan secara profesional
1.2. Standar Profesi Auditor Forensik Indonesia disusun dengan maksud untuk menjamin mutu hasil kegiatan
kegiatan profesional auditor forensik
1.3 Standar ini mengatur prinsip-prinsip dasar dari perilaku profesional untuk mengarahkan anggota dalam
memenuhi tugas dan kewajibannya. Dengan mengikuti standar ini, diharapkan semua anggota asosiasi
menampilkan komitmen terhadap pelayanan yang unggul dan perilaku yang profesional.

2. PEMBERLAKUAN STANDAR
2.1. Standar Profesional berlaku untuk semua anggota Asosiasi. Yang dimaksud dengan kata ”anggota”
dalam standar ini adalah anggota biasa Asosiasi.
3. STANDAR UMUM
3.1. Integritas dan Objektivitas
3.1.1. Anggota harus berintegritas dan menyadari bahwa kepercayaan publik didasarkan pada integritas. Anggota tidak
boleh mengorbankan integritas dalam menjalankan profesinya.
3.1.2. Sebelum menerima penugasan, anggota harus meneliti kemungkinan adanya potensi benturan kepentingan.
Anggota harus mengungkapkan kepada calon pemberi penugasan dan tidak menerima penugasan jika terdapat benturan
kepentingan.
3.1.3. Anggota wajib menjaga objektivitas dalam melaksanakan tanggung jawab profesional pada lingkup
penugasannya.
3.1.4. Anggota tidak boleh melakukan tindakan tercela, dan selalu mengupayakan sikap dan tindakan yang terbaik
demi reputasi profesi.
3.1.5. Anggota tidak boleh dengan sengaja membuat keterangan palsu saat menjalankan pekerjaan profesinya.

3.2. Kompetensi Profesional


3.2.1. Anggota harus kompeten dan tidak akan menerima penugasan apabila kompetensi yang diperlukan kurang
dimiliki. Dalam beberapa situasi, dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan kompetensi profesional dengan melakukan
konsultasi dan rujukan kepada Asosiasi Auditor Forensik Indonesia.
3.2.2. Anggota harus melaksanakan program pendidikan profesional berkelanjutan minimal yang dipersyaratkan oleh
Asosiasi. Komitmen pada profesionalisme melalui kombinasi pendidikan dan pengalaman harus dilakukan terus menerus
sepanjang karir profesional anggota. Anggota harus terus menerus berusaha untuk meningkatkan kompetensi
profesionalnya.

.
3.3. Kecermatan Profesional
3.3.1. Anggota wajib harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan
cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam
setiap melaksanakan penugasan. Sikap tersebut memerlukan ketelitian dan
ketekunan, analisis kritis, dan skeptisme profesional.
3.3.2. Kecermatan profesional dilakukan dalam seluruh proses penugasan,
antara lain formulasi tujuan penugasan, penentuan ruang lingkup penugasan
termasuk evaluasi risiko penugasan, pemilihan pengujian dan hasilnya, pemilihan
jenis dan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan audit, pengumpulan dan
evaluasi bukti termasuk penilaian kompetensi ,integritas dan kesimpulan yang diambil
pihak lain, hingga pelaporan.
3.3.3. Kesimpulan yang dibuat harus didukung dengan bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan.
3.3.4. Jasa profesional anggota harus direncanakan dengan memadai.
Perencanaan menjadi alat pengendali kinerja audit forensik dari awal sampai selesai
yang di dalamnya mencakup pengembangan strategi pelaksanaan penugasan.
3.3.5. Pekerjaan yang dilakukan oleh asisten dalam pelaksanaan penugasan
audit forensik harus disupervisi dengan baik. Supervisi yang diperlukan bervariasi
tergantung pada kompleksitas pekerjaan dan kualifikasi dari para asisten.
3.4.1. Sebelum penerimaan penugasan audit forensik, anggota harus mencapai kesepahaman dengan
pemberi tugas mengenai ruang lingkup, batasan audit, dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
3.4.2. Apabila lingkup atau batasan audit forensik atau tanggung jawab para pihak berubah secara
signifikan, kesepahaman baru harus diperoleh dengan pemberi tugas.

3.5. Komunikasi dengan Pemberi Tugas


3.5.1. Anggota harus menyampaikan kepada pemberi penugasan atas hasil audit selama
pelaksanaan audit forensik.

3.6. Kerahasiaan
3.6.1. Anggota tidak boleh mengungkapkan informasi yang diperoleh selama penugasan
maupun yang dirahasiakan menurut peraturan perundang-undangan yang diperoleh selama audit
forensik tanpa izin tertulis dari pihak yang berwenang atau penetapan pengadilan.
3.6.2. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan
atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
4.1. Anggota mematuhi kriteria penerimaan penugasan yang mencakup
kelayakan penerimaan penugasan, sifat, tujuan dan ruang lingkup
penugasan, serta syarat-syarat dan ketentuan penugasan lainnya yang
memungkinkan.
4.2. Anggota harus memberikan jaminan yang memadai bahwa tim
pelaksana penugasan secara kolektif memiliki keahlian, kompetensi,
sumber daya, dan waktu yang cukup untuk melaksanakan penugasan.
4.3. Apabila anggot a m enget ahui adanya k eadaaan di m anan
independensi dipertanyakan, maka anggota harus mengungkapkan
keadaan tersebut kepada pemberi penugasan
4.4. Anggota tidak boleh menerima penugasan jika memperkirakan
bahwa penugasan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh karena suatu
alasan atau jika ada suatu kendala yang menyebabkan peugasan tidak
sesuai dengan standar profesi dan peraturan perundang-undangan.
5.1. Pelaksanaan Pengumpulan dan Evaluasi Bukti
5.1.1.Pelaksanaan pengumpulan dan evauasi bukti harus dilakukan secara legal dan
profesional. Pengumpulan dan evaluasi bukti ini ditujukan untuk mendapatkan bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan.
5.1.2. Anggota harus membangun hipotesis pada awal penugasan dan terus mengevaluasi hasil
pengujiannya. Dalam memilih dan menentukan langkah pengujian, anggota harus memperhitungkan
efisiensinya.
5.1.3. Dalam hal pegumpulan dan evaluasi bukti memerlukan bantuan teknis yang dimiliki ahli
lain, maka dapat digunakan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan penugasan. Anggota harus menilai
kualifikasi profesional, kompetensi dan pengalaman yang relevan, independensi, dan proses
pengendalian kualitas tenaga ahli sebelum menerima penugasan. Penggunaan tenaga ahli harus
disupervisi untuk meyakinkan ruang lingkup penugasan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan
penugasan.
5.1.4. Anggota harus waspada terhadap kemungkinan adanya pendapat yang tidak didukung
informasi yang lengkap dan bias dari saksi dan pihak terkait lainnya. Anggota harus
mempertimbangkan baik bukti yang membebaskan maupun bukti yang memberatkan.
5.2.1. Anggota wajib mengupayakan untuk membangun pengendalian dan prosedur manajemen
dokumen yang efektif. Dalam rangka itu, anggota harus memperhatikan keterkaitan atas dokumen
yang mencakup asal-usul, kepemilikan, dan pergerkan fisik bkti yang relevan dan material.
5.2.2. Anggota harus menjaga integritas bukti yang relevan dan material.
5.2.3. Produk tugas anggota mungkin berbeda sesuai keadaan masing-masing penugasan
audit forensik. Oleh karena itu, tingkat dokumentasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan
pemberi tugas.

6. STANDAR PELAPORAN
6.1. Umum
6.1.1. Pelaporan hasil audit forensik dalam bentuk tertulis, dan tidak menyesatkan.
6.1.2. Pelaporan hasil audit forensik harus mengemukakan semua informasi yang relevan
secara akurat, obyektif, dan mudah dipahami
6.2. Isi Laporan
6.2.1. Laporan harus berisi informasi berdasarkan data yang memadai dan relevan
untuk mendukung fakta, simpulan, pendapat dan/atau rekkoemendasi hasil audit forensik.
6.2.2. Laporan memuat subjek permasalahan beserta prinsip-prinsip dan metodologi
yang digunakan anggota sesuai dengan keahlian dan kompetensi yang dimimilikinya.
6.2.3. Laporan tidak boleh mengandung pendapat status hukum mengenai seseorang
atau pihak manapun.

7. STANDAR PEMBERIAN KETERANGAN AHLI


7.1. Anggota dimungkinkan menjadi pemberi keterangan ahli dalam sidang pengadilan atas
permintaan aparat penegak hukum dan/atau penetapan pengadilan.
7.2. Sebagai pemberi keterangan ahli, anggota harus mengikuti standar sebagai berikut:
1) Anggota berkewajiban memberikan pendapat secara independen dengan cara
memberikan
keterangan yang objektif dan tidak bias atas hal-hal yang berhubungan dengan
keahliannya.
2) Anggota harus menjelaskan atas pertanyaan tertentu yang bukan menjadi bagian dari
keahliannya.
73

Anda mungkin juga menyukai