1
Mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan
Anti Fraud (AUD.FR02.002.01)
• Gratifikasi
• Suap Menyuap
2
• Benturan Kepentingan 7 • Kerugian
Keuangan 3
Dalam Pengadaan Negara • Penggelapan Dalam
1 Jabatan
• -Pasal 2 &
6 3 4
• Perbuatan Curang 5 • Pemerasan
17
Tindak Pidana Korupsi adalah:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209, 210, 387 atau 388, 415, 416, 417,
418, dan Pasal 419 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU
Nomor 1 Tahun 1946)…
1)Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968. 2) Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971. 3)Konsep Tim
Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981. 4) Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof.
Soedarto. 5) Konsep RKUHP tahun 1982/1983. 6) Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7) Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April 1987 dan
disempurnakan lagi sampai pada November 1987. 8)Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof.
Marjono Reksodiputro. 8) RUU KUHP Tahun 2022/UU Nomor 1 Tahun 2023
PENGHILANGAN KATA DAPAT
• Kata dapat telah dihilangkan sesuai dengan
Keputusan MK Nomor 25 Tahun 2016
• Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 kata dapat juga
sudah dihilangkan
Tindak Pidana Korupsi adalah:
4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut.
5. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang
secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadi` tindak pidana korupsi.
1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun
para saksi dalam perkara korupsi.
2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar.
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal
421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana.
• Menurut UU No. 31 tahun 1999 bahwa kerugian keuangan
Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan
suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaanwewenang /
kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan
atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh
keadaan di luar kemampuan
47
Kekuatan Pembuktian
Keterangan Ahli
48
49
Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway
Commission (COSO) disponsori dan didanai oleh 5
asosiasi dan lembaga akuntansi profesional:
1. American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA)
2. American Accounting Association(AAA)
3. Financial Executives Institute (FEI)
4. The Institute of Internal Auditors (IIA)
5. The Institute of Management Accountants (IMA).
Tujuan utamanya adalah
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan penggelapan laporan keuangan dan
membuat rekomendasi untuk mengurangi kejadian
tersebut.
COSO mengeluarkan rekomendasi mengenai Komite Audit
yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
fraud dalam laporan keuangan, yaitu :
1. Komite audit independen (mandatory independent audit
committee) menggunakan direktur dari luar organisasi.
2. Piagam tertulis (written charter) yang menetapkan tugas
dan tanggungjawab dari komite audit.
3. Komite audit harus mempunyai sumberdaya dan
wewenang yang memadai untuk mengemban
tanggungjawabnya.
4. Komite audit harus memperoleh semua informasi tentang
organisasi, waspada, dan efektif.
• Akhirnya tahun 1997 profesi auditor
memperluas tanggung jawab auditor dalam
mendeteksi kecurangan dan tidak pidana ilegal
dengan menerbitkan SAS no 82 yang
menyatakan secara jelas bahwa mendeteksi
material misstatement in financial statements
merupakan masalah pokok dalam
pemeriksaan.
• SAS 82 diamandemen menjadi SAS99
• Salah satu gagasan yang dilemparkan oleh Panel on
Audit Effectiveness dari AICPA adalah auditor
hendaknya melaksanakan sejenis pemeriksaan
forensik dalam setiap auditnya untuk meningkatkan
prospek dalam mendeteksi kecurangan.
• Panel menyarankan untuk melakukan tes detail atau
prosedur substantif secara akurat, dengan tidak
menyandarkan diri terhadap tes pengendalian, selain
itu karena perubahan untuk lebih menjaga sikap
skeptisisme tetapkan tes sendiri dengan tidak
menggunakan hasil tes internal auditor atau lakukan
penilaian efektivitas tes oleh internal auditor.
Panel juga menyarankan memasukkan unsur dadakan
(surprise) atau tidak terduga dalam tes audit seperti:
• Kunjungi gudang secara mendadak dan hitung kembali
persediaan
• Lakukan wawancara dengan personel keuangan dan
non-keuangan di tempat berbeda
• Jika diperoleh penjelasan dari pegawai perusahaan
lakukan secara tertulis.
• Tes perkiraan yang biasanya tidak/jarang dilakukan
• Tes perkiraan yang biasanya dianggap berisiko rendah
SAS 99 Consideration of Fraud in Financial
Statement Audit menekankan perlunya pemeriksa
menerapkan professional skepticism dan
mengidentifikasi risiko kecurangan dengan:
• Melakukan brainstorming
• Bertanya kepada manajemen
• Melaksanakan prosedur analitis.
SAS 99 juga menekankan perlunya menaksir risiko
kecurangan setelah evaluasi seluruh program/
pengendalian dan menyesuaikan prosedur
pemeriksaan dengan temuan evaluasi.
Fraud risk factor (faktor risiko kecurangan) yaitu
kejadian atau kondisi yang mengindikasikan adanya
insentif/pressure, dan kesempatan untuk melakukan
kecurangan, atau sikap/rationalization sebagai
pembenaran kecurangannya.
Fraud risk factor dikelompokkan sebagai berikut:
1. Faktor risiko berkenaan dengan Misstatement from fraudulent
financial reporting dan dapat dibagi lagi menjadi
– Faktor risiko karena karakteristik manajemen dan pengaruhnya
terhadap lingkungan pengendalian. (Garuda, Jiwa Sraya, Asabri)
– Faktor risiko karena kondisi industry
– Faktor risiko berhubungan dengan karakteristik operasi dan stabilitas
keuangan.
2. Faktor risiko berkenaan dengan penggelapan aset perusahaan,
dibagi menjadi:
– Faktor risiko kerentanan atau kemudahan aset yang bersangkutan
diselewengkan (uang kas jumlah besar, aset berharga mudah dijual,
persediaan berharga dan sebagainya)
– Faktor risiko berkaitan dengan pengendalian intern.
Dalam hal pendeteksian kecurangan, peran Internal
auditor seperti dijelaskan di muka meliputi tiga dimensi:
1. Perencanaan: belajar mengenali gejala atau indikator
kecurangan (sering disebut Red Flag of Fraud) dengan
analisa sebab dan akibat.
2. Pemeriksaan: mengidentifikasi dan verifikasi indikasi
kecurangan untuk mengetahui sebab dan akibatnya.
3. Pelaporan: kerja sama dengan senior manajemen
untuk menindaklanjuti kecurigaan terhadap
kecurangan dan memperoleh keyakinan bahwa
laporan disusun secara konsisten dan hukuman
dijatuhkan sesuai dengan tindakannya.
• Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)/SAS
• Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
• Standar Pengawasan APIP
• Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional
Pemerintah (SA AFPI)
• Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia
(AAIPI)/IPPF
• Standar Profesinal AFI
Standar profesi merupakan landasan bagi auditor dalam
melaksanakan penugasan (baik pencegahan maupun
penindakan/represif)
Berdasarkan Musyawarah Nasional I Asosiasi
Auditor Forensik Indonesia (AAFI) tanggal
12 April 2013 telah ditetapkan:
• Standar Profesional AFI
• Kode Etik AFI
Tanggung jawab Auditor Menurut Statement on Auditing Standards (SAS) No.99
Auditor Forensik harus menerapkan profesional skepticism dan mengidentifikasi risiko kecurangan dengan:
• Melakukan braistorming
• Bertanya kepada manajemen
• Melaksanakan prosedur analitis
Dalam hal pemeriksaan Auditor Forensik harus mempertimbang Faktor Risiko Kecurangan (Fraud Risk Factor),
yaitu kejadian atau kondisi yang mengindikasikan adanya insentif/poressure, dan kesempatan untuk
melakukan kecurangan, atau sikap/rationalization sebagai pembenaran kecurangannya.
Dalam hal pendeteksian kecurangan, peran internal auditor meliputi tiga dimensi:
1. Perencanaan : belajar mengenali gejala atau indikator kecurangan dengan analisa sebab akibat
2. Pemeriksaan : mengidentifikasi dan verifikasi kecurangan untuk mengetahui sebab akibatnya
3. Pelaporan : kerjasama dengan senior manajemen untuk menindaklanjuti kecurigaan terhadap kecurangan
dan memperoleh keyakinan bahwa laporan disusun secara konsisten dan hukuman dijatuhkan sesuai
dengan tindakannya.
1. PENDAHULUAN
2. PEMBERLAKUAN STANDAR
3. STANDAR UMUM
4. STANDAR PENERIMAAN PENUGASAN
5. STANDAR PELAKSANAAN
6. STANDAR PELAPORAN
7. STANDAR PEMBERIAN KETERANGAN AHLI
PERNYATAAN STANDAR PROFESIONAL
AUDITOR FORENSIK INDONESIA
1. PENDAHULUAN
1.1. Asosiasi Auditor Forensik Indonesia (selanjutnya disingkat Asosiasi) adalah asosiasi profesional yang
menyatakan komitmenya untuk tampil dengan menjunjung tinggi etika dan standar profesi. Anggota Asosiasi
(selanjutnya disingkat Anggota) menyatakan dirinya untuk selalu bertindak dengan integritas dan melakukan
pekerjaan secara profesional
1.2. Standar Profesi Auditor Forensik Indonesia disusun dengan maksud untuk menjamin mutu hasil kegiatan
kegiatan profesional auditor forensik
1.3 Standar ini mengatur prinsip-prinsip dasar dari perilaku profesional untuk mengarahkan anggota dalam
memenuhi tugas dan kewajibannya. Dengan mengikuti standar ini, diharapkan semua anggota asosiasi
menampilkan komitmen terhadap pelayanan yang unggul dan perilaku yang profesional.
2. PEMBERLAKUAN STANDAR
2.1. Standar Profesional berlaku untuk semua anggota Asosiasi. Yang dimaksud dengan kata ”anggota”
dalam standar ini adalah anggota biasa Asosiasi.
3. STANDAR UMUM
3.1. Integritas dan Objektivitas
3.1.1. Anggota harus berintegritas dan menyadari bahwa kepercayaan publik didasarkan pada integritas. Anggota tidak
boleh mengorbankan integritas dalam menjalankan profesinya.
3.1.2. Sebelum menerima penugasan, anggota harus meneliti kemungkinan adanya potensi benturan kepentingan.
Anggota harus mengungkapkan kepada calon pemberi penugasan dan tidak menerima penugasan jika terdapat benturan
kepentingan.
3.1.3. Anggota wajib menjaga objektivitas dalam melaksanakan tanggung jawab profesional pada lingkup
penugasannya.
3.1.4. Anggota tidak boleh melakukan tindakan tercela, dan selalu mengupayakan sikap dan tindakan yang terbaik
demi reputasi profesi.
3.1.5. Anggota tidak boleh dengan sengaja membuat keterangan palsu saat menjalankan pekerjaan profesinya.
.
3.3. Kecermatan Profesional
3.3.1. Anggota wajib harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan
cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam
setiap melaksanakan penugasan. Sikap tersebut memerlukan ketelitian dan
ketekunan, analisis kritis, dan skeptisme profesional.
3.3.2. Kecermatan profesional dilakukan dalam seluruh proses penugasan,
antara lain formulasi tujuan penugasan, penentuan ruang lingkup penugasan
termasuk evaluasi risiko penugasan, pemilihan pengujian dan hasilnya, pemilihan
jenis dan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan audit, pengumpulan dan
evaluasi bukti termasuk penilaian kompetensi ,integritas dan kesimpulan yang diambil
pihak lain, hingga pelaporan.
3.3.3. Kesimpulan yang dibuat harus didukung dengan bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan.
3.3.4. Jasa profesional anggota harus direncanakan dengan memadai.
Perencanaan menjadi alat pengendali kinerja audit forensik dari awal sampai selesai
yang di dalamnya mencakup pengembangan strategi pelaksanaan penugasan.
3.3.5. Pekerjaan yang dilakukan oleh asisten dalam pelaksanaan penugasan
audit forensik harus disupervisi dengan baik. Supervisi yang diperlukan bervariasi
tergantung pada kompleksitas pekerjaan dan kualifikasi dari para asisten.
3.4.1. Sebelum penerimaan penugasan audit forensik, anggota harus mencapai kesepahaman dengan
pemberi tugas mengenai ruang lingkup, batasan audit, dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
3.4.2. Apabila lingkup atau batasan audit forensik atau tanggung jawab para pihak berubah secara
signifikan, kesepahaman baru harus diperoleh dengan pemberi tugas.
3.6. Kerahasiaan
3.6.1. Anggota tidak boleh mengungkapkan informasi yang diperoleh selama penugasan
maupun yang dirahasiakan menurut peraturan perundang-undangan yang diperoleh selama audit
forensik tanpa izin tertulis dari pihak yang berwenang atau penetapan pengadilan.
3.6.2. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan
atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
4.1. Anggota mematuhi kriteria penerimaan penugasan yang mencakup
kelayakan penerimaan penugasan, sifat, tujuan dan ruang lingkup
penugasan, serta syarat-syarat dan ketentuan penugasan lainnya yang
memungkinkan.
4.2. Anggota harus memberikan jaminan yang memadai bahwa tim
pelaksana penugasan secara kolektif memiliki keahlian, kompetensi,
sumber daya, dan waktu yang cukup untuk melaksanakan penugasan.
4.3. Apabila anggot a m enget ahui adanya k eadaaan di m anan
independensi dipertanyakan, maka anggota harus mengungkapkan
keadaan tersebut kepada pemberi penugasan
4.4. Anggota tidak boleh menerima penugasan jika memperkirakan
bahwa penugasan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh karena suatu
alasan atau jika ada suatu kendala yang menyebabkan peugasan tidak
sesuai dengan standar profesi dan peraturan perundang-undangan.
5.1. Pelaksanaan Pengumpulan dan Evaluasi Bukti
5.1.1.Pelaksanaan pengumpulan dan evauasi bukti harus dilakukan secara legal dan
profesional. Pengumpulan dan evaluasi bukti ini ditujukan untuk mendapatkan bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan.
5.1.2. Anggota harus membangun hipotesis pada awal penugasan dan terus mengevaluasi hasil
pengujiannya. Dalam memilih dan menentukan langkah pengujian, anggota harus memperhitungkan
efisiensinya.
5.1.3. Dalam hal pegumpulan dan evaluasi bukti memerlukan bantuan teknis yang dimiliki ahli
lain, maka dapat digunakan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan penugasan. Anggota harus menilai
kualifikasi profesional, kompetensi dan pengalaman yang relevan, independensi, dan proses
pengendalian kualitas tenaga ahli sebelum menerima penugasan. Penggunaan tenaga ahli harus
disupervisi untuk meyakinkan ruang lingkup penugasan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan
penugasan.
5.1.4. Anggota harus waspada terhadap kemungkinan adanya pendapat yang tidak didukung
informasi yang lengkap dan bias dari saksi dan pihak terkait lainnya. Anggota harus
mempertimbangkan baik bukti yang membebaskan maupun bukti yang memberatkan.
5.2.1. Anggota wajib mengupayakan untuk membangun pengendalian dan prosedur manajemen
dokumen yang efektif. Dalam rangka itu, anggota harus memperhatikan keterkaitan atas dokumen
yang mencakup asal-usul, kepemilikan, dan pergerkan fisik bkti yang relevan dan material.
5.2.2. Anggota harus menjaga integritas bukti yang relevan dan material.
5.2.3. Produk tugas anggota mungkin berbeda sesuai keadaan masing-masing penugasan
audit forensik. Oleh karena itu, tingkat dokumentasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan
pemberi tugas.
6. STANDAR PELAPORAN
6.1. Umum
6.1.1. Pelaporan hasil audit forensik dalam bentuk tertulis, dan tidak menyesatkan.
6.1.2. Pelaporan hasil audit forensik harus mengemukakan semua informasi yang relevan
secara akurat, obyektif, dan mudah dipahami
6.2. Isi Laporan
6.2.1. Laporan harus berisi informasi berdasarkan data yang memadai dan relevan
untuk mendukung fakta, simpulan, pendapat dan/atau rekkoemendasi hasil audit forensik.
6.2.2. Laporan memuat subjek permasalahan beserta prinsip-prinsip dan metodologi
yang digunakan anggota sesuai dengan keahlian dan kompetensi yang dimimilikinya.
6.2.3. Laporan tidak boleh mengandung pendapat status hukum mengenai seseorang
atau pihak manapun.