Anda di halaman 1dari 6

TEKNIK DAN TEKNOLOGI PERTAMBANGAN DI BANGKA-BELITUNG PADA

MASA KOLONIAL

Siti Sarah Nurafifah


180310200022

Pendahuluan
Timah adalah salah satu kandungan mineral dan hasil tambang yang berharga karena
laku di pasar internasional. Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan
pada daerah sentuhan batuan endapan. Timah juga biasanya digunakan sebagai pelapis logam,
karena sifatnya yang tahan oksidasi udara sehingga tahan karat. Di Indonesia, wilayah
penghasil timah terbesar adalah Kepulauan Bangka-Belitung. Jejak dari pertambangan bijih
timah di kepulauan tersebut dapat dilacak sejak masa Kesultanan Palembang.
Eksploitasi timah di Bangka sebetulnya telah dilakukan sebelum VOC berkuasa di
Hindia Belanda oleh masyarakat setempat dengan teknik sederhana. Kebijakan dan
perkembangan pertambangan bijih timah pun berubah-ubah mengikuti perubahan kondisi
perpolitikan yang didominasi oleh penjajahan wilayah. Setelah VOC datang, monopoli
perdagangan timah dilakukan hingga akhirnya perusahaan tersebut runtuh. Inggris pun sempat
berkuasa di Bangka meskipun tidak selama VOC. Wilayah jajahan pun diambil alih langsung
oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Perubahan kekuasaan ini tentu menimbulkan perubahan
pula dalam dunia pertambangan timah di Bangka-Belitung, mulai dari teknik penambangan
timah hingga proses produksi timah.

Penemuan Lahan Tambang Timah


Terdapat beberapa versi kisah penemuan lahan timah di Bangka. Pertama, kandungan
bijih timah berada dekat dengan permukaan tanah sehingga akan mudah ditemukan.
Berdasarkan laporan Horsfield tahun 1813 (dalam ANRI, 2006: 9), terdapat laporan yang
mengatakan bahwa sejumlah timah berwarna metalik muncul ketika ada lapangan yang dibakar
untuk dipersiapkan menjadi lahan garapan.
Thomas Horsfiled adalah seorang naturalis yang salah satu penelitiannya berlokasi di
Bangka. Pada saat wilayah jajahan Belanda diambil alih oleh Inggris, Raffles berusaha untuk
meneliti pulau tersebut mulai dari kondisi politik, sosisal, budayam ekonomi, agrikultur, dan
geografinya. Ia tertarik dengan pertambangan timah di sana. Akhirnya, Thomas Horsfield dan
beberapa orang dalam timnya melakukan ekspedisi ke Bangka.
Sama halnya dalam artikel Harrington et al dalam artikel berjudul Dr. Thomas
Horsfield’s Report on the Island of Bangka: an Imperialist Proposal for Reform in 1813
menjelaskan bahwa The discovery of tin on the island in 1711 influenced affairs on bangka as
well. Natives found the metal by accident as they prepared land for a rice plantation. They
were burning the trees off the land and a small quantity of tin ore which had adhered to the
roots of a tree “was converted into metal by the heat of the burning woods.” Sementara itu,
versi kedua menjelaskan bahwa terdapat satu kampung yang terbakar dan timah logam pun
muncul dalam debu.
Sementara itu, penemuan bijih timah di Belitung memiliki kisah yang berbeda.
Berdasarkan artikel Mary F. Somers Heidhues berjudul Company Islan: A Note on the History
of Belitung mengisahkan bahwa pada tahun 1850, seorang insinyur pertambangan Belanda
bernama Croockewit berusaha mencari timah di Belitung selama tiga bulan. Namun ia berhasil
dicegah oleh seorang depati (semacam pemimpin di daerah tersebut) dan tertipu oleh seorang
informan yang mengatakan bahwa ia tahu lokasi tambang timah. Hasil pencariannya hanya
membawanya pada bijih timah palsu. Oleh karena itu, ia mendapat kesimpulan bahwa di
Belitung tidak ada bijih timah seperti yang ada di Bangka.
Kemudian, sekelompok penjelajah yang dipimpin oleh John Loudon melakukan
pencarian timah pada Juli 1851 seperti yang dilakukan oleh Croockewit. Mereka lebih siap
daripada pencari sebelumnya. Ia pun beserta timnya berhasil dengan sedikit “mengancam”
akan membawa orang-orang lebih banyak sebelum dapat menemukan bijih timah. Setelah
mendapatkan bijih timah, mereka juga menemukan penggalian tua yang menunjukkan tanda-
tanda adanya lubang yang telah digali secara primitif. Loudon timnya pun memperoleh konsesi
pertama untuk mengembangkan Belitung yang diberikan pada tahun 1852 yang berlaku selama
empat puluh tahun.

Teknik dan Teknologi Pertambangan Timah di Bangka-Belitung


Timah di wilayah Asia Tenggara adalah hasil endapan dari lapisan utama batu dan
lapisan tanah yang ada di sepanjang dasar sungai. Oleh karena itu, teknik lokal yang biasa
digunakan masyarakat sekitar adalah dengan menggali lubang di tanah. Hasil dari galian
tersebut dibawa dengan menggunakan keranjang.
Sebuah terbitan dari Arsip Nasional Republik Indonesia berjudul Naskah Sumber:
Pertambangan Timah di Pulau Bangka pada Masa Kolonial membahas mengenai
pertambangan timah di Pulau Bangka mulai dari pencarian lahan, teknik pertambangan, proses
produksi, hingga pemanfaatan dan pemasarannya. Di dalamnya dijelaskan, pada masa VOC,
teknik pertambangan baru mulai diterapkan seperti teknik kulit dan teknik kolong. Jika
menggunakan teknik kulit, maka hanya butuh beberapa orang saja. Pengerjaannya pun
biasanya dilakukan di wilayah lereng yang tidak memiliki penampungan air. Kemudian
Lapisan tanah paling luar atau atas dibuang menggunakan media air hingga lapisan tanah
dengan biji timah dapat ditemukan dan dibersihkan di sebuah saluran air. Sementara teknik
kolong memerlukan bor besi yang disebut ciam untuk mengangkat sejumlah kecil tanah ke
permukaan. Teknik kolong digunakan untuk penambangan dengan skala besar sehingga
membutuhkan lebih banyak orang untuk melakukannya, diperlukan sekitar 20-40 orang.
Penggunaan pompa serta roda juga dibutuhkan untuk mengarahkan air dari penampungan ke
saluran yang nantinya dipakai untuk membuang tanah dari bijih timah.
Setelah VOC runtuh, pertambangan pun ikut diambil alih oleh Pemerintah Kolonial.
Perubahan kekuasaan ini juga berdampak pada perubahan dalam teknik pertambangan. Teknik
pertambangan baru pun dikenalkan, yaitu dengan menggunakan metode open pit mining.
Melalui metode ini, pengambilan timah dilakukan secara terbuka dengan menggunakan alat
pompa (gravel pump). Alat pompa semprot ini mengeluarkan air dengan tekanan tinggi,
sehingga endapan dalam galian pun terlepas. Sistem ini mengakibatkan tanah terkelupas dari
bukit dan gunung. Aktivitas ini terus mengarah ke dalam perut bumi dan menyisakan lubang
atau danau dengan cekungan yang besar.
Dalam tulisan terbitan ANRI tahun 2006 tersebut juga menjelaskan mengenai proses
pengolahan tambang timah yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan orang Cina. Dijelaskan
bahwa hasil tambang ini berupa timah dan diolah dengan cara peleburan. Terdapat perbedaan
cara antara masyarakat lokal dengan orang Tionghoa dalam mengelola timah. Masyarakat lokal
menggunakan arang dari batang bambu sebagai bahan bakarnya dan dapat dilakukan oleh satu
orang saja. Tetapi pembakaran dan embusannya tidak kuat. Sementara orang Tionghoa
mengandalkan arang dari batang pohon sebagai bahan bakar sehingga tungku pembakaran dan
hembusannya lebih kuat. Akan tetapi, teknik ini membutuhkan tenaga buruh lebih banyak dan
modal yang lumayan besar untuk membuka lahan, membeli bahan dan peralatan, serta
memenuhi kebutuhan para buruh penambang dengan keperluan lain sepanjang tahun hingga
timah dilebur dan dijual.
Tidak jauh berbeda dengan pertambangan di Belitung, seperti dalam artikel Mary F.
Somers berjudul Company Island: A Note on the History of Belitung. Di dalam artikel tersebut
menjelaskan bahwa pada tahun 1860, perusahaan swasta Billiton Mij mengambil alih konsesi
selama empat puluh tahun. Produksi timah juga masih mengandalkan buruh, organisasi, dan
teknologi orang Tionghoa. Sementara orang Eropa mengontrol dalam hal keuangan,
perdagangan timah, dan penyewaan tempat pada kongsi yang mengelola situs tambang.
Namun, tidak lama kemudian berkembang sejumlah inovasi teknis seperti penggunaan mesin
bor, mesin pompa, dan teknik peleburan yang lebih baik dan membawa keunggulan bagi orang
Eropa dalam hal produksi.
Pada tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah Dinas Pertambangan
atau Dienst Van Het Mijnwezen yang berlokasi di Batavia dengan tujuan untuk lebih
mengoptimalkan penelitian dan penyelidikan geologi serta lebih mengarahkan segala aktivitas-
aktivitas pertambangan menjadi lebih teratur. Perusahaan ini berubah nama pada tahun 1923
menjadi Dienst van den Mijnbouw dan berlokasi di Bandung.
Pemisahan antara urusan pemerintahan dan pengelolaan tambang baru dilakukan tahun
1913 dengan mendirikan perusahaan negara Banka Tin Winning (BTW) dan Mentok yang
dipimpin oleh seorang Direktur Tambang. Kemudian pada tahun 1920-an, kegiatan tambang
timah di Bangka ini berada di bawah pengawasan Departemen van Gouvernementsbedriven.
Selain itu juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain seperti N.V. Gemeenschap
pelyke Mynjbouw Maatschappyj Biliton dan N.V. Nederlandsch Indisch Metallurgische
Bedriyen dalam kegiatan peleburan bijih timah Bangka dan Belitung.
Dalam hal teknologi, pada tahun 1926-1927, pemerintah kolonial juga telah melakukan
uji coba pencairan bijih timah menggunakan oven listrik. Laboratorium pengujian timah di
Bangka juga didirikan untuk menguji kadar kandungan timah. Pengenalan berbagai teknologi
ini tentu mengakibatkan pengurangan tenaga kerja buruh. Perdagangan timah dari Bangka-
Belitung juga terus mengalami fluktuasi. Hal ini tentu berdampak pula pada kondisi sosial
sekitar wilayah Bangka-Belitung.

Kesimpulan
Pulau Bangka dan Pulau Belitung seringkali dianggap sebagai pulau yang sama. Namun
kenyataannya dalam hal kandungan mineral berbeda. Meskipun sama-sama mengandung
timah, namun pulau Bangka memiliki timah lebih banyak dibangdingkan dengan Belitung.
Penemuan timah berawal dari Pulau Bangka yang diyakini kisah penemuannya memiliki dua
versi. Sementara penemuan timah di Belitung disebabkan karena dorongan dan kepercayaan
akan adanya kandungan serupa di pulau ini seperti dengan yang terkandung di Bangka.
Sebelum dikenalkannya teknologi mesin-mesin, pertambangan di Bangka-Belitung
menggunakan teknik dan teknologi dari orang Tionghoa. Teknik yang digunakan yaitu teknik
kulit dan teknik kolong. Setelah dikenalkan inovasi teknologi, berbagai teknik lain pun mulai
digunakan demi mendorong laju produktivitas. Misalnya pengenalan sistem open pit mining.
Demi mendukung produksi timah juga dibangun fasilitas-fasilitas penunjang seperti fasilitas
kesehatan dan rumah-rumah bagi para buruh. Dalam hal teknologi misalnya digunakannya
oven listrik untuk mencairkan bijih timah hingga pembangunan laboratorium untuk menguji
kadar kandungan timah.
Pada awalnya peran dari orang Eropa hanya berkisar pada urusan-urusan administrasi.
Hingga akhirnya teknologi dikenalkan, penggunaan buruh terutama orang Cina mulai
dikurangi sementara penggunaan mesin-mesin meningkat. Hal ini tentu saja mengakibatkan
permasalahan-permasalahan sosial yang juga memengaruhi tingkat produktivitas timah di
Bangka-Belitung. Penjualan timah dari Bangka-Belitung juga terus mengalami fluktuasi.
Namun demikian, keberadaan timah sebagai mineral yang berharga di Bangka-Belitung
menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam telah dilakukan sejak beratus tahun yang
lalu, bahkan sejak masa Kesultanan Palembang dan masih dilakukan hingga saat ini.
Tak dapat dipungkiri bahwa tenaga kerja asal Tionghoa berperan besar dalam
pertambangan di Bangka-Belitung. Untuk dapat mengetahui lebih banyak mengenai peran
mereka serta kondisi sosial selama menjadi buruh tambang di Bangka-Belitung, diperlukan
studi lebih kepustakaan lebih lanjut.
Daftar Pustaka

Buku
Yuliastuti, Dwi dan Rudi Andri S. (2006). Naskah Sumber: Pertambangan Timah di Pulau
Bangka pada Masa Kolonial. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Van Gorsel, J.T. (2022).Pioneers and Milestones of Indonesian Geology (1820-1960s): 2-


Geological Survey, Volcanology. Bandung: ITB Press

Artikel Jurnal
Harrington, Gordon K., et al. (2001). Dr. Thomas Horsfield’s Report on the Island of Bangka:
an Imperialist Proposal for Reform in 1813. Selected Papers in Asian Studies: Western
Conference of the Association for Asian Studies: No.72.

Heidhues, Mary F. Somers. (1992). Company Island: A Note on the History of Belitung.
Cornell University Southeast Asia Program, Vol 51, 1-20.

Anda mungkin juga menyukai