Anda di halaman 1dari 15

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITOR DALAM PERJANJIAN

PINJAM MEMINJAM UANG DENGAN RENTENIR


SEBAGAI KREDITOR

SAULISA ARDI NUGROHO, S.H., M.H.


Program Studi Strategi Operasi Udara
e-mail: ardinu534532@gmailcom

ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze: 1) The legal strength of a loan agreement
between a debtor and a loan shark as a creditor 2) Legal protection for a debtor in a loan
agreement with a loan shark as a creditor. The research method used is qualitative with a
juridical, analytical and historical approach where data is collected through library studies,
internet, and interviews. The results of the study conclude that: First, the loan agreement
between debtors and moneylenders as creditors does not have binding legal force
because it is not in accordance with the terms and principles of the agreement. Second,
legal protection for debtors in loan agreements with moneylenders as creditors can be
carried out in a preventive and repressive manner.

Keywords : Strength; Protection; Debtors; Agreement; Rentenir

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis: 1) Kekuatan hukum perjanjian pinjam
meminjam uang antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor 2) Perlindungan hukum
bagi debitor dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan rentenir sebagai kreditor.
Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan pendekatan yuridis, analitis dan
historis dimana data dikumpulkan melalui studi perpustakaan, internet, dan wawancara.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: Pertama, perjanjian pinjam meminjam uang antara
debitor dengan rentenir sebagai kreditor tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
karena tidak sesuai dengan syarat dan asas perjanjian. Kedua, perlindungan hukum
terhadap debitor dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan rentenir sebagai
kreditor dapat dilakukan secara preventif dan represif.

Kata-kata Kunci: Kekuatan; Perlindungan; Debitor; Perjanjian; Rentenir

Latar Belakang
Pinjam meminjam uang dengan rentenir dilakukan dengan cara yang cukup mudah
dan simpel.1 Rentenir biasanya menggunakan dua sistem pinjaman yaitu harian atau
bulanan, dimana dari dua sistem tersebut debitor dibebani dengan bunga yang cukup

1
Rentenir adalah lintah darat atau setiap orang yang melakukan usaha meminjam-minjamkan uang kepada
masyarakat dengan bunga yang tinggi tanpa ijin pemerintah dan jika terjadi wanprestasi upaya penagihan dan eksekusi
barang jaminan dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. UU No 2 tahun 2002
tentang Kepolisian R.I menjelaskan lintah darat merupakan penyakit masyarakat yang menjadi salah satu tugas
Kepolisian untuk memberantasnya. Penulis menggunakan istilah rentenir karena secara umum masyarakat sudah sering
mendengar tentang istilah rentenir.
2

tinggi. Persyaratan yang diminta oleh rentenir juga tidak terlalu rumit dan yang jelas
fleksibel tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan beberapa rentenir mampu
memberikan sejumlah pinjaman tanpa jaminan apapun. Jika terjadi wanprestasi, rentenir
akan berusaha untuk menekan secara psykis bahkan tidak segan-segan menggunakan
cara kekerasan agar debitor mau menjalankan kesepakatan tersebut. Kebanyakan
kesepakatan antara debitor dengan rentenir hanya dilakukan secara lisan. Namun tidak
menutup kemungkinan untuk memperkuat hubungan hukum antara debitor dengan
rentenir akan di buat secara tertulis perjanjian pinjam meminjam uang di bawah tangan
yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
Keberadaan rentenir sampai saat ini masih tetap eksis dalam kehidupan
masyarakat walaupun faktanya tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban semena-
mena rentenir. Bahkan debitor yang menjadi korban rentenir telah membuat laporan ke
Polisi namun laporan tersebut tidak dapat ditindak lanjuti dengan alasan belum ada
aturannya dan telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga hal ini
merupakan masalah perdata diluat kewenangan Polisi.
Berdasarkan uraian di atas maka menimbulkan beberapa legal issue diantaranya
bagaimana kekuatan hukum perjanjian pinjam meminjam dengan rentenir dan bagaimana
perlindungan hukum bagi debitor yang telah menyepakati perjanjian pinjam meminjam
tersebut. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena secara hukum pidana belum diatur
secara tegas dan secara hukum perdata membolehkan pinjam meminjam disertai dengan
bunga, tetapi di lain pihak masyarakat banyak menjadi korban dari rentenir termasuk juga
prajurit TNI AU.

Kajian Pustaka, Hipotesis Penelitian dan Kerangka Pemikiran


Kajian pustaka dalam penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum
konsumen, hukum kontrak, keadilan, asas hukum, dan beberapa literatur yang bersumber
dari buku dan jurnal yang terkait.
Hipotesis penelitian ini yaitu praktek rentenir seringkali merugikan debitor dimana
kondisi debitor yang sedang membutuhkan uang sering dimanfaatkan oleh rentenir untuk
berbuat sewenang-wenang dalam pelaksanaan pinjam meminjam uang.
Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan adanya praktek pinjam meminjam
uang yang dijalankan oleh rentenir walaupun dilaksanakan menggunakan perjanjian
secara tertulis, namun belum sepenuhnya memberikan keadilan bagi debitor. Untuk
meminimalisir jatuhnya korban dari rentenir maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengkaji tentang kekuatan hukum perjanjian pinjam meminjam uang yang dibuat rentenir
dan perlindungan hukmnya bagi debitor.
3

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengkaji permasalahan dari
perspektif peraturan perUUan dan asas-asasnya melalui pendekatan yuridis normatif,
analistis dan historis sehingga diperoleh kesimpulan tentang tingkat keadilan yang
dirasakan oleh debitor akibat dari praktek rentenir. Analisa data dilakukan dengan cara
mempelajari data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan dan klasifikasi
sehingga data tersebut mempunyai nilai kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Untuk menjaga validasi data dilakukan pengecekan dengan teknik pemeriksaan
triangulasi yaitu meneliti data dari berbagai sudut pandang sehingga akan lebih akurat.

Hasil dan Pembahasan


1. Kekuatan hukum perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor dengan
rentenir sebagai kreditor.
Perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat seperti UU. Untuk melihat apakah perjanjian pinjam meminjam uang
antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor sah secara hukum dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, maka dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai
berikut:

a. Syarat perjanjian
Ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi dalam perjanjian pinjam meminjam
uang dengan rentenir, antara lain
1) Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak.
Kesepakatan dalam perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor
dengan rentenir sebagai kreditor tidak sesuai dengan ketentuan atau
mengandung cacat kehendak. Kesepakatan seharusnya terbentuk dari proses
negosiasi yang bebas sehingga terjadi persesuaian kehendak diantara para
pihak, tetapi kesepakatan yang cacat kehendak lahir dari kehendak yang tidak
murni karena ada paksaan, tekanan, tipuan bahkan pengaruh orang lain yang
menyalahgunakan posisi para pihak.
Cacat kehendak dalam perjanjian pada dasarnya merupakan bagian
dari pembahasan mengenai kata sepakat sebagaimana diatur secara tegas
dalam pasal 1320 BW, karena cacat kehendak tidak lain adalah sepakat yang
4

dinyatakan secara tidak murni dan bebas atau dapat juga disebut kehendak
yang tidak sempurna.2
Cacat kehendak yang terdapat dalam perjanjian pinjam meinjam uang
antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor, antara lain :
a) Penipuan
Penipuan yang terdapat dalam perjanjian pinjam meminjam
uang antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor yaitu terletak
pada fase pra kontrak. Debitor ditipu oleh rentenir dengan segala tipu
muslihat dan rangkaian kebohongan bahwa syaratnya mudah
prosesnya cepat yang seakan-akan memberi pertolongan tetapi
ujung-ujungnya mencekik dengan bunga tinggi yang menjerat debitor.
Selain itu rangkaian kebohongan dilakukan ketika terjadi wanprestasi,
penyelesaiannya tidak menggunakan jalur hukum tetapi barang
jaminan langsung dieksekusi dengan alasan untuk diamankan,
padahal setelah barang jaminan dikuasai maka secara psykologis
posisi debitor menjadi lemah. Hal ini akan memudahkan langkah
selanjutnya yang akan di lakukan oleh rentenir seperti, proses
peralihan hak dan seterusnya.
b) Pemaksaan
Pemaksaan diatur dalam pasal 1323,1324, dan 1325 KUH
Perdata. Menurut J. Satrio paksaan dapat disimpulkan tidak berarti
tindakan kekerasan saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu meliputi juga
ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang.
Sehingga bukan hanya pemaksaan berupa kekerasan fisik tetapi
juga kekerasan secara psykis. 3
Berdasarkan ketentuan di atas maka pemaksaan terjadi
dalam penagihan yang dilakukan oleh rentenir menggunakan cara
menyebarkan info kepada masyarakat sekitar maupun lingkungan
kerjanya. Hal ini memberikan dampak psykologis bagi debitor,
sehingga menyebabkan debitor akan mengikuti kemauan dari
rentenir yaitu menyepakati perjanjian pinjam meminjam uang
dengan bunga yang tinggi.
c) Penyalahgunaan keadaan

2
Marilang, Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Makassar : Indonesia Prime, 2017),
hlm 223.
3
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Dikutip dari Ridwan Khairandy, Hukum
Kontrak Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm 221.
5

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki


posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun
psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak yang lemah
menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.
Perjanjian pinjam meminjam antara debitor dengan rentenir
sebagai kreditor mengandung unsur penyalahgunaan keadaan, yaitu
kedudukan dominan dari rentenir yang memiliki keunggulan ekonomi
maupun psykis. Hal ini sesuai dengan target pasar dari rentenir yaitu
masyarakat menengah ke bawah yang tidak terwadahi oleh kredit
perbankan dari pemerintah.
2) Causa yang halal
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU,
kesusilaan,dan ketertiban umum.4 Terlarang yang bertentangan dengan UU
yaitu melanggar beberapa ketentuan UU, diantaranya :
a) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia.
Penjelasan UU ini menyatakan bahwa rentenir atau lintah
darat merupakan sampah masyarakat, dan Polri mempunyai
kewenangan untuk mencegah dan menanggulangi tumbuhnya
penyakit masyarakat.
b) UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Rentenir telah menjalankan kegiatan lembaga keuangan mikro
berupa meminjamkan uang di masyarakat tanpa ada ijin dari
pemerintah, sehingga berdasarkan pasal 34 dapat dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Terlarang yang bertentangan dengan kesusilaan terdapat pada penetapan
bunga yang terlampau tinggi hingga mencapai 10% per bulan atau 1% per
hari. Terlarang yang bertentangan dengan ketertiban umum terkait
penyelesaian masalah jika terjadi wanprestasi dengan cara melibatkan
lingkungan kerja dan lingkungan tempat tinggal yang bertujuan untuk
membuat malu debitor.

4
Salim H.S, Hukum Kontrak... op. cit., hlm 34.
6

b. Asas-asas perjanjian
Asas merupakan ruh dari sebuah perjanjian sehingga perjanjian dapat
berlaku dan mempunyai kekuatan hukum jika dalam proses pembuatannya telah
sesuai dengan asas-asas perjanjian. Perjanjian pinjam meminjam uang antara
debitor dengan rentenir tidak sesuai dengan asas perjanjian, diantaranya :
1) Asas Pacta Sunt Servanda atau kepastian hukum.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338
ayat( 1) KUH Perdata yang berbunyi : ”Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai UU.”5 Perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor
dengan rentenir sebagai kreditor tidak sesuai dengan asas Pacta Sunt
Servanda karena dalam proses pembuatannya ada beberapa ketentuan
dalam syarat perjanjian yang tidak terpenuhi yaitu kesepakatan dan causa
yang halal.
2) Asas keseimbangan
Keseimbangan menurut Pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa
kesepakatan yang sah antara para pihak akan tercapai jika dalam keadaan
in concreto sudah ada keseimbangan dan keserasian.6
Tidak terpenuhinya asas keseimbangan dalam perjanjian pinjam
meminjam uang antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor terletak di
ketentuan bunga yang mencapai 1% per hari. Bunga 1% per hari
menyebabkan prestasi yang harus dilakukan oleh debitor tentu sangat tidak
seimbang dibandingkan dengan prestasi kreditor dalam memberikan
pinjaman.
3) Asas kepatutan
Pasal 1339 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, atau UU.7
Tidak terpenuhinya asas kepatutan dalam perjanjian pinjam
meminjam uang antara debitor dengan rentenir sebagai kreditor dapat dilihat

5
Ibid., hlm 10.
6
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak... op. cit., hlm 97.
7
Ridwan Khairandy, Kebebasan Berkontrak dan Pacta Sunt Servanda Versus Iktikad Baik (Yogyakarta: FH
UII Press, 2015), hlm 63.
7

dari penetapan bunganya. Bunga 10% per bulan atau 1% per hari sangat
tidak patut berdasarkan ukuran moral masyarakat secara umum.

4) Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian yang masih terkait
dengan penjelasan pasal 1339 KUH Perdata. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.8
Prosedur pembayaran angsuran yang diberlakukan oleh rentenir
biasanya dalam setiap bulannya debitor hanya disuruh bayar bunganya
saja, sedangkan pokoknya masih utuh tidak berkurang. Berdasarkan
penjelasan dari bapak Iwan Kurniawan, bagian EPK (Edukasi dan
Perlindungan Konsumen) OJK Yogyakarta bahwa sesuai ketentuan PSAK
(Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) dari Ikatan Akuntan Indonesia
pembayaran angsuran kredit harus terdiri dari pokok dan bunga, sehingga
dalam setiap angsurannya akan mengurangi hutang pokoknya. 9
5) Asas perlindungan (protection)
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor
dan kreditor harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat
perlindungan itu adalah pihak debitor, karena pihak debitor berada pada
pihak yang lemah.10 Tujuan asas untuk memberi perlindungan kepada
debitor menjadi hal yang diabaikan, debitor banyak mengalami kerugian
terutama dalam hal penetapan bunga, eksekusi jaminan dan cara
penagihan.
6) Asas iktikad baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik. ”Asas iktikad merupakan asas bahwa
para pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan
baik dari para pihak.11

8
Salim HS, Hukum Kontrak.... op. cit., hlm 14.
9
Wawancara dengan OJK, Yogyakarta, 8 Januari 2020.
10
Salim H.S, Hukum Kontrak.... loc. cit.

11
Ibid., hlm 10.
8

Iktikad baik dalam kontrak dibedakan antara iktikad baik prakontrak


(precontractual good faith) dan iktikad baik pelaksanaan kontrak (good faith
on contract performance). Kedua macam iktikad baik tersebut memiliki
makna yang berbeda.12
Pada fase prakontrak, kreditor tidak mengedepankan nilai-nilai
kejujuran. Seharusnya rentenir kalau mau jujur melihat kondisi ekonomi
debitor tidak mampu untuk membayar hutang dengan bunga sebesar yang
ditetapkan oleh rentenir, tetapi karena ada tujuan lain yaitu ingin memiliki
barang jaminan debitor maka pinjaman tetap diberikan.
Pada fase pelaksanaan kontrak, ada hak dan kewajiban yang tidak
seimbang antara debitor dengan kreditor. Rentenir sebagi kreditor
melakukan perbuatan yang tidak rasional dan tidak patut, dimana penagihan
dilakukan dengan cara kekerasan dan ketika terjadi wanprestasi tidak
melakukan penyelesaian melalui jalur hukum tetapi dengan menyebarkan
info kepada masyarakat umum tentang hutang debitor.

2. Perlindungan hukum bagi debitor dalam perjanjian pinjam meminjam


uang dengan rentenir sebagai kreditor.
a. Perlindungan hukum preventif.
Perlindungan hukum preventif terletak pada iktikad baik para pihak
dalam fase prakontrak. Hoge Raad menyatakan bahwa para pihak yang
bernegosiasi masing-masing memiliki kewajiban iktikad baik, yakni
kewajiban untuk meneliti (onderzoekplicht) dan kewajiban untuk
memberitahukan atau menjelaskan (medelingsplicht).13 Penjelasannya
sebagai berikut :
1) Iktikad baik kewajiban untuk meneliti (onderzoekplicht).
Hal ini dapat dilakukan oleh debitor dengan cara mempelajari
dengan teliti material perjanjian yang ditawarkan oleh rentenir. Hal ini
sebagai wujud iktikad baik dari debitor berdasarkan prinsip kehati-
hatian sehingga benar-banar paham tentang apa yang tertulis dalam
perjanjian pinjam meminjam uang tersebut. Adapun ketentuan dalam
perjanjian yang harus di teliti antara lain :
a) Berapa besaran bunga yang ditetapkan?

12
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia.... op. cit, hlm 91.
13
Ibid., hlm 150.
9

Ketentuan bunga yang ditetapkan oleh rentenir apa


sudah mengacu BI rate dan apa sanggup dipenuhi oleh debitor
dalam pembayaran angsuran.
b) Bagaimana ketentuan eksekusi barang jaminan?
Berdasarkan UU No 4 tahun 1996 tentang Hak
tanggungan, eksekusi barang jaminan dapat dilakukan melalui
3 cara yaitu eksekusi melalui keputusan pengadilan, atas
kekuasaan sendiri dan penjualan di bawah tangan. Dari 3 cara
tersebut semuanya bertujuan untuk pelunasan hutang bukan
langsung untuk dimiliki oleh kreditor.
c) Bagaiman formula perhitungan angsuran?
Menurut bapak Iwan Kurniawan, bagian EPK (Edukasi
dan Perlindungan Konsumen) OJK Yogyakarta bahwa sesuai
ketentuan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)
dari Ikatan Akuntan Indonesia pembayaran angsuran kredit
harus terdiri dari pokok dan bunga, sehingga dalam setiap
angsurannya akan mengurangi hutang pokoknya. 14
2) Iktikad baik kewajiban untuk memberitahukan atau
menjelaskan (medelingsplicht).
Perlindungan hukum preventif bagi debitor juga dapat
dilakukan oleh kreditor. Pihak kreditor harus memiliki iktikad baik
prakontrak untuk menjelaskan isi kontrak secara menyeluruh. Hal ini
sebagai wujud rentenir sebagai kreditor telah menerapkan prinsip
kehati-hatian. Iktikad baik prakontrak atas dasar prinsip kehati-hatian
dalam berkontrak memiliki implikasi bagi pihak pelaku usaha adalah
duty to disclose yaitu kewajiban untuk menjelaskan secara rinci
mengenai objek perjanjian termasuk dengan akibat hukum yang
timbul dari perjanjian tersebut. Hal ini perlu dilakukan terkait dengan
hak debitor selaku konsumen pada fase prakontrak .

b. Perlindungan hukum represif.


Perlindungan hukum secara represif bagi debitor ini dikaji melalui 3
lembaga negara yaitu Kepolisian R.I, OJK dan Pengadilan Tinggi. Adapun
pembahasannya adalah sebagai berikut :
1) Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
14
Wawancara dengan OJK, Yogyakarta, 8 Januari 2020.
10

Penelitian dilakukan dengan wawancara kepada Bripka Ari


Winarto, S.H., M.H Anggota Unit Pidsus Sat Reskrim Polres Gunung
Kidul yang didampingi beberapa anggota Unit Pidsus lainnya. 15
Saat ini belum ada ketentuan hukum yang mengatur secara
tegas tentang keberadaan rentenir. KUHP maupun UU Perbankan
tidak melarang kegiatan rentenir. Namun, perbuatan rentenir dapat
dijerat dengan hukum ketika telah terjadi tindak pidana seperti
penganiayaan, penghinaan, pengancaman, perampasan, perbuatan
tidak menyenangkan, pengrusakan dan lain sebagainya. Debitor
dapat melaporkan kepada kepolisian terdekat jika rentenir telah
melakukan tindak pidana dalam penagihan.
2) OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
Pengusaha atau enterpreneur adalah seseorang yang
mengambil risiko yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan
mengelola suatu bisnis dan menerima imbalan jasa berupa profit
nonfinancial. (Skinner, 1992) 16. Menurut bapak Iwan Kurniawan,
bagian EPK (Edukasi dan Perlindungan Konsumen) OJK Yogyakarta,
untuk menjerat rentenir harus menempatkan rentenir sebagai
pengusaha sehingga di dasari oleh ketentuan usahanya, antara
lain :17
a) UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar
perusahaan.
Menurut UU ini setiap perusahaan wajib mendaftarkan
usahanya, dan rentenir sebagai pengusaha dipastikan tidak
mendaftarkan usahanya. Ketentuan pidana dalam Pasal 32
ayat 1 menyebutkan barang siapa yang menurut UU ini dan
atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan
perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan
sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi
kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggitingginya
Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Sementara ayat 2

15
Wawancara dengan Polres Gunung Kidul, Wonosari, 13 Januari 2020.
16
Eddy Soeryanto Soegoto, Enterpreneurship Menjadi Pengusaha Ulung (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2009), hlm 4.
17
Wawancara dengan OJK.... loc.cit.
11

menyatakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) pasal ini merupakan kejahatan.
b) UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
UU ini menjelaskan bahwa menjalankan usaha dalam
bidang meminjamkan uang di masyarakat harus ada ijinnya
dan berbentuk badan hukum PT atau koperasi. Setiap
kegiatan lembaga keuanga mikro seperti meminjamkan uang
di masyarakat harus berbadan hukum dan mempunyai ijin dari
pemerintah. Sementara rentenir telah menjalankan kegiatan
lembaga keuangan mikro berupa meminjamkan uang di
masyarakat tanpa ada ijin dari pemerintah, sehingga
berdasarkan pasal 34 dapat dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Bapak Iwan Kurniawan menambahkan bahwa kegiatan
rentenir yang meminjam-minjamkan uang sebenarnya sudah
melanggar peraturan perUUan, sehingga tidak perlu
menunggu terjadinya tindak pidana.
3) Pengadilan Tinggi Propinsi Yogyakarta
Penelitian dilakukan dengan wawancara kepada Bapak
Charles Ndaumanu, S.H., M.H yang menjabat sebagai Hakim Tinggi
di Pengadilan Tinggi Propinsi Yogyakarta. 18 Ada beberapa cara untuk
melawan rentenir, diantaranya:
a) Pidana.
(1) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Selama ini banyak orang menganggap rentenir
tidak dapat dipidana alasannya UU Perbankan belum
mengaturnya. Pasal 46 ayat 1 berbunyi :
“Barang siapa menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha
dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
18
Wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Yogyakarta, 23 Januari 2020.
12

dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara


sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).”

Anggapan tersebut salah karena sesungguhnya


rentenir juga telah menghimpun dana dari masyarakat
melalui penarikan bunga yang akan diedarkan kembali
ke masyarakat melalui pinjaman. Kalimat “menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan” harus
ditafsirkan sebagai perbuatan mengambil uang dari
masyarakat, bukan hanya sebagai perbuatan
menyimpan dana oleh masyarakat seperti tabungan
atau deposito.
(2) UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
Pasal 34 ayat 1 menjelaskan ketentuan pidana sebagai
berikut :
“Setiap orang yang menjalankan usaha LKM
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
UU ini lebih jelas dan tegas melarang kegiatan
usaha dalam bidang keuangan tanpa ijin dari
pemerintah. Rentenir yang bergerak dalam bidang
peminjaman uang kepada masayarakat merupakan
salah satu bidang dari Lembaga Keuangan Mikro yang
dalam pelaksanaannya harus seijin pemerintah dan
harus berbentuk badan hukum.
b) Perdata
13

Perlindungan terhadap debitor dilakukan dengan cara


mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke
Pengadilan Negeri dengan tuntutan pembatalan perjanjian
pinjam meminjam uang, pengurangan bunga, pembatalan akta
peralihan hak, dan ganti rugi. Pasal 2 woeker ordonantie
1938 :
“Bila kewajiban di antara para pihak dari suatu
perjanjian sejak awalnya terdapat suatu perbedaan nilai,
sehingga menurut keadaannya, ketidakseimbangan kewajiban
adalah keterlaluan/berlebihan, maka hakim, atas permohonan
dari pihak yang dirugikan atau karena jabatan, dapat
meringankan secara wajar kewajiban pihak tersebut atau
menyatakan batalnya perjanjian, kecuali bila dapat diterima
bahwa pihak yang dirugikan sepenuhnya sadar/mengerti
akibat dari perjanjian yang dibuatnya dan tidak bertindak
secara gegabah (rashness), kekurangan pengalaman atau
dalam keadaan darurat”.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut UU.
Pada Pasal 1365 BW menyatakan onrechmatig adalah bahwa
tiap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan orang lain
menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah karena
menyebabkan kerugian itu harus mengganti kerugian
tersebut.19
Menurut Rosa Agustina, dalam menentukan suatu
perbuatan dapat dikualifikasikan melawan hukum diperlukan
syarat sebagai berikut:20
(1) Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku.
(2) Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
(3) Bertentangan dengan kesusilaan; dan
(4) Bertentangan dengan kepatutan dan kehati-
hatian.

19
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm 119.
20
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pasca Sarjana UI, 2007), hlm 117
14

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat


disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh rentenir yaitu :
(1) Kreditor sebagai pengusaha dalam bidang
keuangan tidak memenuhi kewajibannya untuk
melengkapi izin usaha sesuai ketentuan perUUan.
(2) Perbuatan kreditor dalam menarik barang
jaminan ketika terjadi wanprestasi tidak sesuai ketentuan
perUUan sehingga melanggar hak subjektif debitor
sebagai pemilik barang jaminan. Barang jaminan diambil
begitu saja tanpa melalui putusan pengadilan walaupun
debitor menyatakan keberatan.
(3) Cara penagihan yang dilakukan oleh kreditor
bertentangan dengan kesusilaan karena menyebarkan
ke masyarakat sekitar dan lingkungan kerja debitor yang
bertujuan untuk mempermalukan debitor.
(4) Penetapan bunga oleh kreditor yang terlampau
tinggi yaitu 10% per bulan atau 1% per hari sangat tidak
patut dalam sebuah perjanjian pinjam meminjam uang.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Kekuatan hukum perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor dengan
rentenir sebagai kreditor tidak dapat mengikat para pihak. Akibatnya perjanjian
tersebut tidak dapat berlaku seperti UU bagi para pihak pembuatnya. Hal ini
disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat dan asas perjanjian
2. Perlindungan hukum bagi debitor dalam perjanjian pinjam meminjam uang
dengan rentenir sebagai kreditor dapat dilakukan baik secara preventif maupun
secara represif.
15

DAFTAR PUSTAKA

Siku, Abdul Salam. Perlindungan Hak Asasi Saksi dan Korban Dalam Proses Peradilan
Pidana, Makassar: Indonesia Prime, 2016.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2012.
Z, Wangsawidjaja. Pembiayaan Syariah, Jakarta: Kompas Gramedia, 2012.
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Khairandy, Ridwan. Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Kahirandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan,
Yogyakarta: FH UII Press, 2013.
Khairandy, Ridwan. Kebebasan Berkontrak dan Pacta Sunt Servanda Versus Iktikad Baik,
Yogyakarta: FH UII Press, 2015.
Marilang. Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Makassar : Indonesia
Prime, 2017.
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995.
Soegoto, Eddy Soeryanto. Enterpreneurship Menjadi Pengusaha Ulung, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2009.
Suadi, Amran. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jakarta: Prenadamedia Group,
2018.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana UI, 2007.

Anda mungkin juga menyukai