Anda di halaman 1dari 25

PANDUAN

PENYAKIT MENULAR

I. DEFINISI
A. Infeksi adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme) yang
disertai adanaya respon imun dan gejala klinik
B. Penyakit Menular adalah penyakit (infeksi) tertentu yang dapat berpindah dari satu
orang ke orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung
C. Transmisi (Cara Penularan) adalah mekanisme transport agen infeksi dari reservoir
ke penderita yang suseptibel dengan cara : Kontak (langsung dan tidak langsung), Droplet,
Airborne, melalui vehikulum (makanan, air/minuman, dan darah), serta melalui vektor
(biasanya serangga dan binatang pengerat)
D. Agen Infeksi (Infectious Agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
infeksi. Pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasite.
E. Reservoir adalah tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembangbiak
dan siap ditularkan ke manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan organik
lainnya.
F. Pejamu (Host) Yang Suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh
yang cukup untuk melawan agen infeksi dan untuk mencegah terjadinya infeksi atau penyakit.
G. Status Imun Yang Rendah/Terganggu (Immunocompromise) adalah penderita
dengan penyakit kronik, penderita keganasan dan konsumsi obat-obatan immunosupresan

II. RUANG LINGKUP


A. Lingkup Area
1. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan yang terdiri dari :
a. Staf Medis
b. Staf Perawat
c. Staf Bidan
d. Staf Umum
2. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan Panduan Penyakit Menular antara lain :
a. Instalasi Gawat Darurat
b. Instalasi Rawat Jalan
c. Instalasi Gigi Dan Mulut
d. Instalasi Rehabilitasi Medik
e. Instalasi Intensive Care Unit (ICU)
f. Instalasi Intensive Cardiology Care Unit (ICCU)
g. Instalasi Laboratorium
h. Instalasi Radiology
i. Instalasi Bedah Sentral

1
j. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
1) Ruang Perawatan VVIP
2) Ruang Perawatan VIP
3) Ruang Perawatan Mawar
4) Ruang Perawatan Melati
5) Ruang Perawatan Sakura
6) Ruang PONEK

B. Kewajiban Dan Tanggung Jawab


1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Penyakit Menular
2. Perawat yang bertugas (perawat penanggung jawab pasien) bertanggung jawab melakukan
Panduan Penyakit Menular
3. Kepala Instalasi/Kepala Ruangan :
a. Memastikan seluruh staf di Instalasi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hadrianus Sinaga
memahami Panduan Penyakit Menular
b. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Penyakit Menular
4. Manajer :
a. Memantau dan memastikan Panduan Penyakit Menular dikelola dengan baik oleh
Kepala Instalasi Rumah Sakit Umum Daerah . Hadrianus Sinaga
b. Menjaga standarisasi dalam menerapkan Panduan Penyakit Menular di Rumah Sakit
Umum Daerah. Hadrianus Sinaga

III. TATALAKSANA
A. INFLUENZA
1. INFLUENZA MUSIMAN
Influenza adalah penyakit virus akut yang menyerang saluran pernapasan dan ditandai
adanya demam, sakit kepala, mialgia, coryza, lesu dan batuk.
a. Penyebab
Virus influenza terdiri dari tipe A, B dan C. Tipe A terdiri dari banyak subtipe terkait
dengan potensi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) atau epidemi/pandemi. Ada sub-
tipe yang menyerang unggas dan mamalia. Bila terjadi percampuran antara 2 subtipe,
dapat terjadi subtipe baru yang sangat virulen dan mudah menular serta berpotensi
menyebabkan pandemi.

b. Epidemiologi
Influenza dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama pada musim penghujan
di wilayah dua musim dan pada musim dingin di wilayah empat musim. Biasa terjadi
epidemi tahunan berulang oleh virus yang mengalami “antigenic drift”, namun dapat
juga terjadi pandemi global akibat virus yang mengalami “antigenic shift”.

2
c. Cara Penularan
Melalui udara atau kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi.

d. Masa Inkubasi
Biasanya 1–3 hari.

e. Gejala Klinis
Gejala influenza yang umum adalah demam, nyeri otot dan malaise. Biasanya in-
fluenza akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.

f. Masa Penularan
Mungkin dapat berlangsung selama 3-5 hari sejak timbulnya gejala klinis. Pada anak
muda bisa sampai 7 hari.

g. Kerentanan dan Kekebalan


Infeksi dan vaksinasi menimbulkan kekebalan terhadap virus spesifik. Lamanya anti-
bodi bertahan paska infeksi dan luasnya spektrum kekebalan tergantung pada tingkat pe-
rubahan antigen dan banyaknya infeksi sebelumnya.

h. Cara Pencegahan
1) Menjaga kebersihan perorangan, terutama melalui pencegahan penularan melalui
batuk, bersin dan kontak tidak langsung melalui tangan dan selaput lendir saluran
pernapasan.
2) Vaksinasi menggunakan virus inaktif dapat memberikan 70-80% perlindungan pada
orang dewasa muda apabila antigen dalam vaksin sama atau mirip dengan strain
virus yang sedang musim. Pada orang usia lanjut vaksinasi dapat mengurangi berat-
nya penyakit, kejadian komplikasi dan kematian.
3) Obat anti virus (penghambat neuraminidase seperti Oseltamivir dan penghambat M2
channel Rimantadin, Amantadin) dapat dipertimbangkan terutama pada mereka yang
beresiko mengalami komplikasi (orang tua, orang dengan penyakit menahun jantung
atau paru). Akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya resistensi terhadap Amantadin dan
Rimantadin yang semakin meningkat.
4) Isolasi umumnya tidak dilakukan karena tidak praktis. Pada saat epidemi, isolasi
perlu dilakukan terhadap pasien dengan cara menempatkan mereka secara kohort.

2. INFLUENZA A (H5N1) ATAU FLU BURUNG


Flu burung termasuk salah satu penyakit yang dikhawatirkan dapat menyebabkan pan-
demi. Fakta mengenai flu burung penting untuk diketahui guna mencegah penyakit menu-
lar lain yang mungkin akan muncul (Emerging Infectious Diseases).
a. Penyebab
Flu burung (Avian Influenza) merupakan penyakit menular yang disebabkan virus In-

3
fluenza tipe A. Flu burung dapat terjadi secara alami pada semua burung, terutama bu-
rung air liar. Burung membawa virus kemudian menyebarkannya melalui saliva, sekresi
hidung serta faeses, dan menular bila kontak dengan burung yang lain serta menim-
bulkan gejala dalam waktu 3-7 hari. Walaupun burung yang terinfeksi mungkin tidak
sampai sakit, sekretnya akan tetap infeksius setidaknya selama sepuluh hari dan dapat
mengeluarkan virus dalam jumlah yang besar.

b. Epidemiologi
Flu burung pada manusia sampai saat ini telah dilaporkan di banyak negara, terutama
di Asia dengan resiko menular pada manusia adalah pada daerah interaksi tinggi antara
populasi hewan (khususnya unggas) dengan manusia (animal-human interface). Saat ini
flu burung dianggap sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pandemi influenza
dengan angka kematian tinggi antara 50-80%. Tidak ada potensi penularan virus H5N1
dari manusia ke manusia, meskipun belum terbukti.

c. Kelompok Usia yang Beresiko


Sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang sebelumnya se-
hat. Tabel dibawah ini memperlihatkan distribusi usia kematian akibat Flu Burung
di Indonesia pada akhir Agustus 2006.
Tabel 2-1. Persentase Kematian akibat Flu Burung di Indonesia Menurut Umur
USIA DALAM TAHUN JUMLAH KEMATIAN/JUMLAH ORANG YANG TERINFEKSI
0-10 12/18 (65%)
11-20 13/16 (81%)
21-30 9/13 (69%)
31-40 12/12 (100%)
41-60 1/3 (33%)

d. Mengapa Virus H5N1 Perlu Mendapat Perhatian Khusus


Dari 15 subtipe virus Flu Burung, virus H5N1 menjadi perhatian secara khusus, den-
gan alasan sebagai berikut :
1) Sejak tahun 2003, H5N1 menyebar luas di Asia pada populasi unggas dan pada tahun
2005 bergerak ke Eropa. Selain itu terjadi perluasan host (pejamu) dari burung
ke mamalia.
2) Resiko manusia terpajan dan terinfeksi H5N1 tinggi karena unggas di pedesaan Asia
diternakkan dekat wilayah pemukiman dan dibiarkan berkeliaran secara bebas.
3) Virus ini telah menyebabkan penyakit yang parah pada manusia dengan angka kema-
tian dilaporkan mencapai sekitar 50%.
4) Fakta terpenting bahwa H5N1 dapat bermutasi secara cepat dan berkemampuan
memperoleh gen dari virus yang menginfeksi spesies hewan lain.
5) Virus H5N1 dapat bermutasi dengan “antigenic drift” yaitu bila dua strain influenza
yang berbeda berkombinasi dan membentuk suatu subtipe atau kombinasi dari dua
virus awalnya. Mutasi semacam ini dimungkinkan, karena virus ini menyerang

4
banyak spesies (misalnya burung, babi atau manusia). Cara lain dimana virus in-
fluenza dapat berubah adalah melalui “antigenic shift” yang terjadi sepanjang waktu
pada saat virus berupaya menghindari sistem imun organisme pejamu (host)
6) Virus H5N1 merupakan salah satu subtipe yang sudah berpindah dan menciptakan
kesempatan untuk perpaduan genetik strain H5N1 burung dengan gen strain manusia
(H1 atau H3), sehingga meningkatkan kemungkinan suatu strain baru akan mucul
saat ini di Asia.
7) Manusia atau babi dapat menjadi perantara pencampuran virus influenza A yang
diperoleh dari burung dengan virus influenza manusia (virus flu manusia).

e. Cara Penularan ke Manusia


Sampai saat ini kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi atau benda yang
terkontaminasi oleh faeses burung dianggap sebagai jalur utama penularan flu burung
terhadap manusia.

f. Masa Inkubasi
Masa inkubasi virus influenza A (H5N1) 3 hari, berkisar 2-8 hari.

g. Gejala-gejala pada Manusia


1) Demam tinggi lebih dari 38ºC
2) Batuk, pilek
3) Nyeri tenggorokan, nyeri otot, nyeri kepala
4) Gejala yang sangat khas adalah infeksi pernapasan akut (pneumonia) pada dewasa
atau anak yang sehat. Kondisi ini dengan cepat melaju ke Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) yang ditandai dengan napas pendek yang parah, cepat dan edema
paru, dan seringkali disertai tekanan darah rendah atau syok.
5) Gejala tambahan yang mungkin ditemukan : Infeksi selaput mata, diare, fatigue/lelah
6) Catatan :Bila menemukan kasus demam lebih dari 38ºC ditambah satu atau lebih dari
gejala dan tanda diatas patut dicurigai sebagai kasus flu burung; terutama bila dalam
anamnesa diperoleh keterangan salah satu atau lebih di bawah ini :
a) Dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala, pernah kontak dengan penderita In-
fluenza A/H5 yang telah dikonfirmasi.
b) Dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala, pernah kontak dengan unggas, termasuk
ayam yang mati karena penyakit.
c) Dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala, pernah bekerja memproses sampel dari
orang atau hewan yang diduga mengalami infeksi virus flu burung patogen tinggi
(HPAI).
d) Tinggal di wilayah/dekat dengan kasus HPAI yang dicurigai atau telah dikonfir-
masi.

h. Pencegahan

5
1) Menghindari kontak dengan burung atau benda yang terinfeksi/terkontaminasi
2) Menghindari peternakan unggas
3) Hati-hati ketika menangani unggas
4) Memasak unggas dengan baik (60º selama 30 menit atau 80º selama 1 menit)
5) Menerapkan tindakan untuk menjaga kebersihan tangan : Setelah memegang unggas
dan daging unggas, sebelum memasak dan sebelum makan

i. Pengobatan Anti Virus untuk Influenza


Obat anti virus bekerja menghambat replikasi virus sehingga dapat mengurangi ge-
jala dan komplikasi orang yang terinfeksi. Empat obat anti virus influenza yang berbeda
-Amantadine, Rimantadine, Oseltamivir dan Zanamivir - telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk pengobatan influenza, meskipun be-
berapa virus H5N1 yang diisolasi dari unggas dan manusia pada tahun 2004 di Asia,
memperlihatkan virus telah resisten terhadap Amantadine dan Rimantadine.
Saat ini, obat-obat inhibitor neuraminidase seperti Oseltamivir dan Zanamivir yang
dapat mengurangi berat dan lamanya penyakit influenza virus manusia diharapkan dapat
bermanfaat dalam melawan infeksi H5N1.
Menurut CDC dan WHO, saat ini yang sedang dikembangkan vaksin H5N1 untuk
manusia dan sedang dalam pengujian oleh National Institutes of Health (NIH).

j. Penularan di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan


1) Melalui cairan tubuh (terutama dari pernapasan) pasien yang sudah didiagnosis
menderita flu burung atau masih suspek maupun probabel.
2) Semua tenaga kesehatan, laboratorium, radiologi, petugas kebersihan atau pasien lain
dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan beresiko terpajan flu burung.

k. Penatalaksanaan
1) Identifikasi dan isolasi pasien
Semua pasien yang datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Tarutung dengan de-
mam dan gejala infeksi pernapasan harus ditangani sesuai dengan tindakan hygiene
saluran pernapasan.
Pasien dengan riwayat perjalanan ke daerah yang terjangkit flu burung dalam
waktu 10 hari terakhir, dirawat inap dengan infeksi pernapasan berat atau berada
dalam pengamatan untuk flu burung, harus ditangani dengan menggunakan Kewas-
padaan Standar dan Kewaspadaan Penularan lewat kontak, droplet dan udara yang
harus dilakukan selama 7 hari setelah turunnya demam pada orang dewasa atau 21
hari sejak onset penyakit pada anak-anak di bawah 12 tahun, sampai diagnosis alter-
natif ditegakkan atau hasil uji diagnostik menunjukkan bahwa pasien tidak terinfeksi
oleh virus influenza A.

2) Langkah penting pencegahan dan pengendalian infeksi

6
Pencegahan dan pengendalian penyebaran flu burung di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan akan bergantung pada:
a) Penempatan pasien di kamar terpisah yang bertekanan negatif atau ruang dengan
pintu tertutup, jendela dibuka dan memasang exhaust fan
b) Pengawasan terhadap implementasi Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan
Penularan lewat udara, droplet dan kontak
c) Ketersediaan serta pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang benar, termasuk
masker efisiensi tinggi, respirator khusus serta ketersediaan alat dan bahan penting
lainnya.
d) Perencanaan ke depan dan menyeluruh untuk menjamin rumah sakit siap menan-
gani dan mencegah timbulnya rasa takut berlebihan (histeria) bila ada kasus
potensial flu burung. Sebelum ada kasus flu burung yang terdiagnosa atau dicuri-
gai, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan harus :
 Menunjuk juru bicara rumah sakit yang memiliki kewenangan yang di-
akui dan dipercayai oleh masyarakat maupun petugas rumah sakit.
 Menyusun langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas pelayanan,
memperoleh bahan, obat-obatan dan peralatan tambahan yang mungkin diper-
lukan, seperti respirator dan ventilator.

B. HIV-AIDS
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh penurunan kekebalan
tubuh akibat terserang virus Human Immunodeficiency Virus (HIV).
1. Penyebab
Human Immunodeficiency Virus, sejenis retrovirus yang terdiri atas 2 tipe : Tipe 1
(HIV-1) dan Tipe 2 (HIV-2).

2. Cara Penularan
a. HIV menular dari orang ke orang melalui kontak seksual yang tidak dilindungi, baik
homo maupun heteroseksual
b. Pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi
c. Kontak kulit yang lecet dengan bahan infeksius
d. Transfusi darah atau komponennya yang terinfeksi, serta transplantasi organ dan
jaringan.
e. Ibu dengan HIV (+) menginfeksi sekitar 15-35% bayi melalui plasenta dan hampir 50%
melalui kegiatan menyusui.
f. Penularan juga dapat terjadi pada petugas kesehatan yang tertusuk jarum suntik yang
mengandung darah yang terinfeksi.

3. Masa Inkubasi
Bervariasi tergantung usia dan pengobatan antivirus. Waktu antara terinfeksi dan terde-

7
teksinya antibodi sekitar 1-3 bulan, namun untuk terjadinya AIDS sekitar kurang dari se-
tahun hingga lebih dari 15 tahun. Tanpa pengobatan efektif, 50% orang dewasa yang terin-
feksi akan menjadi AIDS dalam waktu 10 tahun.

4. Gejala Klinis
Biasanya tidak ada gejala klinis yang khusus dalam waktu 5-10 tahun. Setelah terjadi
penurunan sel CD4 secara bermakna, baru AIDS mulai berkembang dan menunjukkan ge-
jala-gejala seperti:
a. Penurunan berat badan secara drastis
b. Diare yang berkelanjutan
c. Pembesaran kelenjar leher dan atau ketiak
d. Batuk terus menerus
Gejala klinis lainnya tergantung pada stadium klinis dan jenis infeksi oportunistik yang
terjadi.

5. Pengobatan
Pemberian antivirus Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART) dengan 3 obat
atau lebih dapat meningkatkan prognosis dan harapan hidup pasien HIV, terbukti angka ke-
matian di negara maju menurun 80% sejak digunakannya kombinasi obat antivirus.

6. Masa Penularan
Tidak diketahui pasti, diperkirakan mulai sejak segera setelah terinfeksi dan berlang-
sung seumur hidup.

7. Kerentanan dan Kekebalan


Diduga semua orang rentan dan makin meningkat pada penderita Penyakit Menular
Seksual (PMS) dan pria yang tidak dikhitan.

8. Cara Pencegahan
Menghindari perilaku resiko tinggi, seperti seks bebas tanpa perlindungan, menghindari
penggunaan alat suntik bergantian, melakukan praktik transfusi dan donor organ yang
aman serta praktik medis dan prosedur laboratorium yang memenuhi standar.

9. Profilaksis Paska Pajanan


a. Kemungkinan seorang individu tertular setelah terjadi pajanan, tergantung pada sifat
dan kemungkinan sumber pajanan telah terinfeksi. Luka tusukan jarum dari pasien yang
terinfeksi membawa resiko rata-rata penularan 3/1000; dan resiko meningkat bila luka
cukup dalam, tampak darah dalam jarum dan bila jarum suntik ditempatkan di arteri
atau vena. Pajanan mukokutan menimbulkan resiko 1/10.000. Cairan tubuh lain yang
beresiko menularkan adalah ludah, cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan perikar-
dial, cairan synovial dan cairan genital. Faeses dan muntahan tidak menimbulkan resiko
penularan.

8
b. Penggunaan obat ARV untuk mengurangi resiko penularan HIV terhadap petugas kese-
hatan setelah pajanan di tempat kerja telah banyak dipraktekkan secara luas. Studi ka-
sus-kelola menyatakan bahwa pemberian ARV segera setelah pajanan perkutan menu-
runkan resiko infeksi HIV sebesar 80%. Efektifitas optimal PPP apabila diberikan
dalam 1 jam setelah pajanan. Sampel darah perlu segera diambil dan disimpan untuk pe-
meriksaan dikemudian hari. Obat profilaksis sebaiknya diberikan selama 28 hari, diikuti
pemeriksaan antibodi pada bulan ke-3 dan ke-6. Petugas yang terpajan perlu dimonitor
dan ditindak lanjut oleh dokter yang berpengalaman dalam perawatan HIV dan perlu
mendapat dukungan psikologis.

C. ANTRAKS
Antraks adalah penyakit bakteri akut yang biasanya mengenai kulit, saluran pernafasan
maupun saluran pencernaan.
1. Epidemiologi
Penyakit antraks pada manusia terdapat diseluruh dunia. Umumnya terjadi di daerah
pertanian dan industri. Mereka yang beresiko terkena antraks adalah: orang yang kontak
dengan hewan yang sakit, digigit serangga yang tercemar antraks (sejenis lalat Afrika),
orang yang mengkonsumsi daging hewan yang terinfeksi, serta mereka yang terkontami-
nasi kulit, bulu, dan tulang hewan yang mengandung spora antraks.

2. Penyebab
Bacillus anthracis, bakteri gram positif berbentuk batang dan berspora.

3. Cara Penularan
Infeksi antraks kulit terjadi melalui kontak dengan jaringan, bulu hewan yang sakit dan
mati, atau tanah yang terkontaminasi. Infeksi antraks paru melalui inhalasi spora dan
antraks saluran pencernaan melalui mengkonsumsi daging tercemar yang tidak dimasak
dengan baik. Jarang terjadi penularan dari orang ke orang.

4. Masa Inkubasi
Antara 1–7 hari, bisa sampai 60 hari.

5. Gejala Klinis
Gejala klinis antraks sangat tergantung pada patogenesis dan organ yang terinfeksi,
apakah kulit, paru, saluran pencernaan maupun meningitis. Yang terbanyak ditemukan di
Indonesia adalah antraks kulit.
a. Gejala antraks kulit : 3-5 hari setelah endospora masuk ke dalam kulit akan timbul
makula kecil warna merah yang berkembang menjadi papel yang gatal dan tidak nyeri.
Kemudian dalam 1-2 hari terjadi vesikel, ulkus dan ulserasi yang dapat sembuh spontan
dalam 2-3 minggu. Dengan terapi antibiotik, mortalitas antraks kulit kurang dari 1%.

9
b. Gejala antraks saluran pencernaan
1) Bentuk intestinal : Berupa mual, demam, nafsu makan menurun, abdomen akut, he-
matemesis, melena. Bila tidak segera diobati dapat mengakibatkan kematian.
2) Bentuk orofaring : Menimbulkan gejala demam, sukar menelan, limfadenopati re-
gional.

c. Gejala antraks paru


1) Tahap pertama yang ringan : berlangsung 3 hari pertama berupa flu, nyeri teng-
gorokan, demam ringan, batuk non produktif, nyeri otot, mual dan muntah, serta
tidak terdapat coryza.
2) Tahap kedua : ditandai gagal napas, stridor dan penurunan kesadaran, serta sepsis
sampai syok. Sering berakhir dengan kematian.

d. Meningitis antraks : terjadi pada 50% kasus antraks paru.

6. Masa Penularan
Tanah dan bahan lain yang tercemar spora dapat infeksius sampai puluhan tahun.

7. Kerentanan dan Kekebalan


Masih dipertanyakan apakah terjadi kekebalan setelah terinfeksi. Infeksi kedua mungkin
terjadi tetapi tidak manifestasi.

8. Cara Pencegahan
a. Pencegahan antraks pada manusia berupa upaya pencegahan umum, seperti kebersihan
tangan, memasak daging dengan semestinya, serta tindakan khusus berupa vaksinasi
dan pemberian antibiotik.
b. Vaksinasi hanya diberikan kepada kelompok resiko tinggi. Lamanya efektifitas vaksin
juga belum diketahui pasti.
c. Profilaksis paska pajanan dilakukan dengan pemberian antibiotik selama 60 hari tanpa
vaksin, atau selama 30 hari ditambah 3 dosis vaksin, yang dapat dimulai sampai 24 jam
paska pajanan.
d. Pemberian antibiotik jangka panjang diperlukan untuk mengatasi spora yang dapat
menetap lama di jaringan paru dan kelenjar getah bening. Antibiotik yang dipakai
adalah Siprofloksasin 500 mg dua kali sehari, atau Doksisiklin 100 mg dua kali sehari.
e. Resiko penularan antara manusia walaupun tidak serius namun tetap diperlukan Kewas-
padaan Standar, terutama terhadap penyebaran lewat inhalasi:
1) Peralatan bedah harus segara disterilkan setelah digunakan.
2) Petugas kesehatan dianjurkan memakai pakaian pelindung dan sarung tangan bedah,
dan segera mandi menggunakan sabun dan air mengalir yang cukup banyak.
3) Petugas tidak perlu diberikan vaksinasi dan profilaksis antibiotik.
4) Pakaian pelindung dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat rapat.
5) Jenasah pasien antraks dibungkus dengan kantong plastik, dimasukkan dalam peti

10
mati yang ditutup rapat dan disegel. Bila memungkinkan sebaiknya dibakar.
6) Tempat tidur dan bahan yang terkontaminasi harus dibungkus dan dibakar, atau di-
masukkan ke dalam autoklaf dan disterilkan pada suhu 120ºC selama 30 menit.
7) Limbah padat, limbah cair dan limbah laboratorium diperlakukan dan diolah dengan
semestinya

D. TUBERKULOSIS
1. Penyebab
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman atau Basil Tahan Asam (BTA), yakni My-
cobacterium tuberkulosis. Kuman ini cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa hari di tempat yang lembab dan gelap. Beberapa jenis
Mycobacterium lain juga dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Matipik). Hampir
semua organ tubuh dapat diserang bakteri ini, seperti kulit, kelenjar, otak, ginjal, tulang dan
yang paling sering adalah paru.

2. Epidemiologi
Penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di Indonesia
maupun di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-3 dunia dalam hal jumlah pasien TB
setelah India dan Cina. Sekitar 9 juta kasus baru terjadi setiap tahun di seluruh dunia.
Diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi TB secara laten. Sekitar 95% pasien
TB berada di negara sedang berkembang, dengan angka kematian mencapai 3 juta orang
per tahun. Di Indonesia diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru dengan angka kematian
mencapai 140.000 tiap tahun.
Sekitar 75-85% pasien TB berasal dari kelompok usia produktif. Orang yang tertular ku-
man TB belum tentu jatuh sakit terutama bila daya tahan tubuhnya kuat. Beberapa
keadaan, seperti penyakit HIV/AIDS, Diabetes, gizi kurang dan kebiasaan merokok meru-
pakan faktor resiko bagi seseorang untuk menderita sakit TB.

3. Cara Penularan
Penyakit TB paru termasuk relatif mudah menular dari orang ke orang melalui droplet
nuklei. Bila seseorang batuk, dalam sekali batuk terdapat 3000 percikan dahak (droplets)
yang mengandung kuman yang dapat menulari orang lain di sekitarnya.

4. Masa Inkubasi
Sejak masuknya kuman hingga timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberku-
losis positif memerlukan waktu antara 2-10 minggu. Resiko menjadi TB paru (breakdown)
dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer umumnya terjadi pada tahun per-
tama dan kedua. Infeksi laten bisa berlangsung seumur hidup. Pada pasien dengan imun
defisiensi seperti HIV, masa inkubasi bisa lebih pendek.

5. Masa Penularan

11
Pasien TB paru berpotensi menularkan selama penyakitnya masih aktif dan dahaknya
mengandung BTA. Pada umumnya kemampuan untuk menularkan jauh berkurang apabila
pasien telah menjalani pengobatan adekuat selama minimal 2 minggu. Sebaliknya pasien
yang tidak diobati atau diobati secara tidak adekuat, dan pasien dengan “Persistent AFB
Positive” dapat menjadi sumber penularan sampai waktu yang lama.
Tingkat penularan tergantung pada jumlah basil yang dikeluarkan, virulensi kuman, ter-
jadinya aerosolisasi waktu batuk atau bersin, serta tindakan medis yang beresiko tinggi,
seperti Intubasi, Bronkoskopi.

6. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit TB paru yang utama adalah batuk terus menerus yang disertai da-
hak selama 3 minggu atau lebih, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, badan lemah, ser-
ing demam, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan.

7. Pengobatan
Pengobatan spesifik dengan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT), dengan metode
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), pengobatan dengan regimen jangka
pendek di bawah pengawasan langsung Pengawas Minum Obat (PMO).
Untuk pasien baru TB BTA (+), WHO menganjurkan pemberian 4 macam obat (Ri-
fampisin, INH, PZA dan Etambutol) setiap hari selama 2 bulan, dan diikuti pemberian INH
dan Rifampisin 3 kali seminggu selama 4 bulan.

8. Cara Pencegahan
a. Penemuan dan pengobatan pasien merupakan salah satu cara pencegahan dengan
menghilangkan sumber penularan.
b. Imunisasi BCG sedini mungkin terhadap mereka yang belum terinfeksi akan mem-
berikan daya perlindungan yang bervariasi, tergantung karakteristik penduduk, kualitas
vaksin dan strain yang dipakai. Penelitian menunjukkan imunisasi BCG ini secara kon-
sisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya meningitis TB dan TB milier pada
anak balita.
c. Perbaikan lingkungan, status gizi dan kondisi sosial ekonomi juga merupakan bagian
dari usaha pencegahan.
d. Di negara maju dengan prevalensi TB rendah, setiap pasien TB paru BTA positif ditem-
patkan dalam ruang khusus bertekanan negatif. Setiap orang yang kontak dengan pasien
diharuskan memakai pelindung pernapasan yang dapat menyaring partikel yang beruku-
ran submikron.

E. HEPATITIS B
1. Penyebab
Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu anggota family hepad-
navirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang dapat berlanjut

12
menjadi sirosi hati atau kanker hati.

2. Epidemiologi
a. Berdasarkan Distribusi Frekuensi
1) Menurut orang
Hepatitis B dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin. Data menunjukkan
bahwa bayi yang terinfeksi VHB sebelum usia satu tahun mempunyai resiko kronisi-
tas sampai 90%, sedangkan bila terjadi pada usia antara 2-5 tahun resikonya menurun
menjadi 50%, bahkan bila terjadi infeksi pada anak di atas usia 5 tahun hanya bere-
siko 5-10% untuk terjadi kronisitas.
2) Menurut tempat
a) Daerah endemisitas tinggi 10-15% : Asia, yaitu Cina, Vietnam, Korea.
b) Daerah endemisitas sedang 2-10% : Asia Tenggara dan Afrika Sahara.
c) Daerah endemisitas rendah < 2% : Amerika Utara dan Eropa Barat.
3) Menurut waktu
Terjadinya infeksi VHB sangat tergantung dengan cara transmisi, banyak jumlah
virus, daya tahan tubuh dan lamanya individu terpapar.

b. Berdasarkan Determinan
1) Host
a) Umur
Penularan secara horizontal sering terjadi pada anak-anak melalui teman seper-
mainannya.
b) Jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terinfeksi VHB dibandingkan
dengan wanita, mungkin disebabkan perbedaan perilaku dan gaya hidup antara
pria dan wanita.
c) Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang paling beresiko tertular infeksi VHB adalah pekerjaan yang
mengharuskan untuk sering kontak dengan produk darah. Hal ini disebabkan
karena VHB dapat stabil dan bertahan lama di dalam darah yang merupakan sum-
ber penularan utama.
d) Imunitas
Infeksi VHB akut akan menimbulkan reaksi imunologik, baik humoral maupun
seluler, dalam tubuh individu tersebut. Reaksi humoral ditandai dengan timbulnya
anti HBs, anti HBc maupun anti HBe. Sedangkan reaksi seluler ditandai dengan
aktifasi sel sitotoksik yang dapat menghancurkan HBcAg atau HBsAg yang terda-
pat pada dinding sel hati.
Sistem pertahanan tubuh individu terdiri dari interferon dan respon imun. Bila ak-

13
tifitas sistem pertahanan ini baik maka akan terjadi infeksi VHB akut yang diikuti
dengan proses penyembuhan. Jika salah satu sistem pertahanan terganggu, maka
akan terjadi proses infeksi VHB kronis
e) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang mempunyai resiko terinfeksi VHB adalah penyakit dengan
kelainan kekebalan seluler, seperti : penderita uremia dengan haemodialisa, pen-
derita leukemia limfosit, pasien yang selalu memerlukan transfusi darah serta
penderita dengan terapi imunosuperif.
2) Agent
Penyebab Hepatitis B adalah virus Hepatitis B termasuk DNA virus. Virus Hepatitis
B terdiri dari 3 antigen, yaitu HBsAg, HBcAg dan HBeAg. VHB yang utuh beruku-
ran 42 nm dan berbentuk seperti bola, yang terdiri dari partikel genom (DNA)
berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.
3) Lingkungan
Lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi
perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah :
a) Lingkungan dengan sanitasi yang jelek
b) Daerah dengan angka prevalensi VHB tinggi
c) Daerah Unit Pembedahan : ginekologi, gigi, mata
d) Daerah Unit Laboratorium
e) Daerah Unit Bank Darah
f) Daerah Unit Perawatan Penyakit Dalam

3. Cara Penularan
a. Penularan Vertikal
Penularan infeksi VHB dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana dapat
terjadi pada masa sebelum, selama maupun setelah kelahiran. Penularan yang terjadi
pada masa selama kelahiran dapat terjadi melalui cara maternofetal micro infusion yang
terjadi pada waktu terjadinbya kontraksi uterus.
b. Penularan Horizontal
1) Penularan melalui kulit
a) Penularan melalui kulit yang disebabkan tusukan yang jelas : suntikan, transfusi
darah, pemberian produk yang berasal dari darah dan tato
b) Penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas : goresan, abrasi kulit, radang
kulit
2) Penularan melalui selaput lendir
Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam tubuh adalah selaput
lendir mulut, hidung, mata dan selaput lendir kelamin.

14
4. Masa Inkubasi
3-6 bulan
5. Masa Penularan
VHB akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat yang tidak memadai,
bahkan juga tahan terhadap pengeringan dan penyimpanan selama satu minggu atau lebih.

6. Gejala Klinis
a. Hepatitis B Akut
1) Masa Inkubasi
Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi sampai timbul-
nya gejala berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75 hari. Lamanya masa inkubasi
tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, dimana semakin
besar dosis virus yang ditularkan maka semakin singkat masa inkubasi.
2) Fase Prodromal
Fase ini merupakan waktu antara timbulnya keluhan pertama sampai timbulnya ge-
jala. Keluhan yang sering terjadi dapat berupa : malaise, rasa lemah, lelah, anoreksia,
mual, muntah, terjadinya perubahan pada indera perasa dan penciuman, panas yang
tidak tinggi, nyeri kepala dan otot, rasa tidak enak di abdomen, serta perubahan
warna urine menjadi cokelat, yang dapat terlihat antara 1-5 hari sebelum timbulnya
gejala, dan berlangsung selama 3-14 hari.
3) Fase Ikterus
Dengan timbulnya ikterus, keluhan prodromal secara berangsur akan berkurang,
tetapi kadang rasa malaise dan anoreksia masih terus berlangsung, serta nyeri ab-
domen kanan atas bertambah. Untuk deteksi ikterus, sebaliknya dilihat pada sklera
mata. Lama berlangsungnya ikterus berkisar antara 1-6 minggu.
4) Fase Penyembuhan
Fase penyembuhan diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan-keluhan,
walaupun rasa malaise dan cepat lelah kadang masih terus dirasakan, hepatomegali
dan rasa nyerinya juga berkurang. Fase penyembuhan lamanya berkisar antara
2-21 minggu.

b. Hepatitis B Kronis
1) Fase Imunotoleransi
Pada masa anak-anak atau pada dewasa muda, sistem imun tubuh toleren terhadap
VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi, tetapi tidak terjadi peradangan
hati yang berarti. Pada fase ini, VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg
yang sangat tinggi.
2) Fase Imunoaktif
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi terhadap VHB akibat terjadinya rep-

15
likasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari ke-
naikan konsentrasi Alanine Amino Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah
mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.

3) Fase Residual
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya
sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang be-
rarti.

7. Pengobatan
Tujuan pengobatan VHB adalah untuk mencegah radang hati (liver injury), dengan cara
menekan replikasi virus atau menghilangkan infeksi. Dalam pengobatan Hepatitis B, titik
akhir yang sering dipakai adalah hilangnya pertanda replikasi virus yang aktif secara mene-
tap.
Obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan Hepatitis antara lain obat antivirus,
dan imunomodulator. Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum virus sempat berinte-
grasi ke dalam genom penderita. Jadi pemberiannya dilakukan sedini mungkin sehingga
kemungkinan terjadi sirosis dan hepatoma dapat dikurangi. Yang termasuk obat antivirus
adalah Interferon (INF). Sedangkan obat imunomodulator berfungsi untuk menekan atau
merangsang sistem imun, misalnya : transfer faktor, immune RNA, dan imunosupresi.

8. Cara Pencegahan
a. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial adalah upaya untuk mengkondisikan masyarakat agar penyakit
tidak dapat berkembangbiak karena tidak ada dukungan dari kebiasaan, gaya hidup
maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk munculnya penyakit.

b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu
penyakit ketika seseorang sudah terpapar faktor resiko.
1) Program promosi kesehatan
Memberikan penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat pentingnya melaksanakan
program imunisasi dan kepada petugas kesehatan tentang pentingnya sterilisasi.

2) Program imunisasi
Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg)
sampai 6 bulan. Imunisasi aktif diberikan dengan vaksinasi Hepatitis B. Jika ada bayi
lahir dari ibu penderita VHB, berikan HBIg secara intra muskular selam -
bat-lambatnya 24 jam setelah persalinan, dan vaksin Hepatitis B diberikan selambat-
lambatnya 7 hari setelah persalinan.

16
c. Pencegahan Sekunder
Merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu yang sakit agar lekas sembuh den-
gan menghambat progresifitas penyakit melalui diagnosis dini dan pengobatan yang
tepat. Lakukan pemeriksaan laboratorium dengan metode ELISA yang digunakan untuk
mengetahui adanya kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Beberapa
penanda serologi infeksi VHB adalah :
1) HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen)
Merupakan protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. Jika positif HBsAG
menandakan bahwa individu terinfeksi VHB
2) Anti HBs
Merupakan antibodi terhadap HBsAg. Anti HBsAg yang positif menunjukkan bahwa
individu tersebut telah kebal terhadap infeksi VHB yang terjadi setelah suatu infeksi
VHB alami maupun melalui imunisasi Hepatitis B
3) Anti HBc
Merupakan antibodi terhadap protein core. Anti HBc dapat muncul dalam bentuk
IgM. Anti HBc sering muncul pada Hepatitis B akut, oleh karena itu positif IgM anti
HBc pada kasus Hepatitis akut dapat memperkuat diagnosis Hepatitis B akut. Namun
karena IgM anti HBc dapat juga positif pada Hepatitis kronik dengan reaktivasi,
maka IgM anti HBc tidak dapat dipakai sebagai acuan untuk membedakan Hepatitis
akut dengan Hepatitis kronik secara mutlak.
4) HBeAg
Merupakan semua protein non struktural dari VHB yang disekresikan ke dalam
darah. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya aktivasi replikasi VHB yang
tinggi dari individu HBsAg positif.
5) Anti HBe
Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada waktu infeksi VHB. Tanda positif anti
HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase non-replikatif
6) DNA VHB
Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh
dalam tubuh penderita.

d. Pencegahan Tersier
Melakukan pemeriksaan berkala untuk memastikan apakah penderita telah membaik
dan sembuh sempurna, atau menetap dan menjadi kronis, atau bahkan bertambah buruk
dan mengalami kegagalan fungsi hati.

F. MRSA (METHICILLIN RESISTANCE STAPHYLOCOCCUS AUREUS)


1. Penyebab
MRSA merupakan salah satu agen penyebab infeksi HAIs yang utama dan berada di

17
peringkat keempat sebagai agen penyebab infeksi HAIs setelah E. coli, P. aeruginosa dan
Enterococcus. MRSA adalah galur S.aureus yang resisten terhadap metisilin, antibiotik go-
longan β–laktam sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Galur MRSA dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Healthcare-Associated MRSA (HA-MRSA)
HA-MRSA didefiniskan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang
pernah dirawat di rumah sakit, atau yang menjalani tindakan operasi dalam satu tahun
terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, dan diopname di fasilitas
perawatan jangka panjang, atau pada individu yang menjalani dialisis. HA-MRSA
memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang pent-
ing.
b. Community-Acquired MRSA (CA-MRSA)
CA-MRSA merupakan galur MRSA yang sama sekali tidak berhubungan dengan in-
feksi nosokomial. Memiliki virulensi lebih tinggi dan hanya resisten terhadap an-
timikroba non β–laktam, serta secara genotip tidak membawa gen resisten tambahan se-
lain gen yang resisten terhadap metisilin. Empat kategori CA-MRSA adalah :
1) Pasien dan staf di rumah sakit dengan MRSA
2) Perawat di rumah dengan MRSA
3) Penyebaran MRSA pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit
4) MRSA yang timbul di masyarakat secara de novo

2. Epidemiologi
Bakteri MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat
di area yang densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA bi-
asanya dikaitkan dengan pasien di rumah sakit.
MRSA paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum, dimana hidung dan
bagian nares anterior merupakan bagian yang paling penting dari koloni stafilokokus dan
berpotensi sebagai sumber MRSA.

3. Patogenesis Infeksi
S. aureus merupakan organisme komensal dan sekaligus patogen. Kolonisasi S. aureus
umumnya terdapat di hidung, yang secara menetap terjadi pada 20% populasi dan tidak
menetap pada 30% populasi. Kolonisasi ini menyebabkan meningkatnya faktor resiko ter-
jadinya infeksi S. aureus pada individu pembawa tersebut dan dapat ditularkan antar indi-
vidu, baik di sistem pelayanan kesehatan maupun lingkungan.
Terjadinya infeksi bergantung kepada mekanisme pertahanan tubuh pejamu dan faktor
virulensi patogen. Umumnya, infeksi S. aureus membutuhkan penurunan fungsi pertahanan
tubuh, seperti robeknya kulit atau insersi benda asing, sumbatan pada folikel rambut atau

imunitas tubuh yang rendah. Selain itu, kemampuan S. aureus untuk menimbulkan

18
penyakit ditentukan juga oleh kemampuan menimbulkan kerusakan jaringan secara lang-
sung dan kemampuan bertumbuh serta menghindar dari imunitas inang. Faktor virulensi
yang terlibat dalam patogenesis yang mengakibatkan kerusakan jaringan meliputi surface
associated factor, enzim ekstraseluler dan toksin. Ketiga macam faktor ini terlibat dalam
perlekatan, penetrasi dan degradasi jaringan serta toksisitas.
S. aureus memiliki sekelompok protein permukaan yang disebut Microbial Surface
Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMMS). Protein A
MSCRAMMS yang merupakan komponen utama pada dinding sel S. aureus akan
berikatan dengan Fragmen Crystallizable (Fc) pada Imunoglobulin G (IgG), sehingga tidak
terjadi opsonisasi, sekaligus memiliki efek antifagositosis.
S. aureus dapat bertahan hidup dan bertumbuh dengan berbagai cara setelah terjadi per-
lekatan di sel inang maupun permukaan alat prostetik. S. aureus juga memiliki kemampuan
membuat biofilm dan membentuk Small-Variant Colony (SVC) yang menyebabkan bakteri
dapat bersembunyi di sel inang tanpa menyebabkan kerusakan sel yang signifikan, serta
menghindar dari sistem imunitas inang maupun antibiotik. Akibat adanya kedua faktor ini,
S. aureus sulit untuk dieradikasi dan dapat menyebabkan infeksi terjadi berulang.
Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin yang terkelompok sesuai den-
gan mekanisme kerjanya, antara lain eksotoksin sitolitik dan superantigen eksotoksin. Ek-
sotoksin sitolitik merupakan toksin α, β, γ dan δ yang menyerang membran sel mamalia,
termasuk sel darah merah, dengan cara merubah formasi inti dan merangsang proinflamasi
pada sel mamalia, yang akan menimbulkan kerusakan sel dan berperan dalam manifestasi
sindroma sepsis. Superantigen eksotoksin merupakan toksin yang dapat menyebabkan pro-
liferasi sel T dan pelepasan sitokin.
Staphylococcus juga menghasilkan berbagai macam enzim (seperti : protease, lipase,
dan elastase) yang bersifat merusak jaringan sehingga membantu penyebaran infeksi pada

berbagai organ.

4. Mekanisme Resisten
Mekanisme resistensi bakteri dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu : (1) organisme
memiliki gen pengkode enzim, seperti β- laktamase, yang dapat menghancurkan agen an-
tibakteri sebelum agen tersebut dapat bekerja, (2) bakteri memiliki pompa penembus yang
dapat menghambat agen antibakteri sebelum mencapai tempat perlekatan target dan mem-
berikan efeknya, serta (3) bakteri memiliki beberapa gen yang dapat mempengaruhi jalur
metabolisme, yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri
sehingga tidak lagi mengandung tempat perlekatan agen antibakteri, atau bakteri bermutasi
untuk membatasi akses dari agen antimikroba ke tempat perlekatan target intraseluler
melalui down regulation gen Porin.
S. aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi enzim β-laktamase.

19
Enzim ini akan menghilangkan daya antibakteri, terutama golongan penisilin, seperti
metisilin, oksasilin, penisilin G dan ampisilin. Adanya enzim tersebut akan merusak cincin
β-laktam sehingga antibiotik menjadi tidak aktif.
Mekanisme resistensi S. aureus terhadap metisilin dapat terjadi melalui pembentukan
Penicillin-Binding Protein (PBP) lain yang sudah dimodifikasi, yaitu PBP2a yang mengak-
ibatkan penurunan afinitas antimikroba golongan β-laktam. Suatu strain yang resisten ter-
hadap metisilin, berarti akan resisten juga terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin
dan karbapenem. Penisilin bekerja dengan berikatan pada beberapa PBP dan membunuh
bakteri dengan mengaktivasi enzim autolitiknya sendiri. Pembentukan PBP2a ini menye-
babkan afinitas penisilin menurun sehingga bakteri tidak dapat diinaktivasi.
Semua obat β-laktam merupakan inhibitor selektif terhadap sintesis dinding sel bakteri
sehingga secara aktif melawan pertumbuhan bakteri. Langkah awal kerja obat berupa
pengikatan obat ke reseptor sel (PBP). Setelah obat β-laktam melekat pada satu reseptor
atau lebih, reaksi transpeptidase dihambat dan sintesis peptidoglikan tertahan. Langkah se-
lanjutnya kemungkinan melibatkan perpindahan atau inaktivasi inhibitor enzim autolitik di
dinding sel. Ini mengaktifkan enzim litik dan menyebabkan lisis bila lingkungannya iso-
tonik. Pada lingkungan yang sangat hipertonik, mikroba berubah menjadi protoplas atau
sferoplas, dan hanya dilapisi oleh membran sel yang rapuh.
Klasifikasi β-laktamase sangat kompleks, didasarkan pada genetika, sifat biokimia, dan
afinitas substrat untuk inhibitor β-laktamase (asam klavulanat). Asam klavulanat, sulbak-
tam, dan tazobaktam adalah inhibitor β-laktamase yang mempunyai afinitas tinggi dan da-
pat mengikat β-laktamase (misal penisilinase Staphylococcus aureus) secara ireversibel
tetapi tidak dihidrolisis oleh β-laktamase.

5. Cara Penyebaran
a. Penyebaran Endogen
Terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh individu menyebar ke tempat yang lain.
Pencegahan dengan cara mengedukasi pasien untuk mencuci tangan dan jangan
menyentuh luka, kulit yang rusak maupun perangkat invasif, sehingga akan memini-
malkan resiko penyebaran organisme secara endogen.

b. Penyebaran Eksogen
Terjadi ketika organisme ditransmisikan melalui kontak langsung dengan kulit, lingkun-
gan atau peralatan yang terkontaminasi. Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat
dilakukan melalui:
1) Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien maupun peralatan
yang terkontaminasi.
2) Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
3) Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
4) Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua peralatan yang

20
telah dibersihkan.
5) Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit kulit jika diperlukan.

6. Gejala Klinis
Gejala MRSA bergantung pada dimana infeksi terjadi. Merupakan infeksi yang paling
sering terjadi dan dapat menyebabkan infeksi ringan (contoh : jerawat atau bisul) dan in-
feksi di bawah kulit (contoh : cellulitis). Dapat juga menyebabkan infeksi pada tulang, ali-
ran darah, paru-paru, atau lintasan urin. Sebagian besar infeksi MRSA tidak parah, cuman
sulit dalam penanganannya, sehingga kadang disebut “Super Bug”.

7. Faktor Resiko
a. Faktor Community-Acquired
1) Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh, seperti : penjara, barak militer,
penampungan tunawisma
2) Populasi yaitu penduduk kepulauan Pasifik, penduduk Alaska asli dan penduduk asli
Amerika
3) Kontak olahraga, seperti : sepakbola, rugby, gulat
4) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
5) Pemakaian bersama handuk, alat olahraga maupun barang-barang pribadi
6) Personal hygiene yang buruk

b. Faktor Healthcare-Associated
1) Perawatan di rumah sakit setahun terakhir
2) Pernah menjalani operasi setahun terakhir
3) Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya
4) Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau pada individu yang tinggal
bersama
8. Pengobatan
MRSA tidak lebih infektif daripada tipe bakteri Staphylococcus yang lain, tetapi lebih
sulit disembuhkan dengan antibiotik tahan bakteri. Antibiotik yang digunakan untuk mer-
awat infeksi MRSA mungkin membutuhkan dosis yang lebih banyak dan waktu yang lebih
lama, atau dengan menggunakan antibiotik lain yang bakteri ini tidak tahan.
Obat baru seperti linezolid (termasuk dalam kelas oxazolidinones yang baru) mungkin
efektif melawan CA-MRSA dan HA-MRSA. Pada 18 Mei 2006, dilaporkan bahwa Nature
telah mengidentifikasi antibiotik baru yang disebut platensimycin, yang menunjukkan ke-
suksesan dalam melawan MRSA.
Phage therapy juga dilaporkan manjur melawan sampai 95 % dalam pengetesan isolasi
Staphylococcus. Ini juga dilaporkan bahwa Maggot Therapy (terapi dengan belatung) suk-
ses merawat infeksi MRSA.

21
Asam klavulanat juga dapat dijadikan sebagai pengobatan MRSA secara kombinasi
dengan obat-obatan golongan penisilin. Inhibitor- inhibitor ini melindungi penisilin yang
dapat dihidrolisis (misal, ampisilin, amoksisilin, dan tikarsilin) dari penghancuran.

9. Cara Pencegahan
Alkohol terbukti efektif mensanitasi MRSA. Amonium dengan alkohol memperpanjang
masa sanitasinya. Hal terpenting untuk mencegah penyebaran MRSA adalah mencuci tan-
gan dengan bersih. Jika diperlukan, dapat menutup bisul dan infeksi kulit lainnya dengan
plester kedap air.

G. SARS (SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME)


1. Penyebab
SARS merupakan infeksi saluran pernafasan sangat akut yang disebabkan oleh virus je-
nis coronavirus, yakni SARS-CoV.

2. Cara Penularan
Penyebaran SARS dapat terjadi bila terjadi percikan/droplet cairan batuk atau bersin
dari seseorang yang terinfeksi pada jarak dekat dan mengenai selaput bibir, hidung atau
mata dari orang lain yang berada di dekatnya. Virus juga dapat menyebar bila seseorang
menyentuh permukaan atau benda yang telah terkontaminasi dan kemudian menyentuh
mulut, hidung atau mata.

3. Masa Inkubasi
Umumnya gejala SARS muncul dalam waktu 2-7 hari setelah terpapar dengan virus,
tetapi masa inkubasinya berkisar 10 hari.

4. Masa Karantina
Karantina terhadap pasien yang dicurigai menderita SARS dan sejumlah orang yang
melakukan kontak dengan pasien penderita SARS selama 10 hari ataupun selama waktu
tertentu

5. Gejala Klinis
Gejala SARS menyerupai gejala penyakit influenza. Pasien penderita SARS biasanya
mengalami demam tinggi (di atas 38°C atau lebih), dan kadang kala disertai bercak merah,
rigors, kepala pusing, limbung, nyeri otot atau bahkan diare. Pada beberapa pasien dapat
mengalami kesulitan pernafasan. Setelah beberapa hari, gejala awal diikuti dengan infeksi
saluran pernafasan ringan, termasuk batuk tanpa dahak dan kesulitan bernafas. Pada sekitar
10% pasien, penyakit SARS dapat menyebabkan terganggunya pernafasan yang memer-
lukan perawatan medis intensif. Gejala SARS tidak sama kondisinya pada pasien lanjut
usia

6. Pengobatan

22
Beberapa test laboratorium dapat mendeteksi SRAS-CoV, virus penyebab SARS
berdasarkan jenis klinik, termasuk pembuangan pernafasan dan cairan dahak (stool). Test
serologi dapat mendeteksi antibody SARS-CoV yang diproduksi setelah 10 hari pasien
mengalami sakit.
Sampai saat ini, belum ada vaksinasi yang tersedia dan para ahli medis professional saat
ini sedang bekerja keras untuk mengidentifikasi cara penyembuhan yang efektif.

7. Cara Pencegahan
Kebiasaan untuk selalu menjaga kesehatan tetap merupakan cara/langkah efektif untuk
mengurangi resiko terpapar dan meminimalisir penyebaran penyakitnya.
a. Selama masa bukan SARS
1) Jaga kesehatan diri dengan baik
a) Cuci tangan secara teratur
b) Selalu membawa sapu tangan atau tissue untuk menutup hidung dan mulut bila
hendak bersin atau batuk
c) Memakai masker kesehatan bila mengalami gejala infeksi saluran pernafasan atau
demam, dan segera konsultasi ke dokter
d) Jangan berbagi makanan dan minuman

2) Pada keadaan tertentu, disarankan untuk memakai masker kesehatan seperti :


a) Orang yang mengalami gejala infeksi pernafasan atau demam
b) Orang yang membawa pasien penderita infeksi pernafasan atau demam
c) Orang yang berkunujung atau bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan

3) Menjalani pola hidup yang sehat :


a) Lakukan diet yang seimbang
b) Olahraga teratur
c) Istirahat yang cukup
d) Jangan merokok

4) Menjaga kebersihan lingkungan dengan baik


a) Jaga dan pelihara rumah tetap dalam keadaan bersih. Bersihkan mebel dan perala-
tan rumah tangga dengan larutan pencuci cair dan air, atau dengan campuran
cairan pemutih dengan perbandingan 1:99 (1 bagian cairan pemutih dengan
99 bagian air) setiap hari, kemudian cuci dengan air dan keringkan dengan lap
kering.
b) Memastikan sirkulasi udara yang baik dengan membuka jendela secara berkala
c) Menjaga toilet tetap bersih dan berfungsi dengan baik, termasuk saluran pembuan-
gan dan pipa
d) Jangan meludah dan membuang sampah di sembarang tempat
e) Memastikan bahwa fasilitas umum, seperti tangga, lift, lobby, tempat pembuangan

23
sampah, kanopi dan kipas angin dalam keadaan bersih, suci hama dan terjaga se-
tiap waktu
f) Memastikan tidak ada infeksi pes dengan menyediakan tempat penyimpanan
makanan dan tempat pembuangan sampah yang baik. Jika diperlukan, atur untuk
pensucihamaan pes

b. Setelah wabah SARS


1) Bila wabah SARS dilaporkan terjadi di luar negri
Sebagai tambahan dari langkah-langkah di atas, masker kesehatan disarankan bagi :
a) Pelancong yang akan berkunjung ke daerah terkena SARS
b) Staf/pekerja yang bekerja di daerah perbatasan dan dipekerjakan di tempat pe-
meriksaan kesehatan umum
c) Sesuai dengan perintah yang diberikan oleh rumah sakit/klinik untuk petugas ke-
sehatan, pasien dan pengunjung

2) Bila wabah SARS dilaporkan terjadi secara lokal


Masker kesehatan disarankan bagi :
a) Orang yang berkunjung ke tempat yang padat dan bersirkulasi udara yang buruk
b) Orang yang telah berdekatan dan melakukan kontak dengan pasien SARS dan
harus menggunakan selama 10 hari terhitung dari saat kontak terakhir
c) Siapa saja yang merasa perlu menggunakannya

IV. DOKUMENTASI
Adapun pendokumentasian pelayanan penyakit menular adalah sebagai berikut :
1. Dokumen registrasi pasien-pasien yang dirawat di Ruang Isolasi
2. Prosedur penempatan pasien penyakit menular di Ruang Isolasi
3. Cara pembersihan ruang perawatan pasien penyakit menular
4. Persiapan peralatan dalam mendukung staf melaksanakan pelayanan pasien penyakit
menular seperti APD dan lainnya

V. PENUTUP
Panduan Penyakit Menular disusun sebagai acuan pelaksanaan penegakan diagnosa dan pen-
empatan pasien dengan suspek penyakit menular yang sesuai prosedur di Rumah Sakit Umum
Daerah Tarutung. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan Panduan
Penyakit Menular ini karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi.

24
Tim penyusun berharap adanya kritik dan saran yang membangun kepada tim penyusun demi
kesempurnaan Panduan Penyakit Menular di kesempatan berikutnya. Semoga Panduan Penyakit
Menular ini berguna bagi peningkatan dan kontiniutas pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah
Tarutung pada khususnya dan pasien pada umumnya.

DIREKTUR,
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARUTUNG

dr. HENNY GANDA NAINGGOLAN


PEMBINA
NIP. 19710915 200312 1 001

25

Anda mungkin juga menyukai