Anda di halaman 1dari 11

11

A. Konsep pre operasi

1. Definisi pre operasi

Pembedahan adalah bagian dari tatalaksana medis untuk menangani


kondisi sulit atau tidak mungkin dipulihkan hanya dengan pemberian
obat-obatan. Australian College of Operating Room Nurses Standards
(2006) dalam Shields (2010) mendefinisikan bahwa perioperatif adalah
periode sebelum operasi (pra operasi), selama (intraoperasi), dan setelah
(pasca) anastesi, pembedahan dan prosedur lain. Lingkungan perioperatif
merupakan area dimana berlangsungnya pemberian anestesi,
pembedahan, atau prosedur lain yang diperlukan dan perawat operatif
merupakan perawat yang memberikan asuhan kepada pasien selama
periode perioperatif. Keperawatan perioperatif berlandaskan proses
keperawatan dan perawatan perlu menetapkan strategi yang sesuai
dengan kebutuhan individu selama periode perioperatif sehingga pasien
mendapatkan kemudahan sejak datang sampai sehat kembali. Perawat
harus melakukan teknik aseptik dengan baik, membuat dokumentasi
lengkap dan menyeluruh, serta mengutamakan keselamatan pasien
selama fase perioperatif (Potter & Perry, 2012).
Pembedahan pada anak dapat dilakukan secara terencana (elective)
maupun bersifat darurat (emergency) sebagai akibat adanya trauma
(Berman & Snyder, 2012). Persiapan fisik dan psikologis yang diterima
anak akan mempengaruhi respon anak terhadap pengalaman yang mereka
jalani. Setiap anak yang akan menjalani pembedahan memerlukan
persiapan psikologis dan fisik yang optimal (Hockenberry & Wilson,
2010).

2. Persiapan pre operasi


Keperawatan pre operasi merupakan tahapan awal dari keperawatan
perioperatif. Perawatan pre operasi merupakan tahap pertama dari
perawatan perioperatif yang dimulai sejak pasien diterima masuk di
ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja
operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan (Wijayanti, 2011).
Persiapan pasien di ruang perawatan, diantaranya (Sjamsuhidajat & De
Jong, 2010):
a. Persiapan fisik
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien anak
sebelum operasi antara lain:
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas anak, riwayat
penyakit dan operasi anak, riwayat kesehatan keluarga,
pemeriksaan fisik, antara lain status hemodinamika, status
kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi
endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Anak harus istirahat
11

yang cukup karena dengan istirahat yang cukup anak tidak akan
mengalami stres fisik menjelang operasi dan tubuhnya akan
menjadi lebih rileks.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan
berat badan, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan
globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi
nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan
protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk
dapat mengakibatkan anak mengalami berbagai komplikasi pasca
operasi dan mengakibatkan anak menjadi lebih lama dirawat di
rumah sakit.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan anak perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait
erat dengan fungsi ginjal, dimana ginjal berfungsi mengatur
mekanisme asam basa dan ekskresi metabolik obat- obatan
anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan
dengan baik.
4) Personal hygiene
Kebersihan tubuh anak sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
b. Persiapan penunjang
c. Pemeriksaan status anestesia
Pemeriksaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan untuk
keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi
kepentingan pembedahan, anak akan menjalani pemeriksaan status
fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan
terhadap dirinya.
d. Informed consent
Informed consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung
tinggi aspek etik hukum, maka orang tua atau keluarga wajib untuk
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi yang akan
dilakukan kepada anak.
e. Persiapan mental/psikis
Persiapan mental/psikis merupakan hal yang tidak kalah pentingnya
dalam persiapan operasi karena mental anak yang tidak siap atau labil
dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya dan kelancaran proses
operasi. Persiapan psikologis yang belum optimal dapat meningkatkan
reaksi stres fisiologis, masalah psikologis, emosi dan kecemasan
(Kholfiyah, 2014).
Persiapan psikologis sebagai hak dasar anak-anak yang menjalani
operasi tidak boleh dilupakan dan diabaikan karena proses persiapan
ini merupakan tugas dan tanggung jawab perawat (Majzoobi, et al,
2013). Persiapan psikologis berbasis caring yang dilakukan oleh
perawat diharapkan dapat menurunkan kecemasan pre operasi pada
anak usia pra sekolah. Perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa
digunakan untuk membantu anak dalam menghadapi kecemasannya,
seperti adanya orang tua/keluarga di dekatnya, tingkat perkembangan
anak dan faktor pendukung/support system (Sjamsuhidajat & De Jong,
2010).
11

B. Kecemasan

1. Definisi kecemasan

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang


tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup sehingga
individu merasakan perasaan khawatir seolah-olah ada sesuatu buruk
akan terjadi dan pada umumnya disertai gejala-gejala otonomik yang
berlangsung beberapa waktu (Pieter & Lubis, 2010). Kecemasan adalah
kebingungan atau kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dapat dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya. Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat
bergantung pada tahap usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem dukungan yang tersedia, dan
Suprobo (2017) yang menyatakan kecemasan pada anak timbul karena
menghadapi sesuatu/lingkungan yang baru dan belum pernah ditemui
sebelumnya, serta ketidaknyamanan/ketakutan terhadap sesuatu karena
merasa bahaya dan menyakitkan.
Beberapa pernyataan yang biasa anak ungkapkan ialah ketakutan adanya
nyeri setelah tindakan operasi, ketakutan adanya perubahan fisik (tidak
berfungsinya secara normal), takut keganasan (bila diagnosis belum
ditegakkan), takut mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang
mempunyai penyakit yang sama, takut memasuki ruang operasi,
sekaligus menghadapi peralatan bedah dan petugas kamar operasi, takut
akan mati setelah dianestesi, serta takut bila operasi akan mengalami
kegagalan (Effendy, 2005 dalam Farada, 2011).

2. Klasifikasi tingkat kecemasan


Stuart& Laraia (2013) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kecemasan individu maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis.
Hal ini juga sejalan dengan Suliswati (2014) yang menyebutkan bahwa
terdapat 4 tingkatan kecemasan, yaitu:
a. Kecemasan ringan
Berhubungan dengan ketegangan yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari. Individu menjadi waspada, meningkatkan lapang
persepsi, menajamkan indera, dapat memotivasi individu untuk
belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
b. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,
terjadi penyempitan lapang persepsi, masih dapat melakukan sesuatu
dengan arahan orang lain. Kecemasan sedang ditandai dengan
peningkatan denyut nadi, berkeringat dan gejala somatik ringan.
c. Kecemasan berat
Lapang persepsi individu menjadi sangat sempit. Individu cenderung
memusatkan perhatian pada detil yang kecil, spesifik dan tidak
berpikir tentang hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk
11

mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk


terfokus pada hal lain.
d. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian sehingga tidak
mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi
peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan
berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi, hilangnya
pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif, dan biasanya
disertai dengan disorganisasi kepribadian.

Kemampuan satu individu dengan individu lainnya dalam menghadapi


suatu hal-hal berbeda. Hal ini tentu berpengaruh terhadap reaksi
emosional kecemasan pada tiap individu. Tiap tingkatan memiliki
karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain. Karakteristik
kecemasan bergantung pada kematangan individu, pemahaman
mengatasi masalah, harga diri, mekanisme koping yang digunakannya
(Asmadi, 2008).
Keluhan yang sering dikemukakan oleh individu yang mengalami
kecemasan menurut Hawari (2011) yaitu: cemas, khawatir, firasat buruk,
takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak
tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada
keramaian/banyak orang, gangguan pola tidur, mengalami mimpi-mimpi
yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-
keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot tulang, pendengaran
berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.
3. Gejala
Menurut Suliswati (2014) keluhan dan gejala umum yang berkaitan
dengan kecemasan dapat dibagi menjadi gejala somatik dan gejala
psikologis.
a. Gejala somatik
1) Keringat berlebih
2) Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian
belakang leher atau dada, suara bergetar dan nyeri punggung.
3) Sidrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi.
4) Gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu
makan, mual, diare, konstipasi.
5) Irritabilitas kardiovaskuler: hipertensi, takikardi.
6) Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat
berkemih.
11

b. Gejala Psikologis
1) Gangguan mood: mudah marah, mudah sedih.
2) Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk.
3) Kelelahan, mudah capek.
4) Kehilangan motivasi dan minat.
5) Perasaan-perasaan yang tidak nyata
6) Sangat sensitif terhadap suara: merasa tidak tahan terhadap suara-
suara yang sebelumnya biasa saja.
7) Berpikiran kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa.
8) Canggung, koordinasi buruk.
9) Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan pilihan
bahkan untuk hal-hal kecil.
10) Gelisah, resah, tidak bisa diam.
11) Kecenderungan untuk melakukan sesuatu berulang-ulang.
12) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu.
13) Terus-menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan.
4. Respon kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan menurut Suliswati (2014), antara lain:
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).
Respon sistem syaraf otonom terhadap rasa takut dan kecemasan
menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh termasuk dalam
pertahanan diri. Serabut syaraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda
vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan
tubuh.
Keadaan anak yang cemas dalam menghadapi operasi akan
menghambat jalannya operasi. Karena respon tubuh akan mengalami
penurunan dalam mekanisme sistem tubuh anak. Akibat dari
kecemasan yang sangat hebat maka ada kemungkinan operasi tidak
bisa dilaksanakan karena pada anak yang mengalami kecemasan
sebelum operasi muncul kelainan, seperti peningkatan tekanan darah
cukup tinggi serta irama jantung tidak normal sehingga kalau tetap
dioperasi dapat mengakibatkan penyulit dalam menghentikan
perdarahan bahkan setelah operasipun sangat mengganggu proses
penyembuhan.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat
ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang
koordinasi, menarik diri, menghindar, dan sangat waspada (Pieter &
Lubis, 2010). Respon psikologis anak usia pra sekolah terhadap
kecemasan pre operasi dapat dilihat dari anak yang tampak gelisah,
tremor dan anak menangis saat perawat mendekatakepadanya.
c. Respon kognitif terhadap kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, baik proses
pikir maupun isi pikir. Pada anak usia pra sekolah, respon kognitif
terhadap kecemasan pre operasi dapat ditunjukkan dengan anak
melakukan penolakan terhadap tindakan keperawatan yang akan
dilakukan kepadanya (Pieter & Lubis, 2010).
d. Respon afektif terhadap kecemasan
Secara afektif anak akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan
dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan. Pada
11

anak usia pra sekolah, respon afektif terhadap kecemasan pre operasi
dapat ditunjukkan dengan anak tampak bingung dan curiga berlebihan
saat perawat mendekat kepadanya (Pieter & Lubis, 2010).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon kecemasan


Potter & Perry (2012) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecemasan adalah sebagai berikut:
a. Jenis kelamin
Anak pada usia 3-6 tahun, kecemasan lebih sering terjadi pada anak
perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal ini karena laki-laki lebih
aktif dan eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitif dan banyak
menggunakan perasaan. Pada perempuan juga lebih mudah
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan daripada laki-laki,
kurang sabar dan mudah menggunakan air mata. Contohnya pasien
anak perempuan lebih lama menangis daripada pada pasien anak laki-
laki dalam menghadapi kecemasan pre operasinya.
Monks (2006) dalam Suprobo (2017) menyebutkan bahwa anak
perempuan mengalami kecemasan dan kecakapan verbal lebih banyak,
sedangkan agresi, aktivitas, dominasi, impulsifitas, kecakapan
pengamatan ruang dan kecakapan kuantitatif lebih banyak pada laki-
laki. Potter & Perry (2012) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kecemasan ialah jenis kelamin. Kecemasan lebih
sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal
ini karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif sedangkan perempuan
lebih sensitif dan banyak menggunakan perasaan. Pada perempuan
juga lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan
daripada laki-laki, kurang sabar dan mudah menggunakan air mata.
b. Usia
Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin banyak
pengalamannya sehingga pengetahuannya semakin bertambah.
Pengetahuan tersebut dapat mengurangi kecemasan, seperti contoh:
kemampuan anak usia pra sekolah dalam menghadapi kecemasan
hospitalisasi akan berbeda dengan anak usia remaja. Anak usia pra
sekolah cenderung rewel dan melakukan penolakan terhadap perawat,
sedangkan anak usia remaja lebih mampu menghadapi kecemasannya.
c. Lama hari rawat
Kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit akan sangat terlihat pada
hari pertama sampai kedua bahkan sampai hari ketiga dan biasanya
memasuki hari keempat atau kelima kecemasan yang dirasakan anak
akan mulai berkurang. Kecemasan yang terjadi pada pasien dan orang
tua juga bisa dipengaruhi oleh lamanya seseorang dirawat. Kecemasan
pada anak yang sedang dirawat bisa berkurang karena adanya
dukungan orang tua yang selalu menemani anak selama dirawat,
teman-teman anak yang datang berkunjung ke rumah sakit atau anak
sudah membina hubungan yang baik dengan petugas kesehatan
(perawat dan dokter) sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan
anak.
d. Pengalaman
Sumber ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut
bersifat lebih umum. Penyebab kecemasan dapat berasal dari
berbagai kejadian di dalam kehidupannya, seperti contoh: tingkat
kecemasan anak yang akan menjalani operasi pertama kali akan
berbeda dengan anak yang sudah pernah menjalani operasi (Kaplan &
Sadock, 2010).
11

Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Supartini (2013) yang


menyebutkan bahwa anak yang baru mengalami perawatan di rumah
sakit akan berisiko menimbulkan perasaan cemas yang ditimbulkan
baik oleh anak maupun orang tua. Berbagai kejadian di rumah sakit
dapat menimbulkan dampak trauma terutama pada anak yang baru
pertama kali mengalami perawatan di rumah sakit, salah satunya
karena adanya pengalaman interaksi yang tidak baik dengan petugas
kesehatan.
Bagi anak yang mempunyai pengalaman dirawat di rumah sakit,
termasuk pengalaman operasi sebelumnya akan mulai membentuk
respon koping dibandingkan dengan anak yang belum mempunyai
pengalaman. Hal ini disebabkan karena anak yang pernah dirawat
sebelumnya di rumah sakit yang sama akan merasa lebih terbiasa
dibandingkan dengan yang baru pertama kali dirawat serta anak akan
merespon sakitnya dengan lebih positif (Hockberry & Wilson, 2010).
Hal ini juga didukung oleh Pelander & Leino-Kilpi (2010) yang
mengatakan bahwa semakin sering anak berhubungan dengan rumah
sakit maka semakin kecil bentuk kecemasan atau sebaliknya.
e. Respon terhadap stimulus
Kemampuan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya
rangsangan yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang
timbul, seperti contoh: setiap anak memiliki kemampuan yang
berbeda dalam menghadapi kecemasan pre operasinya (Kaplan &
Sadock, 2010).
f. Lingkungan rumah sakit
Lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang baru bagi anak,
sehingga anak sering merasa takut dan terancam tersakiti oleh
tindakan yang akan dilakukan kepada dirinya. Lingkungan rumah
sakit juga akan memberikan kesan tersendiri bagi anak, baik dari
petugas kesehatan, alat kesehatan dan teman seruangan dengan anak
juga mempengaruhi kecemasan anak karena anak merasa berpisah
dengan orang tuanya.

Moersintowarti, et al (2008) menyebutkan bahwa faktor yang


mempengaruhi kecemasan pada anak yang dirawat di rumah sakit antara
lain:
a. Lingkungan rumah sakit
b. Bangunan rumah sakit
c. Bau khas rumah sakit
d. Obat-obatan
e. Alat medis
f. Tindakan medis
g. Petugas kesehatan

6. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan


Wong (2012) menyatakan bahwa intervensi yang penting dilakukan
perawat terhadap anak yang mengalami kecemasan, yaitu memberikan
dukungan psikologis pada anggota keluarga, mempersiapkan anak
sebelum masuk ke ruang operasi. Upaya untuk mengatasi kecemasan
pada anak, antara lain:
a. Melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak dengan cara memperbolehkan mereka untuk
menemani sang anak selama 24 jam. Jika tidak memungkinkan, beri
kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud
11

untuk mempertahankan kontak antara mereka.


11

b. Memodifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa


nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru.
c. Peran dan petugas kesehatan rumah sakit, dimana diharapkan petugas
kesehatan, khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena
perawat merupakan orang yang paling dekat dengan anak selama
perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak mengajak bermain sesuai
dengan tahap perkembangan anak untuk kepentingan terapi.
Wong (2012) menyatakan bahwa penatalaksanaan kecemasan pada
anak dapat dilakukan dengan cara mengajak anak menonton video.
Kegiatan ini merupakan salah satu terapi yang masuk pada kategori
atraumatic care, dimana pada video kartun dan video animasi
terdapat unsur gambar, warna, dan cerita sehingga anak-anak
menyukainya dan mengalihkan perhatian anak.
Amerika Academy of Pediatrics juga merekomendasikan beberapa
cara untuk mengurangi kecemasan hospitalisasi dan tindakan operasi,
yaitu dengan pemberian informasi, pendidikan kesehatan, dan
membina hubungan saling percaya dengan anak-anak dan orang tua
mereka menggunakan beberapa alat, seperti gambar, diagram, boneka,
orientasi tour area operasi atau perawatan (Brown, 2012). Namun,
dalam kenyataannya beberapa rumah sakit memiliki aturan bahwa
ruang operasi merupakan ruang steril yang tidak dapat semua orang
masuk ruang tersebut. Hal ini dapat dimodifikasi dengan menonton
video animasi yang menggambarkan tentang situasi dan kondisi ruang
operasi atau ruang perawatan.
7. HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)
Hidayat (2008) menyebutkan bahwa kecemasan dapat diukur dengan
pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang
disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan
pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada
individu yang mengalami kecemasan. Skala HARS terdapat 14 syptoms
yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item
yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai
dengan 4 (severe).
Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar
dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala
HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi
untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic,
yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran
kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang
valid dan reliable (Hidayat, 2008).
11

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada


munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Nursalam
(2011) menyebutkan bahwa penilaian kecemasan dalam skala HARS terdiri
dari 14 item, meliputi:
a. Perasaan cemas: memiliki firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan
mudah tersinggung.
b. Ketegangan: merasa gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
c. Ketakutan: takut terhadap gelap, orang asing dan binatang besar, serta
takut bila ditinggal sendiri.
d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan padahobi,
merasa sedih, dan perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara
tidak stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, mukamerah
dan pucat serta merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras,dan
detak jantung hilang sekejap.
j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, napas
pendek, dan sering menarik napas panjang.
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,
mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, serta
merasa panas di perut.
l. Gejala urogenital: sering kencing dan tidak dapat menahan kencing.
m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, dan bulu roma berdiri.
n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan
dahi, dan wajah tegang.

Cara penilaian kecemasan adalah memberikan nilai dengan kategori:


1 : Tidak ada gejala sama sekali (tidak ada gejala)
2 : Satu dari gejala yang ada (gejala ringan)
3 : Separuh dari gejala yang ada (gejala sedang)
4 : Lebih dari ½ gejala yang ada (gejala berat)
5 : Semua gejala ada (gejala berat sekali)
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item1-
14 dengan hasil:
Skor kurang dari 14 : tidak ada kecemasan.
Skor 14 -20 : kecemasan ringan.
Skor 21-27 : kecemasan sedang.
Skor 28-41 : kecemasan berat.
Skor 42-56 : kecemasan berat sekali/panik
11

Tugas
Baca materi 30 menit, lanjutkan mengerjakan selama 30 menit dan di upload. Setelah
di upload silakan diskusi berantai, kelompok 1 bertanya kepada kelompok 2 dst.
Jawaban berdasarkan sumber / rujukan yang jelas dan selamat mengerjakan. Setelah
membaca konsep diatas silakan bentuk 5 kelompok untuk menjawab pertanyaan di
bawah ini.
1. Diagnosa keperawatan apa sajakah yang muncul pada perioperative ( pre op )
minimal 3 diagnosa sebutkan
2. Diagnosa keperawatan apa sajakah yang muncul pada perioperative ( post op )
minimal 3 diagnosa sebutkan
3. Intervensi menurut sdki jelaskan untuk diagnosa pertama yang ditemukan
kelompok 1
4. Intervensi menurut sdki jelaskan untuk diagnosa pertama yang ditemukan
kelompok 2
5. Apa saja intervensi terbaru yang bisa diterapkan yang belum ada di soal no 3
dan 4 jelaskan dan apa rujukannya/sumbernya

Anda mungkin juga menyukai