TUGAS HUKUM LAUT DAN KEPULAUAN (ANYSEHE) Salinan
TUGAS HUKUM LAUT DAN KEPULAUAN (ANYSEHE) Salinan
2022/2023
“ANALISIS KEJAHATAN ILEGAL FISHING DI WILAYAH
LAUT INDONESIA”
Indonesia merupakan Negara yang memiliki luas perairan yang lebih besar daripada luas
daratan, dengan luas lautan 3,25 juta Km2 dan 2,55 juta Km2 zona ekonomi ekslusif. Kekayaan
alam Indonesia teruama di wilayah laut sangatlah besar jumlahnya, berdasarkan data yang saya
peroleh dari berbagai sumber nilai neraca perdagangan perikanan Indonesia dalam kurun waktu
2015-2018 mngalami peningkatan yang cukup signifikan yakni, pada tahun 2015 sebesar USD
3,55 miliar, pada tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi USD 3,72 miliar, pada 2017
meningkat menjadi USD 4.07 miliar dan pada tahun 2018 meningkat menjadi USD 4,39 miliar.
Jumlah tersebut belum termasuk nilai maksimal neraca perdagangan perikanan Indonesia,
dikarenakan berbagai kejahatan illegal fishing di perairan Indonesia masih marak terjadi.
Dengan peningkatan nilai neraca perdagangan sebagaimana telah dipaparkan diatas
bukan tidak mungkin pada tahun-tahun yang akan datang dapat mengalami peningkatan yang
lebih besar daripada sebelumnya, apabila pengelolaannya dilakukan secara tepat dan berbagai
kejahatan- kejahatan illegal fishing dapat diatasi secara merata diseluruh perairan Indonesia yang
menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
Dunia perikanan tangkap di Indonesia saat ini sedang berbenah diri untuk menghadapi
kasus penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab atau dikenal dengan sebutan Illegal,
Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing. Di banyak negara Maritim, khususnya Indonesia
kegiatan IUU fishing sangat berdampak terhadap rusaknya sumberdaya ikan dan terumbu karng
di perairan Indonesia.
Illegal, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera
asing maupun berbendera Indonesia sendiri melakukan pelanggaran izin atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
Negara Republik Indonesia.
Unreported, kegiatan penangkapan ikan yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara
tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai peraturan perundang-undangan
Nasional.
Unregulated, kegiatan penangkapan ikan pada suatu wilayah atau di WPP-RI yang belum
diterapkannya ketentuan pelestarian dan pengelolaan perikanan tangkap; dilaksanakan dengan
cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab Negara untuk pelestarian dan pengelolaan
sumberdaya ikan sesuai hukum internasional.
IUU fishing juga semakin memperuncing masalah overfishing. Hal ini diakibatkan oleh
kapal-kapal penangkap ikan kerap beroperasi di Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine
Protected Area (MPA) dimana aktivitas penangkapan ikan sangat dilarang di kawasan tersebut.
Fakta ini memberi pandangan bahwa sekan-akan hukum laut di Indonesia tidak berperan banyak
dalam pelaksanaannya baik di Nasional maupun Internasional.
Ilegal fishing di perairan Indonesia kerap terjadi terlebih sejak perturan nomor
56/Permen- KP/2014 tentang penghentian sementara (Moratorium) perijinan usaha perikanan
tangap diwilayah pengelolaan perikanan Indonesia diberlakukan, industry perikanan yang
sebelumnya mayoritas dikuasai oleh kapal-kapal asing terhenti seketika dan industry perikanan
di Negara Negara regional pun mengalami dampak penurunan pendapatan yang cukup
signifikan, sehingga berbagai macam praktek-praktek illegal fishing di perairan Indonesia
meningkat, terutama diwilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).
Apabila mengacu pada Pasal 57 UNCLOS (United Nation Convention On The Law Of
The Sea 1982) ZEE merupakan suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh
melebihi 200 mill laut. Pada wilayah ZEE berlaku hak berdaulat bagi Negara pantai untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, penerbangan
udara, pendirian dan penggunaan pulau buatan, riset ilmiah, dan penanaman kabel serta jalur
pipa.
Tantangan dan permasalahan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI
untuk mencegah dan memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated fishing,wajib mendapat
perhatian dan dukungan semua pihak, sehingga sumber daya kelautan dan perikanan yang setiap
tahun hilang ratusan triliun dapat diselamatkan dan digunakan untuk mensejahterakan
masyarakat, dan bukan pihak asing yang menikmatinya.
Mengatasi permasalahan ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah mengeluarkan beberapa kebijakan IUUF salah satunya yaitu penguatan
penegakan hukum tindak pidana perikanan. PPNS Perikanan yang merupakan salah satu unsur
penegak hukum tindak pidana perikanan yang menorehkan hasil dari tahun 2015 sampai dengan
30 April 2018 menangani sejumlah 684 kasus tindak pidana perikanan, yang mana sebagian
besar diantaranya terjadi di wilayah ZEEI. Yang mana tindak pidana perikanan yang terjadi di
wilayah ZEEI lokasinya terebar diberbagai perairan dan zona ekonomi ekslusuf Indonesia,
diantaranya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) yang
meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, meliputi perairan Laut
Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera, meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman,
meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau,
meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik dan perairan Laut Aru, Laut Arafura,
dan Laut Timor bagian Timur.
Jika melihat dari sisi hukum yang telah diterapkan, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982. Penanggulangan tindak pidana perikanan telah
diundangkan dalam Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) serta beberapa peraturan
pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
UU Perikanan mengamanatkan Pengawas Perikanan Indonesia untuk mencegah agar
kapal-kapal perikanan asing tidak masuk untuk beroperasi di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah ZEEI secara ilegal untuk mengambil kekayaan laut dan perikanan Indonesia. Dalam
mewujudkan hal tersebut hambatan yang paling utama dirasakan untuk mewujudkan hal tersebut
adalah masih banyaknya masalah keterbatasan sarana, prasarana, dan peralatan serta kapal-kapal
canggih dan fasilitas lainnya yang dimiliki mempersulit tugas pengawasan yang dilakukan aparat
hukum di laut untuk menegakkan hukum dengan baik terutama dalam kegiatan pencegahan,
melakukan pendeteksian, pengawasan, pengejaran, dan penangkapan terhadap pelaku. Saat ini
paradigma operasional pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan telah berubah dengan
mengandalkan alat pemantauan VMS, Radar, dan AIS untuk pendeteksian awal, dilengkapi pula
dengan pesawat patroli udara dan Kapal Pengawas Perikanan yang dimiliki Ditjen PSDKP KKP
sebanyak 35 kapal berfungsi melakukan penyergapan. Dengan paradigma pengawasan yang
baru, maka diharapkan coverage area lebih luas, tidak memerlukan investasi kapal pengawas
yang tinggi, informasi lebih cepat, penghematan anggaran BBM, dan adanya pengawasan yang
dilakukan setiap saat.
Jika dilihat dari berbagai kasus maraknya praktek illegal fishing di Indonesia terdapat
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya :
1) Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi
overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan
dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
2) Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di
Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
3) Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih
menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka
dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.
4) Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya
armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan
kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi
Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan
laut lepas (High Sea) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun
lokal untuk melakukan illegal fishing.
5) Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open
acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang
cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia
yang berbatasan dengan laut lepas.
6) Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari
sisi kuantitas. Dan lebih diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
7) Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara
tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum,
dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
8) Kurangnya bantuan pemerintah bagi nelayan Indonesia untuk memiliki atau menggunakan
kapal yang dapat menjangkau wilayah perbatasan, sehingga nelayan asing yang mempunyai
armada yng lebih baik justru yang mengambilnya.
Dapat disadari atau tidak bahwa persoalan illegal fishing merupakan persoalan yang dalam
konteksnya melibatkan banyak pihak diantaranya : masyarakat nelayan, pemerintah dan pelaku
usaha perikanan, serta multi-level karena melibatkan berbagai aktor global (asing) khususnya
yang terkait dengan konflik fishing ground. Kerjasama multi-lateral di level sub-regional
maupun regional seharusnya lebih intens dilakukan dan diawasi hingga penyediaan fasilitas, dan
prasarana pengawasan bagi wilayah perairan Indonesia akan lebih terjaga. Dengan
mempertimbangkan efek yang ditimbulkan dari persoalan illegal fishing, pemerintah harus
melaksanakan dua strategi secara simultan, yaitu strategi ke dalam dan strategi keluar.