DI SUSUN OLEH
NIM : 2023813034
KELAS :B
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Potensi Kelautan Indonesia
Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya
kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian
belum diketahui potensi yang sebenarnya dan untuk itu perlu data yang lengkap, akurat
sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa
mendatang akan semakin berkembang. Sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi
kelautan yang besar, seharusnya Indonesia dapat memaksimalkan potensi kelautan
tersebut bagi kemajuan pembangunan ekonomi nasional. Namun, karena selama ini
Indonesia terlalu fokus kepada sumber daya yang ada di darat, maka sumber daya laut
yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada
bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi kekayaan laut Indonesia, khususnya kekayaan
laut hayati, termasuk melalui cara-cara ilegal. Kekayaan laut hayati yang ada di perairan
Indonesia meliputi aneka jenis ikan, udang dan crustacea lainnya, molusca dan teripang,
cumi, sephia, bunga karang, penyu laut, mamalia laut dan rumput laut. Adapun jenis-jenis
ikan yang terdapat di perairan Indonesia meliputi ikan pelagis besar (seperti tuna,
cakalang, marlin, tongkol, tengiri dan cucut); ikan pelagis kecil (layar, selar, layang, teri,
tembang, lemuru, dan kembung); ikan demersial (seperti kakap, kerapu, manyung, pari,
bawal, gulamah, layur, peperek, kuniran dan beloso); ikan karang komersial (contohnya
napoleon, kerapu tikus, kakap merah, beronang, lencam dan ekor kuning); udang; lobster
dan cumi-cumi.
Untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan yang optimal, Indonesia harus
mengelola ketiga jenis laut tersebut secara berkelanjutan dan menyeluruh bagi
kepentingan bangsa Indonesia. Agar dapat optimal, pengelolaan laut Indonesia tidak
hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya kelautan saja tapi juga meliputi
pengawasan penangkapan ikan, khususnya oleh kapal-kapal asing dan pengaturan zona-
zona laut Indonesia sesuai dengan aturan regional maupun hukum internasional. Di
wilayah laut jenis pertama (12 mil dari garis pangkal), Indonesia mempunyai kedaulatan
mutlak atas ruang maupun kekayaannya, namun mengakui adanya hak lewat/lintas
(berdasar prinsip innocent passage, sea lanes passage, dan transit passage) bagi kapal-
kapal asing. Di Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil dari garis pangkal), Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam, terutama perikanan selain
kewenangan lainnya (misalnya untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan
mengizinkan penelitian ilmiah kelautan serta pemberian izin pembangunan pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan lainnya). Jadi meskipun Indonesia tidak
mempunyai kedaulatan mutlak di wilayah ZEE, namun Indonesia mempunyai hak atas
penangkapan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah perairan ini.
Melihat potensi kelautan Indonesia, khususnya sumber daya perikanan, maka wilayah
laut Indonesia merupakan ladang pendapatan nasional yang berpotensi sangat besar untuk
memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat, sehingga laut bukan sekedar menjadi sarana
penghubung antarpulau tapi merupakan suatu tempat penghasil devisa bagi negara.
2.2 Ilegal fishing Indonesia-Malaysia
Persoalan illegal fishing dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia memiliki nuansa
yang berbeda. Di sini, illegal fishing tidak saja terjadi di perairan Indonesia, tetapi bisa
juga terjadi di perairan Malaysia. Masih belum tuntasnya batas perairan perbatasan kedua
negara di sejumlah tempat, menyebabkan sering terjadinya kasus-kasus pelanggaran
wilayah yang dilakukan oleh nelayan-nelayan dari kedua negara, dan tidak jarang hal itu
memanaskan hubungan kedua negara.49 Nelayan dari masing-masing pihak merasa
bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran wilayah, sementara aparat keamanan yang
bertugas di perairan perbatasan melihat dari sisi yang lain, bahwa nelayan-nelayan
tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran batas wilayah perairan dan oleh karena
itu perlu ditindak dengan mengusirnya atau ditangkap untuk kemudian ditahan dan
diproses secara hukum. Sebagai contoh, ketika pada bulan Maret 2011 Polair Polda Riau
menangkap dan menahan dua kapal nelayan Malaysia yang memasuki perairan
Indonesia, pada awalnya para nelayan Malaysia tersebut menolak dituduh telah
melakukan pelanggaran wilayah. Bahkan pada saat penangkapan, Polisi Laut Diraja
Malaysia dengan menggunakan helikopter mencoba mendekati kapal nelayan Malaysia
yang ditangkap tersebut dan, melalui pengeras suara, mereka meminta aparat keamanan
Indonesia untuk melepaskannya karena dianggap tidak melakukan pelanggaran dan
masih berada di wilayah Malaysia. Sebaliknya, pihak Malaysia juga kerap menangkap
dan menahan nelayan Indonesia yang dianggapnya telah melakukan pelanggaran batas
wilayah, dan ironisnya ini pernah terjadi setelah beberapa hari nelayan Malaysia
ditangkap aparat keamanan Indonesia Modus operan di Polisi Laut Diraja Malaysia
adalah menarik nelayan-nelayan tradisional Indonesia dari laut nasional ke wilayah
perairan Malaysia, dan menetapkan mereka sebagai pencuri ikan atau perompak.
Malaysia kerap memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini bisa diartikan pula bahwa
belum terbangun kerja sama yang baik dari kedua belah pihak untuk mengamankan
wilayah perairan perbatasan, karena terbukti Polisi Laut Diraja Malaysia dapat
“seenaknya” memasuki perairan Indonesia.
Diakui bahwa penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah
perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas
maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan
nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Situasi ini sudah tentu tidak kondusif bagi
upaya penanganan illegal fishing yang sering terjadi di sekitar perairan perbatasan kedua
negara. Namun, tanpa harus menunggu kesepakatan penentuan batas maritim tercapai,
kedua negara seyogianya mengambil langkah-langkah kerja sama yang lebih konkret
untuk mencegah terjadinya illegal fishing. Kedua negara, misalnya, untuk sementara
dapat menyepakati bahwa di sekitar perairan perbatasan dimana terdapat garis batas yang
masih belum disepakati tidak boleh ada kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dari
kedua negara.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Potensi sumber daya perikanan yang besar di perairan Indonesia, pengawasan yang
lemah di perairan perbatasan (antara lain sebagai akibat dari keterbatasan kapasitas dan
sarana pengawasan armada kapal patroli Indonesia), kebutuhan ikan yang tinggi di luar
negeri, dan belum terlaksananya kerja sama secara optimal antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga di kawasan dalam hal penanganan illegal fishing, telah
mendorong terjadinya kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia. Illegal fishing yang
terjadi di perairan Indonesia tersebut merupakan persoalan serius yang harus diatasi tidak
saja oleh Indonesia semata tetapi juga harus diatasi melalui kerja sama bilateral. Kerja
sama secara bilateral, terutama dengan negara-negara tetangga di kawasan yang para
nelayannya sering memasuki dan menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia,
perlu dibangun dan dikembangkan untuk menangani kegiatan ilegal yang bersifat lintas
negara ini. Meskipun telah terjalin bentuk-bentuk kerja sama bilateral antara Indonesia
dengan beberapa negara tetangga dalam mengamankan perairan perbatasan, namun hal
itu belum dapat mengatasi persoalan illegal fishing secara optimal. Oleh karena itu, kerja
sama yang lebih kuat perlu dibangun, dikembangkan, dan diimplementasikan secara
nyata di lapangan oleh Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan dalam
mengatasi persoalan ini.