Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Zanuar Hadiansyah

Kelas: Manajemen A

Tugas Aspek hukum dalam ekonomi

Kasus Minyak Goreng, Pakar Hukum: Seharusnya Ini Persoalan Administrasi


Bukan Pidana

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Tuntutan kepada tiga terdakwa dari perusahaan dalam kasus minyak
goreng dinilai tidak tepat karena seharusnya mengarah kepada pelanggaran administrasi. Apalagi fakta
persidangan yang disampaikan saksi ahli dan para pakar menguraikan bahwa program Bantuan Tunai
Langsung tidak menghasilkan bukan suatu kerugian negara, karena telah dianggarkan dan adalah atas
persetujuan DPR secara tahunan

Sebagaimana dikutip dari pernyataan sejumlah ahli seperti disampaikan Akademisi Universitas
Muhammadiyah Jakarta Dr. Chairul Huda, SH, MH. Menjelaskan bahwa persoalan DMO (Domestic
Market Obligation ) merupakan persoalan administrasi karena itu tidak ada dampak kepada kerugian
negara. Begitu pula dengan BLT tak ada kerugian negara disana.

“Jika dikatakan BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan
melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT,” kata Chairul sebagaimana dikutip dari sejumlah media
nasional.

Chairul menegaskan tiga terdakwa hanya bertindak mewakili perusahaan. Berdasarkan aspek hukum,
pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka
kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja. Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta
merta akan dipertanggung jawabkan secara pribadi.

“Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi
perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan
pidana,” tegasnya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Dr. Sadino, SH, MH.
Menjelaskan bahwa kebijakan mandatori DMO dan DPO bukan berarti pemerintah bisa menghasilkan
produksi minyak goreng yang cepat.

“Di situ dibutuhkan pengolah migornya yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu
dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus
termasuk pembiayaannya,” kata Sadino.

Seperti di bidang BBM, kata Sadino, ada lembaga pengontrol tunggal seperti Pertamina. Sementara di
minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.

Sadino menjelaskan dengan adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi
tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan.

“Ya kalau itu BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah. Mulai dari
penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang
menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor,” ujarnya.

Berdasarkan fakta persidangan tersebut, praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus, SH, MH. Menyatakan,
perkara minyak goreng semakin menemukan titik terang. “Dimana tak ada kerugian negara, yang ada
adalah keuntungan. Tidak ada kerugian negara berarti tidak ada korupsi. Sehingga, terdakwa tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET adalah biang
keladi terjadinya kelangkaan minyak goreng,” kata Hotman.

Menurut Hotman, banyaknya persoalan dalam urusan minyak goreng cukup memprihatinkan. Pelaku
usaha mestinya dberikan jaminan untuk berusaha sehingga perekonomian tumbuh dengan baik.

Rizal Malarangeng, Mantan tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian saat menjadi
saksi ahli di sidang lanjutan dugaan korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 7
Desember 2022, membeberkan bahwa BLT dapat membantu mengurangi beban masyarakat kurang
mampu, mengerakkan perekonomian masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan yang penting tetap
menjaga daya beli masyarakat. Sehingga produk yang dihasilkan terserap dan negara bisa mendapatkan
pajak dari perputaran ekonomi tersebut.
“Jelas BLT bukan kerugian, tetapi merupakan keuntungan, dimana negara hadir dalam membantu
masyarakat meningkatkan taraf hidupnya, mengurangi kemiskinan. Industri berjalan karena produknya
terjual dan negara mendapatkan pemasukan dari pajak,” kata Rizal.

Masalah minyak goreng langka, dikatakan Rizal, adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
Problemnya, karena harga yang ditetapkan jauh dibawah produksi, sehingga pelaku usaha kesulitan
untuk memproduksi minyak goreng sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah. Hal ini karena
produsen minyak goreng tidak semuanya memiliki perkebunan sawit sebagai pemasok bahan baku.

Rizal berpendapat, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pasar melalui peraturan HET tidak tepat
untuk industri minyak goreng.

“Kebijakan untuk mengendalikan harga tidak tepat dilakukan untuk pasar minyak goreng yang
ekosistemnya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, termasuk jalur distribusinya. Ini berbeda dengan
kebijakan pemerintah soal harga BBM seperti yang pernah saya alami. Harga BBM dapat dikendalikan
karena didukung ekosistemnya, yaitu ada kontrol tunggal pemerintah melalui Pertamina, sedangkan
untuk minyak goreng, pemainnya sangat beragam,” ujar Rizal.

Rizal menambahkan, pengendalian harga melalui HET yang jauh di bawah harga produksi memengaruhi
pasokan karena produsen juga tidak ingin rugi.

Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam
jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak.

“Tugas pemerintah adalah mencium dimana letak keseimbangannya. Karena pengusaha harus untung
agar bisa melanjutkan usahanya dan mengembalikan investasi. Itu petingnya ada mekanisme harga.
Kalau dilawan terlalu jauh maka disruptif ekonomi akan cepat dan tidak bisa dikendalikan,” pungkas
Rizal.

Anda mungkin juga menyukai