OLEH
A. Definisi
Hydrocephalus adalah suatu keadaan dimana terdapat timbunan likuor
serebrospinalis yang berlebihan dalam ventrikel-ventrikel, yang disertai
dengan tekanan intracranial. Hydrocephalus adalah jenis penyakit yang terjadi
akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebrospinal). Penyakit
ini juga dapat ditandai dengan dilatasi vertical serebra, biasanya terjadi secara
sekunder terhadap obstruksi jalur cairan serebrospinalis, dan disertai oleh
penimbunan cairan serebrospinalis di dalam cranium; Secara tipikal ditandai
dengan pembesaran kepala, menonjolnya dahi, deteriorasi mental, dan
kejang-kejang (Sudarti dan Afroh Fauziah, 2012).
Hidrocepalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebro spinalis tanpa atau pernah dengan tekanan
intracranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat
mengalirnya cairan sesrebro spinal (Ngastiyah, 20017).
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hidrocepalus dibagi menjadi dua yaitu : anak dibawah
usia 2 tahun, dana anak diatas usia 2 tahun.
1. Hidrocepalus dibawah usia 2 tahun
a. Sebelum usia 2 tahun yang lebih menonjol adalah pembesaran
kepala.
b. Ubun-ubun besar melebar, terba tegang/menonjol tidak berdenyut.
c. Dahi Nampak melebar dan kulit kepala tipis, tegap mengkilap
dengan pelebaran vena-vena kulit kepala.
d. Tulamg tengkorak tipis dengan sutura masih terbuka lebar cracked
pot sign yakni bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi.
e. Bola mata berotasi kebawah olek karena ada tekanan dan penipisan
tulang supra orbita. Selera Nampak diatas iris, sehingga iris seakan-
akan seperti matahari yang akan trebenam.
f. Strabismus divergens.
g. Nystagmus.
h. Reflex pupil lambat.
i. Atropi N II oleh karena kompensi ventrikel pada chiasma optikum.
j. Papil edema jarang, mungkin oleh sutura yang masih terbuka.
2. Hidrocepalus pada anak diatas usia 2 tahun
Yang lebih menonjol disini ialah gejala-gejala peninggian tekanan
intra cranial oleh karena pada usia ini ubun-ubun sudah tertutup.
Adapun tanda dan gejala lainnya, yaitu :
1. Tengkorak kepala mengalami pembesaran
2. Muntah dan nyeri kepala
3. Kepala terlihat lebih besar dari tubuh
4. Ubun-ubun besar melebar dan tidak menutup pada waktunya, teraba
tegang dan menonjol
5. Dahi lebar, kulit kepal tipis, tegang dan mengkilat
6. Pelebaran vena kulit kepala
7. Saluran tengkorak belum menutup dan teraba lebar
8. Terdapat cracked pot sign bunyi seperti pot kembang retak saat
dilakukan perkusi kepala
9. Adanya sunset sign dimana sklera berada di atas iris sehingga iris seakan-
akan menyerupai matahari terbenam
10. Pergerakan bola mata tidak teratur
11. Kerusakan saraf yang dapat memberikan gejala kelainan neurologis (Adi,
2012)
C. Etiologi
Secara teoritis terdapat tiga penyebab dari hydrocephalus, yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan.
Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang dari kasus
hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor
pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi
akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus.
Kondisi ini merupakan akibat dariobstruksi atau tersumbatnya
sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun
vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan
patologis ini, yaitu:a.Malformasi yang menyebabkan penyempitan
saluran likuor, misalnya stenosis akuaduktussylviidan malformasi Arnold
Chiari.b.Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun
ekstrinsik saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para
ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom.c.Proses inflamasi dan gangguan
lainnya sepertimukopolisakaridosis, termasuk reaksi ependimal, fibrosis
leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal.
Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat
mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini
termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.
D. Klasifikasi
Jenis hidrosepalus dapat diklasifikasikan menurut :
1. Waktu pebentukan
a. Hidrosepalus Congenital, yaitu hidrosefalus yang dialami sejak
dalam kandungan dan berlanjut setelah dilahirkan.
b. Hidrosefalu Akuisita, yaitu hidrosefalus yang terjadi setelah bayi
dilahirkan atau terjadi karena faktor lain setelah bayi dilahirkan.
2. Proses terbentuknya hidrosefalus
a. Hidrosefalus akut, yaitu hidrosefalus yang terjadi secara mendadak
yang diakibatkan oleh gangguan absorbs CSS (Cairan
Serebrospinal).
b. Hidrosefalus kronik, yaitu hidrosefalus yang terjadi setelah cairan
CSS mengalami obstruksi beberapa minggu.
3. Sirkulasi Cairan Serebrospinal
a. Communicating, yaitu kondisi hidrosefalus dimana CSS masih bisa
dikeluarkan dari ventrikel namun alirannya terseumbat karena itu.
b. Non Communicating, yaitu kondisi hidrosefalus sumbatan cairan
CSS yang terjadi disalah satu atau lebig jalur sempit yang
menghubungkan ventrikel-ventrikel otak
4. Proses penyakit
a. Acquired, yaitu hidrosefalus yang diakiatkan oleh infeksi yang
mengenai otak dan jaringan sekitarnya termasuk selaput
pembungkus otak (meninges).
b. Ex – Vacuo, yaitu kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke atau
cedera traumatis yang mungkin menyebabkan penyempitan jaringan
otak atau thropy.
E. Patofisiologi
Jika terdapat obstruksi pada sistem ventrikuler atau pada ruangan
subarackhnoid, fentrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan
fentrikuler mengkerut dan merobek garis ependimal. Wite mater dibawahnya
akan mengalami atrofi tereduksi menjadi pita yang tipis. Pada gray matter
terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehinnga walaupun fentrikel
telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami gangguan. Proses
dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba-tiba/ akut dan dapat juga
selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu merupakan
kasus emerjensi pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan
melebar untuk mengakumudasi peningkatan masa cranial. Jika fontanela
anterior tidak tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada
perabaan. Stenosis aquaductal (penyakit keluarga)/keturunan yang terpaut
seks menyebabkan titik pelebaran pada fentrikel lateral dan tengah, pelebaran
ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang
menonjol secara dominan (dominan frontal blow). Sindroma dandi walker
akan terjadi jika terjadi opstruksi pada foramina diluar pada fentrikel IV.
Fentrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol memenuhi sebagian
besar ruang di bawah tentorium.
Klien dengan type hidrocepalus diatas akan mengalami pembesaran
cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara
disproposional. Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup
sehingga membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menunjukan
gejala : kenaikan ICP sebelum ventrikel cerebral menjadi sangat membesar.
Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrocepalus tidak komplit.
CSF melebihi kapasitas normal sistem ventrikel tiap 6-8 jam dan ketiadaan
absorbsi total akan menyebabkan kematian. Pada pelebaran ventrikuler
menyebabkan robeknya garis ependyma normal yang pada dinding rongga
memungkinkan kenaikan absorbsi. Jika route koleteral cukup unutk
mencegah dalatasi ventrikuler lebih lanjut maka terjadi keadaan kompensasi.
F. Komplikasi
Adapun komplikasi yang diakibatkan oleh hidrocepalus, yaitu :
1. Peningkatan tekanan intracranial
2. Kerusakan otak
3. Infeksi : septicemia, endokarditis, infeksi luka, nefritis, meningitis,
ventrikulitis, abses otak.
4. Shunt tidak berfungsi denga baik, akibat obstruksi mekanik.
5. Hematomi subdural, peritonitis, adses abdomen, perporasi organ dalam
rongga abdomen, fistula, herinia, dan ileus.
6. Kematian.
G. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan dari hidrocepalus dapat dilakukan dengan cara, yaitu :
1. Terapi konservatif medikamentosa, untuk membatasi evolusi hidrosefalus
melalui upaya mengurangi sekresi cairan dan pleksus choroid
(asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2 mg/kgBB/hari) atau
upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi diatas hanya bersifat
sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau bila ada
harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut;
sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang
mengingatadanya resiko terjadinya gangguan metabolik.
2. Ventriculoperitoneal shunting Cara yang paling umum untuk mengobati
hidrosefalus.Dalam ventriculoperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan
melalui lubang kecil di tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak
yang berisi cairan serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung ke tube lain
yang berjalan di bawah kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki
rongga perut (rongga peritoneal). Shunt memungkinkan CSS mengalir
keluar dari ventrikel dan ke rongga perut di mana ia diserap. Biasanya,
katup dalam sistem membantu mengatur aliran cairan.
3. Terapi etiologi, Merupakan strategi penanganan terbaik; seperti antara
lain; pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi
radikal lesi massa yang mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa
darah dalam liquor atau perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa
kasus diharuskan untuk melakukan terapi sementara terlebih dahulu
sebelum diketahui secara pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan
tindakan operasi shunting karena kasus yang mempunyaietiologi
multifaktor atau mengalami gangguan aliran liquor skunder.
H. Pemeriksaan Diagnostic
1. Pemeriksaan fisik :
a. Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau lebih dari
normal.
b. Transiluminasi.
2. Pemeriksaan darah :
a. Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrocepalus.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal :
a. Analisa cairan serebrospinal pada hidrocepalus akibat perdarahan
atau meningitis untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan
kemungkinan ada infeksi sisa.
4. Pemeriksaaan radiologi :
a. X-foto kepala : tampak cranium yang membesar atau sutura yang
melebar.
b. USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
c. CT scan kepala : untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan
sekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya.
Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi penyebab dengan
modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan mudah. CT scan
kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema serebral, atau
lesi massasepertikista koloid dari ventrikel ketiga atau thalamic atau
pontine tumor.CT scan wajib bila ada kecurigaan proses neurologis
akut.
d. MRI, dapat memberi gambaran dilatasi ventrikelatau adanya lesi
I. Pencegahan
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit
hidrosepalus pada anak, antara lain:
1. Melakukan imunisasi secara lengkap
2. Melakukan pemeriksaan berkala
3. Memastikan asupan gizi yang cukup dan seimbang
4. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar
5. Menjaga bayi dari cedera kepala
Pathway Hydrosefalus
1. Stenosis akuaduktus sylvi Peradangan pada selaput Peliferasi sel secara abnormal Fibrosis leptomeningen pada
2. Spina bifida & cranium meningen daerah otak
bifida
3. Syndrome dandy walker Terbentuknya massa didalam
Terbentuknya jaringan parut otak Keluarnya cairan
(darah)
Masuk keruang
intracranial
Obstruksi cairan CSS
Infeksi Ventrikel dilatasi dan menekan organ-organ yang terdapat di otak Nyeri kepala
Risiko Infeksi Desakan pada otak dan selaput meningen Nyeri Akut
Suplai O2 dan nutrisi keotak terganggu Hipoksia serebral Perfusi Perifer Tidak Efektif
LAPORAN PENDAHULUAN
LIMFADENITIS TUBERCULOSIS PADA ANAK
OLEH
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Limfadenitis tuberculosis pada anak adalah suatu penyakit infeksi kronik
yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang kelenjar
getah bening (Suharyo dalam Djannah, dkk. 2022).
2. Etiologi
Limfadenitis TB diakibatkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis
yang menyebar melalui aliran darah dan sistem limfatik (Widarmin, dkk.
2019).
Menurut Shodikin, dkk, (2021), Penyebab terjadinya limfadenitis TB pada
anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yaitu :
a. Kontak dengan penderita TB dewasa
Faktor yang paling berpegaruh adalah kontak dengan penderita TB
dewasa, diantaranya adalah tinggal satu rumah dengan salah satu anggota
keluarga yang memiliki riwayat TB paru. Hal tersebut sangat
mempengaruhi kejadian limfadenitis TB pada anak mengingat TB
merupakan penyakit menular yang penularannya bisa melalui percikan
dahak ketika berinteraksi dengan penderita TB paru BTA (+) saat batuk
maupun bersin.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan survey prevalensi TB, perbandingan kejadian TB pada
laki-laki tiga kali lebih tinggi dibandingkan pada wanita.
c. Kondisi lingkungan tempat tinggal
d. Status gizi
Status gizi merupakan faktor terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk sistem imun dalam tubuh
e. Ekonomi keluarga
Status ekonomi berkaitan dengan penyediaan makanan yang bergizi,
status ekonomi yang rendah dapat menyebabkan kebutuhan keluarga
kurang terpenuhi termasuk makanan bergizi. Tingkat ekonomi yang
rendah juga dapat menyebabkan rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai penyakit TB paru dan sulitnya untuk mendapatkan akses
pelayanan kesehatan dengan baik.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Shodikin, dkk, (2021), gejala klinis limfadenitis TB pada anak
yaitu :
a. Benjolan / pembesaran kelenjar getah bening
b. Batuk
c. Demam
d. Penurunan berat badan
e. Sesak
4. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat dating dan pengobatan.
Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum
merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.
Prognosis limfadenitis tergantung dari penyebab dan waktu intervensi. Pada
umumnya limfadenitis adalah penyakit jinak, namun pasien dengan sepsis
mungkin memiliki hasil fatal (Kemenkes RI, 2014).
5. Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer
sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis,
sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis
karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat
juga terjadi pada orang dewasa. Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi
organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar
getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan
pericardium (Raviglione, dalam Sutrawati, 2019).
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai
di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua,
basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB
tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe
(limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis) (Datta dalam Sutrawati,
2019).
Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi
akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan
kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.
Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas
seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu
lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang
dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali
menimbulkan penyakit (Datta dalam Sutrawati, 2019).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke
kelenjar limfe di leher (Raviglione dalam Sutrawati, 2019).
Pathway
Mycobacterium Tuberkulosis
Limfadenitis Tuberkulosis
Djannah, F., A. Syamsun dan R.H. Setyorini. 2022. Skrining Limfadenopati pada
Kontak Erat Penderita Tuberculosis di Desa Binaan FK Universitas
Mataram. Jurnal PEPADU. 3(3) : 376-383.
Widarmin, A.K., I.M. Nur dan H.S. Rathomi. 2019. Gambaran Karakteristik
Limfadenitis Tuberkulosis di Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun
2017-2018. Prosiding Pendidikan Dokter. 5(1) : 534-541.
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM PADA ANAK
OLEH
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Kejang demam adalah perubahan aktivitas motorik atau behavior yang
bersifat paroksimal dan dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktifitas listrik
abnormal di otak yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh. Kejang demam
merupakan kejang yang terjadi pada suhu badan tinggi (kenaikkan suhu tubuh
diatas 38⁰C) karena terjadi kelainan ektrakranial. Kejang demam atau febrile
convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu tubuh
yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Jadi dapat disimpulkan, kejang
demam adalah gangguan yang terjadi akibat dari peningkatan suhu tubuh anak
yang dapat menyebabkan kejang yang diakibatkan karena proses ekstrakranium
(Indrayati & Haryanti, 2019).
2. Etiologi
Penyebab kejang demam Menurut Maiti & Bidinger (2018) yaitu:
a. Faktor Genetika
Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinya kejang demam,
25-50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga
yang pernah mengalami kejang demam.
b. Penyakit infeksi
1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius, pharyngitis, tonsillitis,
otitis media.
2) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab
demam berdarah)
c. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu
sakit dengan demam tinggi, demam pada anak paling sering disebabkan
oleh : ISPA, Otitis media, Pneumonia, Gastroenteritis, ISK.
d. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula
darah kurang dari 30 mg% pada neonates cukup bulan dan kurang dari 20
mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia.
e. Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera
kepala.
f. Neoplasma, toksin
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun, namun
mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia
pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit neoplastik meningkat
g. Gangguan sirkulasi
h. Penyakit degenerative susunan saraf.
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada pasien dengan kejang demam
pada anak menurut (Fitriana & Wanda, 2021) adalah sebagai berikut:
a. Demam tinggi >38°C
b. Bola mata naik ke atas
c. Gigi terkatup
d. Tubuh, termasuk tangan dan kaki menjadi kaku, kepala terkulai
kebelakang, disusul gerakan kejut yang kuat
e. Gerakan mulut dan lidah yang tidak terkontrol
f. Lidah dapat seketika tergigit
g. Lidah berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan
h. Saat periode kejang, terjadi kehilangan kesadaran
Pathway
3. Intervensi Keperawatan
Menurut SIKI, 2018 :
a. Manajemen Hipertermi
Observasi:
1) Identifikasi penyebab hipertermi
2) Monitor suhu tubuh
3) Monitor kadar elektrolit
4) Monitor keluaran urine
5) Monitor komplikasi akibat hipertermi
Terapeutik:
6) Sediakan lingkungan yang dingin
7) Longgarkan atau lepaskan pakaian
8) Basahi dan kipasi permukaan tubuh
9) Berikan cairan oral
10) Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis
11) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
12) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi:
13) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
14) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
b. Manajemen kejang
Observasi
1) Monitor terjadinya kejang berulang
2) Monitor karakteristik kejang
3) Monitor tanda-tanda vital
Terapeutik
4) Baringkan pasien agar tidak terjatuh
5) Pertahankan kepatenan jalan nafas
6) Dampingi salaam periode kejang
7) Catat durasi kejang
Edukasi
8) Anjurkan keluarga menghindari memasukan apapun kedalam mulut
pasien saat periode kejang
9) Anjurkan keluarga tidak menggunakan kekerasan untuk menahan
gerakan pasien.
Kolaborasi
10) Kolaborasi pemberian antikonvulsan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Fitriana, R., & D. Wanda. 2021. Perilaku Ibu dalam Penanganan Kejang Demam
pada Anak. Journal of Telenursing (JOTING). 3(2) : 491-498.
Indrayati, N., & D. Haryanti. 2019. Peningkatan Kemampuan Orang Tua Dalam
Penanganan Pertama Kejang Demam Pada Anak. Jurnal Peduli
Masyarakat. 1(1) : 7-12.
Lestari, S.I. 2021. Asuhan Keperawatan Anak Pada An. A Dengan Diagnosa
Kejang Demam di Ruang Baitunnisa 1 Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang. Karya Tulis Ilmiah. Semarang : Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.
Wulandari, D., & E. Meira. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yokyakarta :
Pustaka Belajar.
LAPORAN PENDAHULUAN
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK
OLEH
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan
bagian atas maupun bawah yang biasanya menular dan dapat menimbulkan
bebagai lingkup penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi
ringan sampai penyakit yang yang parah dan mematikan, tergantung pada
penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang
ditularkan dari manusia ke manusia. Gejala yang timbul biasanya dalam waktu
cepat yaitu dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya yaitu demam,
batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, sesak napas, mengi, atau
2. Etiologi
ISPA dapat disebabkan oleh bakteri dan virus, yang paling sering menjadi
penyebab ISPA diantara bakteri Stafilokokus dan Streptokokus serta virus
Influenza yang diudara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernapasan bagian atas yaitu hidung dan tenggorokan. Beberapa faktor lain
yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah
rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi
lingkungan (Wijayaningsi, 2013).
Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, dan faktor perilaku. Faktor lingkungan terdiri
dari pencemaran udara dalam rumah, ventilasi, kepadatan hunian, dan status
social ekonomi. Faktor individu anak terdiri dari usia, jenis kelamin, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A, dan imunisasi serta daya tahan tubuh anak.
Faktor perilaku yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain misalnya
perilaku merokok (Trisnawati & Khasanah, 2013).
3. Manifestasi Klinis
Agustama dalam (Daulay, 2021), penyakit infeksi saluran pernapsan
meliput infeksi pada tenggorokan, trakea, bronchioli dan paru-paru. Tanda dan
gejala penyakit infeksi saluran pernapsan meliputi : batuk, sakit tenggorokan,
pilek, demam, dan kesulitan bernapas.
Berikut gejala ISPA menurut Rudianto (2013), dibagi menjadi 3 antara
lain:
a. Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
gejalagejala sebagai berikut: Batuk, sesak yaitu anak bersuara parau pada
waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu bicara atau menangis),
pilek adalah mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung, panas atau
demam dengan suhu tubuh lebih dari 37OC atau jika dahi anak diraba
dengan punggung tangan terasa panas.
b. Gejala ISPA Sedang
Tanda dan gejala ISPA sedang meliputi tanda dan gejala pada ISPA
ringan ditambah satu atau lebih tanda dan gejala seperti pernafasan yang
lebih cepat (lebih dari 50 kali per menit), wheezing (nafas menciut-ciut),
dan panas 390C atau lebih. Tanda dan gejala lainnya antara lain sakit
telinga, keluarnya cairan dari telinga yang belum lebih dari dua minggu,
sakit campak.
c. Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat gejala sebagai berikut:
bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan cukup
lebar) pada waktu bernapas, anak tidak sadar atau kesadarannya menurun,
pernapasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah, pernapasan
berbunyi menciut dan anak tampak gelisah, nadi cepat lebih dari 60
kali/menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah.
4. Patofisiologi
Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga dapat
terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus. Semua
yang infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga terjadi
pembangkakan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan
peningkatan produski mucus yang berlebih yang berperan menyebabkan ISPA.
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus RSV,
rhinovirus, virus influenza, adenovirus, atau parainfluenza melalui inhalasi
aerosol yang mengandung partikel kecil deposisi droplet pada mukosa hidung
atau konjungtiva atau kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus
yang berasal dari penyandang ISPA atau lingkungan. Cara penularan virus
antara virus yang satu berbeda dengan virus yang lainnya. Virus influenza
terutama ditularkan melalui inhalasi aerosol partikel kecil sedangkan rhinovirus
ditularkan melalui kontak tangan ke mukosa hidung atau konjungtiva. Faktor
lain yang menjadi penyebab ISPA adalah usia dimana balita lebih berpotensi
terkena infeksi dari virus penyebab ISPA. Kemudian ukuran anatomi saluran
pernapasan yang terlalu kecil pada anak-anak akan menjadi sasaran radang
selaput lendir dan peningkatan produksi sekret. Kemudian daya tahan tubuh
balita khususnya kondisi kekurangan daya tahan tubuh lebih cenderung terkena
infeksi. (Hartono & Rahmawati, 2016).
Masuknya virus sebagai antigen ke seluruh saluran pernapasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan reflex
spasmus oleh laring. Jika reflex tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernapasan. Iritasi virus pada kedua lapisan
tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Adanya infeksi virus
merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat virus
tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan
mekanisme perlindungan pada saluran pernapasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran
pernapasan atas seperti streptococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut.
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak
dan dapat menyumbat saluran napas sehingga timbul sesak napas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Peningkatan produksi mucus
menyebabkan akumulasi sekret yang meningkat, sehingga muncul masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas (Wulandari & Meira, 2016).
Pathway
Virus, bakteri, jamur Invasi saluran napas
Termolegulator pada
Obstruksi jalan napas
hipotalamus berpengaruh
Respon batuk
Suhu tubuh meningkat
Bersihan Jalan
Hipertermia Napas Tidak Efektif
(Windasari, 2018)
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba
eustachi, penyebaran infeksi seperti meningitis purulenta (Windasari, 2018).
6. Pencegahan
Menurut Hastuti, D (2013) pencegahan ISPA pada anak dapat dilakukan
dengan :
a. Menyediakan makanan bergizi sesuai preferensi anak dan kemampuan
untuk mengkonsumsi makanan untuk mendukung kekebalan tubuh alami.
b. Pemberian imunisasi lengkap pada anak.
c. Keadaan fisik rumah yang baik, seperti : ventilasi di rumah dan
kelembaban yang memenuhi syarat.
d. Menjaga kebersihan rumah, tubuh, makanan, dan lingkungan agar bebas
kuman penyakit.
e. Menghindari pajanan asap rokok, asap dapur.
f. Mencegah kontak dengan penderita ISPA dan isolasi penderita ISPA untuk
mencegah penyebaran penyakit.
7. Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Pemberian obat medis untuk penyakit ISPA diberikan berdasarkan
simtomatik (sesuai dengan gejala yang muncul), sebab antibiotik tidak
efektif untuk infeksi virus. Antibiotik efektif untuk mengobati infeksi
bakteri, membunuh mikroorganisme atau menghentikan reproduksi bakteri
juga membantu sistem pertahanan alami tubuh untuk mengeliminasi
bakteri tersebut (Fernandez, 2013).
Penatalaksanaan medis lain yaitu obat kusia (menurunkan nyeri
tenggorokan), antihistamin (menurunkan rinorrhe), vitamin C, dan
vaksinasi (Wulandari & Meira, 2016).
b. Nonfarmakologis
Salah satu pengobatan non farmakologis yang dapat diberikan adalah
dengan pemberian terapi herbal yaitu minuman jahe dan madu. Jahe
merupakan salah satu obat herbal yang sangat efektif untuk mengatasi
batuk karena mengandung minyak atsiri yang merupakan zat aktif untuk
mengatasi batuk, sedangkan madu mengandung antibiotik yang berfungsi
untuk meredakan batuk, madu yang ditambahkan pada rebusan jahe akan
menambah cita rasa dibandingkan dengan hanya rebusan jahe itu sendiri,
sehingga kombinasi minuman herbal jahe madu efektif untuk menurunkan
keparahan batuk tanpa menimbulkan efek samping (Qamariah, Mulyani, &
Dewi, 2018).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan catatan tentang hasil pengkajian yang dilaksanakan
untuk mengumpulakan informasi dari klien, membuat data dasar klien, dan
membuat catatan tentang respon kesehatan klien. Dengan demikian hasil
pengkajian dapat mendukung untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien
dengan baik dan tepat. Tujuan dari dokumentasi adalah untuk mendapatkan
data yang cukup untuk menentukan strategi perawatan. Pengkajian didapat dari
dua data yaitu data objektif dan data subjektif. Perawat perlu memahami cara
memperoleh data. Data dari hasil pengkajian perlu didokumentasikan dengan
baik (Yustiana & Ghofur, 2016).
Menurut Amalia Nurin, dkk (2014) pengkajian keperawatan terdiri dari :
a. Identitas klien : Meliputi nama, usia, jenis kelamin, berat badan, agama,
alamat dan nama orang tua.
b. Umur : Infeksi saluran pernapasan sering terjadi pada anak usia dibawah 3
tahun, terutama pada bayi yang berusia kurang dari 1 tahun.
c. Jenis kelamin : Angka kejadian ISPA pada anak perempuan lebih tinggi
daripada anak laki-laki.
d. Alamat : Diketahui bahwa penyebab ISPA dan penyakit gangguan
pernapasan adalah rendahnya kualitas udara didalam ataupun diluar rumah
baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang
kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah.
e. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri
otot dan sendi, nafsu makan menurun, bauk, pilek, dan sakit
tenggorokan.
2) Riwayat penyakit dahulu
Klien biasanya sudah pernah mengalami penyakit ini sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Nurin, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan ISPA. Riau :
Poltekkes Kemenkes Riau.
Aprilla, N., E. Yahya dan Ririn. 2019. Hubungan Antara Perilaku Merokok pada
Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pulau Jambu
Wilayah Kerja Puskesmas Kuok Tahun 2019. Jurnal Ners. 3(1) : 112-117.
Daulay, L.M. 2021. Asuhan Keperawatan Pada An. M Dengan Gangguan Sistem
Respirasi : ISPA Dengan Pemberian Minuman Jahe Madu Terhadap
Penurunan Frekuensi Batuk. Laporan Elektif. Padangsidimpuan :
Universitas Uafa Royhan.
OLEH
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, M.Kep Ns. Eka Pratiwi Puluhulawa, S.Kep
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2023
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya
kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena
adanya kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang
menunjukkan sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit
membran hialin (PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity. RDS
adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang bayi-bayi
preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup bulan
(Arief Bakhtiar, 2018).
2. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik
dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan
ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua
usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS. PMH ini 60-80% terjadi pada
bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi
antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan
jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi
dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan
multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin
dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada
bayi preterm laki-laki atau kulit putih (Arief Bakhtiar, 2018).
3. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan
berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan
pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan
riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.
Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah
lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila
keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan
perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis
seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan
karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal,
epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan
pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan
pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang
menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Ngastiyah, 2015).
4. Prognosis
Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat
prematuritas dan beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua
bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas
diperkirakan antara 20-40% (Asrining Surasmi, dkk, 2013).
5. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya
tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa
udara fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan Anak, 2021).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi
paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat
inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat
menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras
untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi),
sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya,
setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat
kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk
menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit
membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru
ini dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran
darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan
pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan
menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia.
Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang
menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam
laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah
jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan
endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya
transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama
dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat
pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon
dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan
pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan
sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan
menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak
mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,
asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan.
Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi
dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan
surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2013).
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari : atelektasis hipoksia asidosis transudasi
penurunan aliran darah paru hambatan pembentukan substansi surfaktan
atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau
kematian bayi (Asrining Surasmi, dkk, 2013).
Primer Sekunder
Bayi prematur Perdarahan antepartum, Ibu diabetes Seksio sesaria Aspirasi mekonium Asfiksia Resusitasi Pneumotorak,
hipertensi hipotensi (pneumonia aspirasi) neonatorum neonatus sindrom wilson,
(pada ibu) mikity
Pembentukan Hiperinsulinemia Pengeluaran
membran hialin janin hormon stress oleh Pernapasan intra uterin Janin kekurangan Pemberian kadar
surfaktan paru Gangguan perfusi darah ibu O2 dan kadar CO2 O2 yang tinggi Insufisiensi pada
belum sempurna uterus Sumbatan jalan napas meningkat bayi prematur
Imaturitas paru
parsial oleh air ketuban Trauma akibat
Sirkulasi utero plasenter Mengalir ke janin Gangguan
dan mekonium kadar O2 yang
kurang baik pematangan paru perfusi tinggi
bayi yang berisi air
Kerusakan surfaktan
Bayi prematur; dismaturitas Menekan sintesis
surfaktan
Pertumbuhan surfaktan paru belum matang
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
Suriadi & Yuliani. 2016. Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan keperawatan
pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA (PENYAKIT KUNING) PADA ANAK
OLEH
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, M.Kep Ns. Eka Pratiwi Puluhulawa, S.Kep
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin
dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan pada
bayi baru lahir yaitu warna kuning pada mata, kulit, dan mata atau biasa
disebut dengan jaundice. Hiperbilirubiinemia merupakan peningkatan kadar
bilirubin serum yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kelainan bawaan
sehingga menyebabkan ikterus (Imron, 2015).
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan
karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru
lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan
Prayogi, 2017).
2. Etiologi
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan
oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak
dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang
selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi
urobilinogen.Hal tersebut meyebabkan kadarbilirubin meningkat dalam plasma
sehingga terjadi ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson dalam Haris (2017), secara garis besar etiologi ikterus
atau hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut.
Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh,
AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar).
Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat
ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.
Kelainan diluar heparbiasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
3. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru
lahir tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL
atau lebih (Mansjoer, 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit
sehingga menimbulkan warna kuning atau jingga.Pada hiperbilirubinemia direk
bisanya dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor.
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada
sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24
jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis,
atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua
atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat
dan menurun pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan
jaundice fisiologis (Ngatisyah, 2012).
Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
4. Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah
rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan
cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian
diekskresikan melalui traktus gastrointestinal.Bayi memiliki usus yang belum
sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan
bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut
masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan
Jaya, 2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang.Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan
syaraf pusat dan bersifat toksik. Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu
yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase,
biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi non enzimatik dalam sistem
retikuloendotelial.Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi
diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati.Pengambilan
tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein.Bilirubin tak
terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi
bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi
direk).Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi
melaui ginjal.Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui
membran kanalikular.Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan
oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine.Beberapa bilirubin
diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik (Kosim, 2012).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
diekskresikan dalam jumlah normal.Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat
disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin
mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah.
Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan
menyebabkan kuning atau ikterus. Warna kuning dalam kulit akibat dari
akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar
(bereaksi indirek).Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan
merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil
transferase.Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena
penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatic (Khusna,
2013).
Pathway
5. Komplikasi
6. Pencegahan
7. Penatalaksanaan
Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi hiperbilirubinemia yaitu:
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi
dapat dipercepat.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas.
c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah
dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin
dengan cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan
untuk pra dan pasca transfusi tukar.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,
tanggal pengkajian.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau
intrapartus.
2) Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi
lahir melalui operasi caesar.
c. Data dasar pengkajian
1) Cardiovaskuler
a) Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
b) Murmur sistolik
c) Denyut jantung DBN
2) Integumen
a) Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
b) Pitting edema pada tangan dan kaki
c) Mottling
3) Neurologis
a) Immobilitas, kelemahan
b) Penurunan suhu tubuh
4) Pulmonary
a) Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
b) Nafas grunting
c) Pernapasan cuping hidung
d) Pernapasan dangkal
e) Retraksi suprasternal dan substernal
f) Sianosis
g) Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
5) Status behavioral
a) Letargi
d. Pemeriksaan Doagnostik
1) Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi
diafragma dengan over distensi duktus alveolar
2) Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
3) Data laboratorium :
a) Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan
cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
b) Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan
maturitas paru
c) Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
d) Tingkat phospatydylinositol
e) AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen
92%-94%, pH 7,3-7,45.
f) Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium
dari sel alveolar yang rusak.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko injury (internal) berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan sekresi bilirubin.
b. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(insensible water loss) tanpa disadari dari fototerapi.
c. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi dan gangguan
bonding.
e. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengalaman
orang tua.
3. Intervensi Keperawatan
RESUME KEPERAWATAN PADA An. AFA DENGAN LIMFADENITIS
TUBERCULOSIS DI POLI ANAK RSUD OTANAHA KOTA
GORONTALO
OLEH
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, S.Kep., M.Kep Ns. Salma Ishak, S.Kep., M.M
NIP. 19740604 201407 2 001
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, S.Kep., M.Kep Ns. Salma Ishak, S.Kep., M.M
NIP. 19740604 201407 2 001
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, S.Kep., M.Kep Ns. Samsiar N. Mohune, S.Kep
Ns. Rini Wahyuni Mohamad, S.Kep., M.Kep Ns. Samsiar N. Mohune, S.Kep