14 x 20
145 halaman
Nitha Ayesha
Fandy Said
Fandy Said
Pertama:
Januari 2021
KATA PENGANTAR
Restorative Justice v
Kejaksaan, dan juga Mahkamah Agung telah banyak
membuat pembaruan dimana hukum pidana bukanlagi
berperspektif win lose solution, namun juga mengutamakan
pemulihan korban.
Saat ini Indonesia telah memiliki dasar hukum yang
baru mengenai penerapan restorative justice pada dunia
peradilan antara lain berupa Surat Edaran Nomor: Se/
8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum Nomor:
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Dengan adanya dasar
hukum tersebut, diharapkan masyarakat akan mendapatkan
keadilan yang substansial yaitu pulihnya kerugian korban.
Buku ini membahas tentang penerapan restorative
justice dan dasar-dasar hukum yang baru mengenai
penerapan restorative justice antara lain berupa Surat
Edaran Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian
Perkara Pidana di tingkat Penyelidikan dan Penyidikan,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Penulis
Restorative Justice 1
Di era modern, era media sosial, era milenial dan era-
era kecanggihan teknologi tak jarang masyarakat cenderung
menggunakan jalur pengadilan sebagai upaya dalam
menyelesaikan suatu perkara.1 Perkara hina menghina,
masuklah kepengadilan, perkara mencuri kakao masuk
kepengadilan, perkara maling sendal jepit juga masuk
kepengadilan. Hal ini karena menurut mereka secara
konseptual dan teoritis akan menciptakan keadilan, namun
dalam kenyataan dan faktanya hal tersebut malah jusdru
tidak mudah untuk dicapai karena sifatnya yang cenderung
bersifat win lose solution, dengan kenyataan seperti ini,
penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan yang
sifatnya hanya win lose solution pada umumnya kerap
menimbulkan rasa “tidak enak atau kecewa”, menyimpan
dendam, merasa tidak puas, merasa tidak adil bahkan lebih
parah yaitu berniat ingin membalas dendam.
Seseorang yang di curi hartanya, mungkin akan
mengalami rugi kedua kalinya jika proses hukumnya
melalui peradilan karena akan mengeluarkan biaya cukup
banyak. Seorang korban yang ditipu karena investasi
1
Ahmad Faizal Azhar, Penerapan Konsep Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 4, No. 2, Desember
2019, hal. 135
Restorative Justice 3
sudah menjadi suatu ketentuan.2 Satjipto Raharjo yang
menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem
peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan
suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur
lambat.3 Peran dan fungsi peradilan saat ini dianggap
mengalami beban yang terlampau padat (overloaded),
lamban dan buang waktu (wasteof time), biaya mahal
(veryexpensive) dan kurang tanggap terhadap kepentingan
umum, dan dianggap terlampau formalitik (formalistic) dan
terlampau teknis (technically), terlebih lagi adanya "mafia
peradilan" yang seakanakan mengindikasikan keputusan
hakim dapat dibeli.4
Banyaknya kritik yang dilontarkan dalam
hubungannya dengan kinerja pengadilan pada umumnya
mengatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
pengadilan sangat lamban, sehingga membutuhkan waktu
yang sangat lama dan biaya perkara yang gunakan sangat
2
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 3-5.
3
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Kompas, Jakarta, hal. 170.
4
Bambang Sutiyoso, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan
Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini
dan Mendatang, Citra Media, Yogyakarta, hal. 30.
5
M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem
Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya, Bandung, hal.
153
Restorative Justice 5
perkara pidana inilah yang sering disebut sebagai
restorative justice.
Pada awalnya restorative justice hanya merupakan
teori, bahkan terkadang penyelesaian sengketa atau
masalah pidana diluar peradilan sering dianggap tabu. Oleh
karena itu buku ini mengupas masalah konkrit pelaksanaan
restorative justice dalam peradilan pidana. Baik Kepolisian,
Kejaksaan, dan juga Mahkamah Agung telah banyak
membuat pembaruan dimana hukum pidana bukanlagi
berperspektif win lose solution, namun juga mengutamakan
pemulihan korban.
Buku ini membahas penerapan restorative justice dan
dasar-dasar hukum yang baru mengenai penerapan
restorative justice antara lain berupa Surat Edaran Nomor:
Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.
Buku ini diharapkan dapat menjadi acuan hukum
acara penerapan restorative justice didalam proses
penegakan hukum pidana baik di Kepolisian, Kejaksaan dan
Restorative Justice 7
BAB II
SISTEM PERADILAN PIDANA
6
Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif
Teoritik Dan Praktik Peradilan, Mandar Maju, Bandung, hal. 38
7
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
Kencana, Jakarta, hal. 2.
Restorative Justice 9
antara keputusan tiap instansi yang terlibat
dalam proses peradilan pidana sedangkan
“Criminal Justice Process” adalah setiap tahap
dari suatu putusan yang menghadapkan
tersangka ke dalam proses yang membawanya
kepada penentuan pidana baginya.
2. Menurut Marjono Reksodiputro sistem
peradilan Pidana adalah sistem pengendalian
kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan terpidana.
3. Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana, harus
dilihat sebagai “The network of Courts and
tribunal which deal with criminal law and it’s
enforcement”.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa Sistem
Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan
Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem penegakan
hukum pada dasarnya merupakan sistem
kekuasaan/kewenangan menegakan hukum.
Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat
diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”.
Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana atau Sistem
Penegakan Hukum Pidana (SPHP) hakikatnya juga identik
10
Barda Nawawi Arief, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem
Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), UNDIP,
Semarang, hal. 34-35
11
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op cit., hal. 3-5
Restorative Justice 11
keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan
hukum semata-mata;
12
Romli Atmasasmita, 2006, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal. 16-18.
Restorative Justice 13
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
pemasyarakatan terpidana.13 Berdasarkan pengertian
tersebut, sistem peradilan pidana yang terpadu adalah
adanya keterpaduan antara unsur-unsur yang ada di dalam
sistem peradilan pidana yaitu keterpaduan antara lembaga
kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan lembaga
pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari
komponen Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan
Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Pada
prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki
hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal
justice process) yang dimulai dari proses penangkapan,
pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri
.dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.14
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan
pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan
keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang
15 Ibid., hal. 84
Restorative Justice 15
mengenai asas-asas pokok perlindungan hak asasi manusia
yang terlibat dalam proses peradilan pidana khususnya
tersangka dan terdakwa.
Mekanisme peradilan pidana dilakukan melalui
beberapa tahapan proses. Setiap SPP mempunyai ketentuan
yang mungkin sama atau berbeda dalam hal mengatur
mengenai tahap-tahapan proses peradilan pidana. Namun
demikian secara garis besar tahapan- tahapan tersebut
setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:
1. Tahapan Sebelum Sidang Pengadilan (Pra
Adjudication, Pre-trial Processes);
2. Tahapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
(Adjudication, Trial Processes);
3. Tahapan Sesudah Sidang Pengadilan Selesai
(Post Adjudication Post- trial Processes).16
Tahap pemeriksaan pendahuluan adalah semua
tahapan proses sebelum sampai pada pemeriksaan perkara
di pengadilan. Menurut KUHAP tahap pemeriksaan
pendahuluan dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu: (1)
proses penyelidikan dan penyidikan, dan (2) proses
penuntutan. Sumber bahan masukan perkara pidana ke
dalam proses peradilan pidana dapat melalui laporan,
16 Ibid., hal. 87
17
Ibid., hal. 88
18 Ibid., hal. 204
Restorative Justice 17
berkekuatan hukum tetap yang telah diterima jaksa dan
panitera pengadilan selanjutnya harus dilaksanakan oleh
jaksa sesuai dengan isi putusan. Dengan demikian yang
bertindak selaku eksekutor atas putusan Hakim bukanlah
jaksa penuntut umum melainkan jaksa. Agar putusan
Hakim yang menjatuhkan pidana berupa perampasan
kemerdekaan badan baik untuk sementara waktu atau
untuk seumur hidup dapat dipantau apakah sudah
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat
memberi masukan bagi pengadilan mengenai ketepatan
Hakim dalam membuat putusan, pada setiap pengadilan
ditunjuk Hakim pengawas dan pengamat untuk
melaksanakan tugas tersebut.19
Restorative Justice 21
termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut
penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya serta sifatnya sederhana.
Restorative Justice 23
umum). Artinya dalam memulai persidangan, penuntutan
pada acara biasa melalui mekanisme dakwaan tidak
dilakukan pada acara pemeriksaan cepat. Terdakwa
dipanggil masuk, lalu diperiksa identitasnya. Hakim yang
bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam
buku register semua perkara yang diterimanya, dengan
memuat nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, termpat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya
(Pasal 207 ayat (2) poin a dan b KUHAP).
Penyidik atas kuasa penuntut umum memberitahukan
perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa dan
pasal undang- undang yang dilanggarnya; (dapat dilihat dari
bunyi surat pengantar pelimpahan perkara Penyidik). Hakim
tunggal kemudian memberikan kesempatan pada terdakwa,
apakah ada keberatanterhadap dakwaan. Terdakwa
disuruh pindah duduk, dan dilanjutkan dengan memeriksa
saksi-saksi.
Saksi diperiksa namun tidak disumpah/berjanji
kecuali hakim mengganggap perlu. Jika Hakim memandang
perlu (misal, karena terdakwa mungkir), maka sebaiknya
saksi disumpah; Penyumpahan dapat dilakukan sebelum
atau pun sesudah saksi memberikan keterangan. Hakim
memperlihatkan barang bukti ( jika ada ) kepada saksi dan
Restorative Justice 25
diperiksa dengan Acara Cepat. Terhadap Putusan Verstek
sebagaimana tersebut dalam poin diatas, yang berupa
pidana perampasan kemerdekaan, terpidana dapat
mengajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara tersebut dengan tata cara sebagai
berikut:
Restorative Justice 27
BAB IV
KEADILAN RESTORATIF
JUSTICE
Restorative Justice 29
adalah nilai/prinsip pendekatan terhadap kejahatan
dan konflik, dengan fokus keseimbangan pada orang
yang dirugikan, penyebab kerugian, dan masyarakat
yang terkena dampak).25
25
Ibid. , hal. 4
26
Ibid., hal. 5
27 Ibid. , hal. 5
Restorative Justice 31
Respon terhadap kejahatan yang semula ditakukan
dengan menggetar peraditan pidana oteh negara untuk
mencari kesatahan petaku, kemudian diikuti dengan
pengenaan sanksi guna menceta dan mengenakan
penderitaan atau nestapa kepadanya yang pada prinsipnya
adalah pengasingan/disintegrasi. Restorative justice justru
sebaliknya mengusung fatsafah intergrasi yang sotutif,
masing-masing pihak berperan aktif untuk menyelesaikan
masatah. Oleh karena itu konsep Restorative justice bisa
dibilang mengintegrasikan prinsip musyawarah datam
penyelesaian perkara pidana.
28
Ibid., hal. 7
Restorative Justice 33
kebutuhan korban, pelaku dan masyarakat
melatui proses yang memelihara keamanan dan
martabat bagi semua pihak (that preserve the
safety and dignity of all)29.
29
Ibid., hal. 8
30 Ibid., hal. 9
Restorative Justice 35
hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana
didorong untuk bertanggung jawab;
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan
dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks
menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
31
31
Hari S. Malang Joedo dan Nugroho D, 2009, Kejahatan dan Pemidanaan,
PT Elex Media Komputiondo, Jakarta, hal. 121.
Restorative Justice 37
pandang Sosial-Pedagogis. Artinya masalah kejahatan dan
segala konsekuensinya diatamatkan ke lefel sosial.33
Laporan Kongres PBB ke-11 di Bangkok-Tahitand
(Report of the Eleventh United Nations Congress on Crime
Prevention and Criminal Justice Bangkok, 18-25 April 2005),
merumuskan bahwa:
There was general agreement on the need for
innovative approaches in the administration of justice,
including the use of alternatives to imprisonment for
minor offences, especially by first-time offenders,
juvenile offenders and drug abusers, the use of
restorative justice, including mediation and
conciliation, and the need to take into consideration the
rights of victims, in particular those of women and
children.
33
Ibid., hal. 18
34
Ibid., hal. 19
Restorative Justice 39
penggunaan program peradilan restoratif. Evaluasi
untuk mendesain kembali petaksanaan peradilan yang lebih
efektif perlu di lakukan di Indonesia, dan Kongres PBB
cukup menjadi salah satu aspirasi untuk membangun atau
meng update/ reform kebijakan peradilan ke arah model
restorative justice.
Dalam kebijakan nasional ada Pancasita yang
merupakan core philosopy bangsa. Sebagai core philosopy
Pancasita dengan begitu merupakan sumber nilai bagi
adanya sistem hukum di Indonesia. Dalam sila ke-4
Pancasila: "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan"
terkandung falsafah permusyawaratan atau musyawarah,
makna yang terkandung adalah:
Mengutamakan musyawarah dalam mengambit
keputusan untuk kepentingan bersama, dan
menghormati setiap keputusan musyawarah,
keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
35
Ibid., hal. 20
Restorative Justice 41
penyelesaian perkara pidana mengandung prinsip yang
disebut dengan istitah VOC (Victim Offender Conferencing).
Target datam pertemuan VOC (Victim Offender
Conferencing) adalah mediasi atau VOM (Victim-Offender
Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan sating
menyepakati perbaikan. Tujuannya adalah untuk
menangani kejahatan sebagai konflik yang harus
diselesaikan antara orang terkena dampak langsung bukan
sebagai konflik antara negara dan terdakwa.
Restorative Justice 43
Mediasi Penal menurut Barda Nawawi Arief 37
merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution
atau Apropriate Dispute Resolution). Alternative Dispute
Resolution (ADR) pada umumnya digunakan di lingkungan
kasus-kasus perdata3, tidak untuk kasus-kasus pidana.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku pada, walaupun
prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan, akantetapi dalam hal-hal tertentu
dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,
sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal
telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui
mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Pada dasarnya, mediasi penal merupakan salah satu
bentuk alternatif penyelesaian sengketa/perkara di luar
pengadilan yang lazim digunakan dalam lingkungan kasus-
kasus perdata berdasarkan asas restorative justice. Akan
37
Barda Nawawi Arief. (2008). Mediasi Penal: Penyelesaian
Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, Makalah Seminar Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta, 27 Maret 2007.
Restorative Justice 45
saat keluar dari penjara maupun ketika kembali
bersosialisasi kemasyarakat.
Dimensi nilai mediasi penal sebenarnya berakar
keadilan restoratif dari kearifan lokal hukum adat
Indonesia. Dalam praktik sosial masyarakat Indonesia,
mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi
seperti pada masyarakat Papua (budaya bakar batu), Aceh
(peradilan gampong), Bali (lembaga adat dalam awig-awig
desa), Nusa Tenggara Barat (lembaga begundem), dan lain
sebagainya.38 Kemudian dalam dimensi yuridis, mediasi
penal diatur secara parsial, terbatas dan tatarannya masih
di bawah undang-undang, seperti dalam Instruksi Presiden
(Inpres) dan Peraturan Kapolri.
Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam
hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal
dengan istilah „mediasi penal‟ (penal mediation). Pada Polri
sendiri, penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme
mediasi penal ini telah dikenal sejak keluarnya Surat
Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya
38
Lilik Mulyadi. 2015, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, hal. 22-23
Restorative Justice 47
berlaku”. Konsekuensi logisnya dalam praktik peradilan,
sering kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui
berbagai diskresi aparat penegak hukum
(kepolisian/kejaksaan). Praktik penyelesaian demikian
sering terjadi suatu kasus secara informal telah ada
penyelesaian damai namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku, karena mediasi
penal secara nasional tidak ada aturan hukumnya.
Pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal penyelesaian
perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan
Gampong atau Peradilan Damai.39 Selain itu, dalam Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat
khususnya Pasal 13 menentukan, “penyelesaian
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan
secara bertahap”, kemudian disebutkan pula, bahwa “aparat
penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara
Restorative Justice 49
kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu desa”
(Sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa
inggih punika prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan
banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan banjar; na.
Bendesa, sang mewicara sami-sami ring petunggalan desa
adat). Kemudian di Nusa Tenggara Barat (Lombok),
khususnya pada masyarakat suku Sasak dikenal cara
penyelesaian masalah (perkara) melalui musyawarah
(Begundem) untuk mencapai perdamaian.
Dalam Kotaragama, angka 49 huruf b tentang
Kebidjaksanaan atau Kedermawanan Radja, ditentukan
bahwa: “Ini tjara orang tjerdik pandai berbitjara. Dalam
membitjarakan sesuatu masalah oleh diantara warga desa
(Negara), djika tidak ada pendahuluan nasehat
mengakibatkan tidak baik, akan tetapi bila masalah
diselesaikan melalui perdamaian, kedua belah fihak akan
merasakan manfaatnja. Tjara inilah jang
dikehendaki/diterima baik oleh Radja karena memang tjara
demikian itu mendjadi ketentuan jang dinamakan
keadilan”40 Berdasarkan ketentuan konteks di atas maka
Suku Sasak dalam menyelesaikan perselisihan pertama-
tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan
Restorative Justice 51
pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio
decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang
melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka
Adat memberikan reaksi adat (sanksi/obat adat) maka yang
bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua
kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan
Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan
yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana
penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3)
sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan
demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan
Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).
Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui
eksistensi peradilan adat dimana adanya mediasi penal
antara pelaku dengan korban, kemudian penjatuhan
“sanksi/obat adat” tersebut dilakukan sebagai suatu
pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat
adatnya sehingga adanya keseimbangan antara alam kosmis
dan non kosmis menjadi kembali seperti sedia kala.
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-
Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978
dimana dalam perkara Ny. Ellya Dado, lazim disingkat
Restorative Justice 53
BAB V
KEADILAN RESTORATIF
JUSTICE DALAM PRAKTEK
Restorative Justice 55
penyidik tindak pidana, menempatkan polisi berhubungan
dengan sebagian besar tindak pidana umum atau biasa
(ordinary or common crimes). Sebagian besar polisi bekerja
reaktif daripada proaktif, dengan sangat bergantung pada
warga masyarakat untuk mengadu atau melapor atas
dugaan terjadinya tindak pidana.43 Dengan bukti-bukti
cukup, berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), polisi
selaku penyidik melimpahkan perkara ke Kejaksaan untuk
dilakukan penuntutan.
Status polisi sebagai penyidik utama didalam sistem
peradilan pidana atau sebagai pintu gerbang didalam proses
menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan
mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang
polisi sebagai penyidik menerima terlalu banyak perkara-
perkara yang sifatnya terlalu ringan, kurang berarti dan
kurang efisien kalau diproses. Selain hal tersebut seringkali
polisi juga mengalami hambatan-hambatan didalam proses
penyidikan, seperti karena terbatasnya dana, terbatas
personel dan kemampuan serta waktupun juga menjadi
kendala yang berarti. Hal ini dikarenakan didalam proses
penyidikan penyidik dituntut untuk sesegera mungkin
menyelesaikannya, hal ini mengakibatkan seringkali
43
Dalam Jonlar Purba, Ibid., hal. 69
Restorative Justice 57
kaku, sehingga kebijaksanaan-kebijakanaan seperti
menghentikan atau mengenyampingkan perkara pidana
yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan dari sudut
tugas-tugas kepolisian dapat juga dilakukan oleh polisi.
Di tingkat kepolisian (tahap penyelidikan dan
penyidikan), pendekatan restorative justice dapat digunakan
berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary powers).
Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang
memberi ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan
administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan
diskresi diberikan kepada pemerintah (jajaran badan-badan
administrasi negara) mengingat fungsi pemerintah/
administrasi negara, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan
mewujudkannya adalah konsekuensi logis dari konsep
“Welfare State” dan sebagai alternatif untuk mengisi
kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas
legalitas (“wetmatigheid van bestuur”).
Untuk itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam
mengambil kewenangan diskresi adalah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung
wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam hal ini
Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf f UU No. 2 Tahun 2002,
Restorative Justice 59
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana. Proses penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, merupakan pintu entry point dari
suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan
pidana (criminal justice system) di Indonesia. Oleh karena
itu, proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana
merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu
perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan
peradilan pidana guna mewujudkan tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dengan tetap
mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
Perkembangan sistem dan metode penegakan hukum
di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan
mengikuti perkembangan keadilan masyarakat terutama
berkembangnya prinsip keadilan restoratif (restorative
justice) yang merefleksikan keadilan sebagai bentuk
keseimbangan hidup manusia, sehingga perilaku
menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku
yang menghi[angkan keseimbangan. Dengan demikian
model penyelesaian perkara yang dilakukan adalah upaya
mengembalikan keseimbangan tersebut, dengan
membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan dengan
kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan
Restorative Justice 61
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus
memberikan kepastian hukum terutama kepastian proses
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak
bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara
damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan
semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui
upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat
setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator,
sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam
bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak
menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim
melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan
kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum
Metode penyelesaian perkara pidana yang
mencerminkan penerapan prinsip keadilan restoratif
(restorative justice) dan dapat dijadikan acuan dalam
penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice)
terhadap perkara pidana adalah sebagai berikut:
1. Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa kecuali dalam
hal putusan hakim masih mungkin diulangi,
orang tidak boleh dituntut dua kali karena
perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap
dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap;
Restorative Justice 63
dalam metode penyidikannya dapat didasarkan pada
ketentuan sebagai berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
bahwa penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal
5 ayat (1) angka 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan
jika memenuhi syarat sebagai berikut:
3. Tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum;
4. Selaras dengan kewajiban hokum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
5. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
6. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
yang memaksa; dan
Restorative Justice 65
4. Adanya pernyataan dari semua pihak yang
terlibat untuk tidak keberatan dan melepaskan
hak menuntutnya di hadapan hukum;
Adapun prinsip pembatas pendekatan Restorative
justice antara lain :
1. Pada pelaku:
a. Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat,
yakni kesalahan (schuld atau mensrea dalam
bentuk kesengajaan (dolus atau opzet)
terutama kesengajaan sebagai maksud atau
tujuan (opzet als oogmerk);
b. Pelaku bukan residivis;
c. Pada tindak pidana dalam proses
Penyelidikan;
d. Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke
Penuntut Umum;
2. Terpenuhi syarat formil yaitu:
a. Surat Permohonan Perdamaian kedua belah
pihak (pelapor dan terlapor);
b. Surat Pernyataan Perdamaian (akte dading)
dan penyelesaian perselisihan para pihak
yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga
pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor
Restorative Justice 67
2. Permohonan perdamaian setelah persyaratan
formil terpenuhi diajukan kepada atasan
penyidik untuk mendapatkan persetujuan;
Restorative Justice 69
a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat
Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal, pada tingkat
Polda;
c. Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
11. Mencatat ke dalam buku register baru B-19
sebagai perkara keadilan restoratif (restorative
justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan
terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai
tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan,
penyembuhan dan “inclusiveness”, yang berfokus pada
reparasi terhadap kerugian akibat kejahatan, di samping
berusaha mendorong pelaku untuk bertanggungjawab atas
perbuatannya, melalui pemberian kesempatan para pihak
yang terdampak langsung oleh kejahatan yaitu korban,
pelaku dan masyarakat, dengan mengidentifikasi dan
memperhatikan kebutuhannya setelah terjadinya kejahatan,
dan mencari suatu pemecahan berupa penyembuhan,
reparasi dan reintegrasi serta mencegah kerugian
selanjutnya.44
Restorative Justice 71
B. Pelaksanaan Keadilan Restoratif Justice Pada
Tingkat Penuntutan Kejaksaan
Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah di
bidang hukum yang memiliki tugas dan fungsi untuk
melaksanakan kekuasaan negara khusus dalam wilayah
penuntutan. Ketentuan tentang kedudukan kejaksaan
ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, lengkapnya sebagai berikut :
a. Kejaksaan RI yang selanjutnya dalam UU ini
disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta
melaksanakan kewenangan lain berdasarkan
undang-undang;
b. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara merdeka;
c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan
bahwa, Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya
dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
Restorative Justice 73
negara penuntut umum yang diamanahkan dan
dipercayakan masyarakat, negara, dan
pemerintah, yang mewajibkan setiap warganya
untuk senantiasa memperluas wawasan
pengetahuan dan kemampuanya;
c. Mumpuni : berarti setiap warga kejaksaan wajib
melakukan tugasnya dengan prakarsa sendiri,
dan membangun serta mengembangkan kerja
sama dengan dilandasi semangat kebersamaan,
keterpaduan, dan keakraban untuk mencapai
keberhasilan.
Pertanggungjawaban Kejaksaan Republik Indonesia
saat ini langsung kepada Presiden selaku kepala
pemerintahan. Hal ini tersurat dan diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, bahwa Kejaksaan sebagai “lembaga pemerintah”
dan kedudukan Jaksa Agung ditetapkan setingkat Menteri
Negara, sebagai Pembantu Presiden, yang secara tegas
dinyatakan yang diangkat dan diberhentikan oleh serta
bertanggungjawab kepada Presiden. Akuntabilitas Jaksa
Agung berkenaan dengan kewenangannya dalam
menetapkan dan mengendalikan penegakkan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
Restorative Justice 75
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga
telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas
dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan
keputusan bersyarat;
d. Melaksanakan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara,
kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
Restorative Justice 77
pidana (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) dan
pemberitahuan baik dari penyidik maupun
penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat
(1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum;
Restorative Justice 79
telah dilimpahkan penuntut umum ke
pengadilan negeri untuk disidangkan (Pasal 74
KUHAP);
8. Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk memeriksan sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh
penyidik (Pasal 80 KUHAP). Maksud Pasal 80 ini
adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horisontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara
pidana itu harus dihadiri oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, maka penuntut
umum menerima penyerahan perkara dari
oditur militer dab selanjutnya dijadikan dasar
untuk mengajukan perkara tersebut kepada
pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)
KUHAP);
10. Menentukan sikap apakah berkas perkara telah
memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan
ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP).
11. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggungjawab selaku penuntut umum
(Pasal 14 huruf f KUHAP). l. Apabila penuntut
Restorative Justice 81
Membuat surat dakwaan (Pasal 143 (1)
KUHAP)
17. Menyempurnakan atau tidak penuntutan,
penuntut umum dan mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang
atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
sidang dimulai (Pasal 144 KUHAP).
Penghentian penuntutan oleh penuntut umum
didasarkan pada bunyi Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dari
ketentuan pasal tersebut secara garis besar dibagi menjadi
dua dasar yaitu alasan penghentian penuntutan dan
prosedur di dalam melakukan penghentian penuntutan. 49
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a
KUHAP, alasan penghentian penuntutan adalah karena tidak
cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum. Untuk
memperjelas maksud penghentian penuntutan, pertama-
tama kita kembali kepada pengertian penuntutan seperti
yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang berbunyi:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
49
Lihat Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Restorative Justice 83
kepentingan hukum dilakukan oleh penuntut umum
sebelum melakukan penuntutan.50
Perbuatan menutup perkara demi hukum ini antara
lain dapat dilakukan oleh penuntut umum, apabila
mengenai suatu tindak pidana itu ternyata terdapat dasar-
dasar yang meniadakan penuntutan atau ternyata terdapat
vervolgingsuitsluitingsgronden, karena dengan adanya
dasar-dasar seperti itu menjadi tertutup kemungkinannya
bagi penuntut umum untuk dapat melakukan suatu
penuntutan terhadap seseorang yang oleh penyelidik telah
disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu.
Dalam suatu tindak pidana itu terdapat dasar-dasar
yang meniadakan pidana atau tidak, apakah suatu tindak
pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya berdasarkan
sesuatu unsur schuld atau tidak, apakah sesuatu tindakan
itu bersifat melawan hukum atau tidak, apakah seorang
tersangka itu dapat dipandang sebagai toerekeningsvatbaar
atau tidak, dan apakah tindakan seorang pelaku itu dapat
dipandang sebagai toerekenbaar atau tidak, maka setelah
seorang itu disidik atau dituntut, hanya hakim sajalah yang
berwenang untuk memutuskannya.
Restorative Justice 85
menampung dan keluarga pelaku yang ditahan tidak
mendapat nafkah.
Menjawab permasalahan tersebut, Jaksa Agung RI S.T
Burhanuddin yang memiliki tugas dan wewenang
mengefektifkan proses penegakan hukum di lingkungan
Kejaksaan RI mengeluarkan kebijakan hukum yang sangat
progresif dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Kebijakan ini menjadi
krusial dimotori oleh Kejaksaan mengingat Kejaksaan
(Jaksa) memiliki posisi dan peran strategis dalam proses
penegakan hukum dalam bingkai sistem peradilan pidana
terpadu sebagai master of process/dominus litis yang salah
satu fungsinya menyaring sebuah perkara pidana dan
menentukan perlu tidaknya sebuah perkara pidana
diteruskan ke persidangan dengan mempertimbangkan 3
(tiga) nilai tujuan hukum yg disebut oleh Gustav Radbruch.
Berdasarkan hal tersebut pada tanggal 22 Juli 2020
diundangkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan ini
memberikan dan mempertimbangkan basis equal and
balances antara Pelaku, Korban, Masyarakat dan Negara,
sehingga keadilan restoratif yang menjadi kebijakan
Restorative Justice 87
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang
bukti atau nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2,5
juta.
Restorative Justice 89
Di Kejaksaan Negeri Purwokerto kasus Perum
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Barat
sepakat damai dengan warga Desa Petahunan, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, dalam kasus penebangan puluhan
pohon pinus di Petak 47 Resor Pemangkuan Hutan
Samudra. Kesepakatan damai tersebut ditandai dengan
penandatanganan Nota Kesepakatan Perdamaian antara
tersangka kasus penebangan pohon pinus Siyo Sujono (50)
dan Administrator Perhutani KPH Banyumas Barat Toni
Kuspuja di Aula Kejaksaan Negeri Purwokerto, Kabupaten
Banyumas, Rabu, dengan disaksikan oleh Kepala Kejari
Purwokerto Sunarwan dan Wakil Bupati Banyumas Sadewo
Tri Lastiono. Kajari Purwokerto Sunarwan mengatakan
penghentian perkara tersebut didasari Peraturan Kejaksaan
Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.52
Restorative Justice 91
kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas
pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang
secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman
adalah hakim. Hakim harus memahami ruang lingkup tugas
dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundang-
undangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban,
selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam
menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.
Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran
aktif (judicial activism) dari hakim dalam proses peradilan.
Pada Putusan Nomor: 40 / Pid.B / 2013 / PN. Spg.
Pengadilan Negeri Sampang yang mengadili Zainuddin
dalam kasus pengeroyokan sesuai Pasal 170 ayat (1) KUHP
menyatakan bahwa:
Menimbang, bahwa "Restorative justice" sebagai salah
usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara
damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di
Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi
restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui
negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum
nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik
Restorative Justice 93
Pada kasus tersebut telah pula terjadi perdamaian
dan permintaan maaf antara Terdakwa dan Korban beserta
keluarga Korban dan yang dituangkan dalam Surat
Pernyataan Perdamaian tertanggal 19 April 2013 yang
melibatkan dan diketahui oleh Kepala Desa Pulau
Mandangin, bahwa dalam surat pernyataan perdamaian
tersebut berisi bahwa Terdakwa tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi dan korban dalam hal ini adalah Imamul
Muttaqin beserta keluarganya tidak akan
mempermasalahkan lagi dan akan diselesaikan secara
kekeluargaan. Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana
penjara selama pidana selama 2 (dua) bulan dan 7 (tujuh)
hari penjara.
Pada kasus narkotika, setidaknya Putusan Nomor
183/Pid.Sus/ 2013 / PN.Bjm yang mengadili Risky Putra
Utama menggunakan teori Restorative justice dalam
menerapkan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim
menyatakan bahwa:
Harapan dan keinginan dari sistim peradilan perkara
anak menuju peradilan anak restorative yang
berangkat dari asumsi bahwa perilaku kenakalan
anak adalah perilaku yang merugikan korban dan
masyarakat. Tujuan dari peradilan restorative terarah
pada pembangkitan rasa tanggungjawab anak/pelaku
Restorative Justice 95
Aspek restorative justice juga dihadirkan dalam
perkara penganiayaan anak oleh seorang guru di Pengadilan
Negeri Kotamobagu. Febrina Modeong, S.Pd melakukan
kekerasan terhadap anak yaitu terhadap anak korban Farhan
Mamonto yang masih berumur 9 (sembilan) tahun di SDN I
Bongkudai Barat. Terdakwa mencubit telinga sebelah kanan
saksi Ravansyah Mamonto alias Rava dengan menggunakan
tangan kanan, lalu Terdakwa menampar kepala bagian kanan
sebanyak satu kali. Majelis Hakim dalam Putusan Nomor
78/Pid.Sus/2019/PN.Ktg menyatakan bahwa:
Restorative Justice 97
dengan tanpa mengurangi kesalahan Terdakwa, Majelis
Hakim berpendapat bahwa, Terdakwa cukup dibina dalam
masyarakat tanpa harus melalui lembaga pemasyarakatan,
untuk itu ketentuan Pasal 14 a KUHP diterapkan dalam
perkara ini.
Restorative Justice 99
Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia Nomor
166A/KMA/SKB/XII/2009, 148 A/A/JA/
12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02
Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP
dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum.
58 Siti Lestari, 2016, “Analisis Putusan Terkait Riwayat Seksual Korban atau
Stereotype Sebagai Dasar Meringankan atau Membebaskan Terdakwa”,
dalam Lidwinga Inge Nurtjahyo dan Choky R. Ramadhan (ed.),
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana: Analisis
Konsistensi Putusan, Edisi Pertama, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Indonesia bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan
Lembaga Bantuan Hukum Apik atas dukungan Australia Indonesia
Partnership for Justice, hal. 338.
Literatur
Sumber Lainnya
Arief, Barda Nawawi. (2008). Mediasi Penal: Penyelesaian
Perkara Pidana Di Luar Pengadilan. Makalah
Seminar Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP.
Jakarta. 27 Maret 2007.
Azhar, Ahmad Faizal. Penerapan Konsep Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum
Islam Vol. 4. No. 2. Desember 2019.
Garner, Bryan A. dan Henry Campbell Black. 2004. Black’s
Law Dictionary. Minnesota: West Group.
Mitendra, Hario Mahar. Fenomena Dalam Kekosongan
Hukum. dalam Jurnal RechtsVinding Online.
Muladi. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak. Makalah
Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus
2013.