Anda di halaman 1dari 145

RESTORATIVE JUSTICE

Dalam Peradilan Pidana di Indonesia

Kurniawan Tri Wibowo,


Erri Gunrahti Yuni U

14 x 20

145 halaman

Nitha Ayesha

Fandy Said

Fandy Said

Pertama:
Januari 2021
KATA PENGANTAR

Dunia Peradilan memang sangat kompleks dan dan


tidak sederhana. Cukup banyaknya kritik yang dilontarkan
dalam hubungannya dengan kinerja pengadilan pada
umumnya mengatakan bahwa penyelesaian masalah
melalui pengadilan sangat lamban, sehingga membutuhkan
waktu yang sangat lama dan biaya perkara yang gunakan
sangat besar. Selain itu, lembaga pengadilan dianggap
kurang tanggap atau tidak responsif dalam membela dan
memperhatikan kepentingan umum serta tidak tanggap
terhadap kepentingan rakyat biasa dan cenderung
memperhatikan lembaga besar dan orang kaya. Putusan
yang diberikan oleh pengadilan pun pada akhirnya tidak
menyelesaikan masalah tetapi membuat masalah baru dan
terkadang membingungkan, sehingga mutu putusan tidak
obyektif dan tidak menyentuh permasalahan pokok
permasalahan.

Pada awalnya restorative justice hanya merupakan


teori, bahkan terkadang penyelesaian sengketa atau
masalah pidana diluar peradilan sering dianggap tabu. Oleh
karena itu buku ini mengupas masalah konkrit pelaksanaan
restorative justice dalam peradilan pidana. Baik Kepolisian,

Restorative Justice v
Kejaksaan, dan juga Mahkamah Agung telah banyak
membuat pembaruan dimana hukum pidana bukanlagi
berperspektif win lose solution, namun juga mengutamakan
pemulihan korban.
Saat ini Indonesia telah memiliki dasar hukum yang
baru mengenai penerapan restorative justice pada dunia
peradilan antara lain berupa Surat Edaran Nomor: Se/
8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum Nomor:
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Dengan adanya dasar
hukum tersebut, diharapkan masyarakat akan mendapatkan
keadilan yang substansial yaitu pulihnya kerugian korban.
Buku ini membahas tentang penerapan restorative
justice dan dasar-dasar hukum yang baru mengenai
penerapan restorative justice antara lain berupa Surat
Edaran Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian
Perkara Pidana di tingkat Penyelidikan dan Penyidikan,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan

vi Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Keadilan Restoratif di tingkat penuntutan Kejaksaan dan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 di tingkat
Pengadilan. Dengan demikian peradilan diharapkan dapat
efektif dan efisien.

Purwokerto, 15 Januari 2021

Penulis

Restorative Justice vii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... v


DAFTAR ISI ................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................................1
BAB II
SISTEM PERADILAN PIDANA ...............................................................8
BAB III
HUKUM ACARA PERADILAN CEPAT .............................................. 20
BAB IV
KEADILAN RESTORATIF JUSTICE ................................................... 28
BAB V
KEADILAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PRAKTEK ........... 54
BAB VI
PENUTUP .................................................................................................. 128
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 131
RIWAYAT PENULIS .............................................................................. 135

viii Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


BAB I
PENDAHULUAN

Apakah keadilan memang ada di pengadilan ?


Pertanyaan ini merupakan pertanyaan substansial, bahwa
apakah sebenarnya apa yang diputus pengadilan akan selalu
adil, atau justru keadilan tidak ada di Pengadilan, namun
keadilan ada di dalam diri masing-masing individu yang
mampu bersama-sama menyelesaikan masalahnya sendiri.
Banyak sekali masyarakat berbondong-bondong datang
kepengadilan menyelesaikan masalahnya, namun terjadang
justru tidak mendapatkan keadilan. Lalu salah siapa, apakah
pengadilannya yang salah karena menerapkan hukum yang
memang demikian adanya, atau justru adagium “Nec curia
deficeret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah istana
tempat dewi keadilan bersemayam menyemburkan aroma
keadilan tiada henti) memang sudah seharusnya diganti?

Restorative Justice 1
Di era modern, era media sosial, era milenial dan era-
era kecanggihan teknologi tak jarang masyarakat cenderung
menggunakan jalur pengadilan sebagai upaya dalam
menyelesaikan suatu perkara.1 Perkara hina menghina,
masuklah kepengadilan, perkara mencuri kakao masuk
kepengadilan, perkara maling sendal jepit juga masuk
kepengadilan. Hal ini karena menurut mereka secara
konseptual dan teoritis akan menciptakan keadilan, namun
dalam kenyataan dan faktanya hal tersebut malah jusdru
tidak mudah untuk dicapai karena sifatnya yang cenderung
bersifat win lose solution, dengan kenyataan seperti ini,
penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan yang
sifatnya hanya win lose solution pada umumnya kerap
menimbulkan rasa “tidak enak atau kecewa”, menyimpan
dendam, merasa tidak puas, merasa tidak adil bahkan lebih
parah yaitu berniat ingin membalas dendam.
Seseorang yang di curi hartanya, mungkin akan
mengalami rugi kedua kalinya jika proses hukumnya
melalui peradilan karena akan mengeluarkan biaya cukup
banyak. Seorang korban yang ditipu karena investasi

1
Ahmad Faizal Azhar, Penerapan Konsep Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 4, No. 2, Desember
2019, hal. 135

2 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


bodong misalnya, akan menanggung kerugian yang lebih
besar karena ia harus memberikan berbagai macam
kontribusi, agar mekanisme penegakan hukum bisa berjalan
cepat dan fokus pada urusannya. Isu mafia peradilan di
Indonesia yang sudah menjadi rahasia umum, misalnya
penawaran pengurangan hukuman atau percepatan
putusan dan lain-lain dari seseorang yang bertindak sebagai
penghubung. Korupsi banyak dilakukan oleh para hakim,
dan terjalinnya komunikasi yang sangat erat antara hakim
dengan pengacara menyebabkan semakin rapuhnya
penegakan hukum.
Secara praktis di Indonesia terdapat pengaturan agar
proses berperkara di pengadilan dapat berjalan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan yaitu berdasarkan
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Undang-undang tersebut menentukan bahwa
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan dalam kenyataanya tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan, khususnya dalam perkara-perkara perdata,
bahkan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak justru
tidak sedikit.
Joni Emirzon menyatakan bahwa, pada umumnya
dapat dikategorikan sebagai salah satu kelemahan bagi
suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun

Restorative Justice 3
sudah menjadi suatu ketentuan.2 Satjipto Raharjo yang
menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem
peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan
suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur
lambat.3 Peran dan fungsi peradilan saat ini dianggap
mengalami beban yang terlampau padat (overloaded),
lamban dan buang waktu (wasteof time), biaya mahal
(veryexpensive) dan kurang tanggap terhadap kepentingan
umum, dan dianggap terlampau formalitik (formalistic) dan
terlampau teknis (technically), terlebih lagi adanya "mafia
peradilan" yang seakanakan mengindikasikan keputusan
hakim dapat dibeli.4
Banyaknya kritik yang dilontarkan dalam
hubungannya dengan kinerja pengadilan pada umumnya
mengatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
pengadilan sangat lamban, sehingga membutuhkan waktu
yang sangat lama dan biaya perkara yang gunakan sangat

2
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 3-5.
3
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Kompas, Jakarta, hal. 170.
4
Bambang Sutiyoso, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan
Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini
dan Mendatang, Citra Media, Yogyakarta, hal. 30.

4 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


besar. Selain itu, lembaga pengadilan dianggap kurang
tanggap atau tidak responsif dalam membela dan
memperhatikan kepentingan umum serta tidak tanggap
terhadap kepentingan rakyat biasa dan cenderung
memperhatikan lembaga besar dan orang kaya. Putusan
yang diberikan oleh pengadilan pun pada akhirnya tidak
menyelesaikan masalah tetapi membuat masalah baru dan
terkadang membingungkan, sehingga mutu putusan tidak
obyektif dan tidak menyentuh permasalahan pokok
permasalahan.5
Pada perkembangannya dunia peradilan ternyata
memahami permasalahan tersebut, sehingga munculah ide-
ide lain penyelesaian masalah yang memberdayakan para
korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk
memperbaiki suatu perbuatan yang melawan hukum
dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai
landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.
Konsep keadilan pemulihan yang lebih menitikberatkan
pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari
pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian

5
M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem
Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya, Bandung, hal.
153

Restorative Justice 5
perkara pidana inilah yang sering disebut sebagai
restorative justice.
Pada awalnya restorative justice hanya merupakan
teori, bahkan terkadang penyelesaian sengketa atau
masalah pidana diluar peradilan sering dianggap tabu. Oleh
karena itu buku ini mengupas masalah konkrit pelaksanaan
restorative justice dalam peradilan pidana. Baik Kepolisian,
Kejaksaan, dan juga Mahkamah Agung telah banyak
membuat pembaruan dimana hukum pidana bukanlagi
berperspektif win lose solution, namun juga mengutamakan
pemulihan korban.
Buku ini membahas penerapan restorative justice dan
dasar-dasar hukum yang baru mengenai penerapan
restorative justice antara lain berupa Surat Edaran Nomor:
Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.
Buku ini diharapkan dapat menjadi acuan hukum
acara penerapan restorative justice didalam proses
penegakan hukum pidana baik di Kepolisian, Kejaksaan dan

6 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


di Pengadilan. Melaalui uraian detai diharapkan pembaca
buku baik mahasiswa, penegak hukum ataupun masyarakat
umum dapat mengerti proses beracara dengan
mendasarkan pada restorative justice. Dengan demikian
harapan masyarakat akan keadilan yang ada pada lembaga
peradilan tetap bersemayam seperti adagium adagium “Nec
curia deficeret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah
istana tempat dewi keadilan bersemayam menyemburkan
aroma keadilan tiada henti).

Restorative Justice 7
BAB II
SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Definisi Sistem Peradilan Pidana


Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau
criminal justice system merupakan suatu istilah yang
menunjukkan mekanisme kerja dalam penagggulangan
kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan
sistem.6 Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice
system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem.7

6
Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif
Teoritik Dan Praktik Peradilan, Mandar Maju, Bandung, hal. 38
7
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
Kencana, Jakarta, hal. 2.

8 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana
merupakan rangkaian proses bekerjanya aparat penegak
hukum mulai proses penyelidikan dan penyidikan,
penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan
di sidang pengadilan. Dengan kata lain Mekanisme
penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme
bekerjanya hukum acara pidana untuk mewujudkan tujuan
dari peradilan pidana. Mardjono mengemukakan bahwa
sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menaggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat.8
Nyoman Serikat Putra Jaya menyatakan bahwa,
pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice
System para ahli hukum antara lain:9
1. Hagan membedakan pengertian “Criminal
justice system” dan “Criminal Justice Process”.
“Criminal Justice System” adalah inerkoneksi

8 Barda Nawawi Arief, 2011, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem


Penegakan Hukum Di Indonesia), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 14.
9 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 3-
5.

Restorative Justice 9
antara keputusan tiap instansi yang terlibat
dalam proses peradilan pidana sedangkan
“Criminal Justice Process” adalah setiap tahap
dari suatu putusan yang menghadapkan
tersangka ke dalam proses yang membawanya
kepada penentuan pidana baginya.
2. Menurut Marjono Reksodiputro sistem
peradilan Pidana adalah sistem pengendalian
kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan terpidana.
3. Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana, harus
dilihat sebagai “The network of Courts and
tribunal which deal with criminal law and it’s
enforcement”.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa Sistem
Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan
Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem penegakan
hukum pada dasarnya merupakan sistem
kekuasaan/kewenangan menegakan hukum.
Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat
diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”.
Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana atau Sistem
Penegakan Hukum Pidana (SPHP) hakikatnya juga identik

10 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dengan Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum
Pidana.10
Pandangan Herbert L. Packer dengan pendekatan
normatif sistem peradilan pidana, yakni Crime Control
Model, Due Process Mode1. Dasar asumsinya adalah;
Pertama, aparatur penegak hukum tidak diperkenankan
menerapkan asas undang-undang tidak berlaku surut.
Kedua, membatasi kewenangan aparatur penegak hukum
dalam melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan
terhadap seorang pelaku kejahatan; dan Ketiga, seorang
pelaku kejahatan adalah subyek hukum yang harus
dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak
memihak. 11
Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana
dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, yaitu antara
lain:
1. Pendekatan normatif yang memandang
keempat aparatur (kepolisian kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga

10
Barda Nawawi Arief, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem
Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), UNDIP,
Semarang, hal. 34-35
11
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op cit., hal. 3-5

Restorative Justice 11
keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan
hukum semata-mata;

2. Pendekatan manajemen atau administratif yang


memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) sebagai suatu organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja,
baik hubungan yang bersifat horisontal maupun
yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi
tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem
administrasi; dan

3. Pendekatan sosial yang memandang keempat


aparatur penegak hukum (kepolisian kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut

12 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem sosial.12

B. Bekerjanya Hukum Acara Pada Peradilan Pidana


Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada
dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian
Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu
mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan
interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-
peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan
teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan
Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan
penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan
badan-badan yang masingmasing memiliki fungsi sendiri-
sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem
peradilan pidana yang dinamakan sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice system). Jadi sistem ini
mengisyaratkan adanya keterpaduan atau keterkaitan yang
erat antar unsur-unsur yang ada dalam sistem tersebut.
Mardjono Reksodiputro menyebut pengertian sistem ini

12
Romli Atmasasmita, 2006, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal. 16-18.

Restorative Justice 13
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
pemasyarakatan terpidana.13 Berdasarkan pengertian
tersebut, sistem peradilan pidana yang terpadu adalah
adanya keterpaduan antara unsur-unsur yang ada di dalam
sistem peradilan pidana yaitu keterpaduan antara lembaga
kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan lembaga
pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari
komponen Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan
Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Pada
prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki
hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal
justice process) yang dimulai dari proses penangkapan,
pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri
.dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.14
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan
pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan
keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang

13 Mardjono Reksodiputro, 1997, Hak Asasi Manusia dalam Sistem


Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 84.
14 Kurniawan Tri Wibowo, 2020, Hukum dan Keadilan (Peradilan Yang
Tidak Kunjung Adil), Papas Sinar Sinanti, Depok, hal. 84

14 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana
(hukum formal) dengan bekerjanya kelima aspek
sebagaimana konteks diatas maka diharapkan adanya
dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia
dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku
tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.15
Implementasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
dapat diartikan pelaksanaan atau bekerjanya hukum
khususnya peradilan yang menyangkut peran-peran sub
sistem peradilan pidana dalam melaksanakan penegakan
hukum. Oleh karena itu terdapat aturan hukum (KUHAP dan
peraturan perundangan lainnya) sebagai substansi, terdapat
struktur hukum (penegak hukum/caturwangsa penegakan
hukum), dan kultur hukum.
Ketentuan hukum yang mengatur hukum acara
pidana di Indonesia terutama terdapat dalam undang-
undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP berinduk pada
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun. 2009,
yang telah mengatur mengenai dasar-dasar
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan juga asas-asas
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan juga

15 Ibid., hal. 84

Restorative Justice 15
mengenai asas-asas pokok perlindungan hak asasi manusia
yang terlibat dalam proses peradilan pidana khususnya
tersangka dan terdakwa.
Mekanisme peradilan pidana dilakukan melalui
beberapa tahapan proses. Setiap SPP mempunyai ketentuan
yang mungkin sama atau berbeda dalam hal mengatur
mengenai tahap-tahapan proses peradilan pidana. Namun
demikian secara garis besar tahapan- tahapan tersebut
setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:
1. Tahapan Sebelum Sidang Pengadilan (Pra
Adjudication, Pre-trial Processes);
2. Tahapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
(Adjudication, Trial Processes);
3. Tahapan Sesudah Sidang Pengadilan Selesai
(Post Adjudication Post- trial Processes).16
Tahap pemeriksaan pendahuluan adalah semua
tahapan proses sebelum sampai pada pemeriksaan perkara
di pengadilan. Menurut KUHAP tahap pemeriksaan
pendahuluan dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu: (1)
proses penyelidikan dan penyidikan, dan (2) proses
penuntutan. Sumber bahan masukan perkara pidana ke
dalam proses peradilan pidana dapat melalui laporan,

16 Ibid., hal. 87

16 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


pengaduan, dan hasil pengetahuan dan aparat penegak
hukum pidana yang berasal dan hasil penyelidikan.17
Pada proses adjudikasi, Pengadilan Negeri menerima
bahan masukan perkara pidana melalui proses penuntutan
yang dilakukan oleh penuntut umum. Dalam proses
Penuntutan pengaduan negeri menerima berkas perkara
penyidikan lengkap beserta surat dakwaan disertai
permohonan agar perkara tersebut diperiksa dan diadili. 18
Dengan adanya penetapan tersebut maka yang berwenang
dan bertanggungjawab secara penuh untuk menyelesaikan
perkara tersebut bukan lagi di tangan Ketua Pengadilan
Negeri melainkan ada pada Hakim yang telah ditunjuk.
Untuk itu bagi Hakim yang bertugas untuk menyidangkan
perkara diberi jaminan kebebasan dalam arti bebas dan
pengaruh ekstra judicial agar ia dapat menyelesaikan
perkara secara adil hingga pada saat putusan.
Pada tahap akhir, apabila putusan hakim sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan dilaksanakan
(dieksekusi) oleh Jaksa, selaku eksekutor maka putusan itu
dijalani oleh terpidana yang implementasinya dilakukan
oleh Petugas Pemasyarakatan. Tahap ini disebut dengan
Pasca/Post Ajudikasi. Salinan putusan yang telah

17
Ibid., hal. 88
18 Ibid., hal. 204

Restorative Justice 17
berkekuatan hukum tetap yang telah diterima jaksa dan
panitera pengadilan selanjutnya harus dilaksanakan oleh
jaksa sesuai dengan isi putusan. Dengan demikian yang
bertindak selaku eksekutor atas putusan Hakim bukanlah
jaksa penuntut umum melainkan jaksa. Agar putusan
Hakim yang menjatuhkan pidana berupa perampasan
kemerdekaan badan baik untuk sementara waktu atau
untuk seumur hidup dapat dipantau apakah sudah
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat
memberi masukan bagi pengadilan mengenai ketepatan
Hakim dalam membuat putusan, pada setiap pengadilan
ditunjuk Hakim pengawas dan pengamat untuk
melaksanakan tugas tersebut.19

19 M. Syukri Akub & Baharudin Baharu, 2012, Wawasan Due Process of


Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama, Rangkang
Education, Yogyakarta, hal. 201

18 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Restorative Justice 19
BAB III
HUKUM ACARA PERADILAN
CEPAT

A. Definisi/ Batasan Acara Pemeriksaan Cepat


Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana telah mengatur tata cara beracara dalam
persidangan perkaraperkara pidana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada
Bab XVI KUHAP, acara pemeriksaan perkara dalam
persidangan di Pengadilan Negeri telah dibedakan ke dalam
tiga macam jenis cara/sistem pemeriksaan yakni :
1. Acara Pemeriksaan Biasa, diatur dalam bagian
ketiga, Bab XVI, tidak ada pasal yang secara
khusus mengatur tentang bab ini.
2. Acara Pemeriksaan Singkat, diatur di bagian
kelima, Bab XVI Pasal 203 ayat (1) KUHAP.
3. Acara Pemeriksaan Cepat, diatur di bagian
keenam, Bab XVI Pasal 205 ayat (1) KUHAP.

20 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Dasar titik tolak perbedaan tata cara pemeriksaan ini,
ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diadili dan dari
segi mudah atau sulitnya dalam pembuktian perkaranya.
Makna percepatan pada proses persidangan yang
dipaparkan di atas maksudnya adalah persidangan dengan
menerapkan sistem Acara Pemeriksaan Cepat, sebagaimana
diatur di dalam bagian keenam, Bab XVI Pasal 205 ayat (1)
KUHAP.20
Jenis perkara singkat atau perkara cepat (tindak
pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas),
pelimpahannya dilakukan tanpa surat dakwaan. Perkara
yang ancaman hukumnya ringan serta pembuktian perkara
pidananya dinilai mudah, maka diperiksa dengan “Acara
Pemeriksaan Singkat” atau “Sumir”. Hanya pada
pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat saja yang
diberikan batasan oleh KUHAP.21
Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberi batasan yang
dimaksud dengan pemeriksaan singkat sebagai berikut:
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat
ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak

20 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 104
21 Kurniawan Tri Wibowo, 2020, Hukum Acara Pidana (Menggugat
Kelemahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia),
Papas Sinar Sinanti, Depok, hal. 184

Restorative Justice 21
termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut
penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya serta sifatnya sederhana.

Mengenai perkara-perkara yang diperiksa dengan


acara pemeriksaan cepat (tindak pidana ringan),
undang-undang tidak menjelaskan mengenai jenis tindak
pidana yang termasuk dalam kelompok perkara yang
diperiksa dengan acara pemeriksaan secara ringan
/pemeriksaan cepat, melainkan hanya menentukan dari segi
ancaman hukumnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam
Undang-Undang Pasal 205 ayat (1) KUHAP bahwa:
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak
pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang
ditentukan dalam paragraf 2 (dua) bagian ini”.

B. Mekanisme Acara Pemeriksaan Cepat


Penyidik atas kuasa Penuntut Umum, dalam waktu 3
(tiga) hari sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat,
menghadapkan Terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli,
dan atau juru bahasa ke Sidang pengadilan (Pasal 295 Ayat

22 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


(2) KUHAP). Jaksa Penuntut Umum dapat hadir di
persidangan dengan sebelumnya menyatakan keingiannya
untuk hadir pada sidang (Pedoman Pelaksanaan Tugas
Administrasi Pengadilan Buku II, Cetakan Ke-5, MA
RI,2004). Pengadilan mengadili denganHakim Tunggal, pada
tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat banding
(Pasal 296 Ayat (3) KUHAP). Pengadilan menetapkan hari
tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan
acara pemeriksaan Tipiring (Pasal 206 KUHAP).
Penyidik harus memberitahukan secara tertulis
kepada Terdakwa tentang hari, tanggal, jam, dan tempat ia
harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut
dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan
bersama berkas dikirim ke Pengadilan (Pasal 207 Ayat (1)
poin a KUHAP). Perkara Tipiring yang diterima harus
disidangkan pada hari sidang itu juga (Pasal 207 Ayat (1)
poin b KUHAP)
Proses pemeriksaan di Pengadilan melalui acara cepat
hanya menggunakan hakim tunggal. Pada awal persidangan,
sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
Penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan
terdakwa serta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa
kalau ada kesidang pengadilan (tanpa dihadiri penuntut

Restorative Justice 23
umum). Artinya dalam memulai persidangan, penuntutan
pada acara biasa melalui mekanisme dakwaan tidak
dilakukan pada acara pemeriksaan cepat. Terdakwa
dipanggil masuk, lalu diperiksa identitasnya. Hakim yang
bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam
buku register semua perkara yang diterimanya, dengan
memuat nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, termpat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya
(Pasal 207 ayat (2) poin a dan b KUHAP).
Penyidik atas kuasa penuntut umum memberitahukan
perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa dan
pasal undang- undang yang dilanggarnya; (dapat dilihat dari
bunyi surat pengantar pelimpahan perkara Penyidik). Hakim
tunggal kemudian memberikan kesempatan pada terdakwa,
apakah ada keberatanterhadap dakwaan. Terdakwa
disuruh pindah duduk, dan dilanjutkan dengan memeriksa
saksi-saksi.
Saksi diperiksa namun tidak disumpah/berjanji
kecuali hakim mengganggap perlu. Jika Hakim memandang
perlu (misal, karena terdakwa mungkir), maka sebaiknya
saksi disumpah; Penyumpahan dapat dilakukan sebelum
atau pun sesudah saksi memberikan keterangan. Hakim
memperlihatkan barang bukti ( jika ada ) kepada saksi dan

24 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


terdakwa dan kemudian dilanjutkan dengan Pemeriksaan
terdakwa. Pemeriksaan dilakukan dalam tempo waktu yang
cepat. Sesudah selesai, hakim memberitahukan ancaman
pidana atas tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa; ( hal ini dilakukan karena tidak ada acara
Requisitoir/ peuntutan). Hakim harus memberi kesempatan
bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan (atau
permintaan) sebelum menjatuhkan putusan.
Putusan dijatuhkan pada hari yang sama dengan hari
diperiksanya perkara itu juga, toleransi penundaan dapat
dilakukan apabila ada permohonan dari Terdakwa. Putusan
hakim hanya dicatat dalam daftar/berkas perkara dan
dalam buku register dan tidak ada berita acara sidang.
Putusan dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan
terakhir, kecuali dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan terdakwa, sehingga dapat minta banding.
SEMA No. 9 Tahun 1983: sifat “cepat” itu
menghendaki agar perkara tidak sampai tertunggak, di
samping itu situasi serta kondisi masyarakat belum
memungkinkan apabila untuk semua perkara Tipiring
terdakwa diwajibkan hadir pada waktu putusan diucapkan,
maka perkara-perkara cepat (baik Tipiring maupun Lantas)
dapat diputus diluar hadirnya Terdakwa (verstek) dan
“Pasal 214 KUHAP” berlaku untuk semua perkara yang

Restorative Justice 25
diperiksa dengan Acara Cepat. Terhadap Putusan Verstek
sebagaimana tersebut dalam poin diatas, yang berupa
pidana perampasan kemerdekaan, terpidana dapat
mengajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara tersebut dengan tata cara sebagai
berikut:

1. Panitera memberitahukan penyidik adanya


perlawanan/verzet;

2. Hakim menetapkan hari sidang perlawanan

3. Perlawanan diajukan dalam waktu 7 (tujuh)


harisetelah putusan diberitahukan secara
sahkepada Terdakwa.

4. Terhadap putusan pengadilan dalam perkara


tipiring yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan dapat diajukan banding ke
Pengadilan Tinggi.
Acara pemeriksaan cepat juga digunakan pada
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
Pelanggar yang diperiksa dalam acara pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas jalan ialah perkara pelanggaran
tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas jalan. Pada pemeriksaan persidangan tersebut, tidak
ada berkas perkara atau berita acara pemeriksaan.

26 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Terdakwa pada pemeriksaan ini juga dapat menunjuk
dengan surat untuk mewakilinya. Pemeriksaan acara cepat
dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa/kuasanya.

Dalam hal putusan berupa perampasan kemerdekaan,


terdakwa dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan Negeri di tempat dimana ia diputus. Jika putusan
dalam pemeriksaan perlawanan tetap merupakan
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan
banding. Proses pengembalian benda sitaan dilakukan
tanpa syarat, jika terpidana telah melaksanakan isi amar
putusan. Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim
cukup didukung satu alat buktisaja. Eksekutor yang
melaksanakan putusan pengadilan dalam acara
pemeriksaan cepat adalah jaksa.

Restorative Justice 27
BAB IV
KEADILAN RESTORATIF
JUSTICE

A. Definisi Keadilan dan Konsep Restoratif Justice


Penegakan hukum indonesia bisa dikatakan
”communis opinio doctorum”, yang artinya bahwa,
penegakan hukum yang sekarang dianggap telah gagal
dalam mencapaui tujuan yang diisyaratkan oleh Undang-
Undang.22 oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah
alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative justice
System, dimana pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan
normative.
Braithwaite dalam buku Kuat Puji Prayito
menyatakan bahwa, restorative justice dilihat oleh banyak

22 Rudi Rizky (ed), 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran


dalam Dekade Terakhir), Perum Percetakan Negara Indonesia, Jakarta,
hal 4

28 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


orang sebagai filosofi, proses dan ide dan teori.23 Restorative
justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas
kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak
pidana. Restorative justice dilakukan metalui proses
kooperatif yang melibatkan semua pihak (stakeholders).
Restorative justice is a theory of justice that emphasizes
repairing the harm caused or revealed by criminal
behaviour. It is best accomplished through cooperative
processes that include all stakeholders. (Keadilan
restoratif adalah teori keadilan yang menekankan
perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh perilaku
kriminal. Yang paling balk hal inl dilakukan melalui
proses kerjasama yang mencakup semua pihak yang
berkepentingan).24

Definisi yang dikemukakan oteh Dignan sebagai


berikut:
Restorative justice is a valued-based approach to
responding to wrongdoing and conflict, with a balanced
focus on the person harmed, the person causing the
harm, and the affected community. (Keadilan restoratif

23 Kuat Puji Prayitno, 2013, Restorative Justice, Pascasarjana Ilmu Hukum,


Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 4
24 Ibid. , hal. 4

Restorative Justice 29
adalah nilai/prinsip pendekatan terhadap kejahatan
dan konflik, dengan fokus keseimbangan pada orang
yang dirugikan, penyebab kerugian, dan masyarakat
yang terkena dampak).25

Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain


peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan
integrasi pelaku di satu sisi dan korban/ masyarakat di lain
sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta
kembali pada pola hubungan balk dalam masyarakat. Kata
kunci dari Restorative justice adalah "Empowerment",
bahkan Empowerment ini adalah jantungnya restoratif (the
heart of the restorative ideology), oleh karena itu Restorative
justice keberhasilannya ditentukan oleh pemberdayaan ini.
Dalam konsep tradisional, korban diharapkan untuk tetap
diam, menerima dan tidak ikut campur dalam proses
pidana. Secara fundamental ide Restorative justice hendak
mengatur kembali peran korban yang demikian itu, dari
semula yang pasif menunggu dan metihat bagaimana sistem
peradilan pidana menangani kejahatan 'mereka',

25
Ibid. , hal. 4

30 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


diberdayakan sehingga korban mempunyai hak pribadi
untuk berpartisipasi dalam proses pidana.26
Barton dalam Kuat Puji Prayitno menyatakan bahwa:
Has described Empowerment as the action of meeting,
discussing and resolving criminal justice matters in
order to meet material and emotional needs. To him,
Empowerment is the power for people to choose
between the different alternatives that are available to
resolve one's own matter. The option to make such
decisions should be present during the whole process.
(Pemberdayaan sebagai tindakan untuk metakukan
pertemuan, membahas dan menyelesaiakan masalah
peradilan pidana datam rangka memenuhi kebutuhan
materi dan emotional. Pemberdayaan adalah
kekuatan bagi orang untuk memilih antara dengan
korban atau masyarakat untuk membahas dan secara
aktif berpartisipasi datam penyelesaian masatah
pidana (resolution of the criminal matter). Hal ini
merupakan alternatif atau pilihan lain dari pengaruh
respon terhadap kejahatan.27

26
Ibid., hal. 5
27 Ibid. , hal. 5

Restorative Justice 31
Respon terhadap kejahatan yang semula ditakukan
dengan menggetar peraditan pidana oteh negara untuk
mencari kesatahan petaku, kemudian diikuti dengan
pengenaan sanksi guna menceta dan mengenakan
penderitaan atau nestapa kepadanya yang pada prinsipnya
adalah pengasingan/disintegrasi. Restorative justice justru
sebaliknya mengusung fatsafah intergrasi yang sotutif,
masing-masing pihak berperan aktif untuk menyelesaikan
masatah. Oleh karena itu konsep Restorative justice bisa
dibilang mengintegrasikan prinsip musyawarah datam
penyelesaian perkara pidana.

Konsep teori Restorative justice menawarkan jawaban


atas isu-isu penting datam penyelesaian perkara pidana,
yaitu:

1. Kritik terhadap sistem peraditan pidana yang tidak


memberikan kesempatan khususnya bagi korban
(criminal justice system that disempowers individu);

2. Menghilangkan konflik khususnya antara pelaku


dengan morban dan masyarakat (taking away the
conflict from them)

3. Fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang


diatami sebagai akibat dari tindak pidana harus

32 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


diatasi untuk mencapai perbaikan (in order to
achieve reparation).28

Dalam upaya mengatasi persoalan kejahatan,


program yang terkandung dalam Restorative justice
antara lain :
1. Restorative justice adalah perluasan konsep
pemikiran seiring perkembangan sosial yang
bergeser untuk melembagakan pendekatan
dengan cara-cara damai (to institutionalize
peaceful approaches) terhadap kerugian akibat
tindak pidana, pemecahan masalah, dan
pelanggaran hukum dan HAM;
2. Restorative justice mencari/membangun
hubungan kemitraan (seeks to build partnerships)
untuk mengokohkan kembati
pertanggungjawaban yang sating
menguntungkan (mutual responsibility) unt
merespon secara konstruktif atas tindak pidana
yang terjadi dalam masyarakat;
3. Restorative justice mencari pendekatan yang
seimbang (seek a balanced approach) terhadap

28
Ibid., hal. 7

Restorative Justice 33
kebutuhan korban, pelaku dan masyarakat
melatui proses yang memelihara keamanan dan
martabat bagi semua pihak (that preserve the
safety and dignity of all)29.

Praktik dan program Restorative justice tercermin


pada tujuannya yang menyikapi tindak pidana dengan :

1. Identifying and taking steps to repair harm


(mengidentifikasi dan mengambil langkah-
tangkah untuk memperbaiki
kerugian/kerusakan);
2. Involving all stakeholders, and (melibatkan semua
pihak yang berkepentingan) dan;
3. Transforming the traditional relationship between
communities and their governments in responding
to crime (mengubah sesuatu yang bersifat
tradisional setama ini mengenai hubungan
masyarakat dan pemerintah datam menanggapi
kejahatan.30

Transforming the traditional relationship yaitu


transformasi dari pola dimana masyarakat dan negara

29
Ibid., hal. 8
30 Ibid., hal. 9

34 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


menghadapi petaku dengan pengenaan sanksi pidana
menjadi pola hubungan kooperatif antara petaku di satu sisi
dengan masyarakat/korban datam menyelesaikan masalah
akibat kejahatan.
Muladi menyatakan bahwa Restorative justice model
mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran
seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai
konflik;
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan;
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan
negosiasi;
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak,
rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-
hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian
sosial;
7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam
proses restoratif;
8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui,
baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-

Restorative Justice 35
hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana
didorong untuk bertanggung jawab;
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan
dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks
menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
31

Keadilan dalam restorative justice mengharuskan


untuk adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian
atau akibat yang ditimbutkan oteh tindak pidana, dan
pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan
dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu dalam rangka
memelihara ketertiban masyarakat dan memehhara
perdamaian yang adil.
Eksistensi proses restorative justice sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana sangat ditentukan oleh
kesadaran dan pengetahuan masyarakat itu sendiri,
termasuk aparat penegak hukumnya. Pemahaman peradilan
yang hanya mengedepankan penerapan aturan,

31
Hari S. Malang Joedo dan Nugroho D, 2009, Kejahatan dan Pemidanaan,
PT Elex Media Komputiondo, Jakarta, hal. 121.

36 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


membuktikan kesatahan pelaku dan latu menghukumnya
tidak akan bisa menerima konsep ini. Baginya peradilan
adalah hak negara untuk mengenakan sanksi kepada
warganya yang tetah melanggar aturan. Penjeraan dan atau
rehabititasi menjadi faktor yang sangat populis di dalamnya,
perhatian peradilan didominasi oleh kepentingan pelaku,
masyarakat dan negara.32
Restorative justice lebih pada penyelesaian masalah
antara para pihak datam hubungan sosial dari pada
menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Falsafah
Just Peace Principle diintegrasikan dengan the process of
meeting, discussing and actively participating in the
resolution of the criminal matter. Integrasi pelaku di satu sisi
dan korban, masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan
untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan
baik dalam masyarakat.
Perubahan paradigma berpikir ini perlu didukung
dengan kebijakan legislasi nasional serta pemahaman
perkembangan keilmuan di dunia peradilan. Di Brasil model
penyelesaian dengan restorative ini dibangun dari sudut

32 Kuat Puji Prayitno, Op cit., hal. 18

Restorative Justice 37
pandang Sosial-Pedagogis. Artinya masalah kejahatan dan
segala konsekuensinya diatamatkan ke lefel sosial.33
Laporan Kongres PBB ke-11 di Bangkok-Tahitand
(Report of the Eleventh United Nations Congress on Crime
Prevention and Criminal Justice Bangkok, 18-25 April 2005),
merumuskan bahwa:
There was general agreement on the need for
innovative approaches in the administration of justice,
including the use of alternatives to imprisonment for
minor offences, especially by first-time offenders,
juvenile offenders and drug abusers, the use of
restorative justice, including mediation and
conciliation, and the need to take into consideration the
rights of victims, in particular those of women and
children.

Ada kesepakatan umum tentang perlunya pendekatan


inovatif datam proses peradilan, termasuk penggunaan
alternatif penjara untuk tindak pidana ringan, terutama
untuk pelaku yang baru metakukan, pelaku remaja dan
pencandu obat, penggunaan keaditan restoratif, termasuk
mediasi dan perdamaian, dan kebutuhan untuk

33
Ibid., hal. 18

38 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


mempertimbangkan hakhak korban, khususnya kaum
perempuan dan anak-anak,
Dalam Kongres PBB ke-12 di Brasil, Report of the
Twelfth United Nations Congress on Crime Prevention and
Criminal Justice Salvador, Brazil, 12-19 April 2010, juga
merekomendasikan negara anggota untuk mengevaluasi
dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan
pidananya dengan pengembangan strategi komprehensif,
mengurangi penggunaan sanksi penjara, dan meningkatkan
penggunaan alternatif lain selain penjara termasuk program
restorative justice.
Member States should consider reviewing, evaluating
and updating their policies, laws and practices to
ensure the development of a comprehensive criminal
justice strategy to address the problem of prison
overcrowding, which should include reducing the use of
imprisonment and increasing the use of alternatives to
prison, including restorative justice programmes.34

Dunia internasionat telah memberi guidelines on


criminal Justice tentang strategi pendekatan inovasi,
komprehensif dan integral dengan meningkatkan

34
Ibid., hal. 19

Restorative Justice 39
penggunaan program peradilan restoratif. Evaluasi
untuk mendesain kembali petaksanaan peradilan yang lebih
efektif perlu di lakukan di Indonesia, dan Kongres PBB
cukup menjadi salah satu aspirasi untuk membangun atau
meng update/ reform kebijakan peradilan ke arah model
restorative justice.
Dalam kebijakan nasional ada Pancasita yang
merupakan core philosopy bangsa. Sebagai core philosopy
Pancasita dengan begitu merupakan sumber nilai bagi
adanya sistem hukum di Indonesia. Dalam sila ke-4
Pancasila: "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan"
terkandung falsafah permusyawaratan atau musyawarah,
makna yang terkandung adalah:
Mengutamakan musyawarah dalam mengambit
keputusan untuk kepentingan bersama, dan
menghormati setiap keputusan musyawarah,
keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.

40 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Sila ke-4 Pancasita ini mengajarkan kepada kita untuk
menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan
untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi semangat kekeluargaan. Sehingga kalau di
breakdown falsafah "musyawarah" mengandung 5 (lima)
prinsip sebagai berikut:
1. Conferencing (bertemu untuk sating mendengar
dan mengungkapkan keinginan);
2. Search solutions (mencari sotusi atau titik temu
atas masalah yang sedang dihadapi);
3. Reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab
masing-masing);
4. Repair (memperbaiki atas semua akibat yang
timbut); dan
5. Circles (saling menunjang).35

Prinsip-prinsip ini persis seperti yang dibutuhkan dan


menjadi kata kunci dalam restorative justice. Sehingga
secara ketatanegaraan restorative justice menemukan dasar
pijakannya dalam fatsafah sita ke-4 Pancasila. Dasar
pijakan itu katau diimplementasikan dalam pola

35
Ibid., hal. 20

Restorative Justice 41
penyelesaian perkara pidana mengandung prinsip yang
disebut dengan istitah VOC (Victim Offender Conferencing).
Target datam pertemuan VOC (Victim Offender
Conferencing) adalah mediasi atau VOM (Victim-Offender
Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan sating
menyepakati perbaikan. Tujuannya adalah untuk
menangani kejahatan sebagai konflik yang harus
diselesaikan antara orang terkena dampak langsung bukan
sebagai konflik antara negara dan terdakwa.

B. Konsep Mediasi Penal dan Pelaksanaan Mediasi


Penal Di Indonesia
Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut
dengan berbagai istilah, antara lain: “mediation in criminal
cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah
Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman
disebut ”Der Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat
ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation
penale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan
antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi
penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim Offender
Mediation (VOM), Tate Opfer Ausgleich (TOA), atau Offender
Victim Arrangement (OVA). Mediasi penal merupakan salah
satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar

42 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR) atau
”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang
menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”. ADR pada
umumnya digunakan dilingkungan kasus-kasus perdata,
tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif)
pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di
luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu,
dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan.36
Mediasi penal merupakan salah satu metode dalam
menyelesaikan perkara pidana yang dikehendaki oleh
masyarakat yang terlibat perselisihan ataupun sengketa
antar anggota masyarakat. Dalam mediasi penal, tidak
terdapat salah satu pihak yang dikalahkan atau
dimenangkan, sehingga diharapkan pasca penyelesaian
perkara dengan model mediasi penal ini anggota
masyarakat yang bersengketa dapat hidup rukun
berdampingan kembali seperti sediakala.

36 Barda Nawawi Arief. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar


Pengadilan. Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 1-2

Restorative Justice 43
Mediasi Penal menurut Barda Nawawi Arief 37
merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution
atau Apropriate Dispute Resolution). Alternative Dispute
Resolution (ADR) pada umumnya digunakan di lingkungan
kasus-kasus perdata3, tidak untuk kasus-kasus pidana.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku pada, walaupun
prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan, akantetapi dalam hal-hal tertentu
dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,
sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal
telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui
mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Pada dasarnya, mediasi penal merupakan salah satu
bentuk alternatif penyelesaian sengketa/perkara di luar
pengadilan yang lazim digunakan dalam lingkungan kasus-
kasus perdata berdasarkan asas restorative justice. Akan

37
Barda Nawawi Arief. (2008). Mediasi Penal: Penyelesaian
Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, Makalah Seminar Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta, 27 Maret 2007.

44 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


tetapi, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia saat ini (hukum positif) pada asasnya kasus
pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,
walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Konsepsi dan implementasi mediasi penal sebenarnya


berkorelasi sila Pancasila sebagaimana termaktub dalam
sila keempat dan kelima. Konteks ini dapat diartikan
sebagai cara atau langkah bangsa Indonesia untuk
mewujudkan tercapainya tujuan hidup berbangsa dan
bernegara, senantiasa merupakan suatu kesatuan dengan
sila-sila yang lain, dan pula dilandasi adanya filosofi nilai
religius, nilai kekeluargaan dan nilai keselarasan
sebagaimana sila pertama, kedua dan ketiga dari Pancasila.

Prinsip dasar restorative justice melalui mediasi penal


menemukan pijakannya dalam nilai Pancasila yang
menjunjung nilai keseimbangan dan kemaslahatan baik
terhadap pelaku kejahatan maupun korban. Ironis sekali
setiap tindak pidana harus berujung dipenjara sehingga
daya tampung rutan dan lapas menjadi penuh (over
capacity), padahal efektifitas pidana penjara belum tentu
memberikan efek jera (detterent effect) dan cenderung
memberikan stigma sosial baik dari sisi mantan terpidana

Restorative Justice 45
saat keluar dari penjara maupun ketika kembali
bersosialisasi kemasyarakat.
Dimensi nilai mediasi penal sebenarnya berakar
keadilan restoratif dari kearifan lokal hukum adat
Indonesia. Dalam praktik sosial masyarakat Indonesia,
mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi
seperti pada masyarakat Papua (budaya bakar batu), Aceh
(peradilan gampong), Bali (lembaga adat dalam awig-awig
desa), Nusa Tenggara Barat (lembaga begundem), dan lain
sebagainya.38 Kemudian dalam dimensi yuridis, mediasi
penal diatur secara parsial, terbatas dan tatarannya masih
di bawah undang-undang, seperti dalam Instruksi Presiden
(Inpres) dan Peraturan Kapolri.
Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam
hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal
dengan istilah „mediasi penal‟ (penal mediation). Pada Polri
sendiri, penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme
mediasi penal ini telah dikenal sejak keluarnya Surat
Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya

38
Lilik Mulyadi. 2015, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, hal. 22-23

46 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


hanya sebagian saja. Dalam Surat Kapolri ini menekankan
bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan
ADR, baru dapat dilaksanakan apabila ada kesepakatan dari
para pihak baik korban maupun tersangka atau pihak yang
bersengketa namun apabila tidak terdapat kesepakatan
maka tetap diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum
yang berlaku.
Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang
penanganan kasus pidana melalui ADR dengan sifat
kerugian materi kecil, disepakati para pihak, dilakukan
melalui prinsip musyawarah mufakat, harus menghormati
norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan dan
apabila dicapai melalui ADR pelakunya tidak lagi disentuh
oleh tindakan hukum lain. Kemudian dalam diktum pertama
angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 disebutkan bahwa, “dalam
hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud
dalam angka 112 menyangkut pembebasan debitur dari
aspek pidana yang terkait langsung dengan program
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih
dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan
oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga
dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek
pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang

Restorative Justice 47
berlaku”. Konsekuensi logisnya dalam praktik peradilan,
sering kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui
berbagai diskresi aparat penegak hukum
(kepolisian/kejaksaan). Praktik penyelesaian demikian
sering terjadi suatu kasus secara informal telah ada
penyelesaian damai namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku, karena mediasi
penal secara nasional tidak ada aturan hukumnya.
Pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal penyelesaian
perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan
Gampong atau Peradilan Damai.39 Selain itu, dalam Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat
khususnya Pasal 13 menentukan, “penyelesaian
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan
secara bertahap”, kemudian disebutkan pula, bahwa “aparat
penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara

39 Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 maka di Aceh penjabarannya


dibuat ketentuan perundangan-undangan dalam bentuk Qanun yang
berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

48 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


adat atau nama lain” dan, “apabila para pihak tidak puas
terhadap putusan adat dapat mengajukan perkaranya ke
aparat penegak hukum dan keputusan adat dapat dijadikan
pertimbangan oleh aparat penegak hukum”.
Begitu pula dalam masyarakat Bali, dikenal lembaga
adat berupa banjar, subak, desa pakraman, majelis desa
pakraman, dan lain sebagainya yang berperan
menyelesaikan perkara adat. Apabila terjadi perkara,
penyelesaiannya dilakukan secara berjenjang. Mulai dari
penyelesaian ditingkat intern keluarga, selanjutnya
ketingkat banjar, bila gagal ketingkat bendesa adat (desa
pakraman). Kemudian, bila tidak berhasil berlanjut
ketingkat majelis desa pakraman melalui mediasi (majelis
alit desa pakraman), berikutnya ketingkat sabha kertha
(peradilan adat oleh majelis madya desa pakraman) dan
tingkat bandingnya oleh majelis utama desa pakraman.
Pada desa adat pakraman diterapkan adanya awig-awig
yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian
perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal. Misalnya,
dalam Pasal (Pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah
Aron Kabupaten Karangasem disebutkan bahwa, “yang
berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru
desa sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar,
kalau yang berperkara berasal dari satu banjar dan bendesa

Restorative Justice 49
kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu desa”
(Sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa
inggih punika prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan
banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan banjar; na.
Bendesa, sang mewicara sami-sami ring petunggalan desa
adat). Kemudian di Nusa Tenggara Barat (Lombok),
khususnya pada masyarakat suku Sasak dikenal cara
penyelesaian masalah (perkara) melalui musyawarah
(Begundem) untuk mencapai perdamaian.
Dalam Kotaragama, angka 49 huruf b tentang
Kebidjaksanaan atau Kedermawanan Radja, ditentukan
bahwa: “Ini tjara orang tjerdik pandai berbitjara. Dalam
membitjarakan sesuatu masalah oleh diantara warga desa
(Negara), djika tidak ada pendahuluan nasehat
mengakibatkan tidak baik, akan tetapi bila masalah
diselesaikan melalui perdamaian, kedua belah fihak akan
merasakan manfaatnja. Tjara inilah jang
dikehendaki/diterima baik oleh Radja karena memang tjara
demikian itu mendjadi ketentuan jang dinamakan
keadilan”40 Berdasarkan ketentuan konteks di atas maka
Suku Sasak dalam menyelesaikan perselisihan pertama-
tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan

40 H. Lalu Parman. 2011. Mataram: Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan


Pidana Indonesia, hal. 4

50 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


atau nasihat, dan jika peringatan tidak diindahkan maka
diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai
perdamaian.
Musyawarah (Begundem) dilaksanakan oleh lembaga
Adat yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan
kompetensinya. Untuk tingkat lingkungan atau Dusun
(Gubuk) dilaksanakan oleh Krama Gubuk yang berwenang
menyelesaikan masalah antar warga lingkungan atau antar
keluarga di lingkungan tersebut. Krama Gubuk terdiri dari
Kepala Lingkungan (kelian) selaku ketua adat di lingkungan,
tokoh agama (kiai gubuq) dan pemukapemuka masyarakat.
Sedangkan di tingkat desa dilaksanakan oleh Krama Desa
yang terdiri dari Kepala Desa selaku Kepala Adat, Juru Tulis,
Penghulu Desa, Pemuka Masyarakat dan Para Kelian.
Kemudian mediasi penal dilakukan dalam bentuk peradilan
adat. Misalnya, Sidang Adat terhadap Prof. Dr. Thamrin
Amal Tomagola, seorang sosiolog ketika menjadi saksi ahli
dalam suatu persidangan di Pengadilan Negeri Bandung
dengan merujuk pada hasil penelitiannya menyatakan
bahwa hubungan seksual sebelum menikah biasa
dikalangan masyarakat Dayak.
Mediasi penal juga terlaksana dan diakui melalui
yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan lewat Putusan
Pengadilan Negeri. Misalnya, sebagai salah satu contohnya

Restorative Justice 51
pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio
decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang
melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka
Adat memberikan reaksi adat (sanksi/obat adat) maka yang
bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua
kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan
Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan
yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana
penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3)
sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan
demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan
Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).
Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui
eksistensi peradilan adat dimana adanya mediasi penal
antara pelaku dengan korban, kemudian penjatuhan
“sanksi/obat adat” tersebut dilakukan sebagai suatu
pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat
adatnya sehingga adanya keseimbangan antara alam kosmis
dan non kosmis menjadi kembali seperti sedia kala.
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-
Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978
dimana dalam perkara Ny. Ellya Dado, lazim disingkat

52 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


sebagai “Kasus Ny. Elda”, adanya penyelesaian secara
“perdamaian” maka perbuatan diantara para pihak tidak
merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat
dihukum lagi, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari
segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata pada
saat kini ratio decidendi putusan tersebut juga
dipergunakan oleh Mahkamah Agung RI dalam mengadili
perkara pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor 107
PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.

Restorative Justice 53
BAB V
KEADILAN RESTORATIF
JUSTICE DALAM PRAKTEK

A. Pelaksanaan Keadilan Restoratif Justice Dalam


Tingkat Penyidikan Kepolisian
Penegakan hukum merupakan tanggung jawab
bersama, termasuk dalam hal ini ialah pihak Kepolisian
sebagai aparat penegak hukum. Dalam penegakkan hukum
di Indonesia, Kepolisian merupakan ujung tombak, karena
Kepolisian merupakan institusi yang mempunyai wewenang
dalam bidang penegakkan hukum, keamanan, dan
ketertiban dalam masyarakat, serta Kepolisian merupakan
aparat yang dapat menentukan apakah suatu pelanggaran
maupun kejahatan yang terjadi dalam masyarakat itu akan
diproses lanjut atau tidak atau sering disebut sistem
peradilan pidana.

54 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Menurut M. Faal, yang dimaksud sistem peradilan
pidana ialah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan
pidana, dimana masing-masing komponen fungsi yang
terdiri dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai
penuntut umum, pengadilan sebagai pihak yang mengadili
dan lembaga pemasyarakatan yang berfungsi untuk
memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja
secara bersama-sama, terpadu dalam usaha untuk mencapai
tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi kejahatan”. 41
Sehingga kepolisian dalam hal ini memiliki peranan yang
cukup besar karena secara normatif rumuskan tugas pokok
bedasarkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat.
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat
Jonlar Purba42 menyatakan bahwa, Polisi adalah
gerbang (gatekeepers) dari sistem peradilan pidana. Seperti
dikatakan Donald Black, perannya sebagai penyelidik dan

41 M. Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi


Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 24.
42
Jonlar Purba, 2017, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana,
Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice, hal. 69

Restorative Justice 55
penyidik tindak pidana, menempatkan polisi berhubungan
dengan sebagian besar tindak pidana umum atau biasa
(ordinary or common crimes). Sebagian besar polisi bekerja
reaktif daripada proaktif, dengan sangat bergantung pada
warga masyarakat untuk mengadu atau melapor atas
dugaan terjadinya tindak pidana.43 Dengan bukti-bukti
cukup, berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), polisi
selaku penyidik melimpahkan perkara ke Kejaksaan untuk
dilakukan penuntutan.
Status polisi sebagai penyidik utama didalam sistem
peradilan pidana atau sebagai pintu gerbang didalam proses
menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan
mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang
polisi sebagai penyidik menerima terlalu banyak perkara-
perkara yang sifatnya terlalu ringan, kurang berarti dan
kurang efisien kalau diproses. Selain hal tersebut seringkali
polisi juga mengalami hambatan-hambatan didalam proses
penyidikan, seperti karena terbatasnya dana, terbatas
personel dan kemampuan serta waktupun juga menjadi
kendala yang berarti. Hal ini dikarenakan didalam proses
penyidikan penyidik dituntut untuk sesegera mungkin
menyelesaikannya, hal ini mengakibatkan seringkali

43
Dalam Jonlar Purba, Ibid., hal. 69

56 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


beberapa perkara terkadang tertunda atau tertangguhkan
penyelesaiannya.
Dalam kasus perkara pidana dan penyelesaiannya
terkadang kebijakan yang dambil oleh polisi dilaksanakan
secara kompromi atau perdamaian melalui hukum adat
yang berlaku didaerah setempat. Tindakan ini diambil
setelah polisi sebagai penyidik melakukan tindakan-
tindakan penyidikan dan diproses sebagaimana seharusnya.
Akan tetapi biasanya setelah melalaui proses pemeriksaan
telah dipertimbangkan dengan seksama ternyata cara-cara
tersebut diatas lebih efektif, lebih bermanfaat ditinjau dari
segi perkaranya, semua pihak, waktu, biaya proses maupun
dari segi kepentingan masyarakat, maka perkara pidana
yang ditangani itu cukup diselesaikan oleh mereka dengan
diketahui oleh polisi sendiri.
Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi sebagai
penyidik tersebut biasanya sudah banyak dimengerti
dengan baik oleh komponen-komponen fungsi didalam
sistem peradilan pidana terutama oleh jaksa selaku
Penuntut Umum. Disini menunjukkan bahwa didalam
tugasnya sebagai alat negara penegak hukum, polisi
ternyata mengambil sikap fleksibel didalam menghadapi
ketentuan-ketentuan hukum positif yang tertulis. Maka
didalam hukum pidana positifpun tidaklah harus begitu

Restorative Justice 57
kaku, sehingga kebijaksanaan-kebijakanaan seperti
menghentikan atau mengenyampingkan perkara pidana
yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan dari sudut
tugas-tugas kepolisian dapat juga dilakukan oleh polisi.
Di tingkat kepolisian (tahap penyelidikan dan
penyidikan), pendekatan restorative justice dapat digunakan
berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary powers).
Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang
memberi ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan
administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan
diskresi diberikan kepada pemerintah (jajaran badan-badan
administrasi negara) mengingat fungsi pemerintah/
administrasi negara, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan
mewujudkannya adalah konsekuensi logis dari konsep
“Welfare State” dan sebagai alternatif untuk mengisi
kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas
legalitas (“wetmatigheid van bestuur”).
Untuk itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam
mengambil kewenangan diskresi adalah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung
wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam hal ini
Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf f UU No. 2 Tahun 2002,

58 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14, Kepolisian
Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
1) membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum.
2) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai
bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan.
Diskresi tidak bertentangan nyata-nyata dengan nalar
sehat. Oleh karena itu harus dipersiapkan dengan cermat;
semua kepentingan, keadaankeadaan serta alternatif-
alternatif yang ada perlu dipertimbangkan. Isi
kebijaksanaan diskresi harus jelas tentang hak-hak dan
kewajibankewajiban dari warga yang terkena peraturan.
Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan tentang
kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas. Selain itu
juga harus memenuhi syarat-syarat kepastian hukum
materiil, artinya hak-hak yang diperoleh dari warga
masyarakat yang terkena kebijaksanaan harus dihormati,
juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan
jangan sampai diingkari.
Pada tahun 2018, Tito Karnavian selaku Kapolri
menerbitkan Surat Edaran Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang

Restorative Justice 59
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana. Proses penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, merupakan pintu entry point dari
suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan
pidana (criminal justice system) di Indonesia. Oleh karena
itu, proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana
merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu
perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan
peradilan pidana guna mewujudkan tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dengan tetap
mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
Perkembangan sistem dan metode penegakan hukum
di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan
mengikuti perkembangan keadilan masyarakat terutama
berkembangnya prinsip keadilan restoratif (restorative
justice) yang merefleksikan keadilan sebagai bentuk
keseimbangan hidup manusia, sehingga perilaku
menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku
yang menghi[angkan keseimbangan. Dengan demikian
model penyelesaian perkara yang dilakukan adalah upaya
mengembalikan keseimbangan tersebut, dengan
membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan dengan
kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan

60 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti
semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula, yang
dapat memenuhi rasa keadilan korban.
Perkembangan konsep penegakan hukum dalam
sistem penegakan hukum pidana di berbagai negara yang
mengadopsi prinsip keadilan restoratif (restorative justice)
serta seiring dengan timbulnya berbagai permasalahan
dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia seperti
Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan
perkara yang semakin meningkat, jumlah penegak hukum
yang tidak seimbang dengan perkembangan perkara, biaya
perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan
perkara dan sebagainya, membawa dampak pada
perubahan kultur hukum masyarakat terutama cara
pandang masyarakat Indonesia terhadap proses penegakan
hukum pidana
Dalam rangka menjawab perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua
pihak, Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku institusi
yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik
serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak pidana,
merasa perlu untuk merumuskan konsep baru dalam sistem
penegakan hukum pidana terutama proses penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana yang mampu mengakomodir

Restorative Justice 61
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus
memberikan kepastian hukum terutama kepastian proses
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak
bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara
damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan
semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui
upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat
setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator,
sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam
bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak
menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim
melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan
kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum
Metode penyelesaian perkara pidana yang
mencerminkan penerapan prinsip keadilan restoratif
(restorative justice) dan dapat dijadikan acuan dalam
penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice)
terhadap perkara pidana adalah sebagai berikut:
1. Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa kecuali dalam
hal putusan hakim masih mungkin diulangi,
orang tidak boleh dituntut dua kali karena
perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap
dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap;

62 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


2. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan diversi;
3. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa
Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
4. Pasal 51 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua bahwa untuk membebaskan
pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut
ketentuan hukum pidana yang berlaku,
diperlukan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan dari ' Ketua Pengadilan Negeri
yang mewilayahinya yang diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
dengan tempat terjadinya peristiwa pidana;
Pelaksanaan kewenangan• penyelidikan dan/atau
penyidikan tindak pidana oleh Penyidik Polri yang
menerapkan prinsip keadilan restoratif (restorative justice)

Restorative Justice 63
dalam metode penyidikannya dapat didasarkan pada
ketentuan sebagai berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
bahwa penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal
5 ayat (1) angka 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan
jika memenuhi syarat sebagai berikut:
3. Tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum;
4. Selaras dengan kewajiban hokum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
5. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
6. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
yang memaksa; dan

64 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


7. Menghormati hak asasi manusia

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002


tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa
untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri. Pasal 18 ayat (2) UndangUndang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang undangan serta Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Penyelesaian perkara dengan pendekatan Restorative


justice agar tidak memunculkan keberagaman administrasi
penyelidikanipenyidikan dan perbedaan interpretasi para
penyidik serta penyimpangan dalam pelaksanaannya,
diperlukan pedoman penanganan sebagai berikut:

1. Terpenuhi syarat materiil yaitu:

2. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan


tidak ada penolakan masyarakat;

3. Tidak berdampak konflik sosial;

Restorative Justice 65
4. Adanya pernyataan dari semua pihak yang
terlibat untuk tidak keberatan dan melepaskan
hak menuntutnya di hadapan hukum;
Adapun prinsip pembatas pendekatan Restorative
justice antara lain :
1. Pada pelaku:
a. Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat,
yakni kesalahan (schuld atau mensrea dalam
bentuk kesengajaan (dolus atau opzet)
terutama kesengajaan sebagai maksud atau
tujuan (opzet als oogmerk);
b. Pelaku bukan residivis;
c. Pada tindak pidana dalam proses
Penyelidikan;
d. Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke
Penuntut Umum;
2. Terpenuhi syarat formil yaitu:
a. Surat Permohonan Perdamaian kedua belah
pihak (pelapor dan terlapor);
b. Surat Pernyataan Perdamaian (akte dading)
dan penyelesaian perselisihan para pihak
yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga
pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor

66 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dan perwakilan dari tokoh masyarakat)
diketahui oleh atasan penyidik;

c. Berita Acara Pemeriksaan Tambahan pihak


yang berperkara setelah dilakukan
penyelesaian perkara melalui keadilan
restorative (Restorative justice);

d. rekomendasi gelar perkara khusus yang


menyetujui penyelesaian keadilan restoratif
(Restorative justice);

e. pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab,


ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela;

f. semua tindak pidana dapat dilakukan


Restorative justice terhadap kejahatan umum
yang tidak menimbulkan korban manusia;

Mekanisme penerapan keadilan restoratif (Restorative


justice):

1. Setelah menerima permohonan perdamaian


kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) yang
ditandatangani di atas meterai, lakukan
penelitian administrasi syarat formil
penyelesaian perkara melalui keadilan
restorative (Restorative justice);

Restorative Justice 67
2. Permohonan perdamaian setelah persyaratan
formil terpenuhi diajukan kepada atasan
penyidik untuk mendapatkan persetujuan;

3. Setelah permohonan disetujui oleh atasan


penyidik (Kabareskrim/ Kapolda/Kapolres),
kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan
penandatanganan pernyataan perdamaian;

4. Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan


perjanjian kesepakatan yang ditandatangani
semua pihak yang terlibat;

5. Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik


atau Kasatker perihal permohonan
dilaksanakan gelar perkara khusus untuk tujuan
penghentian perkara;

6. Melaksanakan gelar perkara khusus dengan


peserta pelapor, dan/atau keluarga pelapor,
terlapor dan/atau keluarga terlapor dan
perwakilan dari tokoh masyarakat yang
ditunjuk oleh penyidik, penyidik yang
menangani dan perwakilan dari fungsi
pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur
pemerintahan bila diperlukan;

68 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


7. Menyusun kelengkapan administrasi dan
dokumen gelar perkara khusus serta laporan
hasil gelar perkara;

8. Menerbitkan Surat Perintah, Penghentian


Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan
Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan
alasan Restorative justice;

9. Untuk perkara pada tahap penyelidikan,


penyelidik menerbitkan Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan dan Surat Ketetapan
Penghentian Penyelidikan yang ditandatangani
oleh:

a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat


Mabes Polri;

b. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat


Polda;
c. Kapolres, pada tingkat polres dan Polsek;

10. untuk perkara pada tahap penyidikan, penyidik


menerbitkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian
Penyidikan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Surat Edaran lni, yang ditandatangani
oleh:

Restorative Justice 69
a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat
Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal, pada tingkat
Polda;
c. Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
11. Mencatat ke dalam buku register baru B-19
sebagai perkara keadilan restoratif (restorative
justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan
terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai
tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan,
penyembuhan dan “inclusiveness”, yang berfokus pada
reparasi terhadap kerugian akibat kejahatan, di samping
berusaha mendorong pelaku untuk bertanggungjawab atas
perbuatannya, melalui pemberian kesempatan para pihak
yang terdampak langsung oleh kejahatan yaitu korban,
pelaku dan masyarakat, dengan mengidentifikasi dan
memperhatikan kebutuhannya setelah terjadinya kejahatan,
dan mencari suatu pemecahan berupa penyembuhan,
reparasi dan reintegrasi serta mencegah kerugian
selanjutnya.44

44 Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan


Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan

70 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Jonlar Purba45 menyatakan bahwa, perubahan model
penyidikan dari yang bersifat semata-mata punitif
(menghukum) ke arah restoratif (pemulihan pelaku
maupun korban) merupakan perubahan lebih dari sekadar
teknik, namun kultur penyidikan. Oleh karena itu,
membutuhkan proses panjang untuk adaptasi, yang
tampaknya tidak dapat ditunda-tunda. Sebagai contoh,
skema melibatkan korban (victims' participation scheme)
dalam proses penyelidikan atau penyidikan bukan hal
mudah karena menuntut perubahan dari pola-pola yang
biasa "tertutup" menjadi lebih "terbuka". Belum lagi
persoalan, partisipasi korban (victims' participation) itu
sendiri sulit untuk didefinisikan, artinya sampai batas apa
partisipasi itu dimungkinkan, meskipun secara keseluruhan
potensial memberi manfat restoratif, terutama pemulihan
dan rehabilitasi korban.

Oleh Anak-Anak, Makalah Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26


Agustus 2013, hal. 14
45 Jonlar Purba, Op cit., hal. 70

Restorative Justice 71
B. Pelaksanaan Keadilan Restoratif Justice Pada
Tingkat Penuntutan Kejaksaan
Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah di
bidang hukum yang memiliki tugas dan fungsi untuk
melaksanakan kekuasaan negara khusus dalam wilayah
penuntutan. Ketentuan tentang kedudukan kejaksaan
ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, lengkapnya sebagai berikut :
a. Kejaksaan RI yang selanjutnya dalam UU ini
disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta
melaksanakan kewenangan lain berdasarkan
undang-undang;
b. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara merdeka;
c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan
bahwa, Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya
dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

72 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Kekuasaan negara di bidang penuntutan
yang dimiliki Kejaksaan dilaksanakan secara merdeka.
Kejaksaan RI merupakan pelaksana keputusan politik
tersebut secara formalitas menggambarkan suatu institusi
yang hanya merupakan corong undang-undang yang secara
khusus melaksanakan fungsi penuntutan. Ada 3 ciri
Kejaksaan sebagai perwujudan dari institusi penuntutan di
Indonesia. Ketiga ciri itu sebagaimana diatur dalam
Keputusan Jaksa Agung (Kepja) No. Kep-030/J.A/3/1988
(Keputusan Jaksa Agung tentang Penyempurnaan Doktrin
Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa), yaitu :
a. Tunggal : setiap warga kejaksaan dalam
melaksanakan tugasnya harus menyadari
bahwa ia adalah satu dan tidak dapat dipisah-
pisahkan, setiap warga kejaksaan akan dapat
saling mewakili tugas penegakkan hukum. Hal
ini juga terkait langsung dengan citra kejaksaan
karena baik dan buruknya Kejaksaan dinilai
dari sikap, perilaku, dan perbuatan setiap
warganya;
b. Mandiri : berarti setiap warga kejaksaan dalam
melaksanakan tugasnya menyadari bahwa
kejaksaan adalah satu-satunya badan hukum

Restorative Justice 73
negara penuntut umum yang diamanahkan dan
dipercayakan masyarakat, negara, dan
pemerintah, yang mewajibkan setiap warganya
untuk senantiasa memperluas wawasan
pengetahuan dan kemampuanya;
c. Mumpuni : berarti setiap warga kejaksaan wajib
melakukan tugasnya dengan prakarsa sendiri,
dan membangun serta mengembangkan kerja
sama dengan dilandasi semangat kebersamaan,
keterpaduan, dan keakraban untuk mencapai
keberhasilan.
Pertanggungjawaban Kejaksaan Republik Indonesia
saat ini langsung kepada Presiden selaku kepala
pemerintahan. Hal ini tersurat dan diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, bahwa Kejaksaan sebagai “lembaga pemerintah”
dan kedudukan Jaksa Agung ditetapkan setingkat Menteri
Negara, sebagai Pembantu Presiden, yang secara tegas
dinyatakan yang diangkat dan diberhentikan oleh serta
bertanggungjawab kepada Presiden. Akuntabilitas Jaksa
Agung berkenaan dengan kewenangannya dalam
menetapkan dan mengendalikan penegakkan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang

74 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Kejaksaan. Kemudian dinyatakan bahwa Jaksa adalah satu
dan tidak terpisah-pisahkan (een en onderrlbaar) dalam
melakukan penuntutan. Pengaturan seperti itu
memperlihatkan lemahnya kedudukan Jaksa Agung dalam
melaksanakan fungsi penegakkan hukum; dalam
menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakkan
hukum mutatis mutandis jelas tidak mandiri serta tidak
independen.
Pertanggungjawaban Kejaksaan RI dalam konteks
hukum administrasi Negara mengacu pada azas
pertanggungjawaban yang menghendaki setiap tindakan
badan/pejabat administrasi dapat dipertanggungjawabkan,
baik menurut ketentuan hukum tertulis maupun tidak
tertulis, yakni azas-azas umum pemerintahan yang adil dan
layak.46 Sebagai pejabat administrasi negara yang baik dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang stabil, bersih, dan
berwibawa, setiap sikap tindaknya juga harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa.47

46 Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/Pemb./0159/77, tanggal 25


Februari 1977.
47
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985. hal. 151.

Restorative Justice 75
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga
telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas
dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan
keputusan bersyarat;
d. Melaksanakan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara,
kejaksaan dengan kuasa khusus dapat

76 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


bertindak di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman
umum, kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum
masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan
hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang
dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum
statistik kriminal.
Secara garis besar wewenang penuntut umum
menurut KUHAP dapat diinventarisir sebagai berikut: 48
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam
hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
dari suatu peristiwa yang merupakan tindak
48 HMA Kuffal, 2004, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM,
Malang, hal. 216

Restorative Justice 77
pidana (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) dan
pemberitahuan baik dari penyidik maupun
penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat
(1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum;

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam


tahap pertama dan kedua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b
KUHAP. Dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat
menerima berkas perkara langsung dari
penyidik pembantu (Pasal 12 KUHAP);

3. Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b


KUHAP) dengan memperhatikan ketentuan
materi Pasal 110 ayat (3), (4) KUHAP dan Pasal
138 ayat (1) dan (2) KUHAP;

4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal


24 ayat (2) KUHAP), melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2) KUHAP
Pasal 21 ayat (2) KUHAP, Pasal 25 KUHAP dari
Pasal 29 KUHAP); melakukan penahanan rumah
(Pasal 22 ayat (2) KUHAP); penahanan kota
(Pasal 22 ayat (3) KUHAP), serta mengalihkan
jenis penahanan (Pasal 23 KUHAP);

78 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa
mengadakan penangguhan penahanan serta
dapat mencabut penangguhan penahanan
dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat yang ditentukan (Pasal 131 KUHAP);
6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang
lekas rusak atau membahayakan karena tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara itu memperoleh
kekuatan hukum tetap, atau mengamankannya
dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya (Pasal 45 ayat (1) KUHAP);
7. Melarang atau mengurangi kebebasan
hubungan antara penasihat hukum dengan
tersangka sebagai akibat disalahgunakan
haknya (Pasal 70 ayat (4) KUHAP); mengawasi
hubungan antara penasihat hukum dengan
tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan
(Pasal 71 ayat (1) KUHAP) dan dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara dapat
mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71
ayat (2) KUHAP). Pengurangan kebebasan
hubungan antara penasihat hukum dan
tersangka tersebut dilarang apabila perkara

Restorative Justice 79
telah dilimpahkan penuntut umum ke
pengadilan negeri untuk disidangkan (Pasal 74
KUHAP);
8. Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk memeriksan sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh
penyidik (Pasal 80 KUHAP). Maksud Pasal 80 ini
adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horisontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara
pidana itu harus dihadiri oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, maka penuntut
umum menerima penyerahan perkara dari
oditur militer dab selanjutnya dijadikan dasar
untuk mengajukan perkara tersebut kepada
pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)
KUHAP);
10. Menentukan sikap apakah berkas perkara telah
memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan
ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP).
11. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggungjawab selaku penuntut umum
(Pasal 14 huruf f KUHAP). l. Apabila penuntut

80 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka
dalam waktu secepatnya membuat dakwaan
(Pasal 140 ayat (1) KUHAP)

12. Membuat surat penetapan penghentian


penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP)
dikarenakan tidak cukup bukti, bukan
merupakan suatu tindak pidana dan perkara
ditutup demi hukum.

13. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka


yang dihentikannya penuntutan dikarenakan
adanya alasan baru (Pasal 140 (2) huruf d
KUHAP).

14. Menegakkan penggabungan perkara dan


pembuatannya dalam satu surat dakwaan
(Pasal 141 KUHAP).

15. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing)


terhadap satu berkas perkara yang membuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan
beberapa orang tersangka (Pasal 143 (1)
KUHAP.

16. Melimpahkan perkara ke pengadilan disertai


surat dakwaan (Pasal 143 (1) KUHAP) r.

Restorative Justice 81
Membuat surat dakwaan (Pasal 143 (1)
KUHAP)
17. Menyempurnakan atau tidak penuntutan,
penuntut umum dan mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang
atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
sidang dimulai (Pasal 144 KUHAP).
Penghentian penuntutan oleh penuntut umum
didasarkan pada bunyi Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dari
ketentuan pasal tersebut secara garis besar dibagi menjadi
dua dasar yaitu alasan penghentian penuntutan dan
prosedur di dalam melakukan penghentian penuntutan. 49
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a
KUHAP, alasan penghentian penuntutan adalah karena tidak
cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum. Untuk
memperjelas maksud penghentian penuntutan, pertama-
tama kita kembali kepada pengertian penuntutan seperti
yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang berbunyi:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

49
Lihat Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana

82 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


diatur dalam undang- undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.”

Menurut pengertian tersebut penuntutan terjadi jika


suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, sehingga
batasan telah terjadi penuntutan atau belum adalah adanya
pelimpahan suatu perkara ke pengadilan negeri. Secara
harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu
perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian
perkara tersebut dihentikan prosesnya dan kemudian
dicabut dengan alasan tidak terdapat cukup bukti, peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Namun
demikian dua alasan tersebut bisa digunakan juga untuk
tidak jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang
ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b KUHAP.

Berarti perkara tersebut belum sampai dilimpahkan


ke pengadilan. Apakah yang dimaksud perkara ditutup demi
hukum? Perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2)
huruf a KUHAP) mempunyai perumusan lain yang
mempunyai maksud yang sama yakni dalam Pasal 14 huruf
h KUHAP tentang kewenangan penuntut umum menutup
perkara demi kepentingan hukum. Suatu perkara yang
ditutup demi hukum atau menutup perkara demi

Restorative Justice 83
kepentingan hukum dilakukan oleh penuntut umum
sebelum melakukan penuntutan.50
Perbuatan menutup perkara demi hukum ini antara
lain dapat dilakukan oleh penuntut umum, apabila
mengenai suatu tindak pidana itu ternyata terdapat dasar-
dasar yang meniadakan penuntutan atau ternyata terdapat
vervolgingsuitsluitingsgronden, karena dengan adanya
dasar-dasar seperti itu menjadi tertutup kemungkinannya
bagi penuntut umum untuk dapat melakukan suatu
penuntutan terhadap seseorang yang oleh penyelidik telah
disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu.
Dalam suatu tindak pidana itu terdapat dasar-dasar
yang meniadakan pidana atau tidak, apakah suatu tindak
pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya berdasarkan
sesuatu unsur schuld atau tidak, apakah sesuatu tindakan
itu bersifat melawan hukum atau tidak, apakah seorang
tersangka itu dapat dipandang sebagai toerekeningsvatbaar
atau tidak, dan apakah tindakan seorang pelaku itu dapat
dipandang sebagai toerekenbaar atau tidak, maka setelah
seorang itu disidik atau dituntut, hanya hakim sajalah yang
berwenang untuk memutuskannya.

50 PAF Lamintang, 1994, KUHAP dengan Pembahasan secara yuridis


menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru,
Bandung, hal. 106

84 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian
hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran
berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Penyelesaian perkara tindak pidana dengan
mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan
keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan
pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada
pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum
masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun
dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan
pembaharuan sistem peradilan pidana.
Problematika penyelesaian perkara pidana dalam
kerangka penegakan hukum muncul ketika perkara kecil
memenuhi ruang sidang sehingga banyak waktu tidak
efektif terbuang, biaya penanganan perkara yang
seharusnya ringan menjadi bengkak, beban penanganan
perkara menumpuk dan bila terdakwa ditahan biaya sistem
pemenjaraan terus membengkak, sementara kapasitas
ruang tahanan/pemasyarakatan sudah tidak dapat

Restorative Justice 85
menampung dan keluarga pelaku yang ditahan tidak
mendapat nafkah.
Menjawab permasalahan tersebut, Jaksa Agung RI S.T
Burhanuddin yang memiliki tugas dan wewenang
mengefektifkan proses penegakan hukum di lingkungan
Kejaksaan RI mengeluarkan kebijakan hukum yang sangat
progresif dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Kebijakan ini menjadi
krusial dimotori oleh Kejaksaan mengingat Kejaksaan
(Jaksa) memiliki posisi dan peran strategis dalam proses
penegakan hukum dalam bingkai sistem peradilan pidana
terpadu sebagai master of process/dominus litis yang salah
satu fungsinya menyaring sebuah perkara pidana dan
menentukan perlu tidaknya sebuah perkara pidana
diteruskan ke persidangan dengan mempertimbangkan 3
(tiga) nilai tujuan hukum yg disebut oleh Gustav Radbruch.
Berdasarkan hal tersebut pada tanggal 22 Juli 2020
diundangkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan ini
memberikan dan mempertimbangkan basis equal and
balances antara Pelaku, Korban, Masyarakat dan Negara,
sehingga keadilan restoratif yang menjadi kebijakan

86 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Kejaksaan. Selama berpuluh tahun kejaksaan mengalami
dilema dalam proses penegakkan hukum dan sistem
peradilan di Indonesia. Mulai dari perkara kecil yang harus
dibawa ke meja hijau, perkara dengan kerugian kecil hingga
keinginan korban yang ingin berdamai namun terbelenggu
peraturan berlaku.
Pasal 3 Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020
menyatakan penuntut umum berwenang menutup perkara
demi kepentingan hukum. Yang dimaksud kepentingan
umum itu meliputi terdakwa meninggal, kedaluwarsanya
penuntutan pidana, dan telah ada putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap terhadap seseorang atau perkara
yang sama. Sementara Pasal 4 menyatakan penghentian
penuntutan dilakukan atas kepentingan korban dan
kepentingan hukum lain yang dilindungi. Lalu,
penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan,
respon dan keharmonisan masyarakat, serta kesusilaan dan
ketertiban umum.
Adapun syarat penutupan tindak pidana dalam aturan
ini meliputi:
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak
pidana,
2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana
denda atau diancam dengan pidana penjara
tidak lebih dari lima tahun, dan

Restorative Justice 87
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang
bukti atau nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2,5
juta.

Data laporan keadilan restoratif tahun 2020 pada


Kejaksaan Agung melaporkan 65 (enam puluh lima)
perkara dihentikan dengan syarat dan 28 perkara
dihentikan tanpa syarat dengan sebaran tindak pidana
bervariasi dari KDRT, pencurian, penganiayaan, lalu lintas
dan tindak pidana lainnya. Dalam menciptakan keadilan
restoratif dalam penyelesaian perkara pidana, kebijakan
penghentian penuntutan ini membuka ruang yang sah
menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama
merumuskan penyelesaian permasalahan guna
dilakukannya pemulihan ke keadaan semula sebelum upaya
penuntutan hukum pidana itu dilakukan. Dengan kebijakan
ini pula keadilan restoratif dapat terwujud dalam
penyelesaian perkara pidana yang tidak hanya terbatas
pada delik dalam lingkup UU SPPA saja melainkan juga
terhadap setiap penyelesaian perkara dimana hukum
pidana mengambil posisi sebagai ultimum remidium
(obat/solusi terakhir). Namun perlu diperhatikan bahwa
kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
restoratif ini nantinya diterapkan dengan cermat sesuai

88 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


syarat dan ketentuan serta asas yang telah diatur di
dalamnya.
Di Kejaksaan Negeri Purbalingga Eko Bayu Setiawan
seorang guru olahraga yang ditetapkan menjadi tersangka
kasus kelalaian yang menyebabkan siswa dari SD Negeri 3
Makam, Kecamatan Rembang, meninggal dunia di kolam
renang menjadi orang pertama di Jawa Tengah, yang
merasakan Restorative justice atau keadilan restoratif. Dia
dibebaskan dari tuntutan hukum, sebagaimana diatur oleh
Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
Penyelesaian itu sebagai upaya kejaksaan melaksanakan
restorative justice, yaitu upaya penyelesaian masalah untuk
mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi tindak
pidana. Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri
Purbalingga Triyana Setia Putra mengatakan, penyelesaian
perkara Pasal 359 KUHP tersebut telah mendapat
persetujuan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah.
Yakni melalui surat nomor B-3370/M.3/Eoh.2/09/2020,
yang ditandatangani oleh Kepala Kejati Jawa Tengah
Priyanto, tertanggal 16 September 2020. 51

51 Tya, Guru Olahraga di Purbalingga yang Ditetapkan Jadi Tersangka


Dibebaskan dari Tuntutan, Sumber: https://radarbanyumas.co.id/guru-
olahraga-di-purbalingga-yang-ditetapkan-jadi-tersangka-dibebaskan-dari-
tuntutan/, diakses pada tanggal 28 Oktoner 2020.

Restorative Justice 89
Di Kejaksaan Negeri Purwokerto kasus Perum
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Barat
sepakat damai dengan warga Desa Petahunan, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, dalam kasus penebangan puluhan
pohon pinus di Petak 47 Resor Pemangkuan Hutan
Samudra. Kesepakatan damai tersebut ditandai dengan
penandatanganan Nota Kesepakatan Perdamaian antara
tersangka kasus penebangan pohon pinus Siyo Sujono (50)
dan Administrator Perhutani KPH Banyumas Barat Toni
Kuspuja di Aula Kejaksaan Negeri Purwokerto, Kabupaten
Banyumas, Rabu, dengan disaksikan oleh Kepala Kejari
Purwokerto Sunarwan dan Wakil Bupati Banyumas Sadewo
Tri Lastiono. Kajari Purwokerto Sunarwan mengatakan
penghentian perkara tersebut didasari Peraturan Kejaksaan
Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.52

C. Pelaksanaan Keadilan Restoratif Justice di


Pengadilan dan Putusan
Penerapan restoratif justice dipersidangan merupakan
suatu hal yang baru, dan terkadang jarang dipergunakan

52 Sumarwoto, Perhutani sepakat damai dengan warga Petahunan


Banyumas, https://www.antaranews.com/berita/1702114/perhutani-
sepakat-damai-dengan-warga-petahunan-banyumas/, diakses pada tanggal
28 Oktoner 2020.

90 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


hakim sebagai acuan dalam memutus perkara/ kasus,
sehingga penggunaan teori restoratif justice sering pula
disebut sebagai judicial activism. Istilah judicial activism
pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Schlesinger pada
Januari 1947 dalam majalah Fortune. Umumnya, judicial
activism selalu dilekatkan dalam konteks di mana hakim
membuat aturan hukum (judges making law) dalam
putusannya. Brian Galligan mendefinisikan judicial
activism sebagai kontrol atau pengaruh oleh lembaga
peradilan terhadap institusi politik dan administratif. 53
Black’s Law Dictionary, judicial activism diartikan
sebagai berikut:
“A philosophy of judicial decision-making whereby
judges allow their personal views about public policy,
among other factors, to guide their decisions, usu. with
the suggestion that adherents of this philosophy tend to
find constitutional violations and are willing to ignore
precedent.”54

Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum,


diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan

53 Hario Mahar Mitendra, Fenomena Dalam Kekosongan Hukum, dalam


Jurnal RechtsVinding Online, hal. 1.
54 Bryan A. Garner dan Henry Campbell Black, 2004, Black’s Law
Dictionary, Minnesota: West Group, hal. 1034

Restorative Justice 91
kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas
pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang
secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman
adalah hakim. Hakim harus memahami ruang lingkup tugas
dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundang-
undangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban,
selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam
menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.
Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran
aktif (judicial activism) dari hakim dalam proses peradilan.
Pada Putusan Nomor: 40 / Pid.B / 2013 / PN. Spg.
Pengadilan Negeri Sampang yang mengadili Zainuddin
dalam kasus pengeroyokan sesuai Pasal 170 ayat (1) KUHP
menyatakan bahwa:
Menimbang, bahwa "Restorative justice" sebagai salah
usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara
damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di
Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi
restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui
negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum
nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik

92 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


yang muncul di masyarakat dan memberikan
kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide
restorative justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang
dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial.
Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang
dipenjara juga memunculkan persoalan barn bagi
keluarga dan sebagainya ;55

Restorative justice adalah metode yang dipakai adalah


musyawarah pemulihan dengan melibatkan korban dan
pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah wakil
masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan
dimana tindak pidana dengan pelaku tindak pidana tersebut
terjadi. Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat
untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak
diharapkan dapat menghasilkan putusan yang tidak bersifat
punitif, namun tetap mengedepankan kepentingan dan
tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan
masyarakat.

55 Putusan Nomor: 40 / Pid.B / 2013 / PN. Spg, hal. 16

Restorative Justice 93
Pada kasus tersebut telah pula terjadi perdamaian
dan permintaan maaf antara Terdakwa dan Korban beserta
keluarga Korban dan yang dituangkan dalam Surat
Pernyataan Perdamaian tertanggal 19 April 2013 yang
melibatkan dan diketahui oleh Kepala Desa Pulau
Mandangin, bahwa dalam surat pernyataan perdamaian
tersebut berisi bahwa Terdakwa tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi dan korban dalam hal ini adalah Imamul
Muttaqin beserta keluarganya tidak akan
mempermasalahkan lagi dan akan diselesaikan secara
kekeluargaan. Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana
penjara selama pidana selama 2 (dua) bulan dan 7 (tujuh)
hari penjara.
Pada kasus narkotika, setidaknya Putusan Nomor
183/Pid.Sus/ 2013 / PN.Bjm yang mengadili Risky Putra
Utama menggunakan teori Restorative justice dalam
menerapkan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim
menyatakan bahwa:
Harapan dan keinginan dari sistim peradilan perkara
anak menuju peradilan anak restorative yang
berangkat dari asumsi bahwa perilaku kenakalan
anak adalah perilaku yang merugikan korban dan
masyarakat. Tujuan dari peradilan restorative terarah
pada pembangkitan rasa tanggungjawab anak/pelaku

94 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dengan cara perbaikan kerugian dan penyembuhan
luka masyarakat pun terpenuhi untuk berperan aktif
"mendidik" anak untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik terhadap korban, keluarganya,
masyarakat pada umumnya.56

Penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang


statusnya sebagai anak akan mengindahkan sistem peradilan
anak untuk mencapai tujuan, retributif, pembinaan individual
dan restorative, karena menurut undang-undang bahwa
pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan
seorang anak disebut dengan kenakalan diharapkan
diselesaikan secara restorative, bahwa perilaku kenakalan
anak adalah perilaku yang merugikan korban dan
masyarakat, maka restorative terarah pada pembangkitan
rasa tanggungjawab anak pelaku dengan cara perbaikan
kerugian dan penyembuhan luka masyarakat pun terpenuhi
untuk berperan aktif "mendidik" anak untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik terhadap
korban, keluarganya, masyarakat pada umumnya. Dengan
demikian Majelis haklim menjatuhkan pidana pidana kepada
Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

56 Putusan Nomor 183/Pid.Sus/ 2013 / PN.Bjm, hal. 12

Restorative Justice 95
Aspek restorative justice juga dihadirkan dalam
perkara penganiayaan anak oleh seorang guru di Pengadilan
Negeri Kotamobagu. Febrina Modeong, S.Pd melakukan
kekerasan terhadap anak yaitu terhadap anak korban Farhan
Mamonto yang masih berumur 9 (sembilan) tahun di SDN I
Bongkudai Barat. Terdakwa mencubit telinga sebelah kanan
saksi Ravansyah Mamonto alias Rava dengan menggunakan
tangan kanan, lalu Terdakwa menampar kepala bagian kanan
sebanyak satu kali. Majelis Hakim dalam Putusan Nomor
78/Pid.Sus/2019/PN.Ktg menyatakan bahwa:

Menimbang, bahwa dalam rangka upaya mewujudkan


Tujuan Pemidanaan tersebut diantaranya muncul ide
konsep Restorative justice yang menurut Muladi : “
tidak memfokuskan diri pada kesalahan yang telah
lalu tetapi bagaimana memecahkan masalah tanggung
jawab dan kewajiban pada masa depan dari pelaku,
model perlawanan digantikan model dialog dan
negoisasi, penjeraan diganti rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama. Masyarakat dinggap
merupakan fasilitator di dalam proses restorative dan
perasaan korban dan pelaku diakui. Stigma harus
dihapus melalui tindakan restorative dan
kemungkinan terbuka untuk bertobat dan memaafkan

96 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


asal mereka membantu perbaikan situasi yang
diakibatkan oleh perbuatannya.57

Apabila Konsep Restorative justice tersebut dikaitkan


dengan upaya pertanggungjawaban Terdakwa terhadap
korban dan orang tuanya, dimana di hadapan Majelis Hakim
di persidangan pada tanggal 8 April 2019 Terdakwa telah
meminta maaf dengan pihak korban yaitu Farhan Mamonto
dan pihak korban telah memaafkannya walaupun orang tua
korban belum memaafkan namun menurut Majelis Hakim
Tujuan Pemidanaan serta Konsep Restorative justice
sebagaimana telah diuraikan di atas menurut Hukum telah
tercapai berdasarkan terwujudnya suatu rekonsiliasi dan
restorasi antara Terdakwa dengan korban.
Putusan yang akan di jatuhkan oleh Majelis Hakim
bukanlah merupakan suatu pembalasan terhadap
perbuatan terdakwa akan tetapi semata - mata agar
Terdakwa dapat merenung dan merubah tingkah lakunya
kelak di kemudian hari, maka dengan memperhatikan
segala aspek kepentingan terutama terdakwa yang
merupakan guru sehingga perannya diperlukan di dunia
pendidikan serta untuk kepastian hukum dalam masyarakat

57 Putusan Nomor 78/Pid.Sus/2019/PN.Ktg hal. 14

Restorative Justice 97
dengan tanpa mengurangi kesalahan Terdakwa, Majelis
Hakim berpendapat bahwa, Terdakwa cukup dibina dalam
masyarakat tanpa harus melalui lembaga pemasyarakatan,
untuk itu ketentuan Pasal 14 a KUHP diterapkan dalam
perkara ini.

D. Penerapan Keadilan Restoratif berdasarkan Surat


Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan
Umum Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) adalah
salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian
perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan
sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk
pemberlakuan. kebijakan (Peraturan Mahkamah Agung dan
Surat Edaran Mahkamah Agung), namun pelaksanaannya
dalam sistem peradilan pidana Indonesia masih belum
optimal.
Terdapat beberapa peraturan yang menunjang
prinsip keadilan restoratif (restorative justice) antara lain:

1. Peraturan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan. Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP;

98 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


2. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak;

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum;

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penempatan Penyalahgunaan, Korban
Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial;

5. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika
di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial.

6. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah


Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan. Hak

Restorative Justice 99
Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia Nomor
166A/KMA/SKB/XII/2009, 148 A/A/JA/
12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02
Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP
dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum.

7. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah


Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negera Republik Indonesia Nomor 131/ KMA/
SKB/X/ 2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun
2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor
B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang
Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara
Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative justice).

8. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung


Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak

100 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia Nomor 01/ PB/
MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11
Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-
005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014,
Nomor Perber/ 01/ III / 2014/ BNN tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi.
Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan
alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam
mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada
pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi
yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana
yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku
dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam
masyarakat.

Restorative Justice 101


Prinsip dasar keadilan restoratif (restorative justice)
adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita
akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada
korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hukum yang adil di
dalam keadilan restoratif (restorative justice) tentunya tidak
berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan
hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang-
undangan yang berlaku serta mempertimbangkan
kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap
aspek kehidupan. Pelaku memiliki kesempatan terlibat
dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan
untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan
untuk menjaga ketertiban umum.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal


Badan Peradilan Umum Nomor:
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 terdapat 4 penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada perkara tindak
pidana antara lain :

1. Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada


Perkara Tindak Pidana Ringan

2. Keadilan Restoratif (Restorative justice) Pada


Perkara Anak

102 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


3. Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada
Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan
Hukum

4. Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada


Perkara Narkotika

Adapun penerapan penerapan Keadilan Restoratif


(Restorative justice) berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 dapat dijelaskan sebagai
berikut:

1. Keadilan Restoratif (Restorative justice)


pada Perkara Tindak Pidana Ringan

Definisi secara konkrit tentang tindak pidana


ringan akan sulit ditemukan dalam KUHPidana,
dikarenakan sebagian besar isi pokok peraturan
hukum dalam KUHPidana Indonesia merupakan
adopsi dari KUHPidana warisan Hindia – Belanda.
Pada masa kolonial Belanda tidak menyertakan
aturan hukum tentang tindak pidana ringan dalam
KUHPidana Hindia – Belanda. Dalam KUHPidana,
tindak pidana ringan lebih dikenal dengan jenis-jenis
perbuatan ringan, seperti: penganiayaan ringan,
pencurian ringan, penggelapan ringan, dsb.

Restorative Justice 103


Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah
Agung menerbitkan sebuah aturan tertulis berupa
PERMA RI No. 02 Tahun 2012 sebagai wujud
implementasi dari fungsi pengaturan Mahkamah
Agung yang terdapat dalam Pasal 79 Undang-Undang
Mahkamah Agung. Perma tersebut mengatur
ketentuan secara khusus tentang penyesuaian
batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam
KUHPidana. Tujuan diterbitkannya perma ini adalah
untuk mengefektifkan kaidah hukum pidana yang
disesuaikan dengan perkembangan dinamika sosial
masyarakat. Ketentuan aturan mengenai kejahatan
ringan yang diatur dalam KUHPidana dianggap sudah
tidak sesuai dengan keadaan sosial masyarakat saat
ini.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 menetapkan dengan
tegas bahwa, tindak pidana ringan adalah tindak
pidana yang diatur dalan Pasal 364, 373, 379, 384,
407 dan pasal 482 KUHP yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Dalam
perkara tindak pidana ringan berdasarkan Surat

104 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 bahwa,
perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan
keadilan restoratif (restorative justice) adalah perkara
tindak pidana ringan dengan ancaman pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384,
407 dan pasal 482 KUHP dengan nilai kerugian tidak
lebih dan Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu
rupiah).
Proses penyelesaian perkara tindak pidana
ringan melalui keadilan restoratif (restorative justice)
adalah dimulai dengan Ketua Pengadilan Negeri
berkoordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan
Kapolres dalam pelaksanaan pelimpahan berkas.
Ketua Pengadilan Negeri berkoordinasi dengan
Kepala Kejaksaan Negeri dan Kapolres dalam
pelaksanaan pelimpahan berkas berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2012 terkait keadilan restoratif
(restorative justice). Dalam menerima pelimpahan
perkara pencurian, penipuan, penggelapan,
penadahan dan penyidik yang sudah lengkap
termasuk menghadirkan pelaku, korban, keluarga
pelaku, keluarga korban dan pihak-pihak terkait pada

Restorative Justice 105


saat hari sidang, selanjutnya ketua menetapkan hakim
tunggal dengan memperhatikan nilai barang atau
uang yang menjadi obyek perkara sebagaimana
ketentuan di atas.
Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim
tunggal (1 x 24 jam) untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan
cepat yang diatur dalam Pasal 205 - 210 KUHAP.
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui
keadilan restoratif (restorative justice) dapat
dilakukan dengan ketentuan telah dimulai
dilaksanakan perdamaian antara pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat
terkait yang berperkara dengan atau tanpa ganti
kerugian.
Setelah membuka persidangan hakim
membacakan catatan dakwaan serta menanyakan
pendapat terdakwa dan korban, selanjutnya hakim
melakukan upaya perdamaian. Dalam hal proses
perdamaian tercapai, para pihak membuat
kesepakatan perdamaian, selanjutnya ditandatangani
oleh terdakwa, korban dan pihak-pihak terkait dan
kesepakatan perdamaian dimasukkan kedalam
pertimbangan putusan hakim. Dalam hal kesepakatan

106 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


perdamaian tidak berhasil, maka hakim tunggal
melanjutkan proses pemeriksaan.
Selama persidangan hakim tetap
mengupayakan perdamaian dan mengedepankan
keadilan restoratif (restorative justice) dalam
putusannya. Keadilan restoratif (restorative justice)
sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku pada
pelaku tindak pidana yang berulang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada
proses ini ada dua prosedur yang mirip dengan
konsepsi yang penulis ajukan dalam membentuk
peradilan adversarial. Pertama pada sisi pemeriksaan
pendahuluan, yaitu hakim pemeriksa pendahuluan
sebagai hakim tunggal juga memperoleh kekuasaan
dalam memeriksa perkara tipiring.
Penulis dalam mengajukan suatu konstruksi
peradilan adversarial memandang bahwa pada
dasarnya perlu ada suatu persidangan khusus yang
ditujukan untuk menyeleksai kasus-kasus kecil yang
kurang layak diajukan ke pengadilan, namun
demikian apa ukuran kelayakan yang digunakan,
apakah tindak pidana ringan yang saat ini dilimitasi
terhadap kerugian Rp. 2.500.000, ataukah
sebagaimana konsep pre trial Arraignment, di Negara

Restorative Justice 107


Amerika Serikat dimana tersangka yang telah
mengakui kesalahannya (guilty/Plea of guilty), maka
pemeriksaannya cukup dalam proses "court trial, atau
pemeriksaan layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan menjadi wadah
mediasi penal, tanpa melihat limitasi dari tindak
pidana ringan.
Apabila dibandingkan dengan prosedur
beracara berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, setelah membuka
persidangan hakim membacakan catatan dakwaan
serta menanyakan pendapat terdakwa dan korban,
selanjutnya hakim melakukan upaya perdamaian.
Dalam hal proses perdamaian tercapai, para pihak
membuat kesepakatan perdamaian, selanjutnya
ditandatangani oleh terdakwa, korban dan pihak-
pihak terkait dan kesepakatan perdamaian
dimasukkan kedalam pertimbangan putusan hakim.
Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil,
maka hakim tunggal melanjutkan proses
pemeriksaan. Pada konsepsi tipiring penuylis justru
tidak memasukan mediasi dalam alurnya, hal ini
karena perkara tipiring tentunya menjadi suatu

108 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


perkara yang harus cepat diselesaikan, sedangkan
pada Pre Trial Arraignment barulah ada mediasi, hal
ini ditujukan untuk menyeleksi kasus termasuk
memasukan penerapan keadilan restoratif
(restorative justice) pada penyelesaian kasus pidana.
Di sisi lain adapula Plea Bargaining/ peradilan
sekunder/pendahuluan sebagai suatu jalur khusus
peradilan pidana. Disini jalur yang disediakan adalah
kesepakatan antara Kejaksaan dan Penasihat Hukum,
maka tidak ada lagi yang disebut dakwaan dan lain
sebagainya, yang ada adalah mengakui kesalahan,
apabila tidak akan masuk pada peradilan utama.
Apabila ketiga acara/ kategori tindak pidana
tersebut dapat di sidangkan dalam pemeriksaan layak
atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan
penuntutan ke pengadilan, maka mekanisme
sidangnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Restorative Justice 109


Formulasi Alur Pemeriksaan Layak Atau Tidaknya
Suatu Perkara Untuk Dilakukan Penuntutan Ke
Pengadilan

Beberapa alternatif model tersebut tentunya


dapat memperjelas, acara pemeriksaan dalam
kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan untuk
memeriksa pemeriksaan layak atau tidaknya suatu
perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Hal ini tentu saja karena mekanisme acara dalam
memeriksa layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan belum
dijelaskan secara utuh oleh RUU KUHAP 2012.

110 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


2. Keadilan Restoratif (Restorative justice)
Pada Perkara Anak
Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 juga mengatur
penerapan keadilan restoratif (restorative justice)
pada perkara anak. Sistem keadilan restoratif
(restorative justice) yang menggunakan diversi dalam
proses peradilannya tentunya telah diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65
Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua
belas) Tahun dan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Sistem peradilan pidana anak sebagaimana
diatur Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Setiap penetapan diversi merupakan wujud keadilan

Restorative Justice 111


restoratif (restorative justice). Dalam hal diversi tidak
berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, hakim
mengupayakan putusan dengan pendekatan
keadilan restoratif (restorative justice) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 71 sampai dengan Pasal
82.
Dalam suatu persidangan setelah pembacaan
dakwaan, hakim proaktif mendorong kepada
anak/orangtua/penasehat hukum dan korban serta
pihak-pihak terkait (Pembimbing Kemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan selanjutnya disebut PK Bapas,
Pekerja Sosial (Peksos), Perwakilan Masyarakat)
untuk mengupayakan perdamaian. Dalam hal proses
perdamaian tercapai, para pihak membuat
kesepakatan perdamaian, selanjutnya ditandatangani
anak dan/atau keluarganya, korban dan pihak-pihak
terkait (PK Bapas, Peksos, Perwakilan Masyarakat) dan
kesepakatan perdamaian dimasukkan kedalam
pertimbangan putusan hakim demi kepentingan
terbaik bagi anak.
Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman berupa
tindakan, maka hakim wajib menunjuk secara tegas dan
jelas tempat atau lembaga dengan berkoordinasi

112 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


kepada PK Bapas, Peksos dan Unit Pelaksana Teknis
Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak
selanjutnya disingkat menjadi UPTD PPA (dahulu
P2TP2A). Dalam hal pelaku adalah anak yang belum
berusia 14 (empat belas) tahun dan menghadapi
permasalahan hukum, hanya dapat dikenai tindakan
bukan pemidanaan, yang meliputi; pengembalian
kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang,
perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS,
kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan
perbaikan akibat tindak pidananya. Dalam hal korban
adalah anak (anak korban/anak saksi) panitera wajib
memberi catatan identitas (stempel korban/ saksi
anak) dalam berkas perkara.

3. Keadilan Restoratif (Restorative justice)


pada Perkara Perempuan yang Berhadapan
dengan Hukum
Secara empiris perempuan tak mudah untuk
mendapatkan persamaan didepan hukum dan akses
terhadap keadilan. Perempuan sering dihadapkan
pada hambatan berganda dalam rangka pemenuhan

Restorative Justice 113


haknya karena adanya diskriminasi gender
berdasarkan cara pandang terhadap pria dan
perempuan yang stereotip. Pandangan yang stereotip
gender dan perlakuan yang diskriminatif terhadap
perempuan dalam sistem peradilan berbanding lurus
dengan aksesibilitas perempuan untuk mendapatkan
keadilan. Apabila perempuan mengalami diskriminasi
dan/atau stereotip negatif maka akan semakin
terbatas akses perempuan terhadap keadilan.58
Perkara perempuan juga menjadi salah satu konsen
dari Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.
Penerapan keadilan restoratif (restorative
justice) dalam perkara perempuan yang berhadapan
dengan hukum didasari beberapa dasar hukum antara
lain:

58 Siti Lestari, 2016, “Analisis Putusan Terkait Riwayat Seksual Korban atau
Stereotype Sebagai Dasar Meringankan atau Membebaskan Terdakwa”,
dalam Lidwinga Inge Nurtjahyo dan Choky R. Ramadhan (ed.),
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana: Analisis
Konsistensi Putusan, Edisi Pertama, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Indonesia bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan
Lembaga Bantuan Hukum Apik atas dukungan Australia Indonesia
Partnership for Justice, hal. 338.

114 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


a. Konvensi CEDAW (The Convention on the
Elemination of All From of Discrimination
Against Women) yang telah diratifikasi
dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;

b. Konvensi ICCPR (International Covenant on


Civil and Political Rights) yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang;

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban;

Restorative Justice 115


f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban
Tindak Pidana;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi
dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban;
i. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum.
Dalam pemeriksaan perkara perkara
perempuan yang berhadapan dengan hukum, hakim
dihimbau agar mempertimbangkan kesetaraan
gender dan non-diskriminasi, dengan
mengidentifikasi fakta persidangan antara lain:
a. Ketidaksetaraan status sosial antara para
pihak yang berperkara;
b. Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang
berdampak pada akses keadilan;
c. Diskriminasi;

116 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


d. Dampak psikis yang dialami korban;
e. Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
f. Relasi Kuasa yang mengakibatkan korban/
saksi tidak berdaya; dan
g. Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap
korban/saksi.
Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan
dengan hukum, Hakim dilarang 4 (empat) hal
sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum yaitu sebagai berikut :
a. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan
pernyataan yang merendahkan,
menyalahkan dan/atau mengintimidasi
perempuan berhadapan dengan hukum;
b. Membenarkan terjadinya diskriminasi
terhadap perempuan dengan menggunakan
kebudayaan, aturan adat, dan praktik
tradisional lainnya maupun menggunakan
penafsiran ahli yang bias gender;
c. Mempertanyakan dan/atau
mempertimbangkan mengenai pengalaman

Restorative Justice 117


atau latar belakang seksualitas korban
sebagai dasar untuk membebaskan pelaku
atau meringankan hukuman pelaku; dan
d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan
yang mengandung stereotip gender.
Hakim dalam mengadili perkara perempuan
berhadapan dengan hukum berdasarkan Pasal 6
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum, berkewajiban
mempertimbangkan kesetaraan gender clan stereotip
gender dalam peraturan perundang-undangan dan
hukum tidak tertulis. Hakim dalam perkara
perempuan yang berhadapan dengan hukum juga
wajib melakukan penafsiran peraturan perundang-
undangan dan/ atau hukum tidak tertulis yang dapat
menjamin kesetaraan gender. Selain itu hakim juga
wajib menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna
menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang
setara dan non diskriminasi; dan mempertimbangkan
penerapan konvensi dan perjanjianperjanjian
Internasional terkait kesetaraan gender yang telah
diratifikasi. Selama jalannya pemeriksaan

118 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


persidangan, hakim agar mencegah dan/atau
menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut
umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau
membuat pernyataan yang merendahkan,
menyalahkan, mengintimidasi dan/ atau
menggunakan pengalaman atau latar belakang
seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.
Dalam penanganan perempuan berhadapan
dengan hukum sebagai pelaku, Hakim dalam
mengadili perkara perempuan berhadapan dengan
hukum sebagai pelaku wajib mempertimbangkan
fakta-fakta hukum dengan pendekatan keadilan
restoratif (restorative justice). Putusan Hakim
menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat guna
menjamin kesetaraan gender. Pada penanganan
perempuan berhadapan dengan hukum sebagai
korban, hakim dalam mengadili perkara perempuan
berhadapan dengan hukum sebagai korban wajib
mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan implikasi
dimasa yang akan datang dengan pendekatan
keadilan restoratif (restorative justice).
Dalam memeriksa dan memutus perkara
perempuan berhadapan dengan hukum sebagai

Restorative Justice 119


korban, Hakim harus mempertimbangkan tentang
kerugian yang dialami oleh korban dan dampak kasus
serta kebutuhan untuk pemulihan bagi korban. Hakim
juga wajib memberitahukan kepada korban tentang
hakhaknya tentang Restitusi dan Kompensasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan
lainnya. Pengadilan wajib menyediakan daftar Peksos
(Pekerja Sosial profesional) dengan berkoordinasi
kepada dinas sosial setempat.
Pada suatu kondisi perempuan berhadapan
dengan hukum yang mengalami hambatan fisik dan
psikis sehingga membutuhkan pendampingan maka
Hakim wajib memerintahkan kehadiran pendamping.
Pengadilan wajib menyediakan daftar pendamping
bagi perempuan berhadapan dengan hukum yang
sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan pendapat
ahli (psikiater, dokter, psikolog dan keluarga) melalui
pengisian formulir penilaian personal yang
disediakan di meja Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP).
Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 juga memberikan

120 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dasar peradilan teleconfrence. Hakim dalam
pemeriksaan perkara perempuan berhadapan dengan
hukum dapat memerintahkan untuk didengar
keterangannya melalui pemeriksaan dengan
komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan
setempat atau di tempat lain berdasarkan Pasal 10
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum.
4. Keadilan Restoratif (Restorative justice)
pada Perkara Narkotika
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa,
apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai
sarana untuk mencapai manusia Indonesia seutuhnya,
maka pendekatan humanistis harus pula
diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena
kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah
kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya
hukum pidana itu sendiri mengandung unsur
penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau
nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.59

59 Barda Nawal Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 41.

Restorative Justice 121


Dalam perkembangannya, hukum pidana juga
perlu memperhatikan korban kejahatan. Orientasi
hukum pidana yang hanya cenderung pada persoalan
perbuatan (pidana) dan pelaku (daad-dader
strafrecht) telah melahirkan konstruksi hukum pidana
yang tidak respec terhadap korban. Padahal dalam
konteks, anak sebagai orang yang melakukan
penyalahgunaan narkotika, ia tidak dapat semata-
mata dilihat sebagai pelaku, tetapi ia juga harus
dilihat sebagai korban yang membutuhkan prioritas
pengentasan dari ketergantungannya dengan
narkotika. Selain itu dalam konteks yang lebih luas,
pengguna narkotika adalah pelaku sekaligus korban
dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Pendekatan keadilan restoratif (restorative
justice) hanya dapat diterapkan terhadap pecandu,
penyalahguna, korban penyalahgunaan,
ketergantungan narkotika dan narkotika pemakaian
satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan
Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara

122 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014,
Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014,
Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per005/A/JA/
03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/ 01/
III/ 2014/BNN tentang Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi.
Keadilan restoratif (restorative justice) pada
perkara narkotika dapat dilakukan dalam hal
terpenuhi syarat yaitu, pada saat tertangkap tangan
oleh penyidik Polri dan penyidik Badan Narkotika
Nasional (BNN) ditemukan barang bukti pemakaian 1
(satu) hari dengan perincian antara lain sebagai
berikut :

Restorative Justice 123


Tahap awal yang harus dilalui tersangka yang
tertangkap dalam kasus penyalahgunaan narkotika
adalah dengan mengajukan asesmen kepada Tim
Asesmen Terpadu melalui penyidik. Siapa tim
assasment terpadu ? Tim Asesmen Terpadu adalah
Tim yang terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum
yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat
berdasarkan Surat Keputusan Badan Narkotika
Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota. Tim ini meliputi
Tim Dokter yaitu Dokter dan Psikolog; dan Tim
Hukum terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan
Kemenkumham.
Tim Asesmen Terpadu melakukan pemeriksaan
assament atas permintaan Penyidik untuk melakukan
analisis peran seseorang yang ditangkap atau
tertangkap tangan sebagai Korban Penyalahgunaan
Narkotika, Pecandu Narkotika atau Pengedar
Narkotika. Tim Asesmen Terpadu juga menentukan
kriteria tingkat keparahan penggunaaan narkotika
sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi,
situasi dan kondisi ketika ditangkap pada tempat
kejadian perkara. Pada akhirnya Tim Asesmen
Terpadu merekomendasi rencana terapi dan

124 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika.
Pada penerapan keadilan restoratif (restorative
justice) perkara narkotika Panitera memiliki peran
untuk memastikan bahwa Jaksa telah melampirkan
hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu pada setiap
pelimpahan berkas perkara yang didakwa sesuai
dengan Pasal 103 ayat (1) dan Pasal 127 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Jaksa melampirkan hasil asesmen dari Tim Asesmen
Terpadu.
Jika berkas perkara pada saat dilimpahkan tidak
dilengkapi hasil asesmen, maka hakim pada saat
persidangan dapat memerintahkan kepada Jaksa
untuk melampirkan hasil assessment dari Tim
Asesmen Terpadu. Hakim dapat memerintahkan
terdakwa agar menghadirkan keluarga dan pihak
terkait untuk didengarkan keterangannya sebagai
saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan
keadilan restoratif (restorative justice).
Majelis Hakim dalam proses persidangan dapat
memerintahkan agar pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika untuk melakukan
pengobatan, perawatan dan pemulihan pada lembaga

Restorative Justice 125


rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi
sosial. Pengadilan wajib menyediakan daftar lembaga
rehabilitasi medis atau sosial melalui koordinasi
dengan Badan Narkotika Nasional.

126 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Restorative Justice 127
BAB VI
PENUTUP

Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain


peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan
integrasi pelaku di satu sisi dan korban/ masyarakat di lain
sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta
kembali pada pola hubungan balk dalam masyarakat.
Restorative justice lebih menitikberatkan pada adanya
partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
sehingg pendekatan ini populer disebut juga dengan istilah
“non state justice system” di mana peran Negara dalam
penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan
tidak ada sama sekali. Namun demikian, kehadiran
pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan

128 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


pemulihan (restorative justice) banyak diwarnai berbagai
pertanyaan baik secara teoritis maupun secara praktis.

Saat ini Indonesia telah memiliki dasar-dasar hukum


yang baru mengenai penerapan restorative justice antara
lain berupa Surat Edaran Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Dengan adanya
dasar hukum tersebut, diharapkan masyarakat akan
mendapatkan keadilan yang substansial yaitu pulihnya
kerugian korban.

Penerapan Surat Restorative justice di kepolisian


dilakukan berdasarkan Edaran Kapolri Nomor: Se/
8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Kasus-kasus yang dapat diterapkan Restorative justice yaitu
dengan tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni
kesalahan (schuld atau mensrea dalam bentuk kesengajaan
(dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud
atau tujuan (opzet als oogmerk), Pelaku bukan residivis,

Restorative Justice 129


Pada tindak pidana dalam proses Penyelidikan dan
Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.
Kejaksaan juga dapat menerapkan Restorative justice
berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat penutupan tindak
pidana dalam aturan ini meliputi Tersangka baru pertama
kali melakukan tindak pidana, Tindak pidana hanya
diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana
penjara tidak lebih dari lima tahun, dan Tindak pidana
dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian
tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Pengadilan juga memiliki ketentuan dalam
menerapkan Restorative justice yaitu berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Berdasarkan surat
tersebut terdapat 4 penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) pada perkara tindak pidana antara lain
Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada Perkara
Tindak Pidana Ringan, Keadilan Restoratif (Restorative
justice) Pada Perkara Anak, Keadilan Restoratif (Restorative
justice) pada Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan
Hukum, Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada
Perkara Narkotika

130 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Akub, M. Syukri & Baharudin Baharu. 2012. Wawasan Due


Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana.
Cetakan Pertama. Rangkang Education.
Yogyakarta.
Arief, Barda Nawal. 1994. Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
---------------------------. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian
Perkara Di Luar Pengadilan. Penerbit UNDIP.
Semarang.
---------------------------. 2011. Kapita Selekta Hukum Pidana
tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(Integrated Criminal Justice System). UNDIP.
Semarang. 34-35
---------------------------. 2011. Reformasi Sistem Peradilan
Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia).
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Atmasasmita, Romli. 2006. Sistem Peradilan Pidana
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina
Cipta. Bandung.
-------------------------. 2011. Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer. Kencana. Jakarta.
Basah, Sjachran. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan
Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni.
Bandung.
Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Restorative Justice 131


Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi
(Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita. Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai
Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Citra
Aditya. Bandung.
---------------------------. 2008. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.
Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System). Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang.
Joedo, Hari S. Malang dan Nugroho D. 2009. Kejahatan dan
Pemidanaan. PT Elex Media Komputiondo. Jakarta.
Kuffal, HMA. 2004. Penerapan KUHAP Dalam Praktek
Hukum. UMM. Malang.
Lamintang, PAF. 1994. KUHAP Dengan Pembahasan Secara
Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kompilasi Hukum Pidana Dalam
Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan. Mandar
Maju. Bandung.
------------------. 2015. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. PT Alumni. Bandung.
Parman, H. Lalu. 2011. Mataram: Mediasi Penal Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Prayitno, Kuat Puji. 2013. Restorative Justice. Pascasarjana
Ilmu Hukum. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.
Purba, Jonlar. 2017. Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana. Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice.
Permata Aksara. Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di
Indonesia. Kompas. Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono. 1997. Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan

132 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


dan Pengabdian Hukum. Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia. Jakarta.
Rizky, Rudi (ed). 2008. Refleksi Dinamika Hukum
(Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir).
Perum Percetakan Negara Indonesia. Jakarta.
Sutiyoso, Bambang. 2006. Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Solusi Dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam
Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang. Citra
Media. Yogyakarta.
Wibowo, Kurniawan Tri. 2020. Hukum dan Keadilan
(Peradilan Yang Tidak Kunjung Adil). Papas Sinar
Sinanti. Depok.
--------------------------------. 2020. Hukum Acara Pidana
(Menggugat Kelemahan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana di Indonesia). Papas Sinar
Sinanti. Depok.

Sumber Lainnya
Arief, Barda Nawawi. (2008). Mediasi Penal: Penyelesaian
Perkara Pidana Di Luar Pengadilan. Makalah
Seminar Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP.
Jakarta. 27 Maret 2007.
Azhar, Ahmad Faizal. Penerapan Konsep Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum
Islam Vol. 4. No. 2. Desember 2019.
Garner, Bryan A. dan Henry Campbell Black. 2004. Black’s
Law Dictionary. Minnesota: West Group.
Mitendra, Hario Mahar. Fenomena Dalam Kekosongan
Hukum. dalam Jurnal RechtsVinding Online.
Muladi. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak. Makalah
Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus
2013.

Restorative Justice 133


Nurtjahyo, Lidwinga Inge dan Choky R. Ramadhan (ed.).
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan
Pidana: Analisis Konsistensi Putusan. Edisi Pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia
bersama Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Apik atas
dukungan Australia Indonesia Partnership for
Justice.
Sumarwoto. Perhutani sepakat damai dengan warga
Petahunan Banyumas.
https://www.antaranews.com/berita/1702114/p
erhutani-sepakat-damai-dengan-warga-
petahunan-banyumas/. diakses pada tanggal 28
Oktoner 2020.
Tya. Guru Olahraga di Purbalingga yang Ditetapkan Jadi
Tersangka Dibebaskan dari Tuntutan.
Sumber: https://radarbanyumas.co.id/guru-
olahraga-di-purbalingga-yang-ditetapkan-jadi-
tersangka-dibebaskan-dari-tuntutan/. diakses
pada tanggal 28 Oktoner 2020.

134 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


RIWAYAT PENULIS

DR. Kurniawan Tri Wibowo


SH., MH., CPL, CCD lahir di Kota
Bekasi tanggal 29 Oktober 1987.
Jenjang pendidikan S1 Hukum ia
tamatkan di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
(tahun 2005-2009) dengan
kekhususan hukum pidana.
Setelah lulus program S1,
melanjutkan program Paska Sarjana (S2) di Magister Ilmu
Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan melanjutkan
studi di PDIH Unisula Semarang sejak tahun 2014 dan
menjadi murid dari Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H.,M.H.
dan Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H.

Kurniawan, salah satu sapaan akrabnya saat ini aktif


menggeluti profesi Advokat dan tercatat sebagai advokat
PERADI. Landmark Decision 2017 pada putusan No 209K/
PID/2016 mengantarkannya sebagai advokat terbaik dalam
membela tukang batu yang dituduh melakukan tindak
pidana dan berakhir dengan putusan putusan onslag van
alle rechtsvervolging atau lepas dari segala tuntutan dan

Restorative Justice 135


menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu terhadap
benda yang masih terdapat perselisihan keperdataan
diantara terdakwa dan saksi korban dengan demikian
haruslah dilepas dari segala tuntutan hukum. Penulis juga
aktif mengembangkan spesialisasi advokat, dalam hal ini
penulis memiliki spesifikasi dibidang procurement lawyer
(CPL) dan ahli huukum kontrak yang tergabung di dalam
Perkumpulan Perancang dan Ahli Hukum Kontrak
Indonesia (PAHKI) yang dipimpin Profesor Hikmahanto
Juwana SH, LLM, PhD. Penulis juga merupakan Dosen
sekaligus Kaprodi Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta yang telah banyak melahirkan buku-bukum
hukum acara pidana.
Di sela-sela kesibukannya, sosok yang konsisten ini juga
aktif dalam bidang tulis-menulis dalam beberapa jurnal
ilmiah internasional, serta mengembangkan konsultasi dan
bantuan hukum gratis di Facebook. Penulis juga aktif
berorganisasi di beberapa organisasi antara lain sebagai
Ketua Bidang Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum
Perisai Kebenaran Pusat, Sekretaris Komnas Anak
Purwokerto. Untuk berkorespondensi atau berdiskusi
terkait buku ini dengan kurniawan dapat
melalui: one_agp@yahoo.com atau kontak person
08895081176.

136 Kurniawan Tri Wibowo dan Erri GunrahtiYuni U


Erri Gunrahti YU., SH lahir di
Banyumas, 14 Juni 1988. Jenjang
pendidikan 9 tahun ia tempuh di SD
Lumbir 6 (tahun 1995-2001), SMP
Negeri 1 Lumbir (tahun 2001-2003),
SMA Negeri Wangon (tahun 2003-
2006). Ia merupakan pengacara yang
memiliki lisensi beracara dari PERADI, ia aktif beracara di
bidang hukum keluarga. Ia mengmiliki pengalaman
dibidang legal korporasi dan perbankan. Ia sedang
menyelesaikan pendidikan S2 di Magister Ilmu Hukum
Unisulla Semarang.

Restorative Justice 137

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai