dikenal memiliki kesaktian luar biasa. Dibandingkan kakaknya, Adi Rasa, Adi Poday disebut memiliki kesaktian lebih tinggi. Hal itu karena kekuatan yang dimilikinya adalah kesaktian khusus. Seperti apakah ceritanya? MENGENAL Adi Poday sesungguhnya mengenal kesaktian. Tokoh pertapa zaman kerajaan dulu itu memang dikenal memiliki kesaktian. Sampai saat ini masyarakat meyakini kekuatannya yang luar biasa itu. Bahkan, inilah yang menjadikan t okoh sepuh Sapudi inimenjadi tersohor. Hal itu pula yang menjadikannya dikenal sampai saat ini. Padahal, kehidupan Adi Poday sudah berlangsung ratusan tahun silam.
Sejumlah sumber yang ditemui Jawa Pos Radar
Madura mengakui kehebatan Adi Poday. Itu terletak pada ilmu ”Mesat” yang dimilikinya luar biasa. Dengan ilmu yang dimilikinya itu Adi Poday disebut bisa menghilang kapan saja Bahkan, apa yang diinginkannya bisa terpenuhi. Untuk menguatkan kebenaran adanya ilmu ini, Jawa Pos Radar Madura mendatangi salah satu tokoh masyarakat di Desa Belingi, Kecamatan Gayam, Sapudi, H Abdurrahman.
Tokoh yang ditemui ini mengetahui banyak
sejarah Adi Poday. Untuk menemui H Abdurrahman diperlukan waktu satu jam lebih perjalanan dari Pulau Raas. Jalan berbatu karena rusak harus dilalui agar bisa sampai di rumah orang itu. Saat tiba di rumahnya, seorang kakek berusia senja sedang duduk di teras rumahnya. Laki-laki inilah yang disebut merawat senjata sakti milik Adi Poday. Dari orang inilah Jawa Pos Radar Madura memperoleh cerita mendalam soal Adi Poday. Kakek berusia 67 tahun ini membenarkan bahwa Adi Poday seorang tokoh sakti. Menurutnya, kesaktian Adi Poday tidak hanya dibuktikan dengan cerita turun- temurun dari sesepuh Pulau Sapudi. Kesaktiannya juga dibuktikan dengan kekuatan gaib yang dimiliki senjata peninggalannya. Ada lima senjata milik Adi Poday yang tidak diragukan keampuhannya. Kelima senjata itu terdiri dari senjata kujang atau calo kudi. Masyarakat setempat menyebutnya calo kodhi’ . Lalu, ada keris janur se kongkong, tongkat, cemeti, dan tombak tongkol jutege kote. ”Kelima senjata ini mempunyai kekuatan yang berbeda dengan unsur gaib pada masingmasingnya,” ujar H Abdurrahman. S e l a i n i t u , Adi Poday sering mengadu kekuatan dengan kakak kandungnya, yakni Adi Rasa. Setiap selesai mengadu kekuatan, keduanya bertapa lagi untuk mempertajam ilmu kanuragannya. Inilah salah satu rutinitas Adi Poday dan Adi Rasa. Menurut H Abdurrahman, dua bersaudara ini tidak mau dipisahkan meski usia semakin membatasi kebersamaannya. Lebih jauh disampaikan, perjalanan hidup Adi Poday lebih lengkap dibandingkan saudara kandungnya. Sebab, tokoh ini tidak hanya sakti, namun pernah mempunyai kisah asmara dengan salah satu putri raja di Sumenep. Yakni Potre Koneng, yang merupakan keturunan Raja Arya Wiraraja di Keraton Sumenep. Kisah itu bermula dari pertemuannya dengan Potre Koneng. Namun, pertemuan tersebut bukan di alam nyata, melainkan pertemuan antarsukma yang bersifat gaib. Itu karena keduanya saat itu sedang menjalani semedi pertapaannya. Potre Koneng sedang bertapa di Goa Payudan yang berada di Desa Daleman, Kecamatan Guluk- Guluk. Sementara Adi Poday bertapa di Gunung Geger, Bangkalan. Menurut H Abdurrahman, keduanya hanya bertemu sukma dan menikah secara mistis. Bahkan, sampai akhir hayat keduanya tidak ditakdirkan bertemu raga. Padahal, Potre Koneng sempat berkali- kali menyampaikan keinginannya ikut Adi Poday ke Pulau Sapudi. Meski tidak pernah bertemu raga, dari kisah asmaranya ini Adi Poday mendapatkan keturunan. Yakni, Jokotole dan Joko Wedi. Jokotole menjadi menjadi tokoh tersohor di Sumenep. Sementara Joko Wedi mengabdi di salah satu kerajaan di Pulau Jawa. ”Dari kedua putranya, Adi Poday hanya bisa bertemu dengan putra pertamanya, yaitu Jokotole. Itu terjadi saat Adi Rasa membawa Jokotole ke tempat pertapaan Adi Poday di Gunung Geger. Namun pertemuan itu hanya sekali,” tutur H Abdurrahman. Di sisi lain, meski Adi Poday dikenal memiliki kesaktian luar biasa, namun hingga akhir hayatnya dikenal sebagai sosok yang sabar. Adi Poday disebut mempunyai kewibawaan yang tinggi. Karena itulah dia mampu menguasai tanah babatannya dengan baik. Bahkan saking kesohornya, hingga kini Adi Poday menjadi panutan penduduk setempat. Terutama, dalam menjaga perilaku sehari-hari yang selalu ramah dan santun.
ADI RASA DIKENAL PUNYA ILMU CIPTA
RASA Meski disebut tidak sehebat Adi Poday, Adi Rasa yang dikenal dengan julukan Sunan Wirokromo juga diakui memiliki kesaktian. Sesuai dengan namanya, tokoh legendaris ini disebut mempunyai kemampuan cipta rasa. Seperti apa ceritanya? BANYAK yang menyebut kemampuan ilmu kanuragan Adi Rasa tidak sehebat Adi Poday. Namun, kesaktiannya disebut mempunyai keunikan tersendiri. Sampai saat ini kesaktian Adi Rasa sangat diakui oleh masyarakat setempat di Pulau Sapudi. Untuk mencari kebenaran sejarah ini, Jawa Pos Radar Madura berhasil menemui salah satu tokoh sejarah Sapudi, yakni Maswiryo. Laki-laki paro baya ini merupakan keturunan Massuryo, salah seorang tokoh yang pernah mendalami silsilah Adi Poday dan Adi Rasa. Untuk menemui Maswiryo, dari Desa Gayam memerlukan waktu satu jam ke tempat laki-laki berusia 50 tahun tersebut tinggal. Setelah sampai di Desa Kalowang, Kecamatan Gayam, itu pertanda segera sampai di kediamannya. Saat Jawa Pos Radar Madura menemuinya, dengan ramah Maswiryo menyambut. Menurut Maswiryo, seperti Adi Poday, Adi Rasa juga dikenal dengan keramahannya. Meski ilmunya tinggi, namun tidak pernah menyombongkan diri. Ini terbukti selama hidupnya tidak pernah bersentuhan dengan pertempuran. Padahal, ilmu yang dimilikinya luar biasa. Ilmu yang dimilikinya berbeda dengan kesaktian Adi Poday. Kesaktian Adi Rasa disebut mengandalkan rasa dan perasaannya, sehingga ilmunya dijuluki ilmu cipta rasa. Praktiknya, Adi Rasa mampu menciptakan senjata sesuai dengan keinginannya. Dari tangannya, akhirnya sejumlah senjata buatannya disebut mempunyai kesaktian. Seperti yang diwariskan kepada keponakannya, yakni Jokotole yang merupakan anak kandung Adi Poday. Senjata yang diwariskan berupa cemeti yang bernama Megaremmeng. Senjata itu dibuatnya saat bertapa di Gunung Geger, Bangkalan. Dalam ceritanya Maswiryo menyebutkan, ketika itu ada sebuah mega yang menghalangi pertapaan Adi Rasa dengan Adi Poday. Kemudian, mega tersebut dipegang dan dijadikan cemeti. Dari situlah cemeti tersebut dinamakan cemeti Megaremmeng. Senjata inilah yang digunakan Pangeran Jokotole selama menjadi raja di Sumenep. ”Banyak kesaktian yang ditunjukkan Adi Rasa, terutama sebagai perwujudan ilmu cipta rasanya. Seperti dibelahnya Pulau Sapudi. Saat hendak dipisah daerah babatan kedua bersaudara itu, Pulau Sapudi dibelah dengan tongkat buatannya melalui Pertala Adi. Dengan dipukulkan ke tanah, Pulau Sapudi terpecah, sehingga pecahannya menjadi Pulau Raas. Di pulau itulah sejarah keberadaan Adi Rasa banyak ditemukan,” cerita Maswiryo. Di sisi lain, terang Maswiryo, Adi Rasa juga dikenal sebagai sosok yang menyayangi keluarganya. Terbukti, semasa hidupnya ia selalu menjaga perkembangan keponakannya, yakni Jokotole. Sayangnya, dalam perjalanan hidup Adi Rasa tidak ditemukan cerita terkait asmaranya. Karena itu, sampai saat ini dikenal tidak mempunyai keturunan. Warga di Pulau Sapudi memercayai makam Adi Rasa berada di Dusun Belingi, tepatnya di Desa Prambanan, Kecamatan Gayam. Karena tempatnya berada di Desa Belingi, penduduk setempat menyebutnya Asta Belingi atau juga dikenal dengan julukan atas Sunan Wirokromo.
CALO KUDI DISEBUT BISA SEMBUHKAN
PENYAKIT Bukan hanya pada kesaktian Adi Poday dan Adi Rasa warga Pulau Sapudi menaruh takjub. Bendabenda pusaka peninggalannya pun dinilai memiliki kekuatan magis. Tak heran, warga setempat begitu menjaga sejumlah benda pusaka itu. FANATISME warga Pulau Sapudi kepada Adi Poday dan Adi Rasa bukan hanya pada ketokohan orangnya, tapi sekaligus pada barang yang dimilikinya. Warga setempat begitu meyakini bahwa senjata peninggalannya juga mempunyai kekuatan magis dan mistis. Tak heran, sampai saat ini sebagian senjata t o k o h dua bersaudara itu masih tersimpan, bahkan dikeramatkan. Tentunya hal itu tidak lepas dari keyakinannya dengan dunia mistis. Untuk meneliti kebenaran kisah mistis ini, Jawa Pos Radar Madura bergegas mengunjungi rumah yang menyimpan senjata pusaka itu. Seperti diketahui, ada lima senjata Adi Poday yang masih disimpan. Sedangkan senjata milik Adi Rasa hanya tersisa satu buah saja yang masih tersimpan. Untuk kelima senjata Adi Poday masih bertahan di dalam pesarean atau rumah Adi Poday semasa hidupnya di Desa Kalowang, Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi. Di rumah itulah lima senjata itu masih terawat. Kelima senjata tersebut terdiri dari calo kudi atau kujang, keris, tongkat, tombak, dan cemeti. Khusus cemeti, keberadaannya tidak bisa diambil sembarangan. Sebab, berada di dalam sebuah rumah kuno yang dipercaya warga setempat memiliki kekuatan magis. Maswiryo, seorang tokoh masyarakat yang sampai saat ini setia merawat sejumlah senjata Adi Poday menceritakan, dirinya memiliki banyak pengalaman saat menjaga barang pusaka tersebut. Dia mengawali ceritanya tentang kekuatan calo kudi (kujang) yang dipercayai bisa menyembuhkan penyakit. Selain itu soal senjata Adi Poday itu yang disebut sering menghilang. Namun demikian, diakui Maswiryo, secara mistis senjata ini tidak berada di tempatnya. Senjata ini sampai sekarang tidak ada yang mau mengambilnya. Diceritakan, puluhan tahun silam banyak yang jadi korban saat hendak mengambil senjata itu. Sejumlah orang yang berusaha mengambilnya dengan cara tidak baik beberapa kali gagal. Bahkan, senjata ini disebut kerap kali kembali ketika diambil pencuri. Maswiryo juga menceritakan pusaka keris yang dinilai tak kalah keramatnya. Menurut dia, senjata ini mempunyai keanehan tersendiri. Salah satunya jenis keris yang digantung di sesaka(Madura, Red) rumah itu sering berubah. Kadang berubah menjadi keris Blambangan, kadang berubah menjadi keris Janur Sakongkong. ”Terkadang hanya berubah isi kerisnya, tapi kadang berubah dengan selongsongannya. Itu sering diketahui saat keris mau dimandikan,” cerita Maswiryo. Selain keris, tongkat dan tombak dipercaya sebagai pengaman wilayah kekuasaan Adi Poday semasa hidupnya, juga disebut memiliki kekuatan tersendiri. Sementara cemeti saat ini keberadaannya masih mistis. Kadang cemeti tampak jelas di sesaka rumah, kadang pula menghilang. Saat menghilang dipercaya berada di dalam kayu sesaka. ”Banyak keanehan saat saya merawat pusaka-pusaka ini. Kadang calo kudi menghilang dengan sendirinya. Bahkan kembali dengan sendirinya. Termasuk keris juga. Sering berubah bentuk. Bahkan jenis kerisnya pun berubah. Ya saya biarkan saja. Mungkin itu sudah kehendak yang memiliki keris itu,” ungkap Maswiryo kepada Jawa Pos Radar Madura. Meski melegenda, agama dan keyakinan Adi Poday dan Adi Rasa tidak diketahui hingga akhir hayatnya. Namun, rahasia itu mulai terungkap sejak kedatangan Wali Sanga ke pulau Sapudi pada 1727 Masehi. Sejak itulah diyakini jika dua bersaudara tersebut menganut agama Islam. Seperti apakah kebenarannya? Sejak kedatangan Adi Poday dan Adi Rasa ke pulau Sapudi, tidak seorang pun mengetahui sejarah agama yang dianutnya. Termasuk sejumlah narasumber yang berusaha didatangi oleh Jawa Pos Radar Madura. Namun, mereka meyakini sejarah kedatangan Wali Sanga ke Pulau Sapudi memberikan jawaban. Tiga sunan di antara Wali Sanga tersebut memastikan bahwa penguasa Sapudi itu beragama Islam. Untuk mengetahui kebenaran itu, Jawa Pos Radar Madura mendatangi beberapa narasumber. Salah satunya, Abd. Rasyid, 49, warga Desa Prambanan, Kecamatan Gayam. Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam lamanya, sampailah di lokasi tersebut. Seorang tokoh masyarakat itu menceritakan pengetahuannya. Terutama mengenai sejarah Adi Poday dan Adi Rasa, termasuk juga tentang kedatangan Wali Sanga di tanah Sapudi. Tiga orang sunan sengaja datang ke Pulau Sapudi bertugas meneliti tentang keberadaan Adi Poday dan Adi Rasa. Terutama tentang agama yang dianutnya. Sebab, tokoh ini dikenal hingga tanah Jawa, termasuk pula tentang kesaktiannya. Namun sayangnya, semua narasumber tidak ada yang bisa menyebutkan tiga sunan Wali Sanga tersebut. Para wali mulai menapaki kakinya di Sapudi pada 1721 Masehi. Kedatangannya berselisih sekitar 400 tahun dengan kehidupan Adi Poday dan Adi Rasa, yakni pada 1227 Masehi. Wali Sanga mulai melaksanakan tugasnya dengan membabat wilayah kekuasaan tokoh sakti semasa hidupnya. Berbagai sisi kehidupannya menjadi bidikan. Mulai dari kebiasaan sehari-hari hingga jejak petualangannya, termasuk jejak pertapaannya. Bahkan mereka juga mendalami jejak kehidupan Adi Poday dan Adi Rasa, dimulai dengan tirakat yang menjadi kebiasaannya hingga bukti kesaktiannya juga menjadi target. Sebab, saat itu kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan Adi Poday sangat kental. Bahkan, seolah sosok Adi Poday dan Adi Rasa masih hidup hingga perilakunya menjadi panutan penduduk Sapudi. Agung Rasyid -begitu panggilannya, lebih lanjut menceritakan bahwa setelah mengenal sosok Adi Poday dan Adi Rasa, ketiga sunan meyakini jika dua tokoh sakti itu beragama Islam. Sebab, perilakunya berkepribadian Islam. Mulai aktivitas sehari- hari hingga cara tirakat. Bahkan, kedua tokoh ini diyakini sangat dekat dengan sang Mahapencipta sehingga kekuatannya pun banyak terbukti. Sebagai bentuk pengakuan Wali Sanga, setiap makam sejarah ditandai dengan adanya lafadz Islam. Nah, itu ditunjukkan bahwa tempat tersebut adalah kuburan umat Islam. Bahkan tidak hanya dilakukan di dua makam keramat seperti Asta Nyamplong dan Asta Belingi. Namun, juga bagi semua makam para sahabatnya. Sejak itu pula, kedua tokoh sakti tersebut mendapatkan julukan. Adi Poday dijuluki sebagai Sunan Wiroproto, sedangkan Adi Rasa dijuluki Sunan Wirokromo. Sampai saat ini, Asta Nyamplong dan Asta Belingi dikeramatkan. Ini dibuktikan dengan banyaknya peziarah yang berdatangan, baik lokal maupun dari luar Pulau Sapudi. Seperti peziarah dari pulau Jawa maupun luar Jawa. Warga setempat meyakini, tidak lengkap bila tak berziarah ke dua tempat keramat itu. Bahkan mitos yang berkembang di masyarakat, orang akan pulang membawa kebingungan jika tidak mendatangi dua tempat ini ketika menginjakkan kaki di Pulau Sapudi. (radar)
10. Asta Joko Tole
Tidak hanya Asta Tinggi, Sumenep juga memiliki beberapa makam keramat, salah satunya Asta Joko Tole. Asta Joko Tole terletak di Kecamatan Manding, sekitar 20 menit ke arah Utara dari Kota Sumenep. Joko Tole yang bergelar Pangeran Setyodiningrat III terkenal dengan lambang kuda terbangnya yang kini dijadikan lambang Kota Sumenep.