Anda di halaman 1dari 7

Anggota Kelompok:

1. Bagja Tegar Anugrah (032119004)


2. Aryo Prasetio (032119048)
3. Restu Kurnia (032119068)

Analisis Struktural Genetik pada Cerpen Uda dan Dara karya Usman Awang

Sinopsis:

Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda yang
miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding dengan
keadaan keluarga Dara yang kaya.

Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi,
karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit
parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang
terakhir kalinya.

Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga
membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya,
mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya, ia
dimakamkan di samping kuburan Uda. Kematian Uda dan Dara sebagai pelambang cinta kasih
yang teguh dan murni.

Unsur Intrinsik

1. Tema

Cerpen ini bertema kisah cinta tak sampai. Dalam sebuah kisah cinta terdapat kebagiaan juga
kepahitan yang akan dirasakan bagi setiap pelakunya. Setiap orang pastinya memilih selalu
merasakan kebahagiaan, namun apa daya jika terkadang cinta itu berakhir dengan
menyedihkan. Jalinan cinta antara Uda dan Dara yang awalnya terasa bahagia namun
berakhir juga dengan sebuah perpisahan, yaitu kematian.

2. Alur
Cerpen ini memiliki alur maju. Dimana dimulai dengan pengenalan keseharian Uda sebagai
pesilat, romantisme Uda dan Dara, penolakan restu Ibunda Dara, kerja keras Uda di kota,
hingga kematian keduanya.

3. Tokoh dan Penokohan


1) Uda
Uda adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Uda memiliki penokohan sebagai pesilat
dan juga dikenal pantang menyerah, dalam hal ini untuk memperjuangkan cintanya
pada Dara yang hampir kandas. Hal ini bisa dilihat pada kutipan:
“Emasku memang sesaga, sawah hanya sekangkang kera, tetapi hamba telah sekata
dengan Dara, tak emas bungkal diasah, tak beras antah digesek. Tapi kerana kita ini
ibarat besi berkarat, tepak tidak diterima orang. Hamba berjanji, ibu, malu ini akan
kutebus, kucarikan ringgit dan emas, kudirikan istana untuk Dara ….”
2) Dara
Dara dalam cerpen ini memiliki watak/penokohan sebagai gadis yang tabah, penerima
dan juga mudah percaya pada kekasihnya, Uda. Hal ini terlihat pada kutipan:
“Bang Uda, abangku, sudah lama untung hamba kuserahkan kepada abang. Jika
menurut timbangan abang, sudah sampai waktunya sirih dan tepak dihantarkan,
sudah tiba saatnya hubungan keluarga disimpulkan; maka terserahlah kepada
timbangan Bang Uda, perbuatlah mana yang elok; hamba adikmu, menurut saja.”
3) Pak Guru silat, berwatak bijaksana,
4) Malim, watak humoris, senang bersenda gurau
5) Pak Long, watak baik hati dan berbudi.
6) Utih, watak senang bersenda gurau
7) Diman, watak humoris, senang bersenda gurau
8) Ibu dara, watak bersikap memandang rendah orang lain
9) Ibu Uda, berwatak pengasih dan penyayang
10) Tuan Haji Alang, berwatak keras hati
4. Latar (Setting)
Ada tiga jenis latar yang terdapat pada cerpen Uda dan Dara ini, antara lain:
1) Latar tempat
Latar tempat, cerpen berjudul Uda dan Dara ini berpusat di suatu desa daerah Melayu

Latar tempat, di suatu perguruan silat (dibuktikan dengan adegan Uda, sedang berlatih
silat)
Latar tempat, di tebat (tempat bernaung di tepi sawah)
Latar tempat, di rumah Dara (dibuktikan dengan adegan Mak Long, menyampaikan
pesan dari Uda. Untuk melamar Dara)
Latar tempat, di kota, (dibuktikan dengan adegan saat Uda sudah berdiam diri di Kota
untuk mencari peruntungan.)
2) Latar Waktu
Latar waktu, malam hari (dibuktikan dengan adegan di tempat perguruan silat)
Latar waktu,pagi hari (dibuktikan dengan adegan Uda dan Dara serta tokoh yang lainnya,
sedang memanen padi.)
3) Latar Suasana
Latar suasana gembira (dibuktikan dengan adegan Uda dan tokoh lainnya. Saat sedang
menuai padi, saling bersenda gurau.
Latar suasana sedih (dibuktikan dengan adegan, Uda akan meminta izin pada ibunya
untuk pergi merantau)
Latar suasana sedih (dibuktikan dengan adegan, Uda berpamitan kepada Dara yang akan
pergi merantau. Dara menangis.
Latar suasana sedih (pada adegan terakhir cerpen. Dikisahkan pasangan sejoli yang tak
direstui ini. Akhirnya keduanya yaitu Uda dan Dara meninggal dunia.

5. Sudut Pandang

Cerpen “Uda dan Dara” ini diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga. Hal ini bisa
terlihat karena penyajian cerita tidak ditemukan kata pengganti “Aku” ataupun “Saya”,
tetapi menggunakan penyebutan nama tokoh secara langsung.

6. Amanat
Selayaknya kita sebagai manusia senantiasa memiliki sifat rendah hati, dan tidak terlalu
mengukur semua hal dari sisi materi/kekayaan saja. Pun dengan apa yang dilakukan oleh
Uda, kita memang boleh berusaha keras, tetapi kita juga harus mengetahui porsi diri
masing-masing, jangan terlalu memaksakan kehendak.

UNSUR EKSTRINSIK

1. Latar Belakang Pengarang


Usman dianggap populer dalam menulis karya sastra beraliran humanisme, dan
paling bisa dibenarkan juga, mungkin sebagai penyair terbaik dalam bahasa Melayu.
Yang terpenting, ia diterima tanpa keraguan sebagai penyair rakyat. Menulis sejak 1955,
Usman tidak menghasilkan kumpulan puisi yang sangat besar, hanya saja sekitar 200 di
antaranya. Tetapi pria, kepribadiannya, puisinya, dan idenya memiliki pengaruh yang
jauh lebih dalam dan lebih luas daripada yang diperkirakan jumlah itu.
Banyak karya sederhana, jelas, seringkali romantis, dan indah. Dia adalah seorang
master dalam merangkai kata-kata menjadi frasa, kalimat, dan ayat yang mencolok yang
memiliki keindahan klasik yang luar biasa dan terkadang tampak seperti nostalgia dan
bahkan pelarian. Dengan kaya, merdu, dengan cara bahasa tradisional, dia banyak
menulis dan antusias tentang tanah airnya, cinta, kebebasan, dan gelombang emosinya
benar-benar mempengaruhi secara ajaib pembacanya"
Dari hal diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa latar belakang Usman
Awang menulis cerpen “Uda dan Dara” ini yaitu karena ia adalah sosok yang dikenal
mahir dengan karya-karya yang mengangkat unsur problematika masyarakat, khususnya
masyarakat Melayu. Karena cerpen ini berlatarkan tempat di sebuah kampung di Negeri
Malaysia, yang mayoritas penduduknya adalah orang Melayu.
2. Latar Belakang Budaya
Adat Budaya Merisik, yaitu budaya masyarakat Melayu di Malaysia dalam prosesi
sebelum melaksanakan pernikahan. Budaya ini ditandai dengan adanya pertemuan dua
keluarga sebagai ajang perkenalan satu sama lain, sekaligus untuk merencanakan upacara
pernikahan kedua calon pengantin. Dalam kaitan dengan cerpen “Uda dan Dara”, Usman
awang mencoba menghadirkan budaya adat istiadat tersebut, yaitu dengan hadirnya Mak
Long dan Kak Saodah sebagai perwakilan dari keluarga Uda pergi mendatangi ke rumah
Dara dengan maksud untuk melaksanakan Adat Merisik.
Seperti tertuang dalam kutipan:

”Pada suatu hari yang baik berkunjunglah Mak Long bersama Kak Saodah, seorang
jirannya, ke rumah Ibu Dara. Kedatangan mereka disambut baik, dipelawa menurut
patutnya serta dilayani menurut adatnya. Sambil bersimpuh menghadapi tepak sirih,
maka tetamu dan tuan rumah pun berbuallah ke hulu ke hilir dengan riangnya.”

3. Latar Belakang Ekonomi


Ekonomi yang ada pada Masyarakat Melayu kala itu tergolong mayoritas kurang
sejahtera, khususnya mata dalam tradisi pinjam meminjam ringgit atau uang sudah
menjadi hal yang umum. kegiatan mu’amalah dalam bentuk pinjam meminjam uang
kepada pedagang bibit telah berlangsung sejak lama, masyarakat Melayu yang kala itu
kebanyakan mata pencahariannya sebagai petani pembibitan dan juga sawah. Mereka
melakukan kegiatan hutang piutang dengan memanfaatkan atau mengambil manfaat dari
usaha pembibitan petani yang berhutang.
Dalam kaitannya dengan cerpen “Uda dan Dara”, Usman Awang mencoba menghadirkan
sistem perekonomian pinjam meminjam tersebut melalui Sosok Mak Long yang
meminjam beberapa ringgit kepada Tuan Haji Alang. Seperti yang tertuang dalam
kutipan:

“…sebagian petani-petani yang miskin di kampung itu apabila sampai musim turun ke
sawah, ibu Uda pun berkunjunglah ke rumah besar Tuan Haji Alang memohon pinjaman
wang bagi belanja turun ke sawah dan belanja sementara padi berbuah”

4. Latar Belakang Seni


Dihadirkan pada cerpen “Uda dan Dara” ini seni bela diri silat. Silat Melayu ( Jawi : ‫سيلت‬
‫) ماليو‬, juga dikenal sebagai Seni Persilatan Melayu. Silat melayu adalah seni bela diri
perang dari dunia Melayu, yang menggunakan langkah ('langkah') dan jurus ('gerakan')
untuk menangkal atau menyerang serangan, baik dengan atau tanpa senjata. Silat
menelusuri asalnya ke masa-masa awal peradaban Melayu, dan sejak itu berkembang
menjadi tradisi pelatihan fisik dan spiritual yang mencakup aspek pakaian tradisional
Melayu, seni pertunjukan dan adat.. Landasan filosofis Silat Melayu modern sebagian
besar didasarkan pada spiritualitas Islam Gerakan dan bentuknya berakar dari dasar
gerakan Silat yang disebut Bunga Silat, dan pertunjukan Silat biasanya diiringi dengan
gendang Melayu.
Seni bela diri silat ini dihadirkan oleh Usman Awang pada awal cerpen “Uda dan Dara”,
dijelaskan bahwa pemuda-pemuda kala itu di kampung sering melakukan latihan beladiri
silat, dalam hal ini Silat Melayu. Seperti yang tertuang pada kutipan:
“Di sebuah halaman kelihatan ramai anak-anak muda sedang belajar ilmu silat, seni
pusaka yang tak usang-usang, tari pahlawan kebanggaan nenek moyang.”
5. Latar Belakang Sosial
Kehidupan sosial pada masa itu yang dikisahkan masyarakat Melayu memiliki stratifikasi
sosial yang cukup beragam. Hal ini bisa terlihat dari kehadiran tokoh – tokoh yang
memiliki kelas-kelas sosial yang berbeda, seperti Tuan Haji Alang yang tergolong
sejahtera di kampung tersebut, juga ibu Dara yang tergolong menengah, dan juga Mak
Long yang taraf hidupnya jauh dari kata sejahtera.
6. Latar Belakang Masyarakat
Pada cerpen ini, Usman Awang seperti mencoba menghadirkan kehidupan masyarakat
Melayu yang meskipun memiliki stratifikasi sosial yang beragam, tetapi rasa gotong-
royong dan persaudaraan satu sama lain tergolong sangat kuat. Hal ini bisa terlihat dari
tradisi mengetam padi yang biasa dilakukan masyarakat dikala masuk masa panen.
Masyarkat dari semua strata sosial turun berbondong-bondong pergi ke sawah, dan jika
ada masyrakat yang tiba terlambat, maka mereka akan menunggu sampai semuanya telah
di tempat. Hal ini sangat langka bila kita temukan di masyarakat Melayu modern.
Seperti pada kutipan cerita di bawah ini:
“Musim menuai tibalah sudah. Anak-anak muda dan gadis-gadis bersama orang tua dan
sanak saudara bahu membahu bekerja mengetam padi yang sudah menguning laksana
emas. Mereka bekerja bergotong royong, dari sawah ke sawah, dengan hati yang riang
melihat jerih mereka berbalas.”

Anda mungkin juga menyukai