Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruas Jalan

Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), ruas jalan disebut juga
jalan raya atau daerah milik jalan (right of way). Pengertian jalan meliputi badan
jalan, trotoar, drainase dan seluruh perlengkapan jalan yang terkait, seperti rambu
lalu lintas, lampu penerangan, marka jalan dan lain lain. Jalan mempunyai empat
fungsi yaitu:

1. Melayani kendaraan yang bergerak.

2. Melayani kendaraan yang parkir.

3. Melayani pejalan kaki dan kendaraan tak bermotor.

4. Pengembangan wilayah dan akses ke daerah pemilikan.

Hampir semua jalan melayani dua atau tiga fungsi dari empat fungsi jalan
diatas akan tetapi ada juga jalan yang mungkin hanya melayani satu fungsi
(misalnya jalan bebas hambatan hanya melayani kendaraan bergerak).

2.2 Kinerja Ruas Jalan

Kinerja ruas jalan merupakan suatu pengukuran kuantitatif yang


menggambarkan kondisi tertentu yang terjadi pada suatu ruas jalan. Umumnya
dalam menilai suatu kinerja jalan dapat dilihat dari kapasitas, derajat kejenuhan
(DS), kecepatan rata-rata, waktu perjalanan, tundaan dan antrian melalui suatu
kajian mengenai kinerja ruas jalan. Ukuran kualitatif yang menerangkan kondisi
operasional dalam arus lalu lintas dan persepsi pengemudi tentang kualitas
berkendaraan dinyatakan dengan tingkat pelayanan ruas jalan (Direktorat
Jenderal Bina Marga: 1997).

9
10

2.2.1 Kondisi Geometrik

Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), menjelaskan geometrik ruas


jalan perkotaan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat meningkatkan
kinerja ruas jalan tersebut. Yang harus diperhatikan dalam perancangan geometrik
ruas jalan perkotaan yaitu:

1. Tipe jalan: mempengaruhi kinerja dalam pembebanan lalu lintas


tertentu, misalnya jalan terbagi, jalan tak terbagi dan jalan satu arah.

2. Lebar jalur lalu lintas: kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat
dengan penambahan lebar jalur lalu lintas.

3. Kereb: merupakan batas antara jalur lalu lintas dan trotoar yang
berpengaruh terhadap hambatan samping pada kapasitas dan
kecepatan.

4. Bahu: mempengaruhi penambahan kapasitas dan kecepatan.

5. Median: Median yang didesain dengan baik akan menambah


kapasitas.

6. Alinemen jalan: Secara umum laju transportasi di daerah kota ialah


rendah, karena itu hal ini diabaikan.

2.2.2 Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), menjelaskan arus lalu lintas (Q)
mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil
penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah atau total) diubah menjadi
satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan Ekivalensi mobil
penumpang (Emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe-tipe kendaraan.

Adapun tipe-tipe kendaraan adalah sebagai berikut:

1) Kendaraan ringan (LV = light vehicle), termasuk mobil penumpang,


mikro bus, mikro trik, pick up dan jenis mobil pribadi.

2) Kendaraan berat (HV = heavy vehicle), termasuk bus dan truk besar.
11

3) Sepeda motor (MC = motor cycle).

Arus lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintas satu titik
pengamatan dalam satuan waktu. Besarnya arus lalu lintas dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:

Q = (LV x emp) + (HV x emp) + (MC x emp)....................... (2.1)

Pengaruh kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah


dalam faktor penyesuaian hambatan samping (side friction). Ekivalen mobil
penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan tergantung pada tipe jalan
dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kendaraan per jam (kend/jam).
Semua nilai emp untuk kendaraan yang berbeda ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Emp untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi.

Emp

MC
Arus lalu-lintas total
Tipe jalan: Jalan tak terbagi
dua arah (kend/jam) HV Lebar jalur lalu-lintas Wc (m)

6 >6
0 1,3 0,5 0,40
Dua-lajur tak-terbagi (2/2 UD)
 1800 1,2 0,35 0,25
0 1,3 0,40
Empat-lajur tak-terbagi (4/2UD)
3700 1,2 0,25
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

2.2.3 Aktivitas Samping

Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Menjelaskan aktivitas samping


merupakan dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan,
seperti pejalan kaki (bobot = 0.5), kendaraan umum atau kendaraan lain berhenti
(bobot = 1.0), kendaraan keluar masuk sisi jalan (bobot = 0.7), dan kendaraan
lambat (bobot = 0.4).

Untuk penyederhanaan dalam lingkungan, tingkat hambatan samping


terbagi dalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai sumber
12

dari frekuensi kejadian sepanjang segmen jalan yang diamati. Semua kelas
hambatan samping ditunjukkan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kelas Hambatan Samping

Jumlah berbobot
Kelas hambatan
Kode kejadian / 200m / jam Kondisi Khusus
samping (SFC)
(dua sisi)

Pemukiman, jalan samping


Sangat Rendah VL <100
tersedia
Pemukiman, beberapa
Rendah L 100 – 299
angkutan umum
Daerah industri, beberapa
Sedang M 300 – 499
toko sisi jalan
Daerah komersil, aktifitas
Tinggi H 500 – 899
sisi jalan tinggi
Daerah komersil, aktifitas
Sangat Tinggi VH >900
pasar sisi jalan
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

2.2.4 Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat


arus 0, yaitu kecepatan yang dipilih oleh pengemudi jika mengendarai kendaraan
bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Kecepatan arus
bebas untuk kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar perhitungan kerja
segmen jalan pada arus sama dengan nol, kecepatan arus bebas untuk kendaraan
berat dan sepeda motor juga diberikan sebagai rujukan. Kecepatan arus bebas untuk
mobil penumpang biasanya berkisar 10% - 15% lebih tinggi dari tipe kendaraan
ringan lainnya seperti sepeda motor (Direktorat Jenderal Bina Marga: 1997).

Adapun perhitungan kecepatan arus bebas berdasarkan pada persamaan


sebagai berikut:

FV = (FVo + FVw) x FFVsF x FFVcs................................ (2.2)

Dimana:

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)

FVo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)


13

FVw = Penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (km/jam)

FFVsf = Penyesuaian kondisi hambatan samping

FFVcs = Penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota

Untuk menentukan kecepatan arus bebas dasar kendaraan dapat dilihat pada
tabel 2.3.

Tabel 2.3 Faktor Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo)

Kecepatan Arus Bebas Dasar FVo (km/jam)

Tipe Jalan Semua


Kendaraan Kendaraan Sepeda
Kendaraan
Ringan (LV) Berat (HV) Motor (MC)
(rata -rata)

Enam lajur terbagi (6/2 D)


atau tiga jalur satu arah 61 52 48 57
(3/1)
Empat lajur terbagi (4/2 D)
atau dua lajur satu arah 57 50 47 55
(2/1)
Empat lajur tak terbagi (4/2
53 46 43 51
UD)
Dua lajur tak terbagi (2/2) 44 40 40 42
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Penyesuaian untuk pengaruh lebar jalur lalu lintas (FVw) ditetapkan


berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif yang didapatkan dari hasil pengukuran
lapangan. Adapun nilai dari faktor tersebut bisa dilihat dari tabel 2.4.

Tabel 2.4 Penyesuaian untuk pengaruh lebar jalur lalu lintas (FVw)

Tipe Jalan Lebar jalur lintas efektif (Wc) (m) FVw (km/jam)

Per lajur
3,00 -4

Enam lajur terbagi atau jalan 3,25 -2


satu arah 3,50 0
3,75 2
4,00 4
14

Tabel 2.4 (Lanjutan)


Per lajur
3,00 -4
3,25 -2
Empat lajur tak terbagi
3,50 0
3,75 2
4,00 4
Total
5 -9,5
6 -3
7 0
Dua lajur tak terbagi
8 3
9 4
10 6
11 7
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping (side


friction) berdasarkan lebar bahu efektif yang dihasilkan dari pengukuran di
lapangan dan tingkat hambatan samping yang didapat dari hasil survei di lapangan.
Adapun nilai dari faktor tersebut dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Arus Bebas Untuk Hambatan Samping Dengan
Kerb (FFVsf)

FFVs F

Tipe Jalan Kelas Hambatan Samping Jarak : kerb - penghalang (Wk) (m)
< 0,5 1,0 1,5 >2,0

Sangat Rendah 1,00 1,01 1,01 1,02


Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00
Empat lajur
Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99
terbagi (4/2 D)
Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96
Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92
15

Tabel 2.5 (Lanjutan)


Sangat Rendah 1,00 1,01 1,01 1,02
Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00
Empat lajur tak
Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98
terbagi (4/2 D)
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94
Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
Sangat Rendah 0,98 0,99 0,99 1,00
Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98
Dua lajur tak
terbagi (2/2 UD) Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95
atau jalan satu arah
Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota ditentukan


berdasarkan jumlah penduduk di kota tersebut yang didapat dari instansi terkait
yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya di plot berdasarkan jumlah
penduduk dan akan diketahui nilai penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran
kota. Adapun nilai faktor tersebut dapat dilihat pada tabel 2.6.

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian Arus Bebas Untuk Ukuran Kota (FFVcs)

Ukuran Kota (jumlah penduduk dalam juta) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota (FFVcs)

< 0,1 0,9


0,1 – 0,5 0,93
0,5 – 1,0 0,95
1,0 – 3,0 1,00
>3,0 1,03
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

2.2.5 Kapasitas Jalan

Kapasitas jalan didefinisikan sebagai arus maksimum melalui titik dijalan


yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua
lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi
untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah kapasitas ditentukan per
16

lajur. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) (Direktorat


Jenderal Bina Marga: 1997).

Perhitungan besarnya kapasitas jalan didasarkan pada perhitungan


kuantitatif yang besarnya tergantung faktor fisik jalan dan komposisi lalu lintas.
Untuk menentukan kapasitas jalan menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tahun
1997 dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

C = Co x Fcw x FCsp x FCsf x FCcs.................................. (2.3)

Dimana:

C = kapasitas jalan

Co = kapasitas dasar

FCw = faktor penyesuaian pemisah arah

FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah

FCsf = faktor penyesuaian pemisah samping

FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota

Kapasitas dasar ditetapkan dari tipe jalan yang bersangkutan. Adapun nilai
dari pada kapasitas dasar dapat dilihat pada tabel 2.7 di bawah ini:

Tabel 2.7 Kapasitas Dasar

Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Catatan
(smp/jam)

Empat lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 Per lajur
Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur
Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas (FCw) ditentukan
berdasarkan lebar jalur efektif yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan.
Adapun nilai faktor tersebut dapat dilihat pada tabel 2.8.
17

Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian kapasitas untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)

Tipe Jalan Lebar jalan lalu lintas efektif (Wc) (m) FCw

Per lajur
3,00 0,92

Empat lajur terbagi atau 3,25 0,95


jalan satu arah 3,50 1,00
3,75 1,04
4,00 1,08
Per lajur
3,00 0,91
3,25 0,95
Empat lajur tak terbagi
3,50 1,00
3,75 1,05
4,00 1,09
Total dua arah
5 0,56
6 0,87
7 1,00
Dua lajur tak terbagi
8 1,14
9 1,25
10 1,29
11 1,34
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Pada suatu ruas jalan yang terbagi menjadi dua arah terdapat dua arus lalu
lintas yang memiliki jumlah nilai berbeda. Pada penentuan kapasitas jalan juga
memerlukan nilai faktor penyesuaian kapasitas pemisah arah (FCsp). Dimana FCsp
diperoleh dari jumlah kendaraan yang melintas pada satu arah yang berlawanan dan
dibagi dengan total jumlah kendaraan yang melintas dua arah dan dinyatakan dalam
bentuk prosentase (%). Untuk jalan tak terbagi nilai FCsp berdasarkan pengukuran
terhadap kondisi jalan di lapangan. Sedangkan untuk jalan terbagi dari satu arah,
FCsp berlaku nilai 1.0. Nilai FCsp ditentukan dengan menggunakan tabel 2.9.
18

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisah Arah (FCsp)

Pemisah Arah SP % - % 50 -50 55 -45 60 – 40 65 -35 70 -30

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88


FCsp
Empat lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

Adapun nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Hambatan Samping


terbagi menjadi 2 jenis. Apabila pembatas perkerasan jalan menggunakan bahu
jalan makan digunakan tabel Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Hambatan
Samping dengan Bahu (FCsf), jika pembatas yang digunakan adalah Kerb, maka
digunakan tabel Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Hambatan Samping dengan
Kerb (FCsf). Nilai FCsf ditentukan dengan menggunakan tabel 2.10.

Tabel 2.10 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Hambatan Samping dengan Kerb
(FCsf)

Kelas Hambatan FCsF Jarak : kerb - penghalang (Wk) (m)


Tipe Jalan
Samping < 0,5 1,0 1,5 >2,0

Sangat Rendah 0,95 0,97 0,99 1,01


Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00
Empat lajur terbagi
Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98
(4/2 D)
Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95
Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92
Sangat Rendah 0,95 0,97 0,99 1,01
Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
Empat lajur tak
Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97
terbagi (4/2 D)
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93
Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
Sangat Rendah 0,93 0,95 0,97 0,99
Rendah 0,90 0,92 0,95 0,97
Dua lajur tak
terbagi (2/2 UD) Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94
atau jalan satu arah
Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)
19

Dalam menentukan jumlah penduduk, untuk faktor penyesuaian kapasitas


untuk ukuran kota (FCcs) adalah berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika
(BPS). Selanjutnya di plot berdasarkan jumlah penduduk dan akan diketahui nilai
penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota. Untuk mengetahui nilai FCcs ditentukan
dengan menggunakan tabel 2.11.

Tabel 2.11 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Ukuran Kota (FCcs)

Ukuran Kota (jumlah penduduk dalam juta) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota (FCcs)

< 0,1 0,86


0,1 – 0,5 0,90
0,5 – 1,0 0,94
1,0 – 3,0 1,00
>3,0 1,04
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)

2.2.6 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) di definisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas,


digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan
segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai
masalah kapasitas atau tidak (Direktorat Jendral Bina Marga: 1997).
𝑄
DS = ................................................................................. (2.4)
𝐶

Dimana:

DS = Derajat kejenuhan

Q = Nilai arus lalu lintas (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

2.2.7 Tingkat Pelayanan

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan (KM 14 tahun 2006),


Tingkat pelayanan pada ruas jalan arteri primer diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Tingkat pelayanan A
20

a) Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dengan tingkat


kecepatan yang tinggi.

b) Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang


dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan kecepatan
maksimum atau minimum dan kondisi fisik jalan.

c) Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkan


tanpa sedikit tundaan.

2) Tingkat pelayanan B

a) Arus stabil dengan volume lalu lintas rendah hambatan internal


lalu lintas belum mempengaruhi kecepatan.

b) Kepadatan arus lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas


belum mempengaruhi kecepatan.

c) Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih


kecepatan dan lajur jalan yang digunakan.

3) Tingkat pelayanan C

a) Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan dikendalikan oleh


volume lalu lintas yang lebih tinggi.

b) Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas


meningkat.

c) Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan,


pindah lajur atau mendahului.

4) Tingkat Pelayanan D

a) Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditoleransi namun sangat terpengaruh oleh
perubahan kondisi arus.
21

b) Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas


dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan
kecepatan yang besar.

c) Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam


menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini
masih dapat ditoleransi untuk waktu yang singkat.

5) Tingkat pelayan E

a) Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume


lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat
rendah.

b) Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas


tinggi.

c) Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi


pendek.

6) Tingkat pelayanan F

a) Arus tertahan dan terjadi antrean kendaraan yang panjang.

b) Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta


terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama.

c) Dalam keadaan antrean, kecepatan maupun volume turun


sampai 0.

Tingkat pelayanan jalan (LOS) juga bisa dilihat pada tabel 2.12.

Tabel 2.12 Karakteristik Tingkat Pelayanan

Tingkat Batas Lingkup


Faktor Ukuran Kota (Fcs)
Pelayanan (V/C)

Kondisi arus lalu lintas bebas dengan kecepatan tinggi dan


A 0,00 – 0,20
volume lalu lintas rendah
Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh
B 0,20 – 0,44
kondisi lalu lintas
22

Tabel 2.12 (Lanjutan)


Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan
C 0,45 – 0,74
dikendalikan
Arus mendekati stabil, kecepatan masih dapat
D 0,75 – 0,84
dikendalikan. V/C masih dapat ditolerir
Arus tidak stabil kecepatan terkadang terhenti, permintaan
E 0,85 – 1,00
sudah mendekati kapasitas
Arus dipaksakan, kecepatan rendah, volume diatas
F ≥ 1,00
kapasitas, antrian panjang (macet)
Sumber: Tamin (2008)

2.2.8 Kecepatan Sesungguhnya

Analisa kecepatan dilakukan berdasarkan 2 tinjauan, yaitu kecepatan arus


bebas dan kecepatan sesungguhnya. Kecepatan arus bebas (FV) yaitu kecepatan
pada tingkat arus nol yaitu tidak ada kendaraan yang lewat. Sedangkan kecepatan
tempuh merupakan kecepatan rata-rata arus lalu lintas dihitung dari panjang jalan
dibagi waktu tempuh rata-rata kendaraan yang melalui segmen jalan. Kecepatan
tempuh didapat dengan menggunakan grafik hubungan antara derajat kejenuhan
(DS) dan kecepatan arus bebas (FV) (Direktorat Jenderal Bina Marga: 1997).

Kecepatan sesungguhnya dapat ditentukan dengan gambar 2.1 untuk jalan


(2/2 UD) dan gambar 2.2 untuk jalan banyak lajur dan satu arah.
23

Gambar 2.1 Kecepatan sebagai fungsi DS untuk jalan 2/2 UD

Gambar 2.2 Kecepatan fungsi DS sebagai untuk jalan banyak lajur satu arah
2.2.9 Pertumbuhan Kendaraan

Menurut Warpani (2002), untuk mengetahui jumlah kendaraan pada tahun


yang akan datang digunakan persamaan metode bunga berganda yaitu:

Pn = P0 (1 + i)n..................................................................... (2.5)

Dimana:

Pn = jumlah yang akan datang

P0 = jumlah saat ini

n = tahun yang akan datang

i = prosentase pertumbuhan

2.3 Definisi Parkir

Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat


sementara, sedang berhenti adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk
sementara dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya. Parkir merupakan
suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan menginginkan kendaraannya parkir
ditempat, dimana tempat tersebut mudah untuk dicapai. Kemudahan yang
24

diinginkan tersebut salah satunya adalah parkir di badan jalan (Direktorat


Jenderal Perhubungan Darat: 1998).

Parkir didefinisikan tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi


keselamatan. Ruang lain dapat digunakan untuk tempat parkir. Parkir mempunyai
tujuan yang baik, akses yang mudah, jika seseorang tidak dapat memarkir
kendaraannya, dia tidak bisa membuat perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari
tujuan, orang akan beralih pergi ke tempat lain. Sehingga tujuan utama adalah agar
lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan (Tamin: 2008).

Dalam UU RI No 22 Tahun 2009 parkir merupakan suatu keadaan


kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan
pengemudinya. Dalam melakukan suatu kegiatan perpindahan yang menggunakan
kendaraan sebagai moda transportasinya, pasti akan melibatkan kegiatan parkir,
baik aktifitas kendaraan tidak bermotor maupun kendaraan bermotor, untuk itu
pada setiap pusat kegiatan disediakan fasilitas parkir.

2.4 Fasilitas Parkir

Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian


kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu
kurun waktu tertentu. Fasilitas parkir bertujuan untuk memberikan tempat istirahat
bagi kendaraan dan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas (Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat: 1996).

Fasilitas parkir merupakan fasilitas pelayanan umum, yang merupakan


faktor yang sangat penting dalam sistem transportasi di daerah perkotaan.
Dipandang dari sisi teknik lalu lintas, aktifitas parkir yang ada saat ini sangat
mengganggu kelancaran lalu lintas, mengingat sebagian besar kegiatan parkir
dilakukan di badan jalan (Munawar: 2006).

Undang-Undang Republik Indonesia No 22 tahun 2009 pasal 43


menyebutkan:
25

1. Penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan


di Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.

2. Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
perseorangan warga Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:

a) Usaha khusus perparkiran; atau

b) Penumpang usaha pokok

3. Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat


diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa,
atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir,


perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan
Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Undang-Undang Republik Indonesia No 22 tahun 2009 pasal 44


menyebutkan, penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

1. Rencana umum tata ruang.

2. Dampak lalu lintas.

3. Kemudahan bagi pengguna jasa.

2.5 Kebutuhan Parkir

Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan, baik kendaraan pribadi,


angkutan umum penumpang, sepeda motor, maupun truk adalah sangat penting.
Kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan
karakteristik masing-masing desain dan lokasi parkir. Selain mengganggu
kelancaran arus lalu lintas, kegiatan parkir di badan jalan juga menurunkan
kapasitas jalan dan meningkatkan kecelakaan yang diakibatkan gerakan parkir
26

membuka pintu mobil, pejalan kaki muncul diantara kendaraan parkir, dan aktivitas
lainnya (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat: 1996).

Perparkiran berkaitan erat dengan kebutuhan ruang, sedangkan ketersediaan


ruang terutama di daerah perkotaan sangat terbatas tergantung pada luas wilayah
kota, tata guna lahan, dan di bagian wilayah kota yang mana. Bila ruang parkir
dibutuhkan di wilayah pusat kegiatan, maka ketersediaan lahan merupakan masalah
yang sangat sulit, kecuali dengan mengubah sebagian peruntukannya. Selaku
pelaku lalu lintas mempunyai kepentingan yang berbeda dan menginginkan fasilitas
parkir yang sesuai dengan kepentingannya (Warpani: 2002).

Pada dasarnya, orang yang beraktifitas selalu ingin meminimalkan


kegiatan berlebih untuk menuju kesuatu tempat, contohnya bagi mereka yang
hendak menuju ke suatu lokasi kegiatan/pertunjukan akan mencari tempat parkir
yang dekat dengan lokasi yang dituju, untuk menghindari berjalan kaki terlalu
jauh, sehingga dapat dimengerti jika disekitar pusat kegiatan selalu dijumpai
pengemudi kendaraan yang memarkir kendaraannya. Dapat dikatakan jika
kebutuhan atas lahan parkir merupakan fungsi dari kegiatan. Semakin besarnya
kegiatan disuatu tempat, semakin besar juga permintaan akan fasilitas lahan
parkir. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel 2.13.

Tabel 2.13 Keinginan Akan Sarana Parkir Berdasarkan Tempat

Pelaku Lalu Lintas Keinginan

Perseorangan (pemarkir) Bebas, mudah mencapai tempat tujuan


Pemilik toko (pemarkir) Mudah bongkar muat, menyenangkan pembeli
Dikhususkan/terpisah supaya aman untuk naik turun,
Kendaraan umum penumpang mudah keluar masuk agar dapat menempati
jadwal perjalanan
Kendaraan barang Mudah bongkar muat, bisa parkir berjejer bila perlu
Kendaraan yang bergerak Bebas parkir tanpa hambatan
Parkir bebas, pelataran selalu penuh, frekuensi parkir
Pengusaha parkir (pemarkir)
tinggi
Melayani setiap pengguna jalan, mengusahakan
Ahli perlalulintasan
kelancaran lalu lintas
Sumber: Warpani (2002)
27

Parkir merupakan salah satu unsur sarana yang tidak dapat dipisahkan dari
sistem transportasi jalan raya secara keseluruhan. Dengan meningkatnya jumlah
penduduk suatu kota akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan melakukan
berbagai macam kegiatan. Kebanyakan penduduk di kota-kota besar melakukan
kegiatan atau bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi sehingga secara
tidak langsung diperlukan jumlah lahan parkir yang memadai (Tamin: 2008).

2.6 Penyelenggaraan Parkir

Dalam penyediaan lahan parkir, penyelenggara fasilitas parkir yang


telah ditunjuk harus memperhatikan beberapa aspek dalam perencanaannya.
Penyelenggaraan lahan-lahan parkir di pinggir jalan pada ruas jalan terterntu baik
menggunakan sebagian perkeraasan jalan maupun parkir di badan jalan dapat
mengakibatkan turunnya kapasitas dari ruas jalan tersebut sehingga dapat
mengakibatkan gangguan kelancaran lalu lintas di ruas jalan terbsebut.

Berdasarkan jenis peruntukan kebutuhan parkir umum dalam


penyelenggaraannya dalam keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
tahun 1996, dibagi menjadi kebutuhan parkir yang tetap dan kebutuhan parkir yang
bersifat sementara.

a. Kebutuhan parkir yang tetap

Tempat perdagangan, perkantoran pemerintah maupun swasta,


tempat perdagangan yang bersifat eceran (Pasar Swalayan), pasar,
tempat wisata, sekolah, rumah sakit, dan homestay.

b. Kebutuhan parkir yang tidak tetap

Tempat ibadah, gelanggang olahraga, sirkus, dan tempat


menonton.

2.7 Satuan Ruang Parkir

Satuan ruang parkir (SRP) adalah ukuran panjang dan lebar (luasan)
efektif untuk meletakkan satu buah kendaraan baik mobil, sepeda motor, atau bus
maupun truk. Dalam SRP telah diperhitungkan termasuk ruang bebas di kiri dan
28

di kanan kendaraan dengan arti lain pintu kanan dan kiri dapat dibuka untuk turun
naik penumpang serta hal-hal tertentu seperti missal untuk pergerakan kursi roda
khusus pengguna parkir kendaraan bagi penderita cacat serta freespace depan dan
belakang (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat: 1996).

Berdasar Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Penentuan


Satuan Ruang Parkir (SRP) dibagi menjadi 3 dan diklasifikasikan berdasarkan
jenis kendaraan, seperti terlihat pada tabel 2.14 sebagai berikut :

Tabel 2.14 Peraturan Ketetapan SRP Kendaraan

No Jenis Kendaraan Satuan Ruang Parkir (cm2)

1. a. Mobil penumpang gol I 230 x 500


b. Mobil penumpang gol II 250 x 500
c. Mobil penumpang gol III 300 x 500
2. Bus / Truck 340 x 1250
3. Motor 75 x 200
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996)
Untuk satuan ruang parkir mobil penumpang bisa dilihat pada gambar 2.3
dan tabel 2.15.

Gambar 2.3 SRP untuk Mobil Penumpang

Keterangan:

B = lebar total kendaraan

R = jarak bebas arah lateral

L = panjng total kendaraan

O = lebar bukaan pintu


29

a1, a2 = jarak bebas

Bp = lebar SRP

Lp = panjang SRP

Tabel 2.15 SRP Mobil Penumpang

B L a1 a2 O R Bp
No Jenis Kendaraan Lp (cm)
(cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm)

1 2 3 4 5 6 7 8 3+7+8 4+5+6

1 Mobil Pnp Gol. I 170 470 10 20 55 50 230 500

2 Mobil Pnp Gol. II 170 470 10 20 75 50 250 500

3 Mobil Pnp Gol. III 170 470 10 20 80 50 300 500


Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996)

Golongan I = diantaranya karyawan kantor, pengunjung suatu perkantoran,


pemerintahan, universitas, maupun perdagangan

Golongan II = diantaranya pengunjung tempat penginapan, bioskop,


pengunjung tempat olahraga, rumah sakit, dan pusat hiburan

Golongan III = diantaranya adalah orang cacat

Untuk satuan ruang parkir truck atau bus bisa dilihat pada gambar 2.4 dan
tabel 2.16.

Gambar 2.4 SRP untuk Truck/Bus


30

Tabel 2.16 SRP Truck/Bus

B L a1 a2 O R
No Jenis Kendaraan Bp (cm) Lp (cm)
(cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm)

1 2 3 4 5 6 7 8 3+7+8 4+5+6

1 Bus/Truk Kecil 170 470 10 20 80 30 300 500

2 Bus/Truk Sedang 200 800 20 20 80 40 320 500

3 Bus/Truk Besar 250 1200 30 20 80 50 380 1250


Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996)

Untuk satuan ruang parkir truck atau bus bisa dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 SRP untuk Sepeda Motor

Adapun satuan ruang parkir (SRP) untuk jenis kendaraan tidak bermesin
atau manusia sebagai sumber tenaganya, yaitu becak, dimana becak memiliki SRP

110 x 225 cm2.

2.8 Kapasitas Parkir

Dalam suatu lahan parkir terdapat beberapa posisi sudut parkir yang
digunakan. Penentuan sudut parkir tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kondisi lalu lintas yang terjadi di lingkungan tersebut seperti
lingkungan di samping jalan dan arah pergerakan kendaraan pada arah yang
bersangkutan.
31

2.9 Pola Parkir

2.9.1 Pola Parkir Mobil

Untuk melakukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan parkir, terlebih


dahulu perlu dipikirkan pola parkir yang akan diimplementasikan. Pola parkir
tersebut akan baik apabila sesuai dengan kondisi yang ada. Pola parkir tersebut
adalah sabagai berikut (Direktorat Jendral Perhubungan Darat: 1998).

Menurut posisinya parkir dibedakan sebagai berikut:

1. Pola parkir sejajar atau paralel dengan menggunakan sudut 0°/180°.


Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Posisi Parkir Sejajar atau Paralel


𝑙
𝑁 = 600 .................................................................................. (2.6)

2. Pola parkir menyudut dengan menggunakan sudut 30°. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Posisi Parkir 30°


𝑙−125
𝑁= ............................................................................... (2.7)
500

3. Pola parkir menyudut dengan menggunakan sudut 45°. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.8.
32

Gambar 2.8 Posisi Parkir 45°


𝑙−177
𝑁= ............................................................................... (2.8)
354

4. Pola parkir menyudut dengan menggunakan sudut 60°. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Posisi Parkir 60°


𝑙−178
𝑁= ............................................................................... (2.9)
290

5. Pola parkir menyudut dengan menggunakan sudut 90°. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Posisi Parkir 90°


𝑙
𝑁 = 250 ................................................................................ (2.10)
33

2.9.2 Pola parkir motor

Sepeda motor merupakan salah satu transportasi yang terbanyak di


Indonesia. Sehingga lahan prasarana parkir harus diberikan untuk sepeda motor
dengan memberikan rambu larangan mobil parkir di ruang tersebut. Pada dasarnya
posisi parkir sepeda motor yaitu 90͒ dari efektivitas ruang, posisi seperti ini sangat
memberi keuntungan (Direktorat Jendral Perhubungan Darat: 1996).

Melihat dari posisi parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Pola parkir satu sisi

Pola ini diterapkan apabila persediaan ruang parkir sempit.


Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Posisi Parkir Satu Sisi

2) Pola parkir dua sisi

Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang parkir


cukup memadai (lebar ruas ≥5.6 m). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat
pada gambar 2.12.

Gambar 2.12 Posisi Parkir Dua Sisi

3) Pola parkir pulau


34

Pola parkir pulau ini diterapkan apabila ketersediaan ruang


parkir cukup luas, yang terdiri dari beberapa jalur gang parkir dan pola
parkir biasanya terdiri dari empat sisi atau lebih. Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat pada gambar 2.13.

Gambar 2.13 Pola Parkir Pulau

2.10 Larangan Parkir

Sesuai dengan keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat


(1996), pada setiap jalan yang tidak dapat dipergunakan sebagai tempat parkir harus
dinyatakan dengan rambu-rambu atau marka, kecuali tempat-tempat tertentu.
Tempat-tempat di jalan yang dilarang dijadikan sebagai tempat parkir kendaraan
yaitu:

1) Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah tempat penyeberangan


pejalan kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.14.

Gambar 2.14 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Zebra Cross


35

2) Sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah tikungan tajam dengan


radius kurang dari 500 meter. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada
gambar 2.15.

Gambar 2.15 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Tikungan

3) Sepanjang 50 meter sebelum dan sesudah jembatan. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.16.

Gambar 2.16 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Jembatan

4) Sepanjang 100 meter sebelum dan sesudah perlintasan sebidang.


Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.17.

Gambar 2.17 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Perlintasan Sebidang


36

5) Sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah persimpangan. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.18.

Gambar 2.18 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Persimpangan

6) Sepanjang 6 meter mendekati akses bangunan gedung. Untuk lebih


jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.19.

Gambar 2.19 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Bangunan Gedung

7) Sepanjang 6 meter mendekati Hydrant. Untuk lebih jelasnya bisa


dilihat pada gambar 2.20.

Gambar 2.20 Teknis Memarkir Kendaraan Mendekati Hydrant

8) Sepanjang tidak menimbulkan kemacetan dan menimbulkan bahaya.


37

2.11 Pengendalian Parkir

Salah satu kebijakan pengendalian parkir adalah menerapkan pembatasan


kegiatan parkir. Pembatasan kegiatan parkir dilakukan terhadap parkir di pinggir
jalan yang diterapkan terutama di jalan-jalan utama dan pusat kota. Kebijakan ini
akan sangat efektif untuk meningkatkan tingkat pelayanan jaringan jalan atau untuk
menyeimbangkan antara permintaan dan pembayaran kembali atas investasi
keuangan untuk membangun prasarana dan perawatan fasilitas yang ada
(Direktorat Jenderal Perhubungan Darat: 1995).

Pengendalian parkir dilakukan untuk mendorong penggunaan sumber daya


parkir secara lebih efisien serta digunakan juga sebagai alat untuk membatasi arus
kendaraan ke suatu kawasan yang perlu dibatasi lalu lintasnya. Pengendalian parkir
merupakan alat manajemen kebutuhan lalu lintas yang biasa digunakan untuk
mengendalikan kendaraan yang akan menuju suatu kawasan ataupun perkantoran
tertentu sehingga dapat diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja lalu lintas di
kawasan tersebut. Pengendalian parkir harus diatur dalam Peraturan Daerah tentang
Parkir agar mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan rambu larangan, rambu
petunjuk dan informasi. Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap
kebijakan yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang
tegas dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. Beberapa parameter
karakteristik parkir yang harus diketahui, yaitu:

a. Volume Parkir

Volume parkir adalah jumlah kendaraan yang telah


menggunakan ruang parkir pada suatu lahan parkir tertentu dalam
suatu waktu tertentu (biasanya per hari). Perhitungan volume parkir
dapat digunakan sebagai petunjuk apakah ruang parkir yang tersedia
dapat memenuhi kebutruhan parkir kendaraan atau tidak, digunakan
persamaan:

Volume = Ei – x............................................................ (2.11)

Dimana:
38

Ei = kendaraan yang masuk lokasi

x = kendaraan yang sudah parkir sebelum waktu survei

b. Akumulasi Parkir

Akumulasi parkir adalah jumlah total kendaraan yang diparkir


dalam suatu areal pada suatu waktu tertentu. Maksimum akumulasi
adalah demand tertinggi. Untuk menghitung akumulasi parkir
digunakan persamaan:

Akumulasi = Ei – Ex..................................................... (2.12)

Dimana:

Ei = kendaraan yang masuk lokasi

Ex = kendaraan yang keluar lokasi

Jika sebelum diadakan pengamatan sudah ada kendaraan yang


parkir di lokasi survei, maka jumlah kendaraan yang ada tersebut
dijumlahkan dalam harga akumulasi yang telah dibuat, yaitu:

Akumulasi = Ei – Ex + x............................................... (2.13)

Dimana:

x = jumlah kendaraan yang sudah ada

c. Durasi parkir

Durasi parkir adalah rentang waktu sebuah kendaraan parkir


dalam menit atau jam. Durasi parkir dapat dihitung dengan persamaan:

Durasi = Extime - Entime............................................ (2.14)

Dimana:

Extime = saat kendaraan keluar dari lokasi parkir

Entime = saat kendaraan masuk dari lokasi parkir

d. Rata-rata durasi parkir


39

∑𝑛
𝑖=1 𝐸𝑖 . 𝐿𝑃𝑖
𝐷= ∑𝑛
...................................................................... (2.15)
𝑖=1 𝐸𝑖

Dimana:

Ei = frekuensi kendaraan yang parkir kelas i

LPi = lama parkir pada kelas i

∑𝑛𝑖=1 𝐸𝑖 = jumlah kendaraan yang parkir selama periode pengamatan

e. Kapasitas Parkir

Kapasitas parkir ialah kemampuan maksimum suatu ruang atau


area parkir untuk mernampung kendaraan parkir. Unrtuk menhitung
kapasitas parkir digunakan persamaan:
𝑆
𝐾𝑃 = .................................................................................. (2.16)
𝐷

Dimana:

KP = kapasitas parkir (kendaraan/jam)

S = jumlah petak parkir (banyaknya petak)

D = rata-rata lamanya parkir (jam/kendaraan)

f. Indeks parkir

Indeks parkir adalah prosentase jumlah tempat parkir yang


tersedia (secara teoritis) dengan jumlah kendaraan parkir yang
menempati. Indeks parkir dihitung dengan persamaan:
akumulasi parkir
Indeks parkir = ruang parkir tersedia × 100% ..................... (2.17)

g. Turnover parkir

Turnover parkir adalah angka penggunaan ruang parkir dan


diperoleh dengan membagi volume parkir dengan jumlah ruang-ruang
parkir untuk satu periode waktu tertentu. Persamaan untuk mencari
Turnover parkir:
40

volume parkir
𝑇𝑢𝑟𝑛𝑜𝑣𝑒𝑟 = ruang parkir tersedia x lama pengamatan .............. (2.18)

h. Pertumbuhan Kendaraan Parkir

Untuk mengetahui jumlah kendaraan pada tahun yang akan


datang digunakan persamaan metode bunga berganda yaitu:

𝑃𝑛 = 𝑃𝑜 (1 + 𝑖)𝑛 ....................................................... (2.19)

Dimana:

Pn = jumlah yang akan datang

Po = jumlah saat ini

n = tahun yang akan datang

i = presentase pertumbuhan

i. Pertumbuhan Penduduk

Untuk mengetahui jumlah kendaraan pada tahun yang akan


datang digunakan persamaan metode bunga berganda yaitu:

𝑃𝑛 = 𝑃𝑜 (1 + 𝑖)𝑛 ....................................................... (2.20)

Dimana:

Pn = jumlah yang akan datang

Po = jumlah saat ini

n = tahun yang akan datang

i = presentase pertumbuhan

Anda mungkin juga menyukai