BAB
KRITERIA TEKNIK
2.1. UMUM
Dalam tahap perencanaan dan juga tahap pe ngumpulan data standar yang dipakai :
Dalam menentukan kebutuhan lajur, faktor yang penting adalah besarnya volume lalu lintas
yang akan lewat. Kinerja lalu lintas ditentukan oleh besarnya Degree of Saturation (DS)
dimana Nilai DS didapatkan dengan rumus dibawah ini :
DS = Q / C
dimana :
C = Kapasitas ( smp/jam )
Co = Kapasitas dasar ( smp/jam )
BAB II - 1
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.1. Kapasitas Dasar Pada Jalan luar Kota 2 Lajur 2 Arah ( 2/2 UD )
Tipe jalan / Kapasitas Dasar
Tipe Alinemen Total kedua arah ( smp/jam )
Dua lajur tak terbagi
Datar 3.100
Bukit 3.000
Gunung 2.900
Sumber : MKJI, 1997
Dalam kenyataannya lebar efektif jalan tidak semua dalam kondisi ideal. Maka diperlukan
faktor penyesuaian lebar jalan. Besarnya faktor penyesuaian lebar jalan untuk jalan 2 arah 2
lajur seperti tercantum dalam tabel dibawah ini :
BAB II - 2
LAPORAN AKHIR
Besarnya faktor penyesuaian akibat hambatan samping ( FCsf ), seperti tertera dalam tabel
dibawah ini :
Q = k x LHR (kendaraan/jam)
Dimana nilai k faktor untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut :
Tabel 2.4. Faktor K
Faktor K ( %
LHR ( smp/hari )
)
> 50.000 4–6
30.000 – 50.000 6–8
10.000 – 30.000 6-8
5.000 – 10.000 8 – 10
1.000 – 5.000 10 – 12
< 1.000 12 – 16
Volume lalu lintas terdiri dari berbagai jenis atau golongan kendaraan. Untuk menyamakan
kesemua jenis kendaraan dalam satuan yang sama, maka diperlukan suatu angka konversi
atau angka ekuivalen yang sering disebut dengan Ekuivalen Mobil Penumpang (EMP).
Sehingga bila jumlah suatu jenis kendaraan dikalikan nilai EMP, maka satuannya menjadi
Satuan Mobil Penumpang (SMP).
Besarnya nilai EMP sangat dipengaruhi dimensi kendaraan, kecepatan kendaraan dan medan
yang dilalui. MKJI 1997 telah menetapkan nilai EMP untuk berbagai jenis kendaraan untuk
jalan luar kota (Inter Urban Road), yaitu seperti pada tabel dibawah ini :
BAB II - 3
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.5. Nilai EMP Jalan Dua Jalur Dua Arah Tak Berbagi
Arus Nilai EMP
Tipe Total Sepeda Motor
Alinemen ( Kend MHV LB LT Lebar Jalur lalu lintas ( m)
/ jam ) <6m 6–8m >8m
Datar 0 1.2 1.2 1.8 0.8 0.6 0.4
800 1.8 1.8 2.7 1.2 0.9 0.6
1350 1.5 1.6 2.5 0.9 0.7 0.5
> 1900 1.3 1.5 2.5 0.6 0.5 0.4
Bukit 0 1.8 1.6 5.2 0.7 0.5 0.3
650 2.4 2.5 5.0 1.0 0.8 0.5
1100 2.0 2.0 4.0 0.8 0.6 0.4
>1600 1.7 1.7 3.2 0.5 0.4 0.3
Gunung 0 3.5 2.5 6.0 0.6 0.4 0.2
450 3.0 2.3 5.5 0.9 0.7 0.4
900 2.5 2.5 5.0 0.7 0.5 0.3
> 1350 1.9 2.2 4.0 0.5 0.4 0.3
Besarnya nilai DS sangat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan. Semakin kecil nilai DS,
maka jalan terkesan lengang, dan sebaliknya bila nilai DS mendekati nilai 0,80 jalan tersebut
harus sudah diperlebar atau dilakukan traffic management.
Prediksi tingkat pertumbuhan lalu lintas (i) didapat dari data lalu lintas (LHR) tahun
sebelumnya :
i 1
n B
A
di mana :
B = LHR tahun ke n
BAB II - 4
LAPORAN AKHIR
1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima
beban lalu-lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.
2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi
menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel III.1 (Pasal 11,PP.No.43/1993).
Tabel 2.6. Klasifikasi menurut kelas jalan
Muatan Sumbu Terberat,
Fungsi Kelas
MST (ton)
Arteri I 10
II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B
3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
1). Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan
yang diukur tegak lurus garis kontur.
2). Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam
2.7
BAB II - 5
LAPORAN AKHIR
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No. 26/1985 adalah
jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jan Kabupaten/kotamadya, Jalan desa dan Jalan
Khusus.
4. Kendaraan Rencana
2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as.
7. Kecepatan Rencana
1). Kecepatan rencana VR pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai
dasar perencanan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan – kendaraan
bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yan
lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
2). VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel III.5.
3). Untuk kondisi medan yang sulit, V R suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
BAB II - 6
LAPORAN AKHIR
1
lengkung peralihan adalah sebagai berikut : 1
2 2
Rc
VR min Rc
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
R min (m) 2500 1500 900 500 Q 350 250 130 60
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997
BAB II - 7
LAPORAN AKHIR
Rc1 cos 12
Ec
cos 12
Ec Tc tan 14
Lc 2
360
.Rc
0,01745. .Rc
Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka pencapaian superelevasi
dilakukan sebagian pada jalan lurus dan sebagian lagi pada bagian lengkung, karena tidak
ada lengkung peralihan, maka dipakai lengkung peralihan fiktif (Ls’). Diagram super elevasi
untuk Full – Circle sebagai berikut :
TC CT
Ls’ Ls’
BAB II - 8
LAPORAN AKHIR
Karena ada kendala menggunakan R yang besar, maka lengkung yang digunakan adalah
Spiral – Circle – Spiral (S – C – S). Dengan tipe S – C – S, maka terdapat lengkung peralihan
yang menghubungkan bagian lurus (tangen) dengan lengkung sederhana ( Circle) yang
berbentuk spiral (Clothoid). Dengan rumus :
2
VR
R min
127 e max f
Di dekat jari-jari minimum yang boleh dipergunakan dan bisa ditabelkan sebagai berikut:
VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
R min (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997
PH
BUSUR LINGKARAN
E
Xs
H H'
F C
ST
Jika panjang lengkung peralihan dari Ts ke Sc adalah Ls dan R pada Sc adalah Rc, maka :
Ls
Xs Ls 1
40 Rc
Ls 2
Ys
6 Rc
BAB II - 9
LAPORAN AKHIR
90 Ls
s (dalam derajat)
Rc
Ls 2
p Rc1 Coss
6 Rc
Ls 3
k Ls Rc sin s
40 Rc 2
c s
Es Rc p sec 1 Rc
2
Ts Rc p tan 1 2 K
c
Lc Rc
180
L 2 Ls Lc
SC CS
TS Luar e max ST
-2 % -2 %
Dalam e min
-2 % -2 %
-2 % -2 %
-2 % -2 %
e max e max
0 % -2 % -2 % 0 %
3. Spiral – Spiral
BAB II - 10
LAPORAN AKHIR
Lengkung horizontal bentuk spiral-spiral (S – S) adalah lengkung tanpa busur lingkaran (Lc
= 0). Rumus-rumus untuk S – C – S dapat digunakan dengan
s 1 2
s Rc
Ls
90
TS
k ES
SC=CS
P P
TS S S ST
RC
RC RC
TS SC = CS ST
e min dalam
- 2% - 2%
Ls Ls
BAB II - 11
LAPORAN AKHIR
Perubahan dari satu kelandaian ke kelandaian lain dilakukan dengan menggunakan lengkung
vertikal. Jenis lengkung vertikal :
a. d. Ev = -
Ev = +
g1 = - g2 = + g1 = + g2 = -
g2 = +
b. e.
f.
g1 = - g1 = -
g2 = -
g2 = +
c. g2 = + g2 = -
g1 = +
Besarnya :
A Lv
Ev
800
g 2 g1
Lv
800
PTV
PPV g2 % B
Q Ev
BAB II - 12
LAPORAN AKHIR
y
g1 % P
PLV y
A Lv
½ Lv
3) Persyaratan drainase
4) Kenyamanan pengemudi
5) Keluwesan bentuk
2) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan
melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak
perputaran kendaraan Rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada
lajurnya.
BAB II - 13
LAPORAN AKHIR
BAB II - 14
LAPORAN AKHIR
agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus
berpindah Lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
2) Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang
besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relative padat.
b). apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari, dan
persentase truk > 15 %.
5) Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan
serongan sepanjang 45 meter.
POTONGAN MEMANJANG
30 M 45 M > 200 M 50 M 45 M
LAJUR PENDAKIAN
TAMPAK ATAS
POTONGAN MEMANJANG
TAMPAK ATAS
BAB II - 15
Gambar 2.2. Jarak Antar 2 (dua) Lajur
Pendakian
LAPORAN AKHIR
The Road Work Design System (RDS) merupakan bagian dari Integrated Road Management
System (IRMS) yang telah dikembangkan oleh BIPRAN Ditjen Bina Marga sejak tahun 1983,
sampai sekarang sudah berkali-kali mengalami perbaikan sampai pada RDS 1994. Untuk
perencanaan tebal perkerasan jalan, baik untuk jalan baru, pelebaran maupun overlay, maka
diperlukan data sebagai berikut :
5) Benkleman Beam Deflection atau nilai kondisi sisa dari lapisan existing (untuk
overlay)
1. Data LHR
Data lalu lintas dipergunakan untuk menghitung Equivalent Standard Axle Load (ESAL).
Disamping itu pertumbuhan lalu lintas (i) dan umur rencana jalan (n) juga diperlukan.
BAB II - 16
LAPORAN AKHIR
ESAL Total = ESAL (M+B+T) + ESAL (MT) + ESAL (HB) + ESAL (HT)
ESAL VDF 1 i
T 1T 0
.LHR
1 i L 1xFJJRx365
i
VDF Vi T1 L Tx
2
Vi = Koefisien VDF
Tx = 64 → untuk MT
69 → untuk HB dan HT
FJJR = Faktor jumlah Jalur Rencana
Untuk menghitung Nilai ESAL dapat digunakan Diagram Alir ( Flow Chart ) di bawah.
Disamping itu nilai VDF untuk masing-masing jenis kendaraan bisa menggunakan Rumus
umum pada tabel di bawah. Besarnya VDF bisa dicari dengan cara ESA MST. VDF telah
ditentukan berdasarkan surat PPT No PR.05.02 – Pd5/062 tanggal 21 Juni 2004.
BAB II - 17
LAPORAN AKHIR
Koefisien VDF ( Vi )
DATA RUAS
Jalan Jalan Arteri Kolektor Naik
No.Ruas Arteri Naik Turun/ Turun
Medan Datar Datar Kolektor pegunungan
Pegunungan Datar atau jalan
Sumber Data
Nama Proyek HB 0.025 0.020 0.014
T.Tingkat M+B+T r1
Pertumbuhan HB r2
Lalin MT r3
HT dan TT r4
LHR Sub - Rutin
T1-T0
(1+r1) LHR1 ( 1+r1 )L - 1 X 365 x FJJR
Perhit. ESA untuk Bis Besar LHR1
……………
r1
T,L,Tx
Perhit. ESA untuk Truk Berat VDF Proyeksi Sub – Rutin
VDF UMUR
Vi. ( T1 + L/2 - Tx )
Pertengahan
ESA x 10 6 = LHRi. VDF/106 Tx = 64 untuk MT
Tx = 69 untuk HB dan TT
Data CBR sangat penting sekali dalam menyusun perencanaan, baik untuk perkerasan baru
maupun pelebaran jalan (widening). Data CBR bisa didapat dengan pengujian di
laboratorium. Lapisan tanah yang diselidiki berkedalaman antara 0,75 – 1,00 m di bawah
elevasi permukaan jalan rencana pada beberapa titik pengujian.
BAB II - 18
LAPORAN AKHIR
Untuk mendapatkan data tentang kekasaran ( roughness) suatu permukaan jalan lama (nilai
IRI), maka dilakukan tes NAASRA atau kondisi permukaan jalan lama dinilai secara visual
sehingga didapat nilai RCI, dengan menggunakan pedoman skala sebagai berikut :
8 – 10 Sangat rata dan teratur Hot Mix yang baru (Lataston, Laston)
BAB II - 19
LAPORAN AKHIR
Bila test Benkleman Beam tidak dapat dilaksanakan, maka kondisi umur sisa perkerasan
dapat dinilai secara visual berdasarkan kondisi permukaan jalan, kondisi pondasi atas jalan
dan kondisi pondasi bawah jalan. Nilai sisa dari kondisi masing-masing lapis dinyatakan
dalam prosen (%).
PdxC
T 0,001 9 RCI
4,5
T min
4
BAB II - 20
LAPORAN AKHIR
dimana :
C = Kemiringan rencana : 2%
dimana :
Pada pelebaran jalan (widening) maupun pembuatan jalan baru, untuk menentukan
tebal perkerasannya dipakai rumus :
dimana :
Dasar perhitungannya berasal dari buku : Petunjuk Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
dengan Metode Analisa Komponen SKBI-2.3.28.1987 UDC:625.73(02), yang disingkat
PTPLJR. Tahap-tahap perencanaan yang perlu dilakukan adalah :
BAB II - 21
LAPORAN AKHIR
4
Beban.satu.sumbu.tunggal
Angka ekivalen sumbu tunggal : E =
8160
4
Beban.satu.sumbu.tunggal
Angka ekivalen sumbu ganda : E = 0,086
8160
4
Beban.satu.sumbu.tunggal
Angka ekivaln sumbu triple : E = 0,053
8160
dimana :
j = jenis kendaraan
dimana :
j = jenis kendaraan
n = umur rencana
LER = LET x FP
BAB II - 22
LAPORAN AKHIR
dimana :
UR = Umur rencana
Prosentase kendaraan berat = Jumlah kendaraan yang berat total 13 ton x 100%
Jumlah kendaraan
Dari nilai LER yang diperoleh, dapat dicari nilai IP-nya dengan melihat dalam daftar V
PTPLJR pada halaman 15.
Setelah ditentukan bahan-bahan yang digunakan untuk lapis perkerasan, maka dapat
diketahui nilai IPo-nya dengan melihat dalam daftar VI PTPLJR pada halaman 16.
Nilai DDT diperoleh dari grafik korelasi antara DDT dan CBR dalam gambar 1 PTPLJR
pada halaman 13.
Setelah diperoleh LER, DDT dan FR maka dari nomogram PTPLJR pada bagian
lampiran 1, akan diperoleh nilai ITP.
Setelah diketahui ITP, maka dari daftar VII PTPLJR pada halaman 18 akan diperoleh
nilai koefisien kekuatan relatif (a). Dan dari daftar VIII PTPLJR pada halaman 19 akan
diperoleh nilai batas-batas minimum tebal lapis perkerasan (D).
Dengan menggunakan rumus sebagai berikut, maka akan diperoleh salah satu nilai D
yang diinginkan.
dimana :
BAB II - 23
LAPORAN AKHIR
Perkerasan kaku (rigit pavement) hanya akan dipergunakan pada tempat-tempat tertentu
seperti pada daerah persimpangan jalan. Acuan perencanaan menggunakan Petunjuk
Perancangan Pererasan Kaku (Beton Semen) Nomor : 009/T/BNK/1990, Ditjen
Bina Marga Departemen PU Jakarta.
1. Menghitung volume lalu lintas (LHR) yang diperkirakan akan menggunakan jalan
tersebut pada akhir umur rencana.
2. Menghitung volume dan komposisi lalu lintas harian tahun pembukaab/awal rencana
sesuai konfigurasi sumbu.
3. Menghitung jumlah kendaraan niaga (JKN) selama umur rencana (n tahun) dengan
rumus persamaan :
JKNH : adalah jumlah kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka,
hanya kendaraan 5 ton (bus dan truck)
dimana :
i = semua beban sumbu yang diperhitungkan
BAB II - 24
LAPORAN AKHIR
Ps = {(100.Fb)/(Fy-NFb)} (1,3-0,2F)
dimana :
Ps =prosentase tulangan memanjang terhadap penampang
beton.
Fb = kuat tarik beton (0,4 – 0,5 MR)
Fy = tegangan leleh baja
N = Ey/Eb adalah modulus elastis baja/beton -> 6–15
F = koefisien gesek antara beton dan pondasi
Ps minimum = 0,6%
dimana :
Lce = jarak antar retakan teoritis
Fb = kuat tarik beton (0,4 – 0,5 MR)
BAB II - 25
LAPORAN AKHIR
Beton K-225
10
20
10
1. Umum
1) Persimpangan adalah bagian yang terpenting dari jalan perkotaan sebab sebagian
besar dari efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya operasi dan kapasitas lalu lintas
tergantung pada perencanaan persimpangan. Setiap persimpangan mencakup
pergerakan lalu lintas menerus dan lalu lintas yang saling memotong pada satu atau
lebih dari kaki persimpangan dan mencakup juga pergerakan perputaran. Pergerakan
lalu lintas ini dikendalikan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis
persimpangannya.
BAB II - 26
LAPORAN AKHIR
2. Volume Rencana
1) Untuk persimpangan satu bidang ada 4 jenis kontrol lalu lintas yang dapat
digunakan, yaitu :
2) Pada jalan dengan kecepatan rencana = 60 km/jam atau lebih, kontrol berhenti dan
atau rambu peringatan tidak dapat digunakan.
4. Kecepatan Rencana
BAB II - 27
LAPORAN AKHIR
Pada umumnya persimpangan dari 2 jalan mempunyai 4 kaki. Pada prinsipnya, pada
persimpangan sebidang, banyaknya kaki persimpangan jangan sampai lebih dari 5.
3) Pada prinsipnya pertemua (stagger junction) atau pertemuan (break junction) harus
dihindarkan. Dalam hal keadaan di atas tidak bisa dihindari, interval jarak kaki yang
dibutuhkan harus lebih dari 40 m. Untuk stagger junction, sudut pertemuan yang
dibutuhkan kurang dari 30.
4) Arus lalu lintas utama sedapat mungkin dilayani dengan jalur yang lurus atau hampir
lurus.
Jarak antara 2 persimpangan harus diusahakan sejauh mungkin. Jarak minimum harus
ditentukan sehingga lebih panjang dari hal dibawah ini :
7. Jari-jari Minimum
Jari-jari as jalur lalu lintas di sekitar persimpangan sesuai dengan kecepatan rencana dan
jenis kontrol lalu lintas dinyatakan dalam tabel berikut :
BAB II - 28
LAPORAN AKHIR
8. Landai Maksimum
Semua persimpangan sebidang harus dilengkapi dengan jalur belok kanan kecuali, untuk
hal-hal berikut :
2) Jalan tipe II, kelas III atau kelas IV dengan kapasitas yang dapat menampung
volume lalu lintas puncak.
3) Jalan 2 jalur dengan kecepatan rencana 40 km/jam atau kurang, dimana volume
rencana per jam kendaraan kurang dari 200 kend/jam dan perbandingan kendaraan
belok kanan kurang dari 20% dari volume rencana tiap jam (DHV).
4) Panjang jalur belok kanan dapat ditentukan dengan menjumlahkan panjang taper
dan panjang jalur antrian (storage section).
L = lt + ls
dimana :
5) Panjang taper adalah nilai terbesar antara panjang yang diperlukan pada pergeseran
dari lalu lintas menerus sampai jalur belok kanan (lc) dan panjang yang diperlukan
untuk memperlambat kendaraan (ld).
dimana :
6) Panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur dihitung dengan memakai rumus :
BAB II - 29
LAPORAN AKHIR
lc = v . dw/6
dimana :
7) Panjang jalur antrian pada persimpangan tanpa lampu lalu lintas dihitung dengan
rumus berikut didasarkan pada jumlah kendaraan yang akan masuk persimpangan
setiap 2 menit pada jam sibuk.
ls = 2 . M . S
dimana :
Untuk persimpangan yang ada lampu lalu lintasnya, panjang storage section = 1,5 m
dikalikan rata-rata kendaraan yang antri per cycle, yang diproyeksikan pada volume
jam rata-rata perencanaan.
ls = 1,5 . N . S
dimana :
BAB II - 30
LAPORAN AKHIR
= ld
fd
fc
Dw
lt ls
BAB II - 31
LAPORAN AKHIR
PERSIMPANGAN
A. TYPICAL PERTIGAAAN
_ _
JALAN UTAMA
L3
L2
(MAJOR ROAD)
L1
L4
L1
L2
R1 = 15.00 M (Min)
R = 500 M (Min)
L1' L2'
R sudut 6.00-9.00 M
L4'
L3'
JALAN PENGHUBUNG
(MINOR ROAD)
Catatan :
1) Lebar L1 untuk pertigaan tanpa lampu lalu lintas ditentukan oleh kapasitas lalu lintas
dari pertigaan dan untuk pertigaan dengan lampu lalu lintas ditentukan oleh
perhitungan kapasitas lampu lalu lintas.
2) Lebar L2 tidak kurang dari lebar rencana yang ditentukan atau tidak kurang dari L 2.
BAB II - 32
LAPORAN AKHIR
PERSIMPANGAN
BAB II - 33
LAPORAN AKHIR
B. TYPICAL PEREMPATAN
JALAN PENGHUBUNG
(MINOR ROAD)
CL
R min 6.00 m
max 9.00 m
CL
JALAN PENGHUBUNG
(MINOR ROAD)
PERSIMPANGAN
BAB II - 34
LAPORAN AKHIR
TIPE I TIPE II
R = 15.00 M
(Min) R1 = 15.00 M
(Min)
R1 = 15.00 M R1 = 15.00 M
(Min) (Min) TIPE IV
Catatan :
PERSIMPANGAN
D. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN
BAB II - 35
LAPORAN AKHIR
R = 15.00
Minimum
4.00 min
dw = 2.75 (min)
KECEPATAN V
JALUR PERLAMBATAN MIN * PANJANG MIN. TAPER *
(KM/J)
(M) L = V x dw/6m
40 15 20
60 30 30
* Bila panjang taper > dari jalur perlambatan marka panjang taper dianggap
sebagai jalur perlambatan
PERSIMPANGAN
E. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN
1. JALUR PERLAMBATAN TANPA JALUR TUNGGU (STORAGE)
BAB II - 36
LAPORAN AKHIR
3.00 (min)
R1 = 3R2
JALUR PERLAMBATAN/TAPER
R1 = 9.00
R2 MINIMUM
KECEPATAN V TAPER
(KM/J) (min)
JALANUTAMA(MAJORROAD)
40 1:10
DENGANJALURPERCEPATAN
60 1:20
3.00 (min)
R1 = 3R2
JALUR PERLAMBATAN/TAPER
R1 = 9.00
R2
MINIMUM
JALAN PENGHUBUNG MINORROAD)
KECEPATAN V TAPER
(KM/J) (min)
40 1:10
60 1:20
CL
PERSIMPANGAN
2. JALUR PERLAMBATAN DENGAN JALUR TUNGGU (STORAGE)
BAB II - 37
LAPORAN AKHIR
dw = 300 (min)
R 2 = 3R1
40 15 20
60 30 30
Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan
dw = 300 (min)
R 2 = 3R1
JALAN PENGHUBUNG
40 15 20
60 30 30
Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan
Catatan :
BAB II - 38
LAPORAN AKHIR
Saluran Drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari badan jalan secepat
mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada jalan. Dalam banyak kejadian,
kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air, baik itu air permukaan maupun air tanah. Air
dari atas badan jalan yang dialirkan kesamping kiri dan atau kanan jalan ditampung dalam
saluran samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih cepat dari air yang
mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan untuk bisa mengalirkan kejenuhan air
pada badan jalan. Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
2) Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun sebagai trotoar
jalan.
5) Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil kesungai atau tempat pengaliran yang
lain.
2.6.1. Ketentuan-ketentuan
1) Sistem drainase permukaan jalan terdiri dari : Kemiringan melintang perkerasan dan
bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran penangkap, seperti gambar
berikut :
BAB II - 39
LAPORAN AKHIR
i (%) 6 (%) 7% 8% 9% 10 %
L (m) 16 10 8 7 6
Penampang minimum selokansamping adalah 0.50 m2
4) Gorong – gorong pembuang air
Kemiringan gorong-gorong adalah 0.5 % - 2 %
Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah 100 dan daerah
pegunungan adalah 200 m.
Diameter minimum adalah 80 cm.
Data yang diperlukan dalah data curah hujan maksimum tahunan, paling sedikit n=10
tahun dengan periode ulang tahun. Rumus menghitung Intensitas curah hujan
menggunakan analisa distribusi frkwensi sbb:
Sx
Xt x . Yt Yn
Sn
BAB II - 40
LAPORAN AKHIR
I = ¼ . ( 90 % . Xr )
Keterangan :
Sx = Standar deviasi
Tc = t1 + t2
0.167
2 nd
t1 = .3,28.Lo.
3 s
t2 =
2) Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai dengan yang terlihat pada gambar
berikut :
BAB II - 41
LAPORAN AKHIR
C1. A1 C 2. A2 C 3. A3
C=
A1 A2 A3
Keterangan :
1
Q= .C .I . A
3,6
Keterangan :
C = koefisein pengaliran
BAB II - 42
LAPORAN AKHIR
Q
Fd = m2
v
R = d/2
Gorong-gorong
P=2r
R=F/P
Keterangan :
Keterangan :
i = kemiringan saluran
BAB II - 43