Anda di halaman 1dari 51

BAB – 2

KRITERIA DESAIN

2.1 STANDAR PERENCANAAN

Dalam melaksanakan perencanaan, referensi seperti tersebut dibawah ini


akan diterapkan dan dipakai sebagai dasar perhitungan dan perencanaan:

1. Tata cara pelaksanaan survai lalu lintas, No. 017/T/BNKT/1990


2. Tata cara survai kondisi jalan, No. 005/T/BNKT/1991
3. Tata cara pelaksanaan survai inventarisasi jalan dan jembatan, No.
016/T/BNKT/1990
4. Petunjuk perencanaan trotoar, No. 007/T/BNKT/1990
5. Tata cara perencanaan drainase permukaan jalan, SK SNI T-22-1991-03
6. Petunjuk perencanaan marka jalan, No. 012/T/BNKT/1990
7. Manual pemeriksaan perkerasan jalan dengan alat Benkelman Beam, No.
01/MN/B/1983
8. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No 038/T/BM/1997.
9. Peraturan penentuan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode
analisa komponen, SNI-1732-1989-F (SK BI-2.3.26.1987)
10. Tata cara perencanaan pembebanan jembatan/jalan raya, SNI-1725-
1989-F (SK BI-1.3.28.1987)
11. Petunjuk/Tata cara/Standar lainnya yang berhubungan.
12. Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
13. Road Desain System (RDS), 1994
14. Buku-buku Standar dan Penunjang lainnya

BAB 2-1
2.2 KRITERIA PERENCANAAN KEBUTUHAN LAJUR

Dalam menentukan kebutuhan lajur, faktor yang penting adalah besarnya


volume lalu lintas yang akan lewat. Kinerja lalu lintas ditentukan besarnya
Degree of Saturation (DS)
Q
DS=
C

di mana Q = volume lalu lintas yang lewat (smp/jam)


C = kapasitas jalan (smp/jam)

Besarnya kapasitas ( C ) adalah:


C=Co×FCw×FCsp×FCsf
di mana
Co = kapasitas dasar
FCw = faktor penyesuaian akibat lebar jalan
FCsp = faktor penyesuaian akibat prosentase arah
FCsf = faktor penyesuaian akibat hambatan samping

Besarnya kapasitas dasar untuk jalan antar kota 2 arah 2 lajur

Kapasitas Dasar
Type Alinemen (smp/jam)
Datar 3100
Bukit 3000
Gunung 2900
Sumber: MKJI 1997

BAB 2-2
Besarnya Faktor penyesuaian akibat lebar jalan:

Lebar efektif
Type jalan
jalan (m)
FCw
5 0,69
6 0,91
2/2 UD
7 1,00
2 lajur
8 1,08
2 arah
9 1,15
Tanpa median
10 1,21
11 1,27
Sumber: MKJI 1997
Besarnya Faktor penyesuaian akibat Prosentase arah:

% arah 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30


FCsp 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
Sumber: MKJI 1997

Besarnya Faktor Penyesuaian akibat Hambatan Samping:

FCsf
Kelas Lebar Bahu Efektif
hambatan samping
 0,5 1,0 1,0  2,0
Sangat rendah 0,97 0,99 1,00 1,02
Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
Sedang 0,88 0,91 0,94 0,98
Tinggi 0,84 0,87 0,91 0,95
Sangat Tinggi 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber: MKJI 1997

Besarnya Volume lalu lintas (Q), berasal dari survey LHR (kendaraan/hari)

Q = k x LHR (kendaraan/jam)

BAB 2-3
Dimana nilai k faktor untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut:

LHR Faktor k
> 50000 4–6
30000 – 50000 6–8
10000 – 30000 6–8
5000 – 10000 8 – 10
1000 – 5000 10 – 12
< 1000 12 – 16
Sumber: MKJI 1997

Sedang untuk menjadikan dalam satuan smp/jam, maka masing-masing jenis


kendaraan dikalikan dengan nilai Equivalen Kendaraan Penumpangnya (EMP)
yang besarnya untuk 2/2 UD adalah sebagai berikut:
III.1. EMP
Mikro Sepeda Motor
Lalu lintas Truck Truck lebar jalan (m)
Type
Alinemen kendaraan/jam + Bus 2 Sb <6 6-8 >8
Small 3 Sb
Bus
Datar 0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
1900 1,3 1,8 2,5 0,6 0,5 0,4
Sumber: MKJI 1997

Besarnya nilai DS sangat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan. Semakin


kecil nilai DS, maka jalan terkesan lengang, dan sebaliknya bila nilai DS
mendekati nilai 0,80 jalan tersebut harus sudah diperlebar atau dilakukan
traffic management.

Prediksi tingkat pertumbuhan lalu lintas (i) didapat dari data lalu lintas (LHR)
tahun sebelumnya:

BAB 2-4
i= ( √n B A )−1
di mana:
B = LHR tahun ke n
A
= LHR tahun awal (ke 0)

2.3 PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.3.1. Kriteria Desain

1. Klasifikasi Jalan

a. Klasifikasi menurut Fungsi Jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:

1) Jalan Arteri

2) Jalan Kolektor

3) Jalan Lokal

Jalan Arteri : Jalan yang melayani angkutan utama dengan


ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-
rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien.

Jalan Kolektor : Jalan yang melayani angkutan pengumpul/


pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.

Jalan Lokal : Jalan yang melayani angkutan setempat


dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat,
kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.

b. Klasifikasi menurut Kelas Jalan

BAB 2-5
Tabel Klasifikasi menurut kelas jalan

Muatan Sumbu Terberat,


Fungsi Kelas
MST (ton)
I >10
Arteri II 10
IIIA 8
IIIA
Kolektor 8
IIIB
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota
(TCPGJAK) 1997

c. Klasifikasi menurut Medan Jalan


Tabel Klasifikasi menurut medan jalan
Kemiringan Medan
No Jenis Medan Notasi
(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G >25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota
(TCPGJAK) 1997

d. Klasifikasi menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.


36/1985 adalah Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan
Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan Khusus.

2 Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori:

(1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

(2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus
besar 2 as.

(3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi trailer.

BAB 2-6
Dimensi Kendaraan Rencana
KATEGOR DIMENSI RADIUS RADIU
I KENDARAAN TONJOLAN PUTAR S
KENDARA (cm) (cm) (cm) TONJO
AN Ting Leb Panja Depa Belaka Min Ma LAN
RENCANA gi ar ng n ng x (cm)
Kend. 130 210 580 90 150 420 730 780
Kecil
Kend. 410 260 1210 210 240 740 128 1410
Sedang 0
Kend. 410 260 2100 1.20 90 290 140 1370
Besar 0
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK)
1997

3. Kecepatan Rencana

1) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang
memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan
nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang,
dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

2) VR untuk masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel di


bawah ini.

3) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat


diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari
20 km/jam.

Kecepatan Rencana VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan


jalan.
Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 – 90 50 - 60 30 - 50

BAB 2-7
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

4. Jarak Pandang

Jarak pandang dikenal ada 2 macam:

 Jarak Pandang Henti (Jh)

 Jarak Pandang Menyiap

Jarak Pandang minimum menurut TPGJAK 1997 sebagai berikut:


VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Jh min (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

Sedang jarak pandang menyiap sebagai berikut:


VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Jh min (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

2.3.2. Alinemen Horizontal

Ada 3 bentuk alinemen horizontal yaitu:

 Full Circle
 Spiral - Circle - Spiral
 Spiral – Spiral

1. Full Circle

Full Circle hanya dapat dipilih untuk radius lengkung yang besar, di mana
super elevasi (kemiringan) yang dibutuhkan < 3%.

Jari-jari minimum tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan


adalah sebagai berikut:

VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
R min (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
BAB 2-8
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK)
1997

PH

TC
Ec

M
Lc
TC CT

1 1

2 2
Rc Rc

Gambar 7.1. Q Full Circle

1
Tc=Rc . tan 2 β

Rc ( 1−cos 12 β )
Ec= 1
cos 2 β
1
Ec=Tc tan 4 β

Lc= 360 β . Rc

=0,01745 . β.Rc

Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka


pencapaian superelevasi dilakukan sebagian pada jalan lurus dan
sebagian lagi pada bagian lengkung, karena tidak ada lengkung
peralihan, maka dipakai lengkung peralihan fiktif (Ls’). Diagram
super elevasi untuk Full – Circle sebagai berikut:

Lc

TC CT
e max
BAB 2-9
en=2 % en=2 %

e min
3/4 Ls’ 1/4 Ls’ 1/4 Ls’ ¾ Ls’

Gb. 7.2 Diagram Super Elevasi FC

2. Spiral – Circle – Spiral


Karena ada kendala menggunakan R yang besar, maka lengkung
yang digunakan adalah Spiral – Circle – Spiral (S – C – S).
Dengan tipe S – C – S, maka terdapat lengkung peralihan yang
menghubungkan bagian lurus (tangen) dengan lengkung
sederhana (Circle) yang berbentuk spiral (Clothoid).
Dengan rumus:
V
R2
R min=
127 ( e max+ f )

Dimana f = 0,14 s/d 0,24


Di dekat jari-jari minimum yang boleh dipergunakan dan bisa
ditabelkan sabagai berikut:

VR min
Sumber: Tata 120 100 80 60 50 40 30 20 Cara
(km/jam)
Perencanaan
R min (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
Geometri Jalan Antar
Kota (TCPGJAK) 1997

BAB 2-10
Gambar 7.3. Lengkung S – C – S

Jika panjang lengkung peralihan dari Ts ke Sc adalah Ls dan R pada

Sc adalah Rc , maka:

Xs=Ls 1− ( Ls
40 Rc )
6Rc¿
Ys=Ls2 ¿ ¿
¿
Besarnya sudut spiral pada Sc adalah:
90 Ls
θs=
π×Rc (dalam derajat)
2
Ls
p= −Rc ( 1−Cos θs )
6 Rc
3
Ls
k =Ls− −Rc sin θs
40 Rc 2
Bila sudut busur lingkaran θc
θc=θ−θs
1
Es= ( Rc + p ) sec β− Rc
2
1
Ts=( Rc+ p ) tan 2
β+ K

BAB 2-11
θc
Lc= ×π ×Rc
180
L=2× Ls+Lc
Untuk lengkung S – C – S sebaiknya besarnya Lc  20 cm

TS SC CS ST

e max

en=2 % en=2 %

e min

Ls Tc Ls

Lt

Gb. 7.4 Diagram Super Elevasi SCS

3. Spiral – Spiral
Lengkung horizontal bentuk spiral-spiral (S – S) adalah lengkung
tanpa busur lingkaran (Lc = 0)
Rumus-rumus untuk S – C – S dapat digunakan dengan
1
θs= 2
β

θs×π×Rc
Ls=
90
Lengkung S–S sebaiknya dihindari kecuali keadaan terpaksa.

BAB 2-12
TS

k ES

SC=CS
P P ST
TS S S

RC
RC RC

Gambar 7.5. Spiral-spiral

TS SC = CS ST

e max

en=2 % en=2 %

e min

Ls Ls

Lt

Gb. 7.6 Diagram Super Elevasi SS

BAB 2-13
2.3.3. Alinemen Vertikal

Perubahan dari satu kelandaian ke kelandaian lain dilakukan dengan


menggunakan lengkung vertikal.
Jenis lengkung vertikal:
 Lengkung vertikal Cembung
 Lengkung vertikal Cekung

a. d. Ev = -
Ev = +

g1 = - g2 = + g1 = + g2 = -

g2 = +
b. e.
f.
g1 = - g1 = -
g2 = -

g2 = +

c. g2 = + g2 = -

g1 = +

Gambar 7.7. macam-macam Lengkung Vertikal

Besarnya:
A×Lv
Ev=
800
|g2 −g1|
= ×Lv
800

di mana | g2 - g1 | = Selisih kelandaian mutlak (harga +)


Lv = Panjang lengkung vertikal

BAB 2-14
PTV
PPV g2 % B
Q Ev

y
g1 % P

PLV y
A Lv

½ Lv

Gambar 7.8. Lengkung Vertikal

Panjang lengkung vertikal untuk bentuk cembung tergantung:

 Jarak pandang henti atau menyiap


 Kebutuhan akan drainase
 Kebutuhan kenyamanan perjalanan

Sedang panjang lengkung vertikal cekung tergantung:

 Jarak penyinaran lampu kendaraan


 Jarak pandangan bebas di bawah bangunan
 Persyaratan drainase
 Kenyamanan pengemudi
 Keluwesan bentuk

BAB 2-15
2.3.4. Pelebaran Tikungan

Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan


konsistensi geometric jalan agar kondisi operasional lalu lintas di
tikungan sama dengan di bagian lurus.

Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan:

a. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada


lajurnya.

b. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan


melakukan gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di
tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan Rencana
sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada lajurnya.

c. Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan


rencana.

d. Pelebaran yang lebih kecil dari 0,6 meter dapat diabaikan.

BAB 2-16
Besarnya pelebaran jalan di tikungan ditetapkan pada tabel:
Lebar jalur 2x3,50m, 2 arah atau 1 arah
R Kecepatan Rencana Vd (km/jam)
(m) 50 60 70 80 90 100 110 120
1500 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1
1000 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2
750 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.2 0.3 0.3
500 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
400 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
300 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
250 0.4 0.5 0.5 0.6
200 0.6 0.7 0.8
150 0.7 0.8
140 0.7 0.8
130 0.7 0.8
120 0.7 0.8
110 0.7
100 0.8
90 0.8
80 1.0
70 1.0

BAB 2-17
Lebar jalur 2x3,00m, 2 arah atau 1 arah

R Kecepatan Rencana Vd (km/jam)


(m) 50 60 70 80 90 100 110
1500 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.6
1000 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6
750 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8
500 0.8 0.9 0.9 1.0 1.0 1.1 0.1
400 0.9 0.9 1.0 1.0 1.1 1.1
300 0.9 1.0 1.0 1.1
250 1.0 1.1 1.1 1.2
200 1.2 1.3 1.3  1.4
150 1.3 1.4
140 1.3 1.4
130 1.3 1.4
120 1.3 1.4
110 1.3
100 1.4
90 1.4
80 1.6
70 1.7

2.3.5. Lajur Pendakian

1) Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truck-truck yang


bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat
dari kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan lain dapat
mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah
Lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
2) Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relative
padat.
3) Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:

BAB 2-18
a). disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
b). apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR >
15.000 SMP/hari, dan persentase truck > 15 %.
4) Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.
5) Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian
dengan serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter
sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter.
6) Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km.

POTONGAN MEMANJANG

30 M 45 M > 200 M 50 M 45 M
LAJUR PENDAKIAN

TAMPAK ATAS

Gambar: Tipikal Lajur Pendakian

BAB 2-19
Jarak Antara 2 Lajur Pendakian
Minimum 1.5 KM

POTONGAN MEMANJANG

SERONG MINIMUM 1,5 KM SERONG


AKHIR 45 M
AWAL PENDAKIAN
PENDAKIAN
LAJUR PENDAKIAN 1 LAJUR PENDAKIAN 2

TAMPAK ATAS

Gambar: Jarak Antar 2 (dua) Lajur Pendakian

2.4 PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN


1) Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

A. Tebal Perkerasan Lentur Cara RDS


The Road work Design System (RDS) merupakan bagian dari Integrated
Road Management System (IRMS) yang telah dikembangkan oleh
BIPRAN Ditjen Bina Marga sejak tahun 1983, sampai sekarang sudah
berkali-kali mengalami perbaikan sampai pada RDS 1994. Untuk
perencanaan tebal perkerasan jalan, baik untuk jalan baru, pelebaran
maupun overlay, maka diperlukan data sebagai berikut:
 Data Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR)
 California Bearing Ratio (CBR) tanah dasar
 Data bahan Perkerasan jalan yang dipergunakan
 Nilai IRI atau RCI pada jalan lama (untuk overlay)

BAB 2-20
 Benkleman Beam Deflection atau nilai kondisi sisa dari lapisan
existing (untuk overlay)

1. Data LHR

Data lalu lintas dipergunakan untuk menghitung Equivalent


Standard Axle Load (ESAL). Disamping itu pertumbuhan lalu lintas
(i) dan umur rencana jalan (n) juga diperlukan.
Lalu lintas digolongkan menjadi beberapa:

 Mobil + Bus Ringan + Truck Ringan (M+B+T)


 Bus Berat (HB)
 Truck Sedang (MT)
 Truck Berat dan Trailler (HT)

ESAL Total = ESAL (M+B+T) + ESAL (MT) + ESAL (HB) + ESAL (HT)
ESAL (M+B+T) = LHR(M+B+T) x (1+i)(T1 + ½-T0)
ESAL untuk truck sedang, truck berat dan bus berat
( 1+i )L
ESAL=VDF ( 1+i )T 1−T 0 . LHR −1 xFJJRx 365
i

(
VDF=Vi T 1 +
L
2
−Tx )

Vi = Koefisien VDF
Tx = 64 untuk MT
69 untuk HB dan HT
FJJR = Faktor jumlah Jalur Rencana
Untuk menghitung Nilai ESAL dapat digunakan Diagram Alir (Flow
Chart) di bawah.

Disamping itu nilai VDF untuk masing-masing jenis kendaraan bisa


menggunakan Rumus umum pada tabel di bawah.

Besarnya VDF bisa dicari dengan cara ESA MST

BAB 2-21
Koefisien VDF ( Vi )
DATA RUAS
Jalan Jalan Arteri Kolektor Naik
No.Ruas Arteri Naik Turun/ Turun
Medan Datar Datar Kolektor pegunungan
Pegunungan Datar atau jalan
Sumber Data
Nama Proyek HB 0.025 0.020 0.014

MT 0.039 0.024 0.009

Survey Lalu Lintas HT 0.091 0.005 -


DATA Thn Perhit. LL T0
WAKTU Tahun LL Pertama T1
Umur Rencana L
Umur Tengah LHR Subrutin
Perhitungan M+B+T M+B+T T0,T1,L
Lalin HB HB M+B+T
(M + B + T) ( 1 + r1) ( T1 + L/2
(LHR 2 arah) MT MT r1 . T0)
HT dan TT HT

T.Tingkat M+B+T r1
Pertumbuhan HB r2
Lalin MT r3
HT dan TT r4
LHR Sub - Rutin

(1+r1)T1-T0 ( 1+r1 )L - 1 X 365 x FJJR


Perhit. ESA untuk Bis Besar LHR1 LHR1 ……………
r1

Perhit. ESA untuk Truk Medium

T,L,Tx
Perhit. ESA untuk Truk Berat VDF Proyeksi Sub – Rutin
VDF UMUR
Vi. ( T1 + L/2 - Tx )
Pertengahan
ESA x 10 6 = LHRi. VDF/106 Tx = 64 untuk MT
Tx = 69 untuk HB dan TT

2 x ESA x 106 Hasil Diambil


Sumbu jalan LHR Umur Tengah untuk Desain
Mendukung 1000 ESA x 106 Modul Perkerasan
LHR
LHR 2 arah atau
lebar 4.5

Gambar 7.9 Diagram Menghitung Nilai ESAL

BAB 2-22
2. CBR Tanah Dasar
Data CBR sangat penting sekali dalam menyusun perencanaan, baik
untuk perkerasan baru maupun pelebaran jalan (widening). Data
CBR bisa didapat dengan pengujian di laboratorium. Lapisan tanah
yang diselidiki berkedalaman antara 0,75 – 1,00 m di bawah elevasi
permukaan jalan rencana pada beberapa titik pengujian.
CBR yang dipakai = CBR rata-rata – (1 x SD)

3. Data Bahan Perkerasan Jalan


Bahan perkerasan jalan, masing-masing mempunyai nilai koefisien
kekerasan (Strength Coeffisien) dan nilai Gravel Equivalent. Besarnya
nilai Strength Coeffisien dan nilai Gravel Equivalent bisa dilihat pada
tabel di bawah ini:
Pavement Kondisi Visual Strength Gravel
Material Material Coeffisien Eq
HRS Surfacing i. Sound 0,28 2,2
MS 450 – 850 kg ii. Badly Cracked 0,13 1,0
ATB or ATBL i. Sound 0,25 2,0
MS > 450 kg ii. Badly Cracked 0,12 1,0
Penetration i. Sound 0,20 1,6
Macadam ii. Detereoreted old 0,10 0,8
Agregat base Course i. Good crushed rock 0,14 1,1
CBR = 100%
ii. Class A base 0,125 1,0
CBR = 80%
iii. Sub base Class B 0,10 0,8
CBR = 25%
Soil Cement Base i. Sound, Strong 0,164 1,3
UCS > 24 kg/cm2
ii. UCS > 7 kg/cm2 0,14 1,1
Telford Base Large Isolated Cobbles 0,10 0,8
Boulders

BAB 2-23
4. Nilai IRI dan Nilai RCI
Untuk mendapatkan data tentang kekasaran (roughness) suatu
permukaan jalan lama (nilai IRI), maka dilakukan tes NAASRA atau
kondisi permukaan jalan lama dinilai secara visual sehingga didapat
nilai RCI, dengan menggunakan pedoman skala sebagai berikut:
Kondisi Permukaan
RCI Tipe-tipe Permukaan yang Khas atau
Jalan Aspal Ditinjau
Khusus
Secara Visual

8 – 10 Sangat rata dan teratur Hot Mix yang baru (Lataston, Laston)
setelah peningkatan dangan menggunakan
beberapa lapisan
7–8 Sangat baik, umumnya Hot Mix setelah pemakaian beberapa tahun
rata atau hot-mix yang baru diletakkan sebagai
satu lapisan tipis di atas Penetrasi
Macadam (Lapen)
6–7 Baik Lapisan tipis lama dari hot mix, Lasbutag
baru
5–6 Cukup, sedikit sekali atau Penetrasi Macadam baru, Latasbum baru,
tidak ada lubang-lubang Lasbutag setelah pemakaian beberapa
tapi permukaan jalan tahun
tidak rata
4–5 Jelek kadang-kadang ada Lapen setelah pemakaian 2 atau 3 tahun,
lubang tapi permukaan Latasbum baru, pemeliharaan jelek,
jalan tidak rata berkerikil
3–4 Rusak, bergelombang, Semua tipe perkerasan yang tidak
banyak lubang dipelihara sejak lama
2–3 Rusak berat, banyak Semua tipe perkerasan yang tidak
lubang dan seluruh dipelihara sejak lama
daerah perkerasan
hancur
1 Tidak bisa dilewati Jalan tanah dengan drainase jelek, tipe
kecuali jeep gandar dobel perkerasan yang tidak dipelihara sama
sekali

BAB 2-24
5. Nilai Kondisi Umur Sisa Jalan Lama

Bila test Benkleman Beam tidak dapat dilaksanakan, maka kondisi


umur sisa perkerasan dapat dinilai secara visual berdasarkan kondisi
permukaan jalan, kondisi pondasi atas jalan dan kondisi pondasi
bawah jalan. Nilai sisa dari kondisi masing-masing lapis dinyatakan
dalam prosen (%).

 Perencanaan Tebal Overlay

Lapis overlay terdiri dari 2 lapis utama yaitu:

 Lapis Pembentuk Permukaan (Layer Shape)

 Lapis Struktur (Overlay Requirement)

Besarnya Lapis Pembentuk adalah sebagai berikut:

Pdx ΔC
T =0 , 001 ( 9−RCI )4,5 + +T min
4

Pd
= Lebar Pavement dalam cm

ΔC
= Kemiringan rencana: 2%

T min
= Lapis penutup minimum 2 cm

Sedangkan tabel Overlay Requirement adalah:

3 ,303 log D−0 , 408 (1−log L )


t=
0 , 08−0 ,013 log L

D = lendutan yang dipakai/rencana

L = nilai ESAL total

 Perencanaan Tebal Perkerasan Baru

BAB 2-25
Pada pelebaran jalan (widening) maupun pembuatan jalan baru,
untuk menentukan tebal perkerasannya dipakai rumus:

t sub base = 10(1,873 - 0,105 x CBR) + 13,555 log (ESAL)

t sub base = 1.t1 + 2.t2 + 3.t3 + 4.t4 + ...........

dimana:

 = Gravel Equivalent tiap lapis

t = tebal dalam cm tiap lapis

B. Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen

Dasar perhitungannya berasal dari buku: Petunjuk Tebal Perkerasan


Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen SKBI-2.3.28.1987
UDC:625.73(02), yang disingkat PTPLJR.

Tahap-tahap perencanaan yang perlu dilakukan adalah:


1. Menghitung nilai LHR selama masa pelaksanaan, dengan rumus:

LHR(akhir pelaksanaan) = LHR(awal umur rencana)(1+i)n

2. Menghitung nilai LHR umur rencana, dengan rumus:

LHR(akhir umur rencana) = LHR(awal umur rencana)(1+i)n

3. Menghitung angka Ekivalen (E) masing-masing kendaraan dengan


rumus sebagai berikut:

[ ]
4
Beban. satu . sumbu .tunggal
Angka ekivalen sumbu tunggal: E = 8160

BAB 2-26
Angka ekivalen sumbu ganda: E = 0,086

[ ]
4
Beban. satu . sumbu .tunggal
8160

[ ]
4
Beban. satu . sumbu .tunggal
Angka ekivalen sumbu triple: E = 0,053 8160
4. Menghitung Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dengan rumus:

LEP = n(f=1) LHRj . Cj . Ej

dimana:
LHRj = lalu lintas harian rata-rata pada masa pelaksanaan
Cj = koefisien distribusi (PTPLJR, daftar II halaman 9)
Ej = angka ekivalen (PTPLJR, daftar III halaman 10)
j = jenis kendaraan

5. Menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dengan rumus:

LEA = n(f=1) LHRj . (1+i)n . Cj . Ej

dimana:
LHRj = lalu lintas harian rata-rata pada umur rencana
Cj = koefisien distribusi (PTPLJR, daftar II halaman 9)
Ej = angka ekivalen (PTPLJR, daftar III halaman 10)
j = jenis kendaraan
n = umur rencana
6. Menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET) dengan rumus:
LET = 0,5 (LEP + LEA)
7. Menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER) dengan rumus:
LER = LET x FP
dimana:
FP = Faktor Penyesuaian (FP = UR/10)

BAB 2-27
UR = Umur rencana
8. Menghitung Faktor Regional (FR)

Dihitung terlebih dahulu:

Prosentase kendaraan berat = Jumlah kendaraan yang berat total


13tonx100%
Jumlah kendaraan
Kemudian dilihat iklimnya dan dibandingkan dengan prosentase
kelandaian daftar IV PTPLJR pada halaman 14 sehingga akan
diperoleh nilai faktor regionalnya.

9. Menghitung Indeks Permukaan (IP)

Dari nilai LER yang diperoleh, dapat dicari nilai IP-nya dengan
melihat dalam daftar V PTPLJR pada halaman 15.

10. Menghitung Indeks Permukaan pada awal Umur Rencana (IPo)

Setelah ditentukan bahan-bahan yang digunakan untuk lapis


perkerasan, maka dapat diketahui nilai IPo-nya dengan melihat
dalam daftar VI PTPLJR pada halaman 16.

11. Menghitung Daya Dukung Tanah (DDT)

Nilai DDT diperoleh dari grafik korelasi antara DDT dan CBR dalam
gambar 1 PTPLJR pada halaman 13.
12. Menghitung Indeks Tebal Permukaan (IPT)
Setelah diperoleh LER, DDT dan FR maka dari nomogram PTPLJR
pada bagian lampiran 1, akan diperoleh nilai ITP.

Setelah diketahui ITP, maka dari daftar VII PTPLJR pada halaman
18 akan diperoleh nilai koefisien kekuatan relatif (a). Dan dari daftar
VIII PTPLJR pada halaman 19 akan diperoleh nilai batas-batas
minimum tebal lapis perkerasan (D).

BAB 2-28
Dengan menggunakan rumus sebagai berikut, maka akan diperoleh
salah satu nilai D yang diinginkan.

ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)

dimana:
a1, a2, a3 = koefisien relatif bahan perekerasan
D1, D2, D3 = tebal masing-masing perkerasan

2.5 PERENCANAAN PERSIMPANGAN SEBIDANG

2.5.1. Umum

1. Persimpangan adalah bagian yang terpenting dari jalan perkotaan


sebab sebagian besar dari efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya
operasi dan kapasitas lalu lintas tergantung pada perencanaan
persimpangan. Setiap persimpangan mencakup pergerakan lalu
lintas menerus dan lalu lintas yang saling memotong pada satu
atau lebih dari kaki persimpangan dan mencakup juga pergerakan
perputaran. Pergerakan lalu lintas ini dikendalikan dengan berbagai
cara, bergantung pada jenis persimpangannya.

2. Tujuan utama dari perencanaan persimpangan adalah mengurangi


kemungkinan tubrukan antara kendaraan bermotor, pejalan kaki,
sepeda dan fasilitas-fasilitas lain yang memberikan kemudahan,
kenyamanan dan ketenangan terhadap pemakai jalan yang melalui
persimpangan.

Perencanaan harus mengikuti lintasan aslinya dan karakteristik


pemakai jalan.

2.5.2. Volume Rencana

Pada prinsipnya, persimpangan harus direncanakan sedemikian rupa


sehingga dapat menampung volume perencanaan tiap jam (VJP) pada

BAB 2-29
jalan tersebut. Bila volume lalu lintas pada mulanya diperkirakan kecil
sekali, maka pada tahap pertama, untuk sementara dasar perencanaan
volume lalu lintas 5 – 10 tahun dapat digunakan dengan
memperhatikan pelaksanaan konstruksi tahap selanjutnya.

2.5.3. Kontrol / Pengendalian Lalu lintas pada Persimpangan

1. Untuk persimpangan satu bidang ada 4 jenis kontrol lalu lintas yang
dapat digunakan, yaitu:

a. Jenis tanpa pengaturan lalu lintas

b. Jenis Pengaturan dengan rambu peringatan (Yield)

c. Jenis Pengaturan Berhenti (Stop)

d. Jenis Pengaturan dengan lampu lalu lintas (Traffic Light)

Perencanaan simpang satu bidang harus dikoordinasi dengan


perencanaan kontrol lalu lintas.

2. Pada jalan dengan kecepatan rencana = 60 km/jam atau lebih,


kontrol berhenti dan atau rambu peringatan tidak dapat digunakan.

2.5.4. Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana menjelang persimpangan, pada prinsipnya sama


dengan kecepatan rencana bagian jalan/kakinya. Bila perlu kecepatan
rencana dari lalu lintas menerus dapat dikurangi sampai 20 km/jam
sehubungan dengan adanya jalur-jalur pembantu dan atau median-
median.

2.5.5. Alinyemen dan Konfigurasi

1. Persimpangan harus direncanakan dengan baik agar pertemuan


jalan dari persimpangan mendekati sudut atau sama dengan 90.
Sudut pertemuanantara 60 sampai 90 masih diijinkan.

BAB 2-30
2. Jalan yang menyebar pada suatu persimpangan merupakan bagian
dari persimpangan disebut kaki persimpangan.

Pada umumnya persimpangan dari 2 jalan mempunyai 4 kaki. Pada


prinsipnya, pada persimpangan sebidang, banyaknya kaki
persimpangan jangan sampai lebih dari 5.

3. Pada prinsipnya pertemua (stagger junction) atau pertemuan


(break junction) harus dihindarkan. Dalam hal keadaan di atas
tidak bisa dihindari, interval jarak kaki yang dibutuhkan harus lebih
dari 40 m. Untuk stagger junction, sudut pertemuan yang
dibutuhkan kurang dari 30.

4. Arus lalu lintas utama sedapat mungkin dilayani dengan jalur yang
lurus atau hampir lurus.

2.5.6. Jarak antara Persimpangan

Jarak antara 2 persimpangan harus diusahakan sejauh mungkin. Jarak


minimum harus ditentukan sehingga lebih panjang dari hal dibawah
ini:

1. panjang bagian menyusup

2. antrian pada lampu lalu lintas

3. jalur belok kanan atau jalur perlambatan

4. batas konsentrasi pengemudi

2.5.7. Jari-jari Minimum

Jari-jari as jalur lalu lintas di sekitar persimpangan sesuai dengan


kecepatan rencana dan jenis kontrol lalu lintas dinyatakan dalam tabel
berikut:

BAB 2-31
Kecepatan Jalan Utama Jalan yang menyilang
Rencana Standar Minimum (dengan stop kontrol)
(km/jam) (m) (m)
80 280 -
60 150 60
50 100 30
40 60 15
30 30 15
20 15 -

2.5.8. Landai Maksimum

Untuk keamanan dan kenyamanan lalu lintas, kelandaian di sekitar


persimpangan diusahakan serendah mungkin. Landai maksimum
diusahakan tidak lebih dari 2%.

2.5.9. Jalur Belok Kanan

Semua persimpangan sebidang harus dilengkapi dengan jalur belok


kanan kecuali, untuk hal-hal berikut:

1. Larangan belok kanan pada persimpangan.

2. Jalan tipe II, kelas III atau kelas IV dengan kapasitas yang dapat
menampung volume lalu lintas puncak.

3. Jalan 2 jalur dengan kecepatan rencana 40 km/jam atau kurang,


dimana volume rencana per jam kendaraan kurang dari 200
kend/jam dan perbandingan kendaraan belok kanan kurang dari
20% dari volume rencana tiap jam (DHV).

BAB 2-32
4. Panjang jalur belok kanan dapat ditentukan dengan
menjumlahkan panjang taper dan panjang jalur antrian (storage
section).

L = lt + ls

dimana:

L = panjang jalur belok kanan (m)

lt = panjang taper (m)

ls = panjang jalur antrian (m)

5. Panjang taper adalah nilai terbesar antara panjang yang


diperlukan pada pergeseran dari lalu lintas menerus sampai jalur
belok kanan (lc) dan panjang yang diperlukan untuk
memperlambat kendaraan (ld).

lt = max (lc, ld)

dimana:

lt = panjang taper (m)

lc = panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur (m)

ld = panjang yang diperlukan untuk memperlambat


kendaraan (m)

6. Panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur dihitung dengan


memakai rumus:

lc = v . dw/6

dimana:

lc = panjangnya diperlukan untuk perlambatan (m)

v = kecepatan rencana (km/jam)

BAB 2-33
dw = latheral shift (sama dengan lebar jalur belok kanan) (m)

7. Panjang jalur antrian pada persimpangan tanpa lampu lalu lintas


dihitung dengan rumus berikut didasarkan pada jumlah kendaraan
yang akan masuk persimpangan setiap 2 menit pada jam sibuk.

ls = 2 . M . S

dimana:

ls = panjang storage section (m)

M = rata-rata kendaraan yang belok kanan (kend/menit)

S = head distance rata-rata (m)

Catatan: Rata-rata dibandingkan terhadap perbandingan jumlahbus dan


truck terhadap total kendaraan.

Untuk bus dan truck; S = 12 m

Untuk kendaraan lainnya; S= 6m

jika bus/truck tidak ada; S= 7m

Untuk persimpangan yang ada lampu lalu lintasnya, panjang storage


section = 1,5 m dikalikan rata-rata kendaraan yang antri per cycle,
yang diproyeksikan pada volume jam rata-rata perencanaan.

ls = 1,5 . N . S

dimana:

ls = panjang storage section (m)

N = banyak kendaraan belok kanan rata-rat (kend/cycle)

S = head distance rata-rata (m)

Untuk Gambar ini:

lt = max (lc, ld)

BAB 2-34
= ld

Gambar 7.11. Panjang Taper


PERSIMPANGAN
A. TYPICAL PERTIGAAAN

BAB 2-35
Catatan:

 Lebar L1 untuk pertigaan tanpa lampu lalu lintas ditentukan


oleh kapasitas lalu lintas dari pertigaan dan untuk pertigaan
dengan lampu lalu lintas ditentukan oleh perhitungan
kapasitas lampu lalu lintas.

 Lebar L2 tidak kurang dari lebar rencana yang ditentukan


atau tidak kurang dari L2.

 Lebar absolut minimum untuk L4 = 2,75 m


atau: L4 = L1 – L3  2,75 m

PERSIMPANGAN

BAB 2-36
TYPICAL PEREMPATAN

PERSIMPANGAN

BAB 2-37
B. TYPICAL SUDUT PEREMPATAN (INTERSECTION)
DENGAN JALUR PERLAMBATAN/PERCEPATAN

Catatan:

 Untuk ketentuan marka lihat standar pada marka.

 Dipakainya taper dan storage tergantung analisa lalu-


lintas.

PERSIMPANGAN

BAB 2-38
C. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN

KECEPATAN V
JALUR PERLAMBATAN MIN * PANJANG MIN. TAPER *
(KM/J)
(M) L = V x dw/6m

40 15 20
60 30 30

Panjang jalur tunggu: Ls = 2 x M x S m tanpa lampu LL


Ls = 1,5 x N x S m dengan lampu LL
M = Jumlah rata-rata kendaraan belok kanan/menit
N = Jumlah rata-rata kendaraan belok kanan/putaran (cycle)
S = Jarak antara kendaraan (m)
Catatan: – Ketentuan marka, lihat standar marka jalan
* Bila panjang taper > dari jalur perlambatan marka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan

PERSIMPANGAN

BAB 2-39
D. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN
1. JALUR PERLAMBATAN TANPA JALUR TUNGGU (STORAGE)

 Penentuan R min ditetapkan berdasarkan Single Unit Truck.


 Untuk perencanaan khusus periksa Peraturan Perencanaan Geometrik.

PERSIMPANGAN

BAB 2-40
2. JALUR PERLAMBATAN DENGAN JALUR TUNGGU (STORAGE)

 Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan

 Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang


taper dianggap sebagai jalur perlambatan
Catatan:
 Ketentuan marka,lihat standar marka jalan
 Penentuan R min, ditetapkan berdasarkan Single Unit Truck

BAB 2-41
2.6 PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

Saluran Drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari badan
jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada
jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air,
baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas badan jalan yang
dialirkan kesamping kiri dan atau kanan jalan ditampung dalam saluran
samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih cepat dari air
yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan untuk bisa
mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan.

Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut:

 Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan


kriteria tertentu sehingga mampu menegeringkan lapis pondasi.

 Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun


sebagai trotoar jalan.

 Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah


untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.

 Pemeliharaan harus bersifat menerus.

 Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil kesungai atau tempat
pengaliran yang lain.

 Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi, faktor


keamanan dan segi kemudahan dalan pemeliharaan.

Ketentuan-ketentuan

BAB 2-42
1. Sistem drainase permukaan jalan terdiri dari: Kemiringan melintang
perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan
saluran penangkap, seperti gambar berikut:

Gambar Sistem drainase permukaan setiap 100 m

2. Kemiringan melintang normal (en )perkerasan jalan untuk lapis


permukaan aspal adalah 2 % - 3 %, sedangkan untuk bahu jalan diamil
+ 2 %.

3. Selokan samping jalan

 Kecepatan aliran maksimum yang dijinkan untuk material dari


pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.

 Kemiringan memanjang (i) maksimum yang dijinkan untuk material


dari pasangan batu adalah 7,5 %.

 Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi


selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar.
Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada tabel
berikut:

Jarak pematah arus

i (%) 6 (%) 7% 8% 9% 10 %

L (m) 16 10 8 7 6

 Penampang minimum selokansamping adalah 0.50 m2

BAB 2-43
4. Gorong – gorong pembuang air

 Kemiringan gorong-gorong adalah 0.5 % - 2 %

 Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah


100 dan daerah pegunungan adalah 200 m.

 Diameter minimum adalah 80 cm.

2.6.1. Perhitungan Debit Aliran

1. Intensitas curah hujan (I)

Data yang diperlukan dalah data curah hujan maksimum tahunan,


paling sedikit n=10 tahun dengan periode ulang tahun.

Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa


distribusi frekwensi sbb:

Sx
Xt =x+ . ( Yt−Yn )
Sn

I = ¼ . ( 90 % . Xr )

Keterangan: Xr = besar curah hujan

x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan

Sx = Standar deviasi

Yr = variabel yang merupakan fungsi dari perode ulang,

diambil = 1.4999.

Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n,

diambil 0.4952 untuk n = 10

Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n,

diambil 0.49496 untuk n = 10

I = intensitas curah hujan (mm/jam )

BAB 2-44
Waktu konsentrasi (Tc) dihitung dengan rumus:

Tc = t1 + t2
0.167

t1 =
( 2
3
.3 ,28 . Lo.
nd
√s )
t2 =

Keterangan:

Tc = waktu konsentrasi (menit)

t1 = waktu inlet (menit)

t2 = waktu aliran (menit)

Lo = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)

L = panjang saluaran (m)

nd = koefisien hambatan , diambil 0.013 untuk lapis permukaan


aspal

s = kemiringan daerah pengaliran

v = kecepatan air rata-rata disaluran (m/detik)

2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai dengan yang


terlihat pada gambar berikut:

Gambar batas-batas daerah pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan L= L1 + L2 + L3 (m)

BAB 2-45
Keterangan: L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan

L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan.

L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang


maksimum 100 m.

3. Harga Koefisien pengaliran (C) dihitung berdasrkan kondisi permukaan


yang bebeda-beda.

C 1. A 1+C 2. A 2+C 3. A 3
A 1+ A 2+A 3
C=

Keterangan:

C1 = Koefisien untuk jalan aspal = 0.70

C2 = Koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar ) = 0.65

C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerahpersawahan) = 0.40

A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian.

4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai


berikut:

1
.C .I . A
3,6
Q=

Keterangan:

Q = debit pengaliran (m3/detik)

C = koefisein pengaliran

I = Intensitas hujan (mm/jam)

A = luas daerah pengaliran (km2)

2.6.2. Perhitungan dimensi saluran dan gorong-gorong

BAB 2-46
Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd

1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)

Q
v
Fd = m2

2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)

 Saluran bentuk segiempat

Rumus: Fe = b.d syarat: b = 2 . d

R = d/2

 Gorong-gorong

Rumus: Fe = 0.685 D2

syarat: d = 0.8 . D

P=2r

R=F/P

Keterangan:

Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)

b = lebar saluran (m)

d = kedalaman air (m)

R = jari-jari hidrolis (m)

D = diameter gorong-gorong (m)

r = jari-jari gorong-gorong (m)

3.Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w =


√ 0,5.d
4. Perhitungan kemiringan saluran

BAB 2-47
( )
v.n 2

2/3
R
Rumus: I =

Keterangan

i = kemiringan saluran

v = kecepatan aliran air (m/detik)

n = koefisien kekasaran manning, (saluran pas. batu) = 0.025

2.7 PERENCANAAN TEMBOK PENAHAN

Pekerjaan jalan dan jembatan umumnya tidak terlepas dari perlunya tembok
penahan tanah terutama pada daerah berbukit, timbunan, talud-talud dan
pada kepala jembatan.

Tembok penahan tanah (retaining wall) merupakan suatu bangunan untuk


mencegah keruntuhan tanah yang curam atau lereng yang dibangun ditempat
dimana kemantapannya tidak dapat dijamin oleh lereng tanah itu sendiri.

1). Jenis-jenis retaining wall

 Tembok penahan pasangan batu

 Tembok penahan beton tipe gravitasi

 Tembok penahan beton dengan sandaran

 Tembok penahan beton bertulang dengan balok kantilever

 Tembok penahan beton bertulang dengan penahan (buttress)

 Tembok penahan beton bertulang dengan penyokong

 Tembok penahan khusus

BAB 2-48
a. Tembok penahan pasangan batu

Tembok penahan jenis ini digunakan terutama untuk pencegahan


terhadap keruntuhan tanah, dan apabila tanah asli dibelakang tembok
itu cukup baik dan tekanan tanah dianggap kecil. Tembok penahan
jenis ini digunakan secara luas sebagai dinding penahan tanah rendah
karena biaya pekerjaannya relatif murah dan pelaksanaan
pekerjaannya mudah dilakukan.

b. Tembok penahan beton tipe gravitasi

Tembok jenis ini untuk memperoleh ketahanan terhadap tekanan tanah


dengan beratnya sendiri. Karena bentuknya yang sederhana dan juga
pelaksanaan mudah, jenis ini sering digunakan apabila dibutuhkan
konstruksi penahan yang tidak terlalu tinggi atau bila tanah pondasinya
baik.

c. Tembok penahan beton dengan sandaran

Tembok penahan dengan sandaran sebenarnya juga termasuk dalam


kategori tembok penahan gravitasi tetapi cukup berbeda dalam
fungsinya. Tembok ini dibuat miring sisi dalam terhadap lereng tanah.

d. Tembok penahan beton bertulang dengan balok kantilever

Tembok penahan dengan balok kantilever tersusun dari suatu tembok


memanjang dan suatu pelat. Masing-masing berlaku sebagai balok
kantilever dan kemantapan tembok didapatkan dengan beratnya sendiri
dan berat tanah diatas tumit pelat lantai.

e. Tembok penahan beton bertulang dengan penahan (buttress)

Tipe ini dibangun pada sisi tembok dibawah tanah tertekan untuk
memperkecil gaya irisan yang bekerja pada tembok memanjang dan

BAB 2-49
pelat lantai. Jenis ini digunakan untuk tembok penahan yang cukup
tinggi. Kelemahan dari tembok penahan jenis ini adalah
pelaksanaannya yang lebih sulit dari pada jenis lainnya.

f. Tembok penahan beton bertulang dengan penyokong

Tembok penahan dengan penyokong berfungsi sama seperti dinding


penahan tetapi tembok penyokong yang berhubungan dengan penahan
ditempatkan pada sisi yang berlawanan dengan sisi dimana tekanan
tanah bekerja.

g. Tembok penahan khusus

Jenis ini adalah tembok penahan khusus yang tidak termasuk dalam
tembok penahan yang disebutkan diatas. Jenis ini dibagi menjadi
tembok penahan macam rak, tipe kotak, tembok penahan
menggunakan jangkar, dengan penguatan tanah, bentuk Y terbalik.

2). Pemilihan jenis retaining wall

Dalam memilih jenis dinding penahan, perlu mengetahui: sifat-sifat tanah


pondasi, kondisi tempat, kondisi pelaksanaan dan efisiensi ekonomis.

Sebagai pegangan, standar ketinggian dinding yang sering digunakan

3). Prinsip-prinsip perencanaan retaining wall

a. Beban rencana

 Berat sendiri tembok penahan

 Tekanan tanah

 Beban lain yang perlu diperhitungkan, antara lain beban dibelakang


dinding untuk jalan raya dianggap sebesar 1 ton/m2 sebagai
pembebanan kendaraan.

BAB 2-50
b. Kemantapan / stabilitas

 Kontrol stabilitas guling

 Kontrol stabilitas geser

 Kontrol eksentrisitas

 Kontrol terhadap daya dukung tanah pondasi

BAB 2-51

Anda mungkin juga menyukai