Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang MBA BAIQ
Transportasi merupakan salah satu elemen yang dianggap sangat penting bagi suatu
perkotaan. Fasilitas transportasi memiliki potensi untuk mengendalikan arah dan besarnya
perkembangan kota baik dalam sektor perekonomian maupun sektor lainnya. Transportasi
merupakan bagian penting dari suatu kota, dimana kemajuan suatu kota dapat diukur dari
seberapa jauh perkembangan dan kemajuan transportasi yang ada di kota tersebut.
Perkembangan dari transportasi dapat mempengaruhi perkembangan guna lahan pada suatu
kota begitu pun sebaliknya
Kota Malang dengan jumlah penduduk 877.991 jiwa (BPS,2016) merupakan kota
terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Sebagai kota besar, Malang tidak terlepas
dari permasalahan yang berkaitan dengan transportasi. Salah satu permasalahan yang
dijumpai dalam transportasi perkotaan adalah masalah kemacetan. Kemacetan merupakan
kondisi arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana
jalan tersebut yang mengakibatkan kecepatan mendekati atau melebihi 0 km/jam yang
selanjutnya mengakibatkan antrian (MKJI, 1997). Banyak sekali faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kemacetan lalu lintas salah satunya ialah pertambahan volume kendaraan
yang terjadi setiap tahun dan tidak seimbang dengan kapasitas jalan, kesadaran masyarakat
untuk menggunakan moda transportasi umum, kurangnya penyediaan moda transportasi
umum serta kurang terpeliharanya angkutan-angkutan tranportasi umum, masih banyak
masyarakat yang kurang tertib dalam berlalu lintas. Saah satu penyebab permasalahan
kemacetan yang sering terjadi di Kota Malang ialah pertumbuhan kendaraan belum
diimbangi dengan kebijakan transportasi yang sesuai dengan kondisi.
Berdasarkan BPS Kota Malang disebutkan bahwa pada beberapa tahun belakangan
Kota Malang mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan. Selain
pertumbuhan penduduk, Kota Malang juga dipadati dengan pendatang yang cukup banyak.
Kota Malang yang merupakan kota pendidikan memiliki beberapa universitas terkenal
yang cukup diminati oleh siswa atau mahasiswa. Berdasarkan radarMalang pada tahun
2015 3 PTN terkemuka di Kota malang menerima sekitar 21.500 mahasiswa yang
mayoritas berasal dari luar kota. Selain pertumbuhan penduduk serta jumlah migrasi yang
tinggi sebagai penyebab kemacetan, terdapat faktor lainnya yaitu belum tersedianya
fasilitas transportai umum yang berjalan sesuai dengan standar pelayanan dan keamanan
penumpang. Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai beberapa faktor yang menyebabkan
kemacetan cukup parah di Kota Malang.
Salah satu daerah di Kota malang yang terkenal sangat padat ialah Kelurahan
Sumbersari dan daerah-daerah sepanjang Jalan Mt Haryono pada daerah tersebut terdapat
beberapa guna lahan yang memiliki potensi sebagai tarikan cukup besar. Salah satunya
ialah Universitas Brawijaya serta toko-toko yang berada di sepanjang jalan. Kedua faktor
tarikan tersebut dianggap sangat memiliki potensi yang menyebabkan kemacetan pada
jam-jam puncaknya. Tingginya aktivitas pergerakan dan kurangnya sarana transportasi
umum terkhusus pada Jalan Mt. Haryono seringkali menyebabkan penumpukan kendaraan
pada jam-jam puncak. Selain terdapat tarikan yang cukup besar pada sekitar Jalan Mt.
Haryono, jalan tersebut berdasarkan Rencana Induk Jaringan Kota Malang merupakan
jalan arteri sekunder 1. Dalam lingkup Provinsi Jawa Timur Jalan Raya Tlogomas hingga
Jalan Mt. Haryono berfungsi sebagai jalan kolektor primer dengan status jalan provinsi.
Kedua hal tersebut menyebabkan Jalan Mt. haryono memiliki beban pergerakan cukup
besar. Seringkali pada jam-jam puncak seperti jam memulai aktivitas dan jam-jam pulang
mengalami kemacetan.
Kemacetan yang terjadi pada daerah Sumbersari dan Jalan Mt. Haryono serta fungsi
Jl Mt. Haryono menyebabkan kemacetan pada daerah-daerah tersebut. Hal tersebut
menjadi salah satu alasan dan penyebab perlu diadakannya evaluasi kinerja pada jalan
disekitar daerah Sumbersari dan Jalan Mt. Haryono.

1.2 Rumusan Masalah MBA NIDYA


1. Bagaimana kinerja jalan di Jl. MT Haryono?
2. Bagaimana Kinerja persimpangan di Jl. MT Haryono?
3. Bagaimana fasilitas pelengkap jalan yang terdapat di Jl. MT Haryono?

1.3 Tujuan MBA NIDYA


1. Mengetahui Local of service ruas jalan di Jl. MT Haryono
2. Mengetahui kinerja persimpangan Jl. MT Haryono
3. Menganalisis kesesuaian fasilitas pelengkap jalan di Jl. MT Haryono terhadap
standar atau pedoman yang berlaku.

1.4 Ruang Lingkup SATRIA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kinerja Lalu Lintas
A. Kapasitas Jalan FRYZA

C = CO x FCLJ x FCPA x FCHS x FCUK

Keterangan:
C = Kapasitas (smp/jam)
CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCLJ = Faktor penyesuaian kapasitas terkait lebar jalan atau jalur lalu lintas
FCPA = Faktor penyesuaian kapasitas terkait pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCHS = Faktor penyesuaian kapasitas terkait KHS pada jalan berbahu atau berkereb
FCUK = Faktor penyesuaian kapasitas terkait ukuran kota
Analisis perhitungan dan keseragaman dapat disederhanakan dengan mengkonversi
ke satuan kendaraan ringan, yaitu menjadi Satuan Mobil Penumpang (SMP). Satuan Mobil
Penumpang (SMP) adalah satuan arus lalu lintas dimana arus dari berbagai tipe kendaraan
telah diubah menjadi kendaraan ringan dengan menggunakan EMP (MKJI, 1997).
Tabel 2.1 Konversi Satuan Mobil Penumpang
NO Jenis Kendaraan SMP
1 Kendaraan ringan 1
2 Kendaraan berat 1,2
3 Sepeda motor 0,25
4 Kendaraan tidak bermotor 0,8
Sumber: MKJI (1997)
1. Faktor Kapasitas Dasar (Co)
Faktor kapasitas dasar (Co) dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.2 Kapasitas Dasar Tipe Jalan 4/2 TT
Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Tipe Alinemen
(smp/jam/lajur)
Datar 1900
4/2 T Bukit 1850
Gunung 1800
Datar 1700
4/2 TT Bukit 1650
Guung 1600
Sumber: PKJI (2014)
Tabel 2.3 Kapasitas Dasar Tipe Jalan 2/2 TT
Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Tipe Alinemen
(smp/jam/lajur)
Datar 3100
2/2 TT Bukit 3000
Gunung 2900
Sumber: PKJI (2014)
2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCSP)
Faktor penyesuaian kapasitas akibat pemisah arah(FCSP)dapat dilihat pada Tabel
2.4 sebagai berikut:
Tabel 2.4 Penyesuaian Kapasitas akibat pemisah Arah
Pemisah arah SP
50 50 55 45 60 40 65 35 70 30
%-%
Dua lajur (2/2) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
Empat lajur (4/2) 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90
Sumber: MKJI (1997)
3. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)
Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas (FCw) dapat dilihat
pada Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5 Penyesuaian Kapasitas akibat Pengaruh Lebar Jalur Lalu Lintas
Tipe Jalan Lebar Efektif Jalan FCw
Per lajur
3,00 0,91
Empat - lajur Terbagi
3,25 0,96
Enam - lajur Terbagi
3,50 1,00
3,75 1,03
Per lajur
3,00 0,91
Empat lajur tak terbagi 3,25 0,96
3,50 1,00
3,75 1,03
Total kedua arah
5 0,69
6 0,91
7 1,00
Dua lajur Tak terbagi
8 1,08
9 1,15
10 1,21
11 1,27
Sumber: MKJI (1997)
4. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF)
Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) seperti pada
Tabel 2.6 berikut:
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping
Kelas Faktor penyesuaian akibat hambatan samping (FCSF)
Tipe jalan hambatan Lebar bahu efektif (Ws)
jalan 0,5 1,0 1,5 2,0
4/2 D VL 0,96 0,98 1,01 1,03
L 0,94 0,97 1,00 1,02
M 0,92 0,95 0,98 1,00
H 0,88 0,92 0,95 0,98
VH 0,84 0,88 0,92 0,96
2/2 UD VL 0,94 0,96 0,99 1,01
L 0,92 0,94 0,97 1,00
M 0,89 0,92 0,95 0,98
H 0,82 0,86 0,90 0,95
Kelas Faktor penyesuaian akibat hambatan samping (FCSF)
Tipe jalan hambatan Lebar bahu efektif (Ws)
jalan 0,5 1,0 1,5 2,0
VH 0,73 0,79 0,85 0,91
4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,88 0,91 0,94 0,98
H 0,84 0,87 0,91 0,95
VH 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber: MKJI (1997)
5. Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS)
Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS) seperti pada Tabel 2.7 berikut:
Tabel 2.7 Faktor Penyesuain Ukuran Kota
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota,
Ukuran kota (Juta penduduk)
FVUK
< 0,1 0,90
0,1 - 0,5 0,93
0,5 - 1,0 0,95
1,0 - 3,0 1,00
> 3,0 1,03
Sumber: MKJI (1997)
B. Volume Lalu Lintas AYU
Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, Direktorat Jenderal
Bina Marga Direktorat Bina Jalan Kota, volume lalu lintas ruas jalan adalah jumlah atau
banyaknya kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan dalam suatu satuan
waktu tertentu. Volume lalu lintas dua arah pada jam paling sibuk dalam sehari dipakai
sebagai dasar untuk analisa unjuk kerja ruas jalan dan persimpangan yang ada. Untuk
kepentingan analisis, kendaran yang disurvai dikasifikasikan atas:
1. Kendaraan Ringan (Light Vehicle/LV)
Indeks untuk kendaraan bermotor dengan 4 roda (mobil penumpang)
2. Kendaraan berat (Heavy Vehicle/HV)
Indeks untuk kendaraan bermotor dengan roda lebih dari 4 terdiri dari bus dan
truk (truk 2 gandar, truk 3 gandar, dan kombinasi yang sesuai)
3. Sepeda motor (Motor Cycle/MC)
Indeks untuk kendaraan bermotor dengan 2 roda
Data hasil survei jumlah kendaraan tersebut kemudian dikonversikan dalam Satuan
Mobil Penumpang (SMP) yakni kendaraan/jam untuk setiap jenis kendaraan. Hal tersebut
bertujuan untuk menyamakan tingkat penggunaan ruang keseluruhan jenis kendaraan.
Adapun nilai konversi untuk masing-masing klasifikasi kendaraan berdasarkan MKJI 1997
sebagai berikut.
Tabel 2.8 Nilai Konversi Kendaraan dalam SMP
Faktor EMP Untuk Tipe Pendekat
Jenis Kendaraan
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0
Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3
Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
C. Geometrik Jalan RETTA
Geometrik jalan adalah suatu bangunan jalan raya yang menggambarkan tentang
bantuk atau ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang, memanjang,
maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan. Secara filosofis dalam
perencanaan (perancangan) bentuk geometric jalan raya harus ditetapkan sedemikian rupa
sehingga jalan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lali lintas sesuai dengan
fungsinya. Menurut SNI 03-6967-2003 tentang persyaratan umum system jaringan dan
geometrik jalan perumahan geometrik jalan dibedakan menjadi 16 macam yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Akses Persil
Merupakan jalan masuk ke setiap persil atau ke setiap rumah.
2. Akses Jalan
Merupakan pertemuan jalan yang mempunyai tingkatan hierarki yang lebih
rendah dengan jalan yang lebih tinggi.
3. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA)
Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar tinggi dan
kedalaman ruang batas tertentu. Ruang tersebut diperuntukan bagi median,
perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng,
ambang pengaman, timbunan dan galihan, gorong-gorong, pelengkap jalan dan
bangunan pelengkap jalan dan bangunan pelengkap lainnya.
4. Daerah Milik Jalan (DAMIJA)
Merupakan ruang sepanjang jalan dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang
dikuasai oleh Pembina jalan. DAMIJA diperuntukkan bagi daerah manfaat
jalan (DAMAJA) dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu-lintas
dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan.
5. Daerah Pengawasan Jalan (DAWASJA)
Merupakan ruang sepanjang jalan di luar daerah milik jalan (DAMIJA) yang
dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dan diperuntukkan bagi pandangan
bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan.
6. Badan Jalan
Merupakan bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu-lintas, median dan
bahu jalan.
7. Jalur Lalu-lintas
Merupakan bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk
lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya
diperkeras.
8. Lajur
Merupakan bagian dari jalur lalu-lintas yang memanjang dibatasi oleh marka
lajur jalan, yang memiliki lebar cukup untuk kendaraan bermotor sesuai
rencana (kendaraan rencana).
9. Bahu Jalan
Merupakan bagian dari jalan yang terletak pada tepi kiri dan atau kanan kalan
dan berfungsi sebagai jalur lalulintas, tempat berhenti sementara, ruang bebas
samping, penyangga kestabilan badan jalan, jalur sepedah (bahu diperkeras).
10. Trotoar
Merupakan bagian jalan atau bahu jalan yang terletak di tepi kiri/ jalan,
berfungsi sebagai jalur pejalan kaki.
11. Median
Merupakan bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur
lalu-lintas yang berlawanan arah.
12. Jarak Pandang
Merupakan jarak di sepanjang tengah-tengah suatu jalur dari mata pengemudi
ke suatu titik dimuka pada garis yang sama yang dapat dilihat oleh pengemudi.
13. Jarak Pandang Henti
Merupakan jarak pandang ke depan yang diperuntukan untuk kendaraan
berhenti dengan aman, dengan pengemudi yang cukup mahir dan keadaaan
waspada.
14. Volume Lalu Lintas
Merupakaan jumlah kendaraan yang melewati suatu penampang tertentu pada
suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu.
15. Volume Lalu-lintas Harian Rencana
Merupakan taksiran atau prakiraan volume lalu-lintas harian untuk masa yang
akan dating pada bagian jalan tertentu.
16. Kecepatan Rencana
Kecepatan maksimum kendaraan yang aman yang dapat dipertahankan
sepanjang bagian jalan tertentu bila kondisi sedemikian baik sehingga
ketentuan desain jalan merupakan faktor yang menetukan.
D. Fasilitas Pelengkap Jalan NADYA
Fasilitas pelengkap jalan bagi pejalan kaki merupakan seluruh bangunan pelengkap
jalan yang disediakan untuk pengguna jalan guna memberikan pelayanan demi kelancaran,
keamanan, kenyamanan serta keselamatan bagi pengguna jalan. Fasilitas-fasilitas
pelengkap jalan berupa marka jalan, bahu jalan, trotoar, rambu lalu lintas, dan lain
sebagainya (Silvia Sukirman, 1999). Jalur pejalan kaki adalah jalur yang disediakan untuk
pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat
meningkatkan kelancaran, keamanan, kenyamanan dan keselamatan dari pejalan kaki.
Lintasan yang diperuntukkan untuk pejalan kaki biasanya berupa Trotoar, Penyeberangan
zebra dan lain sebagainya.
1. Fasilitas Pejalan Kaki bagi Pejalan Kaki
Fasilitas pejalan kaki dapat dipasang dengan kriteria sebagai berikut:
a. Fasilitas pejalan kaki harus dipasang pada lokasi dimana pemasangan fasilitas
tersebut memberikan manfaat yang maksimal, baik dari keamanan,
kenyamanan ataupun kelancaran perjalanan bagi pemakainya.
b. Tingkat kepadatan pejalan kaki, atau konflik dengan kendaraan dan jumlah
kecelakaan harus digunakan sebagai faktor dasar dalam pemilihan fasilitas
pejalan kaki yang memadai.
c. Pada lokasi/kawasan yang terdapat sarana prasarana umum.
d. Fasilitas pejalan kaki dapat ditempatkan disepanjang jalan atau pada suatu
kawasan yang akan mengakibatkan pertumbuhan pejalan kaki dan biasanya
diikuti oleh peningkatan arus lalu lintas serta memenuhi syarat/ketentuan untuk
pembuatan fasilitas tersebut. Tempat-tempat tersebut antara lain daerah-daerah
industri, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, sekolah, terminal bus dan
perumahan.
e. Fasilitas pejalan kaki yang formal terdiri dari beberapa jenis sebagai berikut:
1) Fasilitas pejalan kaki, yang terdiri dari trotoar, penyeberangan (jembatan
penyeberangan dan zebra cross).
2) Pelengkap jalur pejalan kaki, yang terdiri dari lapak tunggu, marka jalan,
rambu, lampu lalu lintas dan bangunan pelengkap.
2. Jalur Pejalan Kaki
a. Trotoar
Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang
khusus dipergunakan untuk pejalan kaki (Pedestrian). Untuk keamanan pejalan
kaki, maka trotoar dibuat terpisah dari jalur lalu lintas. Trotoar dapat dipasang
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Trotoar hendaknya dipasang pada sisi luar bahu jalan atau sisi luar jalur lalu
lintas. Trotoar hendaknya dibuat sejajar dengan jalan, akan tetapi trotoar
tidak dapat sejajar dengan jalan bila keadaan topografi atau keadaan
setempat tidak memungkinkan.
2) Trotoar hendaknya dipasang pada sisi dalam saluran drainase terbuka atau di
atas saluran drainase yang telah ditutup dengan plat beton yang memenuhi
syarat.
3) Trotoar pada pemberhentian bus harus dipasang sejajar/berdampingan
dengan jalur bus, trotoar dapat dipasang di depan atau di belakang halte.
Tabel 2.9 Lebar Minimal Trotoar
No Lokasi Trotoar Lebar Minimal Trotoar (m)
1 Daerah Perkotaan / Kaki Lima 4
2 Wilayah Perkantoran Utama 3
3 Wilayah Industri
a. Jalan Primer 3
b. Akses Jalan 2
4. Wilayah Permukiman
a. Jalan Primer 2,75
b. Akses Jalan 2
Sumber: Dirjen Perhubungan Darat, 1999
Tabel 2.10 Lebar Trotoar Menurut Besarnya Pejalan Kaki
No Jumlah Pejalan Kaki/detik Lebar Trotoar(m)
1 6 orang 2,3-5,0
2 3 orang 1,5-2,3
3 2 orang 0,9-1,5
4 1 orang 0,6-0,9
Sumber: Dirjen Perhubungan Darat, 1999
3. Zebra Cross
Zebra cross dipasang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Zebra cross dipasang pada jalan dengan arus lalu lintas, kecepatan lalu lintas
dan arus pejalan kaki sedang dan atau tinggi.
b. Lokasi zebra cross harus mempunyai jarak pandang yang cukup, agar tundaan
kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan fasilitas penyeberangan masih
dalam batas aman.
4. Rambu
Rambu adalah salah satu fasilitas lalu lintas yang berfungsi memberikan informasi
kepada pengguna jalan dalam bentuk tanda/lambang dan atau tulisan yang bersifat
perintah, larangan, peringatan, anjuran dan petunjuk. Penempatan rambu
dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat dengan jelas dan tidak
merintangi pejalan kaki. Rambu ditempatkan di sebelah kiri menurut arah lalu
lintas, diluar jarak tertentu dari tepi paling luar jalur pejalan kaki. Pemasangan
rambu harus bersifat tetap dan kokoh serta terlihat jelas pada malam hari. Rambu
lalu lintas mengandung berbagai fungsi yang masing-masing memiliki
konsekuensi hukum sebagai berikut :
a. Rambu Larangan yaitu bentuk pengaturan yang dengan tegas melarang
pengguna jalan untuk melakukan hal-hal tertentu, tidak ada pilihan lain kecuali
tidak boleh dilakukan. Biasanya berbentuk lingkaran dengan warna dasar putih
dengan lambang atau tulisan berwarna hitam atau merah.
b. Rambu Peringatan yaitu rambu yang menunjukkan kemungkinan menunjukkan
adanya bahaya di jalan yang akan dilalui. Berbentuk bujur sangkar berwarna
dasar kuning dengan lambang atau tulisan berwarna hitam.
c. Rambu Anjuran yaitu bentuk pengaturan yang bersifat menghimbau boleh
dilakukan boleh pula tidak,
d. Rambu Petunjuk yaitu rambu untuk memberikan petunjuk mengenai jurusan,
keadaan jalan situasi keberadaan fasilitas, kota berikutnya dan lain-lain.
Berbentuk persegi panjang.
5. Marka
Marka jalan adalah tanda berupa garis, gambar, anak panah dan lambang pada
permukaan jalan yang berfungsi mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi
daerah kepentingan lalu lintas (Highway Engneering, Fourt Edition, 1982). Marka
jalan berfungsi untuk mengatur lalu lintas atau memperingatkan atau menuntun
pemakai jalan dalam berlalu lintas di jalan.
a. Marka membujur berupa garis utuh berfungsi sebagai larangan bagi kendaraan
melintasi garis tersebut.
b. Marka membujur apabila berada ditepi jalan hanya berfungsi sebagai
peringatan tanda tepi jalur lalu lintas.
c. Marka membujur berupa garis putus-putus merupakan pembatas lajur yang
berfungsi mengarahkan lalu lintas dan atau memperingatkan akan ada Marka
Membujur yang berupa garis utuh didepan.
d. Marka membujur berupa garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan garis
putus-putus menyatakan bahwa kendaraan yang berada pada sisi garis utuh
dilarang melintasi garis ganda tersebut, sedangkan kendaraan yang berada pada
sisi garis putus-putus dapat melintasi garis ganda tersebut.
e. Marka membujur berupa garis ganda yang terdiri dari dua garis utuh
menyatakan bahwa kendaraan dilarang melintasi garis ganda tersebut
6. APIL
Alat pemberi isyarat lalu lintas berfungsi untuk mengatur kendaraan dan atau
pejalan kaki. Alat pemberi isyarat lalu lintas, terdiri dari:
a. lampu tiga warna, untuk mengatur kendaraan;
b. lampu dua warna, untuk mengatur kendaraan dan/atau pejalan kaki;
c. lampu satu warna, untuk memberikan peringatan bahaya kepada pemakai jalan.
Alat pemberi isyarat memiliki susunan seperti berikut:
1) cahaya berwarna merah;
2) cahaya berwarna kuning;
3) cahaya berwarna hijau.
Alat pemberi isyarat memiliki susunan seperti berikut:
1) cahaya berwarna merah;
2) cahaya berwarna hijau.
E. Bangkitan dan Tarikan WELLA
Bangkitan lalu-lintas adalah banyaknya lalu-lintas yang ditimbulkan oleh suatu zone
atau daerah per satuan waktu. Jumlah lalu-lintas bergantung pada kegiatan kota, karena
penyebab lalu-lintas adalah adanya kebutuhan manusia untuk melakukan kegiatan
berhubungan dan mengangkut baran kebutuhannya (Warpani, 1990: 107). Ada 10 faktor
yang menjadi penentu bangkitan lalu-lintas (Warpani, 1990) dan semuanya sangat
mempengaruhi volume lalu-lintas serta penggunaan sarana perangkutan yang tersedia.
1. Maksud perjalanan
2. Penghasilan keluarga
3. Pemilikan kendaraan
4. Guna lahan di tempat asal
5. Jarak dari penduduk dan kepemilikan kendaraan
6. Jauh perjalanan
7. Moda perjalanan
8. Penggunaan kendaraan
9. Tata guna lahan di tempat tujuan
10. Waktu
Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan
atau zona tarikan pergerakan (Tamin, Perencanaan dan Permodelan Transportasi, 2000).
Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tat guna lahan yang menghasilkan arus lalu lintas.
Hasil dari perhitungan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan
barang per satuan waktu.

2.2 Kinerja Persimpangan


A. Persimpangan NADINE
Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua system jalan.
Persimpangan adalah daerah umum dimana dua jalan atau lebih bergabung
atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan lalu lintas
didalamnya (AASHTO, 2001, C. Jotin Khisty, B. Kent Lall, 2005) dalam Mulyasri Dkk,
2016. Jenis Persimpangan dapat dibagi menjadi 2 sebagai berikut (Morlok, 1991) :
1. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection)
Yaitu pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang mempunyai
elevasi yang sama. Desain persimpangan ini berbentuk huruf T, huruf Y,
persimpangan empat kaki, serta persimpangan berkaki banyak.
2. Persimpangan tak sebidang (Grade Separated Intersection)
Yaitu suatu persimpangan dimana jalan yang satu dengan jalan yang lainnya tidak
saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara keduanya
Persimpangan juga memiliki beberapa peraturan. Pengaturan persimpangan
berdasarkan segi pandang untuk kontrol kendaraan dapat dibedakan menjadi dua sebagai
berikut : (Morlok,1991)
1. Persimpangan tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang harus
memutuskan apakah aman untuk memasuki persimpangan itu.
2. Persimpangan dengan sinyal, dimana persimpangan itu diatur sesuai sistem
dengan tiga aspek lampu yaitu merah, kuning, dan hijau.
Yang dijadikan kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus dipasang alat
pemberi isyarat lalu lintas menurut Ditjen. Perhubungan Darat, 1998 adalah:
1. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata rata diatas 750
kendaraan/jam, terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
2. Waktu tunggu atau hambatan rata rata kendaraan di persimpangan melampaui
30 detik.
3. Persimpangan digunakan oleh rata rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam terjadi
secara kontinu 8 jam sehari.
4. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
5. Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu lintas
terpadu (Area Traffic Control / ATC), sehingga setiap persimpangan yang
termasuk di dalam daerah yang bersangkutan harus dikendalikan dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas.
Syarat syarat yang disebut di atas tidak baku dan dapat disesuaikan dengan situasi
dan kondisi setempat. Persimpangan bersinyal umumnya dipergunakan dengan beberapa
alasan antara lain:
1. Menghindari kemacetan simpang, mengurangi jumlah kecelakaan akibat adanya
konflik arus lalu lintas yang saling berlawanan, sehingga terjamin bahwa suatu
kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu lintas jam
puncak
2. Untuk memberi kesempatan kepada para pejalan kaki untuk dengan aman dapat
menyebrang.
Gambar 2.1 Pergerakan Lalu Lintas pada Persimpangan
Karakteristik persimpangan tak bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai berikut:
1. Pada umumnya digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman
untuk persimpangan antara jalan setempat yang arus lalu lintasnya rendah.
2. Untuk melakukan perbaikan kecil pada geometrik simpang agar dapat
mempertahankan tingkat kinerja lalu lintas yang diinginkan.
B. Volume Persimpangan MBA BORA
C. Karakteristik Geometrik Persimpangan MBA SHELY
Menurut Abubakar, dkk., (1995), geometrik persimpangan harus dirancang sehingga
mengarahkan pergerakan (manuver) lalu lintas ke dalam lintasan yang paling aman dan
paling efisien, dan dapat memberikan waktu yang cukup bagi para pengemudi untuk
membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dalam mengendalikan kendaraannya.
Rancangan geometrik persimpangan harus dapat :
1. memberikan lintasan yang termudah bagi pergerakan-pergerakan lalu lintas yang
terbesar,
2. didesain sedemikian rupa sehingga kendaraan dapat mengikuti lintasanlintasannya
secara alamiah. Radius-radius yang kecil dan lengkung kurvakurva yang berbalik
harus dihindarkan,
3. menjamin bahwa pengemudi dapat melihat secara mudah dan cepat terhadap
lintasan yang harus diikutinya dan dapat mengantisipasi secara dini kemungkinan
gerakan yang berpotongan (crossing), bergabung (merging), dan berpencar
(diverging), kaki persimpangan yang jalannya menanjak khusus harus dihindari.
Menurut Hariyanto (2004), elemen-elemen geometrik suatu persimpangan secara
umum memberikan pengaruh terhadap operasional lalu lintas. Elemenelemen tersebut
diantaranya adalah alinemen dan propel, lebar dan jumlah lajur serta elemen-elemen
lainnya yang berpengaruh terhadap perencanaan atau persimpangan.
Menurut Sukirman (1984), karakteristik geometrik jalan merupakan gambaran suatu
simpang dengan informasi mengenai kereb, jalur, lebar bahu dan median. Penjelasan
tentang karakteristik geometrik adalah sebagai berikut :
1. Jalur dan lajur lalu lintas
Jalur lalu lintas (traveled way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang
diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa
lajur (line) kendaraan yaitu bagian dari lajur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan untuk dilalui oleh suatu rangkaian kendaraan beroda empat atau
lebih dalam suatu arah. Lebar lalu lintas merupakan bagian yang paling
menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan.
2. Bahu jalan
Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan lalu lintas yang
berfungsi sebagai :
a. ruangan tempat berhenti sementara kendaraan,
b. ruangan untuk menghindarkan diri dari saat-saat darurat untuk mencegah
kecelakaan,
c. ruangan pembantu pada saat mengadakan perbaikan atau pemeliharaan jalan,
d. memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.
3. Trotoar dan kereb
Trotoar (side walk) adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu
lintas yang khusus dipergunakan untuk pejalan kaki atau pedestrian. Kereb (kerb)
adalah peninggian tepi perkerasan dan bahu jalan yang terutama dimaksudkan
untuk keperluan drainasi dan mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan.
4. Median jalan
Fungsi dari median jalan adalah sebagai berikut :
a. menyediakan garis netral yang cukup lebar bagi pengemudi dalam mengontrol
kendaraan pada saat-saat darurat,
b. menyediakan jarak yang cukup untuk mengurangi kesilauan terhadap lampu
besar dari kendaraan yang berlawanan arah,
c. menambah rasa kelegaan, kenyamanan dan keindahan bagi setiap pengemudi,
d. mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah lalu lintas.
D. Tipe Pendekat MBA BUNYA
Apabila dua gerakan lalu lintas pas suatu pendekat diberangkatkan pada fase yang
berbeda, seperti lalu lintas lurus dan lalu lintas belok kanan dengan lajur terpisah, maka
harus dicatat pada baris terpisah, dan diperlakukan sebagai pendekat-pendekat terpisah
dalam perhitungan selanjutnya. Jika suatu pendekat mempunyai nyala hijau pada dua fase,
maka satu baris sebaiknya digunakan untuk mencatat data masing-masing fase, dan baris
satunya untuk tambahan memasukkan hasil gabungan untuk pedekat tersebut. Berikut
merupakan tabel penentuan tipe pendekat, sebagai berikut:
Tabel 2.11 Penentuan Tipe Pendekat
Tipe
Keterangan Contoh Pola Pendekatan
Pendekat
Telindung P Arus berangkat Jalan Satu Arah Jalan Satu Arah Simpang T
tanpa adanya
konflik dengan
lalu lintas dari
arah yang
berlawanan
Jalan dua arah, dengan belok kanan terbatas

Jalan dua arah, fase sinyal terpisah untuk masing-masing arahnya

Terlawan O Arus Jalan dua arah, arus berangkat dari arah yang berlawanan dalam fase
Berangkat yang sama. Semua belok kanan tidak terbatas
dengan adanya
konflik yang
lalu lintasnya
dari arah
berlawanan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
F. Fase Sinyal NADYA
Fase adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk kombinasi pergerakan
secara bersamaan. Berangkatnya arus lintas selama waktu hijau sangat dipengaruhi
oleh rencana fase yang memperhatikan gerakan kanan. Jika arus belok kanan dari suatu
pendekat yang ditinjau dan atau dari arah berlawanan terjadi dalam fase yang sama dengan
arus berangkat lurus dan belok kiri dari pendekat tersebut maka arus berangkat tersebut dianggap
terlawan. Jika tidak ada arus belok kanan dari pendekat-pendekat tersebut atau jikaarus belok kanan
diberangkatkan ketika lalu lintas lurus dari arah berlawanan sedang menghadapi merah,
maka arus berangkat tersebut dianggap sebagai arus terlindung.
G. Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang TITAN
H. Arus Jenuh Dasar RETTA
Arus jenuh merupakan besarnya keberangkatan antrian di dalam suatu pendekat
selama kondisi yang ditentukan (smp/hijau). Tingginya nilai arus jenuh pada sebuah kaki
simpang bersinyal menyebabkan penurunan kualitas pelayanan dari simpang bersinyal.
Arus jenuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lebar effektif pendekat, kondisi
dan karakteristik lalu lintas, hambatan samping, kelandaian, karakteristik kendaraan,
ukuran kota. Metode yang digunakan dalam perhitungan arus jenuh adalah metode time
slice dan metode MKJI 1997. Rumus yang digunakan dalam metode MKJI untuk
menghitung nilai arus jenuh maksimum adalah So = 600 x We, dengan keterangan We
merupakan lebar efektif pada suatu jalan.
I. Penentuan Waktu Sinyal NADINE
Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali waktu tetap dilakukan
berdasarkan metoda Webster (1966) untuk meminimumkan tundaan total pada suatu
simpang. Pertama-tama ditentukan waktu siklus (c), selanjutnya waktu hijau (g i) pada
masing-masing fase (i).
1. Waktu Siklus

c = (1.5 x LTI + 5) / (1 - FRcrit)


Keterangan :
C = Waktu siklus sinyal (detik)
LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik) FR =
Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu
fase sinyal
E(FRcrir) = Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus
Tersebut.
Jika waktu siklus tersebut lebih kecil dari nilai ini maka ada rasiko serius akan
terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang terlalu panjang
akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. Jika nilai E(FRcrit)
mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut adalah lewat jenuh dan rumus
tersebut akan menghasilkan nilai waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif.
2. Waktu Hijau

gi = (c LTI) x FRcrit, / L(FRcrit)

Keterangan :
gi = Tampilan waktu hijau pada fase i (detik)
Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumya lebih peka terhadap kesalahan-
kesalahan dalam pembagian waktu hijau daripada terhadap terlalu panjang waktu
siklus. Penyimpangan kecilpun dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dari rumus
2.13 dan 2.14 di atas menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada
simpang tersebut
J. Kapasitas Derajat Kejenuhan MBA BAIQ
Derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas
(smp/jam). Nilai DS menunjukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah
kapasitas atau tidak. Persamaannya dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut :

DS = /C

Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
C = Kapasitas (smp/jam)
Q = Arus total sesungguhnya(smp/jam)
1. Arus Jenuh
Menurut MKJI 1977 yang dimaksud dengan arus jenuh nyata adalah hasil perkalian
dari arus jenuh dasar (So) untuk keadaan ideal dengan faktor penyesuaian (F) untuk
penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dalam satuan smp/jam hijau. Untuk
menghitung laju arus jenuh (s) untuk setiap kelompok lajur dihitung dengan rumus:

s =
so.N.fw.fHV.fg.fp.fbb.fLU.fa.fLT.fRT.fLpb.
Dengan:
So = laju arus jenuh dasar per lajur, biasanya 1900 (mobil/jam hijau/lajur)
N = banyaknya lajur dalam kelompok lajur tersebut
Fw = faktor penyesuaian untuk lebar lajur
fHV = faktor penyesuaian kendaraan untuk berat dalam aliran lalu lintas
fg = faktor penyesuaian untuk jelang masing-masing
fp = faktor penyesuaian untuk keberadaan lajur parkir yang berdampingan
dengan kelompok lajur tersebut dan kegiatan parkir pada lajur itu
fbb = faktor penyesuaian untuk efek rintangan bus lokal yang berhenti di dalam
daerah persimpangan tersebut
fLU = faktor penyesuaian untuk penggunaan lajur
fa = faktor penyesuaian untuk jenis kawasan
fLT = faktor penyesuaian untuk belok kiri dalam kelompok lajur tersebut
fRT = faktor penyesuaian untuk belok kanan dalam kelompok lajur tersebut
fLpb = faktor penyesuaian pejalana kaki-sepeda untuk pergerakan belok kiri
fRpb = faktor penyesuaian pejalana kaki-sepeda untuk pergerakan belok kanan
K. Panjang Antrian SATRIA
L. Angka Henti AYU
Angka henti (NS) adalah jumlah rata-rata berhenti per kendaraan (termasuk berhenti
terulang dalam antrian) sebelum melewati simpang. Adapun angka henti (NS) dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

NQ
NS=0,9 x x 3600
Q xc

Keterangan:
c : waktu siklus (det)
Q : arus lalu lintas (smp/det)
M. Rasio Kendaraan Terhenti WELLA
Rasio dari arus lalu lintas yang terpaksa berhenti sebelum melewati garis henti akibat
pengendalian APILL.
N. Tundaan TITAN
2.3 Jalur Pejalan Kaki FRYZA
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi
dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang
bersangkutan.Menurut PP No 19 Tahun 2011 Trotoar harus dirancang dengan
memperhatikan:
1. aksesibilitas bagi penyandang cacat;
2. adanya kebutuhan untuk pejalan kaki;
3. unsur estetika yang memadai.
4. trotoar harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dalam
pemeliharaan.
5. bagian atas trotoar harus lebih tinggi dari jalur lalu lintas.
6. trotoar ditempatkan dalam Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) atau dalam Ruang
Milik Jalan (Rumija), tergantung dari ruang yang tersedia.
7. pada akses ke persil, ketinggian/kelandaian trotoar bagian tengah tidak boleh
diturunkan. Kelandaian boleh dilakukan kearah melintang trotoar searahkendaraan
masuk pada awal akses atau akhir akses.
Alur pejalan kaki ini merupakan ruang dari koridor sisi jalan yang secara khusus
digunakan untuk area pejalan kaki. Ruas ini harus dibebaskan dari seluruh rintangan,
berbagai objek yang menonjol dan penghalang vertikal paling sedikit 2,5 meter dari
permukaan jalur pejalan kaki yang berbahaya bagi pejalan kaki dan bagi yang memiliki
keterbatasan indera penglihatan. Lebar jalur pejalan kaki bergantung pada intensitas
penggunaannya untuk perhitungan lebar efektifnya. Jalur pejalan kaki ini setidaknya
berukuran lebar 1,8 hingga 3,0 meter. Lebar minimum untuk kawasan pertokoan dan
perdagangan yaitu 2 meter. Kondisi ini dibuat untuk memberikan kesempatan bagi para
pejalan kaki yang berjalan berdampingan atau bagi pejalan kaki yang berjalan berlawanan
arah satu sama lain. Jalur yang digunakan untuk pejalan kaki di jalan lokal dan jalan
kolektor selebar 1,2 meter, sedangkan jalan arteri selebar 1,8 meter. Ruang tambahan
diperlukan untuk tempat pemberhentian dan halte bus dengan luas 1,5 meter X 2,4 meter.
Jalur pejalan kaki memiliki perbedaan ketinggian dengan jalur kendaraan bermotor.
Perbedaan tinggi maksimal antara jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan bermotor
adalah 20 centimeter.
Tabel 2.12 Lebar Minimum Trotoar Menurut Penggunaan Lahan Sekitarnya
Penggunaan lahan sekitarnya Lebar minimum (m)
perumahan 1,5
Perkantoran 2,0
Industri 2,0
Sekolah 2,0
Terminal 2,0
Pertokoan / perbelanjaan 2,0
Jembatan / terowongan 1,0
Sumber: petunjuk perencanaan trotoar N.007/T/BNKT/1990
BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Karakteristik Fisik
A Karakteristik Geografis MAS AZRY
O. Karakteristik Geologis BILLY
P. Karakteristik Klimatologis FRYZA
Q. Karakteristik Hidrologi RETTA
4.1 Penggunaan Lahan MBA SHELY
4.2 Karaktersitik Kependudukan BILLY
4.3 Karakteristik Perekonomian SATRIA
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL SURVEI
4.1 Kinerja Lalu Lintas
A Volume Lalu Lintas AYU
R. Analisis Kinerja Jalan NADINE
S. Fasilitas Pelengkap Jalan NADYA
T. Dimensi Jalan TITAN
U. Parkir MAS AZRY
V. Bangkitan dan Tarikan WELLA
4.2 Kinerja Persimpangan
A Volume Lalu Lintas Persimpangan MBA BORA
W. Geometrik Persimpangan MBA BAIQ
X. Setting Sinyal FRYZA
Y. Arus Jenuh RETTA
Z. Kinerja Persimpangan MBA BUNY
4.3 Kinerja Jalur Pejalan Kaki
A Karakteristik Jalur Pejalan kaki MBA NIDYA
Pedestrian berasal dari bahasa Yunani yaitu Pedos yang berarti kaki. Pedestrian
dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki (Iswanto, 2006).
Selanjutnya, Erwin (2008) mendefinisikan pedestrian way sebagai jalur bagi pedestrian
(pejalan kaki) yang digunakan sebagai media transportasi. Sedangkan menurut Iswanto
(2006), jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki
melakukan aktivitas dan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat
meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki.
Berdasarkan karakteristik dan fungsinya, jalur pedestrian dapat dibagi dalam
pengelompokkan sebagai berikut (Iswanto, 2006):
1. Jalur pedestrian, yaitu jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kendaraan
umum, terletak berdekatan, lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan
sejajar dengan lalu lintas kendaraan. Jalur ini berfungsi untuk memberikan
pelayanan kepada pejalan kaki dalam meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan
kelancaran.
2. Jalur penyebrangan, yaitu jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur
menyebrang untuk mengatasi dan menghindari terjadinya tabrakan dengan
pengguna jalan lain.
3. Plazza, yaitu jalur pejalan kaki yang bersifat rekreasi sehingga pejalan kaki dapat
berhenti dan beristirahat pada kursi-kursi yang disediakan.
4. Pedestrian mall, yaitu jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas,
misalnya berjualan maupun berjalan-jalan melihat pertokoan.
Sedangkan menurut Priyanto (2004), fungsi jalur pedestrian dapat dikelompokkan
menjadi 3 macam, antara lain:
1. Full-Pedestrian Way, yaitu diciptakan dengan cara menutup ruas jalan yang
semula digunakan oleh lalu lintas kendaraan bermotor. Kualitas ruas jalan
ditingkatkan dengan pemasangan pelapis jalan, lampu, lanskap, dan street
furniture. Pejalan kaki amat dprioritaskan dibanding kendaraan bermotor karena
area ini merupakan area bebas kendaran bermotor.
2. Transit-Pedestrian Way, yaitu dilakukan dengan cara membebaskan area tersebut
dai semua kendaraan kecuali trasnportasi publik dan kepentingan darurat. Ruang
untuk pejalan kaki disediakan melalui pelebaran jalur yang juga dilengkapi
prasarana yang menunjang kenyamanan.
3. Semi-Pedestrian Way, yaitu diupayakan dengan mengurangi volume lalu lintas
kendaraan. Selain itu, permukaan jalur kendaraan disamakan dengan jalur pejalan
kaki. Perencanaan ini berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki dengan aturan
pengurangan kecepatan bagi kendaraan bermotor yang melintas.
Menurut Iswanto (2006), elemen-elemen pendukung yang harus terdapat pada jalur
pedestrian, antara lain:
1. Lampu pejalan kaki
a. Tinggi 4-6 meter;
b. Jarak penempatan 10-15 meter;
c. Mengakomodasi tempat menggantung;
2. Lampu penerangan jalan
a. Penerangan yang merata;
b. Pemilihan jenis lampu berdasarkan efektifitas.
3. Halte bus
a. Terlindung dari perubahan cuaca, misalnya panas dan hujan;
b. Ditempatkan pada tepi jalan utama yang padat lalu lintas;
c. Panjang halte minimum sama dengan panjang bus kota sehingga
memungkinkan penumpang dapat naik dari pintu depan maupun belakang;
4. Tanda petunjuk
a. Untuk mengefisiensikan dan memudahkan membaca, maka tanda petunjuk
disatukan dengan lampu penerangan;
b. Terletak di tempat terbuka;
c. Memuat informasi tentang lokasi dan fasilitas;
d. Tidak tertutupi oleh pepohonan.
5. Telepon Umum
a. Memberikan ciri sebagai fasilitas komunikasi;
b. Memberikan kenyamanan bagi pengguna;
c. Mudah terlihat dan terlindung dari cuaca;
d. Ditempatkan pada tepi atau tengah jalur pedestrian;
e. Tiap telepon umum memiliki lebar kurang lebih 1 meter.
6. Tempat sampah
a. Tempat sampah diletakkan dalam jarak tertentu misalnya tiap 15 -20 meter;
b. Mudah dalam sistem pengangkutan;
c. Jenis tempat sampah dibedakan untuk sampah kering dan basah.
7. Vegetasi
a. Berfungsi sebagai peneduh;
b. Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1.5 meter), percabangan 2 meter di
atas tanah, bentuk percabangan tidak merunduk;
c. Ditanam secara berbaris;
d. Tidak hanya mengandung nilai estetika, tetapi juga pengendali iklim.
Adapun kriteria yang harus dimiliki oleh suatu jalur pedestrian adalah
(Tisnaningtyas, 2002):
1. Kenyamanan
Uterman dalam Tisnaningtyas (2002) menjelaskan bahwa kenyamanan
dipengaruhi oleh jarak tempuh. Weisman dalam Tisnaningtyas (2002)
mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan lingkungan yang memberi
rasa yang sesuai kepada panca indera disertai dengan fasilitas yang sesuai dengan
kegiatan. Tingkat kenyamanan pedestrian dipengaruhi oleh kapasitas jalur
pedestrian yang meliputi jumlah pedestrian per satuan waktu, penghentian, lebar
jalur, ruang pejalan kaki, volume, tingkat pelayanan, harapan pemakai dan jarak
berjalan. Menurut Utermann dalam Indraswara (2007), kenyamanan seseorang
untuk berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas. Jarak
tempuh perjalanan kaki di Indonesia hanya berkisar kurang lebih 400 meter dan
kenyamanan bias diperoleh apabila jarak tempuh kurang dari 300 meter.
2. Visibilitas
Wiesman dalam Tisnaningtyas (2002) mendefinisikan visibilitas sebagai jarak
penglihatan dimana objek yang diamati dapat terlihat jelas. Jarak penglihatan
tersebut tidak hanya berkaitan dengan jarak yang dirasakan secara dimensional
atau geometris saja, tetapi juga menyangkut persepsi visual dimana seseorang
merasa tidak adanya halangan untuk mencapai objek yang dituju.
3. Waktu
Menurut Utermann dalam Indraswara (2007), berjalan kaki pada waktu-waktu
tertentu akan mempengaruhi jarak berjalan yang mempu ditempuh.
4. Ketersediaan transportasi publik
Tranportasi publik sebagai moda oenghantar sebelum dan sesudah berjalan kaki
sangat mempengaruhi jarak tempu berjalan kaki (Indraswara, 2007). Ketersediaan
transportasi publik yang memadai akan mendorong orang berjalan kaki lebih jauh.
5. Pola tata guna lahan
Indraswara (2007) mengungkapkan bahwa perjalanan di daerah dengan
penggunaan lahan mixed use seperti di pusat kota akan lebih cepat dilakukan
dengan berjalan kaki dibandingkan dengan kendaraan bermotor.
AA. Volume Jalur Pejalan Kaki MBA SHELY
AB. Kecepatan Jalur Pejalan Kaki MAS AZRY
AC. Perhitungan Tingkat Pelayanan Pejalan Kaki (pedestrian level of service)
BILLY
4.4 Kinerja Angkutan Umum
A Gambaran Umum Angkutan Kota di Malang SATRIA
AD. Jumlah Armada Angkutan .... ( Angkutan yg melewati wilayah studi ) NADYA
AE. Rute Angkutan
1. Rute Penyimpangan Trayek Pergi AYU
2. Rute Penyimpangan Trayek PulangNADINE
3. Terminal TITAN
AF. Kinerja Operasional Angkutan Trayek WELLA
AG. Waktu Tempuh Angkutan Tiap Ruas Jalan MBA BORA
AH. Headway ( Waktu Antara ) MBA NIDYA
Headway adalah jarak antar kendaraan pasa jalur suatu jalan yang sama. Semakin
kecil nilai headway menunjukan frekuensi kendaraan semakin tinggi sehingga akan
menyebabkan waktu tunggu yang rendah, ini merupakan kondisi yang menguntungkan
bagi penumpang, namun disisi lain akan mengakibatkan gangguan lalu lintas. Rumus
untuk mengetahui besaran nilai headway adalah sebagai berikut:
60 x C x LF
H=
P

Dimana :
H : Headway
P : Jumlah penumpang per jam
C : Kapasitas
LF : Faktor muat
AI. Waktu Tundaan MBA BUNY
AJ. Waktu Perjalanan BILLY

BAB V
KESIMPULAN (BERSAMA)
DAFTAR PUSTAKA
BAPPEDA. Rencana Induk Jaringan Jalan Kota Malang. 2013. Malang. Diakses: 9 Mei
2017.
Badan Pusat Statistik. Kota Malang Dalam Angka. 2016. Malang. Diakses: 9 Mei 2017.
Surya Malang. Jalan Macet dan Lalu Lintas Kacau di Depan Mal Dinoyo. Web:
http://suryamalang.tribunnews.com/2015/06/08/jalan-macet-dan-lalu-lintas-
kacau-di-depan-mal-dinoyo. Malang. Diakses: 9 Mei 2017.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana Dan
Lalu Lintas Jalan
Dirjen Perhubungan Darat, 1999
Aji Suraji jurusan teknik sipil fakultas teknik universitas widyagama malang
perancangan geometrik jalan.
SNI (Standar Nasional Indonesia) 03-6967-2003 tentang persyaratan umum sistem
jaringan dan geometrik jalan perumahan.
Andy Fakultas teknik jurusan teknik sipil universitas Kristen maranatha bandung studi
arus jenuh pada persimpangan bersinyal jalan aceh jalan banda bandung.
KAJIAN ARUS JENUH PADA SIMPANG BERSINYAL DI KOTA MALANG BAGIAN
SELATAN - Hendi Bowoputro, M. Zainul Arifin, Ludfi Djakfar, Rahayu
Kusumaningrum. Dosen / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya
Ditjen. Perhubungan Darat, 1998
Mulyawati Dkk, 2016 Analisa Kinerja Simpang Bersinyal pada Simpang Boru Kota
Serang, Jurnal Fondasi, Volume 5 No 2.

Anda mungkin juga menyukai