Anda di halaman 1dari 34

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Umum

Transportasi merupakan salah satu sektor kegiatan yang sangat penting di

kota, karena berkaitan dengan kebutuhan setiap orang yang ada di kota bagi setiap

lapisan. Transportasi berkaitan dengan kebutuhan pekerja untuk mencapai lokasi

pekerjaan dan sebaliknya, kebutuhan para pebisnis untuk mencapai kantor, untuk

mengunjungi tempat perbelanjaan dan pelayanan lainnya.

Transportasi berfungsi memudahkan pengangkutan benda dan manusia itu sendiri

dalam gerak perpindahannya. Sistem ini nyata dalam kegiatan lalu lintas kota

yang selalu kita lihat, rasakan, jalani, nikmati, kagumi, atau kondisi tertentu justru

kita simpati.

2.3 Jalan Perkotaan

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan

merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan

menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi

jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Termasuk jalan didekat

pusat perkotaan dengan jumlah penduduk lebih dari 100.000 jiwa, maupun jalan

didaerah perkotaan dengan jumlah penduduk kurang dari 100.000 jiwa dengan

perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus. Tipe jalan pada jalan

perkotaan adalah sebagai berikut ini.

1. Jalan dua lajur dua arah (2/2 UD)

2. Jalan empat lajur dua arah.


8

a. Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD)

b. Terbagi (dengan median) (4/2 D)

3. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D)

4. Jalan satu arah (1-3/1)

Menurut Highway Capacity Manual (HCM) 1994, jalan perkotaan dan

jalan luar kota adalah jalan bersinyal yang menyediakan pelayanan lalu lintas

sebagai fungsi utama, dan juga menyediakan akses untuk memindahkan barang

sebagai fungsi pelengkap.

a. Ruas

Jalan merupakan semua bagian dari jalur gerak (termasuk perkerasan),

median, dan pemisah luar.

b. Segmen jalan

Segmen jalan didefinisikan sebagai panjang jalan diantara dan tidak

dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama, dan

mempunyai karakteristik yang hampir sama sepanjang jalan (MKJI 1997).

2.3 Kondisi Lalu Lintas

2.3.1. Arus dan komposisi lalu lintas

Menurut MKJI 1997, nilai arus lalu lintas mencerminkan komposisi lalu

lintas, dengan menyatakan arus dengan satuan mobil penumpang (SMP). Semua

nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang

(SMP) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (EMP) yang

diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan berikut ini.


9

1. Kendaraan ringan (LV), termasuk mobil penumpang, minibus, pick up,

truk kecil, jeep.

2. Kendaraan berat (HV), termasuk truk dan bus.

3. Sepeda motor (MC)

4. Kendaraan tidak bermotor (UM)

Situasi lalu lintas untuk tahun yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam

Rencana, atau Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dengan faktor yang

sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi arus per jam (umum untuk

perancangan).

Tabel 2.1. Nilai normal komposisi lalu lintas

Ukuran kota LV % HV % MC %

< 0,1 juta penduduk 45 10 45


0,1 – 0,5 juta penduduk 45 10 45
0,5 – 1,0 juta penduduk 53 9 38
1,0 – 3,0 juta penduduk 60 8 32
> 3,0 juta penduduk 69 7 24

Sumber : MKJI 1997


10

Tabel 2.2 Emp untuk jalan perkotaan tak terbagi

Emp

Tipe jalan : Arus lalu lintas


MC
Jalan tak terbagi dua arah
Lebar jalur LL Wc
HV

≤6m >6m

Dua lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,4


(2/2 UD) ≥ 1800 1,2 0,35 0,25
Empat lajur tak terbagi 0 1,3 0,4
(4/2 UD) ≥ 3700 1,2 0,25
Sumber : MKJI 1997

Perhitungan kondisi lalu lintas :

1. Perhitungan pemisah arah dapat dihitung melalui persamaan berikut :

SP = Q /Q ................................... (1)
DH.1 DH.1+2

Keterangan :

SP = Pemisah arah (kend/jam)

QDH.1 = Arus total arah 1

QDH.1+2 = Arus total arah 1 + 2

2. Perhitungan faktor satuan mobil penampang dapat dihitung berdasarkan

persamaan berikut :

F =Q /Q ................................... (2)
SMP smp kend
11

Keterangan :

FSMP = Faktor satuan mobil penumpang

Qsmp = Arus total kendaraan dalam smp

Qkend = Arus total kendaraan

2.3.2. Hambatan samping

Hambatan samping merupakan analisis yang kompleks untuk ruas jalan di

indonesia. Di negara maju hambatan samping hanya cukup diperhitungkan dengan

lebar bahu atau jarak gangguan dari tepi perkerasan. Hal ini tidak cukup untuk

ruas jalan di indonesia khususnya di perkotaan karena faktor tersebut perlu

ditambah dengan jumlah pejalan kaki baik yang sejajar jalan atau yang

menyebrang jalan, frekuensi kendaraan angkutan yang berhenti diseberang tempat

dan frekuensi kendaraan keluar masuk dari ruas jalan tersebut.

1. Penentuan frekuensi kejadian

Perhitungan frekuensi kejadian per 10 menit per 200 meter dari segmen

jalan yang diamati pada kedua sisi jalan.

2. Penentuan kelas hambatan samping.

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, hambatan

samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen

jalan, seperti :

1. Pejalan kaki yang berjalan / menyebrang sepanjang segmen jalan

2. Angkutan umum dan kendaraan lain yang berhenti dan parkir


12

3. Kendaraan bermotor yang keluar masuk masuk dari/ke lahan samping/sisi

jalan

4. Arus kendaraan yang bergerak lambat.

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari

aktivitas samping segmen jalan.Frekuensi kejadian sebenarnya dikalikan dengan

faktor berbobot kendaraan. Faktor berbobot tersebut seperti pejalan kaki

(bobot=0,5), kendaraan berhenti (bobot=1,0), kendaraan masuk keluar sisi jalan

(bobot=0,7), dan kendaraan lambat (bobot=0,4). Kelas hambatan samping

ditentukan berdasarkan Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan

FrekuensiBerbobotKejadia KondisiKhusu
KelasHambatan
n s

Pemukiman,
Sangat
< 100 hampir tidak VL
rendah
ada kegiatan
Pemukiman,
beberapa
100 – 299 angkutan Rendah L
umum, dan
lain-lain
Daerah industri
dengan toko-
300 – 499 Sedang M
toko di sisi
jalan
Daerah niaga
dengan aktivitas
500 – 899 Tinggi H
sisi jalan yang
tinggi
Daerah niaga
dengan aktivitas
Sangat
> 900 pasar sisi jalan VH
tinggi
yang sangat
tinggi
Sumber : MKJI 1997
13

2.3.3. Kecepatan arus bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat

arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai

kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain dijalan.

Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas untuk jalan kota yaitu :

FV = (FVo + FVw) x FFVsf x FFVrc.............................(3)

Dimana :

FV = Kecepatan arus bebas (km/jam)

FVo = Kecepatan arus bebas dasar (km/jam)

FVw = Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam)

FFVs = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping

FFVrc = Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata lahan

Tabel 2.4 Kecepatan arus bebas dasar

Kecepatan arus bebas (FVo) (km/jam)


Kendaraan Kendarn Sepeda Semua
Tipe
ringan berat motor kendaraan
jalan
LV HV MC (rata-rata)

6/2 D 61 52 48 57

4/2 D 57 50 47 55

4/2 UD 53 46 43 51

2/2 UD 44 40 40 42
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Kecepatan arus bebas dasar untuk jalan delapan lajur dapat dianggap sama

seperti jalan enam lajur dalam tabel 2.5


14

Tabel 2.5 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas (Fvw)
Lebar jalur lalu
Tipe jalan lintas efektif (Wc) FVw (km/jam)
(m)

Per lajur
Empat lajur 3,00 -4
terbagi atau jalan 3,25 -2
satu arah 3,50 0
3.75 2
4,00 4
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Untuk jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur) nilai penyesuaian pada

tabel 2.6 untuk jalan empat lajur terbagi dapat digunakan.

Tabel 2.6 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping (FFVsf)

Faktor penyesuaian untuk hambatan


Kelas
samping dan lebar bahu
Tipe jalan hambatan
Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)
samping (SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥2m
Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03


Empat lajur
Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02
terbagi 4/2 D
Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99

Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96


Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk jalan enam lajur dapat

ditentukan dengan menggunakan nilai FFVsf untuk jalan empat lajur yang

diberikan pada tabel 2.7 disesuaikan seperti dibawah ini :

FFVcsf = 1 – 0,8 x (1 – FFV4sf) ................................... (4)

dimana :
15

FFV6sf = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas enam lajur

FFV4sf = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas empat lajur

Tabel 2.7 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVcs)

Ukuran
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota
kota
< 0,1 0,90

0,1 – 0,5 0,93

0,5 – 1,0 0,95

1,0 – 3,0 1,00

>3,0 1,03
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.3.4. Kapasitas jalan

Menurut Oglesby dan Hicks (1993), kapasitas suatu ruas jalan dalam suatu

sistem jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang memiliki kemungkinan

yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu maupun dua arah)

dalam periode waktu tertentu dan di bawah kondisi jalan dan lalu lintas yang

umum.

Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah

(kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per

arah dan kapasitas ditentukan per lajur.

Kapasitas merupakan salah satu ukuran kinerja lalu lintas pada saat arus

lalu lintas maksimum dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan pada

kondisi tertentu (MKJI, 1997).


16

Menurut HCM 1994, kapasitas didefinisikan sebagai penilaian pada orang

atau kendaraan masih cukup layak untuk memindahkan sesuatu, atau keseragaman

segmen jalan selama spesifikasi waktu dibawah lalu lintas dan jam sibuk.

Definisi kapasitas jalan adalah tingkat arus maksimum dimana kendaraan

diharapkan dapat melalui suatu potongan jalan pada periode waktu tertentu untuk

kondisi lajur/jalan lalu lintas, pengendalian lalu lintas dan kondisi cuaca yang

berlaku. Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas untuk jalan kota

yaitu :

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ………………..(5)

dimana ;

C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar

FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan

FCsp = Faktor penyesuaian arah lalu lintas

FCsf = Faktor penyesuaian gesekan samping

FCcs = Faktor ukuran kota

Tabel 2.8 Kapasitas dasar jalan perkotaan (Co)

Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Keterangan
( Smp / Jam )

Empat – lajur terbagi atau


1650 Perlajur
jalan satu arah

Empat – lajur tak terbagi 1500 Perlajur


17

Dua – lajur tak terbagi 2900 Perlajur

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Kapasitas dasar untuk jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur) dapat

ditentukan dengan menggunakan kapasitas perlajur yang diberikan dalam tabel

2.9 walaupun lajur tersebut emmpunyai lebar tidak standar.

Tabel 2.9. Faktor Penyesuaian Pemisahan Arah (FCsp) Jalan Perkotaan


SP (% - %) 50 – 50 55 – 45 60 - 40 65 – 35 70 – 30
Dua lajur 1,00 0,97 0,94 0,81 0,88
FCsp
Empat lajur 1,00 0,985 0,87 0,955 0.94
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Tabel 2.10. Faktor Penyesuaian Jalur Lalu Lintas (FCw)


Lebar Jalur Lalu Lintas
Tipe Jalan Efektif (Wc) FCw
(m)
Per lajur
3,00 0,92
Empat
3,25 0,96
Lajur
3,50 1,00
terbagi
3,75 1,04
atau jalan
4,00 1,08
satu arah

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997


Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur dapat

ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur yang diberikan untuk jalan empat

lajur dalam tabel 2.11.

Tabel 2.11. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Jalan Perkotaan (FCsf)


Faktor penyesuaian samping dan
Kelas
Type lebar bahu (FCsf)
hambatan
jalan Lebar bahu efektif WS
samping < 0,5 1,0 1,5 > 2,0
18

Vl 0,96 0,98 1,01 1,03


L 0,94 0,97 1,00 1.02
4/2 D M 0,92 0,95 0,98 1,00
H 0,88 0,92 0,95 0,98
Vh 0,84 0,88 0,92 0,96
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam lajur dapat ditentukan

dengan menggunakan nilai FCsf untuk jalan empat lajur yang diberikan pada tabel

2.11 disesuaikan seperti dibawah ini :

FC6sf = 1 – 0,8 x (1 – FC4sf) ................................... (6)

dimana :

FC6sf = faktor penyesuaian kapasitas enam lajur

FC4sf = faktor penyesuaian kapasitas empat lajur

Tabel 2.12. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ( FCcs )

Ukuran Kota (Juta Penduduk) FCcs

< 0,1 0,36


0,1 – 0,5 0,90
0,5 – 1,0 0,94
1,0 – 3,0 1,00
>3,0 1,04
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
19

Batasan-batasan nilai dari setiap tingkat pelayanan jalan dapat diperoleh

pada buku-buku spesifikasi atau standar-standar yang berlaku (Silvia Sukirman,

1999, hal 47 – 49).

2.4 Perilaku Lalu Lintas

Perilaku lalu lintas menyatakan ukuran kuantitas yang menerangkan

kondisi yang dinilai oleh pembina jalan. Perilaku lalu lintas pada ruas jalan

meliputi kapasitas, derajat kejenuhan, waktu tempuh, dan kecepatan tempuh rata-

rata (MKJI 1997). Penentuan perilaku lalu lintas pada ruas jalan meliputi:

2.4.1. Derajat kejenuhan

Menurut MKJI, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas

terhadap kapasitas pada bagian jalan tertentu, digunakan sebagai faktor utama

dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai derajat

kejenuhan untuk ruas jalan adalah 0,75. Angka tersebut menunjukkan apakah

segmen jalan yang diteliti memenuhi kriteria kelayakan dengan angka derajat

kejenuhan dibawah 0,75 atau sebaliknya.

Menurut MKJI 1997, derajat kejenuhan dapat dihitung berdasarkan

persamaan berikut ini.

DS = Q/C ................................... (7)

Keterangan :

DS = Derajat kejenuhan

Q = Arus total (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)
20

2.4.2. Kecepatan (V) dan Waktu Tempuh (TT)

Kecepatan dinyatakan sebagai laju dari suatu pergerakan kendaraan

dihitung dalam jarak persatuan waktu(km/jam) (F.D Hobbs, 1995).

Pada umumnya kecepatan dibagi menjadi tiga jenis sebagai berikut ini.

1. Kecepatan setempat (Spot Speed), yaitu kecepatan kendaraan pada suatu

saat diukur dari suatu tempat yang ditentukan.

2. Kecepatan bergerak (Running Speed), yaitu kecepatan kendaraan rata-rata

pada suatu jalur pada saat kendaraan bergerak dan didapat dengan

membagi panjang jalur dibagi dengan lama waktu kendaraan bergerak

menempuh jalur tersebut.

3. Kecepatan perjalanan (Journey Speed), yaitu kecepatan efektif kendaraan

yang sedang dalam perjalanan antara dua tempat dan merupakan jarak

antara dua tempat dibagi dengan lama waktu kendaraan menyelesaikan

perjalanan antara dua tempat tersebut.

MKJI menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja

segmen jalan. Kecepatan tempuh merupakan kecepatan rata-rata (km/jam) arus

lalu lintas dari panjang ruas jalan dibagi waktu tempuh rata-rata kendaraan yang

melalui segmen jalan tersebut. (MKJI 1997).

Kecepatan tempuh merupakan kecepatan rata-rata dari perhitungan lalu

lintas yang dihitung berdasarkan panjang segmen jalan dibagi dengan waktu

tempuh rata-rata kendaraan dalam melintasinya (HCM, 1994).

Sedangkan waktu tempuh (TT) adalah waktu rata-rata yang dipergunakan

kendaraan untuk menempuh segmen jalan dengan panjang tertentu, termasuk


21

tundaan, waktu henti, waktu tempuh rata-rata kendaraan didapat dari

membandingkan panjang segmen jalan L (km) (MKJI 1997, disadur dari tugas

akhir Handayani Nur A, 2007).

Waktu tempuh merupakan waktu rata-rata yang dihabiskan kendaraan saat

melintas pada panjang segmen jalan tertentu, termasuk di dalamnya semua waktu

henti dan waktu tunda (HCM, 1994).

Hubungan antara kecepatan (V) dan waktu tempuh (TT), dinyatakan

dalam persamaan berikut ini.

V = L/TT ................................... (8)

Keterangan :

V = Kecepatan rata-rata LV (km/jam)

L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu tempuh rata-rata LV panjang segmen jalan (jam)

2.4.3 Kerapatan

Kerapatan (density) didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang

menempati suatu panjang jalur atau lajur, dan secara umum dinyatakan dalam

kendaraan per kilometer atau kendaraan per kilometer per lajur (HCM, 1994).

Sedangkan menurut MKJI 1997, kerapatan adalah rasio perbandingan arus

terhadap kecepatan rata-rata, dinyatakan dalam kendaraan (smp) per kilometer

(km).
22

Arus, kecepatan, dan kerapatan merupakan unsur dasar pembentuk aliran

lalu lintas. Pola hubungan yang diperoleh dari ketiga unsur tersebut adalah:

1. Arus dengan kerapatan

2. Kecepatan dengan kerapatan

3. Arus dengan kecepatan.

2.5 Kebisingan

1. Pengertian

Kebisingan adalah suara ditempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya

kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak

diinginkan secara fisik (menyakitkan pada telinga pekerja) dan psikis

(mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi) yang akan menjadi polutan

bagi lingkungan, sehingga kebisingan didefinisikan sebagai polusi lingkungan

yang disebabkan oleh suara (Sihar Tigor B.T., 2005).

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber

dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu

dapat menimbulkan gangguan pendengaran ( PER.13/MEN/X/2011).

Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar

dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber

bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau

penghantar lainnya dan manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh

karena mengganggu atau timbul di 7 luar kemauan orang yang bersangkutan,

maka bunyi-bunyian atau suara (Suma’mur,2009).


23

Seorang cenderung mengabaikan kebisingan yang dihasilkannya sendiri

bila kebisingan itu secara wajar menyertai pekerjaan, seperti kebisingan mesin

kerja. Sebagai patokan, kebisingan mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas

angin, transformator, motor, pompa, pembersih vakum atau mesin cuci, selalu

lebih mengganggu daripada kebisingan yang hakekatnya alami (angin, hujan, dan

air terjun) (Riyadi,2011).

2. Sumber Bising

Menurut Subaris dan Haryono (2008) sumber kebisingan dibedakan

menjadi tiga yaitu :

a. Bising Industri

Industri besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya.

Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat di sekitar

industri dan juga setiap orang yang secara tidak sengaja berada di sekitar industri

tersebut. Sumber kebisingan bising industri dapat diklasifikasikan menjadi 3

macam, yaitu :

1) Mesin

Kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin.

2) Vibrasi Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang

ditimbulkan akibat gesekan, benturan atau ketidakseimbangan 8 gerakan bagian

mesin. Terjadi pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, dan lain-lain.

3) Pergerakan udara, gas dan cairan Kebisingan ini ditimbulkan akibat

pergerakan udara, gas, dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya

pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, dan lain-lain.
24

b. Bising Rumah Tangga

Bising disebabkan oleh rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat

kebisingannya, misalnya pada saat proses masak di dapur.

b. Bising Spesifik

c. Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya

pemasangan tiang pancang tol atau bangunan.

Menurut Subaris dan Haryono (2008) sumber bunyi dilihat dari sifatnya

dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Sumber kebisingan statis seperti pabrik, mesin, tape dan lain-lain.

2) Sumber kebisingan dinamis seperti mobil, pesawat terbang, kapal laut

dan lainnya.

3. Jenis Kebisingan Menurut (Suma’mur, 2009) berdasarkan sifat dan

spektrum frekuensi bunyi, bising dibagi atas :

a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum

frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise),

misalnya bising mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain.

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis

(steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, katup gas dan

lain-lain.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu-

lintas suara kapal terbang di bandara.

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan

palu, tembakan bedil atau meriam dan ledakan.


25

e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di

perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan. Menurut Sihar Tigor B.T

(2005) klasifikasi kebisingan di tempat kerja dibagi dalam dua jenis golongan

besar, yaitu :

a. Kebisingan tetap (steady noise), yang terbagi menjadi dua yaitu :

1) Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise),

berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam.

2) Broad band noise, kebisingan yang terjadi pada frekuensi terputus yang

lebih bervariasi (bukan “nada” murni)

b. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise), yang terbagi menjadi tiga

yaitu :

1) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise), kebisingan yang selalu

berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

2) Intermittent noise, kebisingan yang terputus-putus dan besarnya 10

dapat berubah-ubah, contoh kebisingan lalu lintas.

3) Impulsive noise, dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi

(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata

api.

4. Tingkat Kebisingan

Terdapat dua karakterisitik utama yang menentukan kualitas suatu bunyi

atau suara, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah

getaran per detik dengan satuan Herz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang

sampai di telinga setiap detiknya. Sesuatu benda jika bergetar menghasilkan bunyi
26

atau suara dengan frekuensi tertentu yang merupakan ciri khas dari benda

tersebut. Biasanya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah gelombang

sederhana dari aneka frekuensi. Nada suatu kebisingan ditentukan oleh frekuensi

getaran sumber bunyi (Suma’mur,2009).

Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu

satuan logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya

dengan kekuatan standar 0,0002 dine (dyne) /cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan

frekuensi 1000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal (Suma’mur,2009).

Karena ada kisaran sensitivitas, telinga dapat mentoleransi bunyi- bunyi

yang lebih keras pada frekuensi yang lebih rendah dibanding pada frekuensi

tinggi. Kisaran kurva-kurva pita oktaf dikenal sebagai kurva tingkat kebisingan

(NR = noise rating) pernah 11 dibuat untuk menyatakan analisis pita oktaf yang

dianjurkan pada berbagai situasi. Kurva bising yang diukur yang terletak dekat di

atas pita analisis menyatakan NR kebisingan tersebut (Harrington dan Gill, 2005).

Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen

Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan

Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992, 1994/1995),

tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut :

a. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise

Level=Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (steady noise) dalam ukuran

dB (A), berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam

satu periode atau interval waktu pengukuran.


27

b. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan

adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam

hari.

c. Tingkat ambien kebisingan (Background noise level) atau tingkat latar

belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa

gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika diambil

nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.

5. Pengukuran Kebisingan

Menurut Suma’mur, 2009 maksud pengukuran kebisingan adalah:

a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di

perusahaan atau di mana saja.

d. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi

intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan

dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau

perlindungan masyarakat atau tujuan lainnya.

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat

ini mengukur kebisingan pada intensitas 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000

Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi

mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat

kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya dapat diatur oleh

amplifier atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut, yang

tergantung dari tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan

tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai,
28

oleh karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk

mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma’mur, 2009).

Sebagaimana telah dinyatakan untuk mengukur intensitas dan menentukan

frekuensi kebisingan diperlukan peralatan khusus yang 13 berbeda bagi jenis

kebisingan dimaksud. Jika tujuan dari pengukuran kebisingan hanya untuk

mengendalikan kebisingan, seperti misalnya untuk melakukan isolasi mesin atau

pemasangan perlengkapan dinding yang mengabsorbsi suara atau pemilihan alat

pelindung telinga, pengukuran tidak perlu selengkap sebagaimana dimaksudkan

dalam rangka lokalisasi secara tepat sumber kebisingan pada suatu mesin dengan

tujuan memodifikasi mesin tersebut, melalui pembuatan desain yang dipakai dasar

konstruksi bentuk mesin dengan tingkat kebisingan (Suma’mur, 2009).

Faktor lainnya yang menentukan pemilihan alat pengukur kebisingan

adalah tersedianya tenaga pelaksana untuk melakukan pengukuran terhadap

kebisingan dan juga waktu yang dialokasikan untuk hal tersebut. Sebagaimana

sering dialami kenyataan bahwa lebih disenangi pengumpulan data tentang

kebisingan secara merekamnya (recording) yang kemudian data rekaman dibawa

ke laboratorium untuk dilakukan analisis (Suma’mur, 2009).

Survei pendahuluan masalah kebisingan menetap berkelanjutan, biasanya

diukur intensitas menyeluruh yang dinyatakan dengan dB (A), pengukuran

intensitas menyeluruh demikian menggunakan jaringan A dari Sound Level

Meter. Menggunakan jaringan tersebut berarti bahwa kepekaan alat pengukur

kebisingan sesuai dengan garis kepekaan sama yaitu 40 dB, sehingga tidak

memberi reaksi kepada intensitas kebisingan rendah, melainkan memungkinkan


29

diukurnya intensitas kebisingan tinggi 14 berbahaya kepada alat pendengaran

(Suma’mur, 2009).

6. Nilai Ambang Batas (NAB) intensitas kebisingan.

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di

tempat kerja adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga

kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam

pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari

dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu (KEPMENAKER

PER.13/MEN/X/2011).

Nilai Ambang Batas kebisingan adalah intensitas suara tertinggi

yang merupakan nilai rata- rata yang masih dapat diterima tenaga kerja

tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu

kerja 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Sesuai dengan Keputusan

Menteri Tenaga Kerja RI No. PER.13/MEN/X/2011, tanggal 16 april 1999

tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja adalah 85 dB (A),

dan merupakan standar dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-

2004 Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-

lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. SNI dimaksud juga

memberikan informasi tentang pengendalian kebisingan yang dilakukan

sehubungan dengan tingkat paparan sebagaimana substansinya dimuat

pada Tabel 1 yang mengatur lamanya waktu paparan terhadap tingkat

intensitas kebisingan (Suma’mur, 2009).

7. Tentang kebisingan
30

Semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya

bagi kesehatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) di anggap

sebagai bising (Doelle L.L.,1993).

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-

48/MENLH/11/1996 definisi bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha

atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Satuan dari kebisingan adalah

decibell (dB).

Tabel 2.13 Kriteria Batas Kebisingan Menurut KEP.48/MENLH/II/1996


Tingkat Kebisingan
No Peruntukan (dB)

1. Perumahan 55
2. Pemukiman 70
3. Perdagangan 65
4. Perkantoran 50
5. Ruang terbuka hijau 70
6. Industri 60
7. Pemerintahan 70
8. Rekreasi 55
9. Rumah Sakit 55
10. Sekolah dan 55
Tempat Ibadah
Sumber : Kep. Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996

2.5.2. Sifat dan sumber kebisingan

A. Sifat bising

Menurut Goembira, (dalam Yadat T.,2014) Sifat dari kebisingan antara

lain :

1. Kadarnya berbeda.
31

2. Jumlah tingkat bising bertambah, maka gangguan akan bertambah pula.

3. Bising perlu dikendalikan karena sifatnya mengganggu.

B. Sumber bising

Menurut Doelle, (2013) sumber bising utama dalam pengendalian bising

lingkungan dapat di klasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu :

1. Bising interior, sumber bising yang paling sering dibuat oleh manusia,

alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin gedung.

2. Bising luar (outdoor), berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-

alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat pembangunan gedung-

gedung.

2.5.3. Zona kebisingan

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.718/Men/Kes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan

kesehatan dibagi menjadi 4 zona sebagai berikut :

Tabel 2.14 Pembagian Zona Bising oleh Menteri Kesehatan


Tingkat
No Zona Kebisingan yang
dianjurkan

1 A 35 – 45 dB
2 B 45 – 55 dB
3 C 50 – 60 dB
4 D 60 – 70 dB
Sumber : (Sam F.,2012)

Keterangan :

Zona A : Tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan, dsn;

Zona B : Perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya;


32

Zona C : Perkantoran, perdagangan, pasar, dan sejenisnya.

Zona D : Industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.

2.5.4. Perhitungan Leq kebisingan

Data yang sudah diambil diolah untuk mendapatkan data tingkat

kebisingan equivalen dengan menggunakan rumus berikut :

Dimana :
n
1
Leq = 10 log[ ∑ ¿ ¿10 )]
Li/10
N i=1

Leq = Nilai kebisingan equivalen

T = Total periode waktu pencatatan

N = Banyaknya pencatatan data

Ti = Periode waktu pencatatan

Li = Nilai hasil pembacaan

Rumus di atas dapat disederhanakan menjadi

Dimana : N = Banyaknya data

Leq adalah tingkat kebisingan equivalen yang menunjukkan suatu nilai

yang memperhitungkan intensitas suara total selama periode waktu tertentu dari

tingkat suara yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, tingkat kebisingan

equivalen atau Leq adalah skala logaritmik yang nilai-nilainya dalam satuan

decibel (dB) yang tidak dapat ditambahkan langsung.

Basic Noice Level (BNL) adalah mengukur tingkat kebisingan puncak

pada suatu lokasi yang penjumlahan dan besaran nilai kebisingan dipengaruhi

oleh Volume total kendaraan (Q).


33

Menurut Murwono, (dalam Yuniar WO.,2014) Perhitungan tingkat

kebisingan secara empirical adalah sebagai berikut :

Kebisingan Basic Noise Level (BNL) :

L10 = 42,2 + 10 log Q

Keterangan :

L10 = Tingkat kebisingan dasar untuk 1 jam (dBA)

Q = Arus lalu lintas (kend/jam)

2.5.5. Alat ukur tingkat kebisingan

a. Sound Level Meter

Alat ini dapat mengukur kebisingan antara 30-130 dB(A) dan frekuensi

20-20.000 Hz. Alat ini terdiri dari mikrofon, alat penunjuk elektronik,

amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu:

- Skala A

Untuk memperlihatkan kepekaan yang terbesar pada frekuensi rendah dan

tinggi yang menyerupai reaksi untuk intensitas rendah.

- Skala B

Untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas

sedang.

- Skala C

Untuk bunyi dengan intensitas tinggi. Alat ini dilengkapi dengan Oktave

Band Analyzer. Bunyi diukur dengan satuan yang disebut desibel, dalam

hal ini mengukur besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh

gelombang bunyi. Satuan desibel diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi
34

terlemah yang masih dapat didengar oleh manusia sampai tingkat bunyi

yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada telinga manusia.

Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, C. Skala yang

terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies,

2005:93).

Pada pengukuran ini dapat digunakan alat “Sound Level Meter” (Gambar

2.1). Alat tersebut dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130

dB(A) pada frekuensi antara 20-20.000 Hz. Sebelum dilakukan

pengukuran harus dilakukan countour map lokasi sumber suara dan

sekitarnya. Selanjutnya pada waktu pengukuran “Sound Lever Meter” di

pasang pada ketinggian ± (140-150 m) atau setinggi telinga (Tarwaka,

dkk., 2004:39)

Gambar 2.1 Sound Level Meter

Menurut Suma’mur P.K (2010:118), maksud pengukuran

kebisingan adalah:

1. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan.


35

2. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi

intensitas kebisingan.

Faktor pengaruh pendengaran pekerja

Tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja. Hal

tersebut tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah (Slamet

Riyadi, 2011:12)

1. Intensitas Bising

Nada 1000 Hz dengan intensitas 85 dB, jika diperdengarkan selama 4 jam

tidak membahayakan. Intensitas menentukan derajat kebisingan.

2. Frekuensi bising

Bising dengan ftrekuensi tinggi lebih berbahaya dari pada bising dengan

intensitas rendah.

3. Masa Kerja

Semakin lama berada dalam lingkungan bising, semakin berbahaya untuk

kesehatan, misalnya stres kerja.

4. Sifat Bising

Bising yang didengarkan secara terus menerus lebih berbahaya

dibandingkan bising terputus-putus.

5. Usia

Orang yang berusia lebih dari 40 tahun akan lebih mudah stres akibat

terpapar bising ditempat kerja.

b. Oktave Band Analyzer


36

Alat ini untuk mengukur analisa frekuensi dari suatu kebisingan yang

dilengkapi dengan filter-filter menurut Oktave.

c. Narrow Band Analyzer

Alat ini dapat mengukur analisa frekuensi yang lebih lanjut alau disebut

juga analisa spektrum singkat.

d. Tape Recorder

Kualitas tinggi Untuk mengukur kebisingan yang terputus putus, bunyi

yang diukur direkam dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Alat ini

mampu mencatat frekuensi 20Hz-20KHz.

e. Impact Noise Analyzer

Alat ini dipakai untuk kebisingan impulsif.

f. Noise logging Dosimeter

Alat ini untuk menganalisa, kebisingan dalam waktu 24 jam dan dianalisa

dengan menggunakan komputer sehingga didapatkan grafik tingkat

kebisingan

2.6 Penelitian Pendahuluan

Nama
NO Tujuan Metode Analisis Hasil
penulis,judul,tahun
1  Nya Daniaty  Tujuan penelitian  Penelitian ini  Berdasarka
Malau, ini adalah Untuk dilakukan n penelitian
Analisa mengetahui tingkat pada hari yang telah
Tingkat kebisingan di sabtu, tanggal dilakukan di
Kebisingan Flyover Pasar Rebo 03 Juni 2017 Bundaran
Lalu Lintas dan Bundaran HI di Flyover HI maka
di Jalan Raya dan untuk Pasar Rebo didapatlah
(2017)`
37

mengetahui apakah dan sabtu, rata-rata


tingkat kebisingan tanggal 10 tingkat
di Flyover Pasar Juni 2017 di kebisingan
Rebo dan Bundaran Bundaran HI yaitu 61,50
HI masih layak yang dimulain dB.
untuk pendengaran pada pukul
manusia. 07.00-19.00
WIB.
2  Hendrik  Untuk mengetahui  Metode yang  Metode
Pristianto, bagaimana tingkat digunakan yang
Analisa kebisingan lalu dalam digunakan
Tingkat lintas yang terjadi pencatatan dalam
Kebisingan pada daerah yang volume lalu pencatatan
Lalu Lintas ditinjau lintas dengan volume lalu
di Jalan  Untuk mengetahui cara manual lintas
Basuki apakah tingkat count, dengan dengan cara
Rahmat Kota kebisingan pada cara manual
Sorong jalan yang di tinjau menghitung count,
(2017) telah memenuhi seluruh dengan cara
standar baku mutu kendaraan menghitung
tingkat kebisingan yang seluruh
sesuai Keputusan melewati ruas kendaraan
Menteri Negara jalan yang yang
Lingkungan Hidup disurvey pada melewati
No. bagian tepi ruas jalan
KEP48/MENLH/1 jalan untuk yang
1/1996 mengamati disurvey
pergerakan pada bagian
kendaraan tepi jalan
yang untuk
melintasi. mengamati
Jenis pergerakan
kendaraan kendaraan
dibedakan yang
dalam melintasi.
kendaraan Jenis
sepeda motor kendaraan
atau roda dua dibedakan
(MC), dalam
kendaraan kendaraan
ringan (LV), sepeda
dan motor atau
kendaraan roda dua
berat (HV). (MC),
Pengambilan kendaraan
data volume ringan
38

dicatat tiap 10 (LV), dan


menit. kendaraan
berat (HV).
Pengambila
n data
volume
dicatat tiap
10 menit.
3 Nurul Rizki  Tujuan untuk  Tahapan  Nilai
Nurasrin, Muralia menganalisis penelitian tingkat
Hustim, Rita tingkat kebisingan meliputi studi kebisingan
Irmawati, Analisis di SD pendahuluan; yang
Tingkat Bawakaraeng persiapan diperoleh
Kebisingan Pada Makassar, lokasi, alat, pada
Kawasan memetakan dan bahan pengukuran
Sekolah Dasar sebaran tingkat yang tingkat
Di Makassar kebisingan di SD digunakan; kebisingan
(2017) Bawakaraeng pengambilan di kawasan
Makassar, dan data; dan SD
mengetahui analisis data. Bawakaraen
persepsi g Makassar
masyarakat (siswa, melebihi
guru, pegawai, dan baku mutu
orang tua siswa) standar
akibat tingkat kebisingan
kebisingan di SD pada
Bawakaraeng kawasan
Makassar. sekolah
menurut
Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Nomor 48
tahun 1996,
yaitu 55
dBA.
4  Meylinda  Menganalisa tingkat  Melakukan  Berdasarkan
Balirante, kebisingan dari survey nilai
Analisa suara kendaraan dilapangan kebisingan
Tingkat yang melintasi untuk yang
Kebisingan
Jalan Sam mendapatkan diperoleh,
Lalu Lintas Di
Jalan Raya
Ratulangi 6. data primer maka
Ditinjau Dari  Meninjau hasil dan sekunder tingkat
Tingkat Baku analisa tingkat kebisingan
Mutu kebisingan lalu lintas
39

Kebisingan berdasarkan kendaaraan


Yang karakteristik tata pada Jalan
Diizinkan guna lahan untuk Sam
(2020) Kawasan Ratulangi 6
Persekolahan telah
berdasarkan melampaui
Keputusan Menteri standar
Lingkungan Hidup baku mutu
No. 48 Tahun 1996. yang
ditetapkan
Menurut
Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan
Hidup No.
48 Tahun
1996 yaitu
sebesar 55
dB(A)
untuk
Kawasan
Persekolaha
n.
5  Soha  Menyelidiki  Observasi  Nilai
eldakdoky, kebisingan di dalam lapangan / tertinggi
Ahmed terowongandi kairo pengamatan terdapat
Elkhateeb, yang disebabkan dilapangan. pada
Noise levels
oleh kereta metro. rentang
inside the
coaches of
frekuensi
Greater Cairo menengah,
tunnel metro, yaitu 250
line 3 tunnel Hze2 kHz,
(2020) yaitu
spektrum
penting
untuk
kejelasan
ucapan
(Leo, 2010).
Perbedaan
yang cukup
besar
ditemukan
antara high,
mid, dan
40

frekuensi
rendah.

Anda mungkin juga menyukai