Proposal - Sofi NM - K8417066
Proposal - Sofi NM - K8417066
Oleh:
A. Latar Belakang
Pembangunan memiliki tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakatnya. Untuknya, keberlangsungan pembangunan berkaitan dengan
kinerja pemerintah setempat dalam menanggulangi masalah. Masalah yang
acapkali menjadi penghambat pembangunan yakni kemiskinan. Kemiskinan itulah
yang mendorong timbulnya pengemis. Hasil penelitian Rizwan Rizkiandi, 2021
mengatakan bahwa pengemis adalah satu kelompok yang terpinggirkan dari
pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan
masyarakat umum. Sama halnya yang dikatakan Risky Ayu, 2017 bahwa
pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban
umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak
teratur, penipu, pencuri bahkan disebut sampah masyarakat.
Pembangunan yang ada di Kota Surakarta belum secara tuntas dalam
menyelesaikan masalah kemiskinan. Hal ini dibuktikan pada hasil survei BPS
Kota Surakarta terkait jumlah Penduduk Miskin 2019-2021, pada tahun 2019
tercatat 45,18 ribu jiwa, tahun 2020 47,03 ribu jiwa, dan 2021 menunjukkan
angka 48,79 ribu jiwa. Secara signifikan, terdapat peningkatan jumlah penduduk
miskin sebesar 3,61 ribu jiwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Alasan terhambatnya penanggulangan masalah kemiskinan disetiap tahun
adalah kurang atau tidak terdapat lapangan kerja, minimnya ketrampilan, serta
tidak mengenyam bangku pendidikan. Alih-alih berusaha memperdalam
ketrampilan, masyarakat tak berkecukupan ini memilih cara bertahan hidup
dengan menjadi seorang pengamen, gelandangan, hingga pengemis di kawasan
tertentu.
Keberadaan pengemis ini tak lepas dari sejarah para Raja yang pernah
berkuasa di kota Surakarta. Merujuk dari sebuah artikel milik Suarasurakarta.id ,
munculnya pengemis berasal dari tradisi kemisan milik Raja Susuhunan
Pakubuwono X, tradisi kemisan pada saat itu sangat memiliki arti penting bagi
masyarakat Surakarta. Tradisi tersebut dimulai ketika Susuhunan Pakubuwono X
memberikan udhik-udhik berupa sedekah uang koin kepada masyarakat Surakarta
yang ia temui. Masyarakat menerima udhik-udhik tersebut sebagai berkah yang
melimpah, terlebih mereka mendapatkan berkah langsung oleh Raja Keraton
Kasunanan Surakarta. Tradisi itu berangsur-angsur berubah istilahnya dari
awalnya wong kemisan, menjadi wong ngemis.
Wong ngemis tidak hanya ada pada hari Kamis sesuai aktivitas yang sudah
menjadi kebiasaan, melainkan muncul diberbagai situasi dan kondisi, terlebih saat
ada keramaian. Istilah wong ngemis, lambat laun berganti makna yang awalnya
menerima sedekah atau berkah dari Raja Susuhunan Pakubowono X pada hari
Kamis, menjadi orang yang kurang berkecukupan lalu meminta-minta belas
kasihan orang lain. Secara harfiah, wong ngemis sudah berganti istilah dengan
Pengemis. Kemudian istilah pengemis terdaftar ke dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dengan pengertian sebagai orang yang meminta-minta sedekah.
Maraknya pengemis menandakan bahwa masih terdapat kemiskinan di daerah
tersebut. Berikut tabel jumlah penduduk miskin prioritas 1 menurut Kecamatan
pada tahun 2020-2021:
Dari tabel diatas terlihat urutan jumlah penduduk miskin menurut kecamatan,
yang mana posisi pertama dari atas diduduki oleh kecamatan Banjarsari dengan
jumlah pada tahun 2020 yakni 450 KK, kemudian tahun 2021 mengalami
kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 473 KK. Hasil survei tersebut
menunjukkan kenaikan penduduk miskin sebesar 23 KK. Sehingga kecamatan
Banjarsari menduduki angka tertinggi penduduk miskin di Kota Surakarta.
Data tersebut menunjukkan tingginya angka kemiskinan di kecamatan
Banjarsari. Terdapat satu wilayah yang diketahui banyak warganya hidup sebagai
pengemis di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kecamatan Banjarsari. Mengemis bagi
masyarakat di kawasan TPU Bonoloyo dijadikan sebagai aktivitas yang sudah
mengakar lalu menjadi kebiasaan yang lumrah. Praktek mengemis merupakan
masalah sosial dimana mereka dianggap telah menyimpang dari nilai dan norma
yang berlaku. Mengemis dikatakan sebagai masalah sosial karena terdapat
ketimpangan antara sumber daya manusia yang ada serta tuntutan dunia kerja dan
pemenuhan kebutuhan yang kompleks.
Pengemis tersebut mengundang perhatian dari Polsek Banjarsari. Telah
diberikan sosialisasi kepada para pengemis makam. Kesaksian oleh Panit II
Patroli Polsek Banjarsari yang dilansir oleh radar solo, 2021, mereka (pengemis)
usai membersihkan makam terkadang meminta uang kepada peziarah namun
dengan paksaan. Pihak Polsek Banjarsari menegaskan dengan imbauan atas
perilaku dari pengemis, harapannya mereka mengindahkan dan mengubah
perilaku mengemis secara paksa. Apabila masih ditemui peristiwa pemaksaan
maka akan diberikan tindakan tegas. Kemudian pernyataan tersebut diperkuat oleh
kesaksian salah seorang warga yang tiap hari melakukan bersih-bersih makam, ia
mengaku adanya aktivitas pemaksaan kepada para peziarah.
Melihat fakta yang lain, masyarakat miskin memilih alternatif untuk
mengemis sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin kompleks.
TPU Bonoloyo seakan sudah menjadi lokasi yang proporsional untuk para
pengemis melancarkan aksinya. Bahkan mereka memiliki beberapa properti yaitu
sebuah sapu lidi untuk meyakinkan para peziarah dan menunjukkan ia telah
bekontribusi pada makam keluarga peziarah yang berkunjung. TPU Bonoloyo
seolah-olah dinobatkan menjadi tempat ternyaman para pengemis.
Praktek mengemis yang terjadi di kawasan TPU Bonoloyo
Kampung Karangasem, Kadipiro, Banjarsari ini pada dasarnya telah
menjadi kebiasaan dan sudah turun-temurun dari pendahulu
masyarakat Kampung Karangasem. Status sosial diantara masyarakat
yang beda berpengaruh dalam kemampuan, gaya dan pandangan hidup
yang kemudian berdampak pada proses praktek mengemis yang telah
berlangsung berpuluh-puluh tahun di Kampung Karangasem. Bagi
pelaku pengemis, tindakan tersebut dianggap benar karena
pengetahuan dan praktek tentang mengemis yang masih bertahan
hingga sekarang merupakan warisan yang telah dikonstruksikan oleh
para pendahulu masyarakat Kampung Karangasem dan masyarakat luar
Kampung Karangasem, Kadipiro.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melucuti
konstruksi sosial yang ada di masyarakat terdap pengemis di TPU
Bonoloyo. Perilaku masyarakat terbangun atas kondisi lingkugan sekitar, dan
kondisi lingkungan turut dipengaruhi oleh perilaku masyarakat terhadap
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud ialah TPU Bonoloyo. Berdasarkan
paparan diatas, maka diperlukan penelitian selanjutnya mengenai
konstruksi sosial masyarakat yang akan membentuk pola perilaku
masyarakat terhadap TPU Bonoloyo. Konstruksi dalam penelitian yang
dilakukan ini akan mengangkat tentang bagaimana terbangunnya
pemikiran masyarakat tentang pengemis di TPU Bonoloyo. Kemudian
pemikiran tersebut ditengarai membentuk perilaku yang berbeda-beda
antar masyarakat terhadap pengemis di TPU Bonoloyo.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dirumuskan
permasalahan yaitu:
1. Apa saja faktor penyebab munculnya praktek mengemis di TPU Bonoloyo?
2. Bagaimana proses terbentuknya konstruksi sosial masyarakat
terhadap praktek mengemis di TPU Bonoloyo?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang diharapkan oleh peneliti dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya
pengemis di kawasan TPU Bonoloyo.
2. Untuk mengkaji proses terbentuknya kontruksi sosial praktek
mengemis di TPU Bonoloyo.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, adapun manfaat yang akan
diperoleh dari penelitian ini adalah:
Manfaat Teoritis
1) Menambah ilmu pengetahuan Sosiologi Antropologi mengenai
latar belakang munculnya pengemis serta konstruksi sosial
praktek mengemis di kawasan TPU Bonoloyo.
2) Menambah ilmu pengetahuan Sekolah Menengah Atas di bidang
sosial khususnya mata pelajaran Sosiologi materi kelas XI
mengenai permasalah sosial di masyarakat
Manfaat Praktis
1) Menyumbangkan pemahaman bagi masyarakat Kampung Karangasem
mengenai latar belakang munculnya pengemis serta
konstruksi sosial praktek mengemis di kawasan TPU
Bonoloyo.
2) Sebagai bahan rujukan penelitian lanjutan yang menggunakan
teori konstruksi sosial.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Konstruksi Sosial
Dalam kajian ilmu sosiologi, konstruksi memiliki pemaknaan yang luas.
Mencakup aspek pengaruh sosial dalam pengalaman hidup seseorang. Secara
mendasar terdapat pemahaman dasar mengenai realitas sosial yang berkaitan
dengan implementasi konstruksi sosial, yaitu realitas sosial terbentuk dari
pengalaman hidup masing-masing individu yang berlainan, sehingga
menciptakan pemaknaan luas mengenai konstruksi sosial dari berbagai sudut
pandang.
Konstruksi sosial merupakan proses sosial dari tindakan sosial dan
interaksi yang diciptakan oleh individu suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama dengan subyektif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, proses
sosial terbentuk secara alamiah melalui interaksi sosial yang terus menerus
oleh sejumlah individu dalam tatanan kehidupan masyarakat. Realitas atau
kenyataan sosial yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menjadi salah
satu aspek penting yang membangun konstruksi sosial.
Pada dasarnya, konstruksi sosial merupakan sebuah teori kontemporer
yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Dalam
menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi
sosial yang diciptakan individu. Individu merupakan insan yang bebas
melakukan hubungan antara insan satu dengan yang lainnya. Individu
kemudian menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksikan
berdasarkan keinginannya. Individu bukanlah korban fakta sosial, tetapi
sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam
mengkontruksikan dunia sosialnya. Konstruksi sosial adalah sebuah
pernyataan keyakinan dan juga sebuah sudut pandang yang bermakna
mengenai kesadaran, serta cara berinteraksi dengan orang lain ataupun
sekelompok masyarakat sekitar.
Eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi
Dalam realita yang dijumpai dalam kehidupan, tatanan sosial merupakan
produk manusia berlangsung terus-menerus sebagai keharusan antropologis
yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari
eksternalisai, yaitu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke
dalam dunia, baik dalam budaya fisik maupun mentalnya (Berger, 1991:4-5).
eksternalisasi sebagai proses awal dari terbentuknya konstruksi sosial dan
mendorong budaya pada diri manusia secara terus-menerus.
Eksternalisasi adalah momen dialektis yang menunjukkan adanya proses
penyesuaian diri dengan dunia sosio-kulturan sebagai produk manusia. Sudah
menjadi hakikat manusia itu sendiri bahwa manusia harus mencurahkan diri
ke dalam dunia dimana tempat dia berada. Berangkat dari pandangan tersebut,
maka eksternalisasi itu merupakan tahapan yang paling mendasar pada
sebuah model hubungan perilaku antar manusia sebagai makhluk hidup
dengan berbagai bentuk sosial di masyarakatnya. Dalam konteks untuk
memaknai apa yang dimaksudkan terjadinya proses adalah disaat suatu
bentuk sosial sudah merupakan sesuatu yang menjadi pokok ditengah-tengah
masyarakat yang apabila kapan saja dibutuhkan oleh manusia sebagai
makhluk hidup, maka bentukan sosial itu merupakan bagian terpenting pada
kehidupan seseorang untuk menatap dunia luar.
Bungin mengasumsikan bahwa eksternalisasi mungkin terjadi disaat
produk sosial terwujud ditengah kehidupan masyarakat, selanjutnya
keberadaan individu akan menyesuaikan diri pada dunia sosio kultural yang
merupakan bagian dari hasil bentukan manusia. Lain hal dengan Berger dan
Luckmann yang menyatakan bahwa hendaklah manusia dapat diterua
keberadaan pada kenyataan sosial objektif. Sebagaimana nampak dalam
interkasi manusia sebagai makhluk individu pada lembaga sosial yang dalam
hal ini bentuk paling besar Negara.
Dalam proses eksternalisasi, pembentukan kebudayaan nonmaterial
selalu sejalan dengan budaya manusia yang secara fisik mengubah
lingkungannya. Dampaknya, masyarakat tidak dapat terpisahkan dari
kebudayaan nonmaterial. Masyarakat merupakan aspek dari kebudayaan
nonmaterial yang membentuk hubungan kesinambungan antar manusia
dengan manusia lainnya, sehingga ia menghasilkan produk berupa dunia yaitu
dunia sosial (Berger, 1994:8-9).
Proses yang kedua yaitu objektivikasi, yang artinya hasil berupa mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Batasan makna
objektivikasi menurut Berger dan Luckman adalah suatu keadaan atas
diterimanya beragam macam bentuk aktivitas atau kegiatan dalam interaksi
sosial dengan intersubjektif yang melalui proses institusional. Dalam konteks
ini terdapat dua bentuk realits sosial, yaiitu realitas diri individu dan realitas
sosial lainnya yang memposisikan eksternal dirinya, pada giliram realitas
tersebut merupakan suatu hal yang objektif. Dalam ranah konstruksi sosial,
proses ini diistilahkan dengan interaksi sosial melewati pelembagaan serta
legitimasi.
Melalui proses legitimassi, disitulah manusia bekerja untuk merangsang
dunia subjektifnya beralih ke dunia objektif melalui hubungan antar manusia
dengan disusun secara berkelompok. Legitimasi mampu terwujud apabila ada
kesepakatan bersama antar subjeknya. Objektivitas masyarakat terdiri dari
beberapa unsur misalnya institusi, peran, identitas. Suatu peranan memiliki
objektivitas yang serupa, peranan itu yang memberikan modal bagi tata
kelakukan individu. Seseorang mungkin saja tidak menyukai peran yang ia
mainkan, tetapi peran itu mendiktekan apa yang semestinya dilakukan dan
sesuai dengan deskripsi objektivitasnya.
Proses terakhir dalam membangun konstruksi sosiakl adalah berkaitan
dengan internalisasi. Secara bahasa, internalisasi diartikan sebagai suatu
proses. Internalisasi diartikan sebagai proses penyerapan ualng atas realitas
manusia serta mengalihkannya dari tingkatan dunia objektif ke bagian
tingkatan dunia subjektif. Internalisasi adalah penyerapan nilai atau norma
dalam diri manusia yang berlangsung seumur hidup dengan melibatkan
sosialisasi, baik primer ataupun sekunder. Internalisasi menghasilkan sebuah
hubungan sadar dari individu serta masyarakat.
Kalidjernih (2010:71) mendefinisikan intrenalisasi dengan proses
individu belajar dan diterima menjadi bagian sekaligus mengikat diri ke
dalam nilai dan norma sosial dari perilaku suatu masyarakat. Sosialisasi yang
melekat erat pada proses internalisasi menghasikan sebuah tatanan dengan
mengandung nilai dan norma. Dapat diambil kesimpulan untuk definisi
internalisasi yaitu proses belajar manusia untuk mencapai diterimanya pada
bagian masyarakat tertentu, selanjutnya ia mengikat dirinya ke dalam nilai
dann norma sosial dalam tindakannya sebagai kelompok di masyarakat.
2. Masyarakat
Istilah yang paling umum untuk menyebut suatu kelompok individu
dalam bentuk karya ilmiah maupun bahasa sehari-hari yaitu masyarakat.
Masyarakat berasal dari kata serapan bahasa Arab yakni syaraka artinya ikut
serta, berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekelompok individu yang saling
bertegur sapa dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Suatu kesatuan
manusia yang kemudian membentuk masyarakat tentunya mampu memiliki
sarana prasarana melalui apa untuk mendukung individu saling berinteraksi.
Ikatan yang menciptakan suatu kesatuan individu menjadi masyarakat
merupakan pola perilaku yang khas terkait faktor kehidupannya. Pola
perilaku itu harus bersifat berkelanjutan, dengan kata lain pola tersebut harus
sudah melekat menjadi adat istiadat yang khas.
Soerjono soekanto mengatakan hal yang serupa, yakni masyarakat
setidaknya beranggotakan minimal dua orang yang mana mereka saling sadar
bahwa terikat sebagai suatu kesatuan, berhubungan dalam kurun waktu yang
tidak singkat, serta menghasilkan generasi baru dan mereka kelak saling
berkomunikasi. Adanya komunikasi turut menuntut timbulnya aturan-aturan
hubungan antaranggota masyarakat dan untuknya dijadikan sistem hidup
bersama dengan hasil sebuah kebudayaan diantara masyarakat.
Masyarakat harus memiliki ciri berupa suatu rasa identitas diantara para
warga atau anggota didalamnya, yang menunjukkan bahwa mereka
merupakan sebuah kesatuan khusus yang berbeda daripada kesatuan manusia
lainnya. Maka dapat disimpulkan definisi masyarakat secara khusus adalah
sebagai kesatuan hidup manusa yang saling berinteraksi menurut sebuah
sistem adat-istiadat yang berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama (Koentjaraningrat, 1990).
3. Konsep Pengemis
Pengemis adalah orang yang memperoleh penghasilan dengan meminta-
minta di tempat ramai dengan mengharapkan belas kasihan dari orang laindan
diikuti berbagai cara serta alasan yang mereka ciptakan. Masalah pengemis
tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang, tergantung dari kacamata mana
untuk menilainya. Terdapat beberapa alasan seseorang atau kelompok untuk
terjun menjadi pengemis.
Masalah pengemis telah diatur oleh peraturan pemerintah Nomor 31
Tahun 1980 Pasal 1 ayat 2 yang tercantum : pengemis adalah orang-orang
yang mendapatkan penghasilan dengan meminya-minta di muka umum
dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang
lain. Ayat 4 yang menyebutkan usaha preventif meliputi penyuluhan,
bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan, serta
pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan dan pengemis, sehingga akan mencegah terjadinya:
a. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemis di
dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat
b. Pergelandangan dan pengemis oleh individu yang sedang berada dalam
kondisi sulit penghidupannya.
Pengemis dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yang pertama yaitu
orang menjadi pengemis karena cacat dan miskin. Kedua, yaitu orang yang
menjadikan pengemis sebagai pekerjaan dan masih memiliki kondisi
kesehatan fisik yang prima. Ketiga, adalah orang yang menjadi pengemis
sebab menderita suatu penyakit tertentu. Pada umumnya, pengemis tidur
disembarang tempat, mereka mengemis dengan alasan sebatang kara, faktor
usia yang sudah tua, dan sudah tidak sanggup untuk bekerja. Pengemis itu
membalas pemberian uang dengan mendoakan si pemberi agar diberi
keselamatam (Margana dan Nursam 2010 : 135 ).
Berkesinambungan dengan yang dikatakan oleh Margana dan Nursam,
Dimas (2012:8) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab orang
mengemis yaitu pertama malas berusaha, yang mana kebiasaan meminta dan
mendapatkan uang tanpa susah payah inilah yang membuat sebagian
masyarakat menjadi malas dan mau enaknya saja tanpa berusaha lebih.
Kedua, disabilitas fisik (cacat fisik) yaitu lebih dikenal dengan istilah cacat
fisik sejak lahir. Hal tersebut adalah takdir Tuhan dimana pasti ada jalan
terang untuk menjalaninya. Sebenarnya dalam kasus pengemis, tidak
semuanya itu melakukan kebohongan, terdapat pula yang memang memiliki
kemampuan fisik yang lemak sehingga memilih mengemis dibanding bekerja.
Alasannya karena tidak ada perusahaan yang mau menerima orang yang cacat
fisik. Ketiga, biaya pendidikan yang relatif mahal juga menjadi pokok
permasalahan bagi para pengemis.
Alasan ini mayoritas diungkapkan oleh pengemis cilik atau pengamen
cilik. Mahalnya biaya pendidikan membuat tidak semua orang dapat
mengenyam bangku sekolah sebagaimana mestinya, hal itu juga membuat
tidak adanya pilihan selain menjadi pengemis. Lapangan kerja yang tidak
memadahi ini memaksa orang-orang yang tidak kompeten untuk menjadi
pengemis sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Karena
mengemis tidak menuntut sertifikasi pendidikan maupun kemampuan
akademis.
Keempat, tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang mau menampung
orang-orang dengan kemampuan terbatas. Kelima, diperintah orang tua.
Alasan ini ditemukan pada pengemis cilik atau dibawah umur. Umumnya,
mereka bekerja karena diperintah oleh orang tuanya. Keenam, sudah tidak
berdaya. Tidak semua alasan pengemis berkonotasi negatif, sebagian besar
memiliki alasan yang logis dan bahkan bisa diterima oleh agama. Bagi yang
sudah lanjut usia dan sedang mencoba mempertahankan hidup, mengemis
merupakan satu-satunya solusi bagi lansia rentan.
Para pengemis lanjut usia sudah tidak memiliki modal sosial, tenaga yang
prima untuk bekerja seperti saat masih muda. Ketujuh, tradisi yang turun-
temurun merupakan sebuah kebiasan yang sudah ada dari dulu. Pengemis
meminta-minta kepada orang lain, mengharapkan sedekah berupa uang dan
beras. Kebiasaan mengemis ini seolah tidak dapat diberantas dan terus
menjadi pilihan hidup seseorang. Hal ini yang menyebutkan bahwa mengemis
sebagai tradisi turun-temurun.
4. Mengemis Sebagai Perilaku Sosial
Tindakan berupa usaha untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
yang dilakukan oleh para pengemis sebenarnya merupakan suatu tindakan
sosial yaitu tindakan sosial yang nyata diarahkan kepada orang lain menurut
penjelasan Weber (pada Ritzer, 1985:44). Tindakan yang dilakukan oleh para
pengemis merupakan suatu tindakan disertai makna subjektif bagi diri mereka
sendiri. Pemaknaan terhadap pengemis berbeda bagi setiap orang. Ada
diantara mereka yang merasa malu bekerja sebagai pengemis karena mereka
tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Namun ada
juga diantara mereka yang beranggapan bahwa mengemis merupakan suatu
pekerjaan yang sama seperti pekerjaan lainnya, suatu pekerjaan untuk
mendapatkan uang. Dari sudut pandang pengemis, menilai bahwa mengemis
merupakan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengemis
merupakan pekerjaan yang harus mereka lakukan untuk memperoleh
penghasilan. Seperti yang dikatakan oleh Weber bahwa tindakan sosial
merupakan tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna
subjektif yang meliputi tindakan nyata (pada Ritzer, 1985:45).
5. Ziarah
Ziarah kubur adalah upaya yang dilakukan untuk mengenang jasa orang
yang sudah meninggal dengan cara mendoakan orang tersebut agar diampuni
segala dosanya. Sedangkan berziarah ke kuburan keramat selain mendoakan
orang yang sudah meninggal juga memohon kepada roh yang sudah
meninggal agar mereka yang berada di dunia mendapatkan keselamatan dan
dilindungi oleh Allah SWT.
Kata ziarah sendiri berasal dari kata serapan Bahasa Arab yaitu ziyarotun.
Dalam bahasa Inggris disebut Pilgrimage yang berarti berkunjung atau
kunjungan, baik kepada yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Ziarah tidak hanya sebatas mengunjungi makam-makam keramat, namun
makna ziarah itu mengunjungi makam saudara, kerabat, atau teman yang
masih hidup. Seiring berjalannya waktu, masyarakat kita memahami makna
ziarah sebagai aktivitas mengunjungi suatu tempat yang dikeramatkan atau
disakralkan.
Pengertian ziarah secara umum yaitu melakukan perjalanan mengunjungi
tempat-tempat dengan maksud beribadah yang diyakini sebagai tempat
keramat karena pernah terjadi sesuatu yang dianggap memiliki keistimewaan
dan berkaitan dengan kejadian historis atau berdiamnya nenek moyang yang
pernah hadir di tempat tersebut.
6. Makam
Makam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
kubur, memakamkan, memasukkan kedalam makam, menguburkan dan
mengebumikan. Kata makam disamakan pengertiannya dengan kuburan, kubur
sendiri berasal dari bahasa arab Qubur, yang berarti memendam, melupakan,
memasukkan, mengebumikan, kata makam juga berarti tempat tinggal dan
kediaman. Pengertian makam dalam penelitian ini disamakan dengan penjelasan
diatas yakni sebagai tempat dikebumikannya para masyarakat sekitaran Surakarta
di TPU Bonoloyo.
Tabel penelitian yang relevan
INTERNALISASI
PEMAKNAAN
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Desain Penelitian
Berdasarkan pada fokus dan tujuan penelitian yang sudah dijelaskan, dengan
membutuhkan penjelasan terperinci, mendalam, dan penekanan pada deskripsi
situasi yang nyata maka penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif menurut Gorman dan Clayton adalah meaning of event dari
apa yang diamati peneliti dari tempat kejadian (K, 2007). pendekatan kualitatif
berguna untuk membantu peneliti dalam menjawab pertanyaan penelitian yang
menekankan pada penggalian data secara akurat terhadap permasalahan yang
diajukan.
Penelitian kualitatif merupakan metode-metode eksplorasi dan memahami makna
yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian ini harus
menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap
makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell,
2010).
Metode yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini
relevan untuk digunakan menelaah peran ganda pengemis perempuan di TPU
Bonoloyo. Terutama pada peran perempuan pengemis dalam kehidupan sosial dan
kehidupan keluarganya.
Observasi langsung dalam hal ini akan mengamati aktivitas sehari-hari para
pengemis dalam kehidupan sosial, dan dalam lingkungan keluarganya. Kegiatan
yang dilakuan pengemis perempuan ketika berada di TPU Bonoloyo serta
kegiatan yang dilakukan dalam lingkungan keluarganya sebagai ibu rumah
tangga.
2. Wawancara
Penenliti memilih teknik wawancara untuk memperoleh keterangan yang
berkaitan dengan tujuan penelitian, wawancara dilakukan dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan, dengan atau tanpa
pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara merupakan sumber bukti yang
esensial bagi studi kasus, karena pada umumnya studi kasus berhubungan dengan
urusan kemanusiaan. Urusan kemanusiaan ini harus dilaporkan dan
diinterpretasikan melalui penglihatan dari pihak yang diwawancarai, dan para
responden memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam
situasi yang berkaitan (Yin, 2008).
Wawancara dilakukan dengan terstruktur yang artinya informasi dapat diperoleh
melalui instrumen pedoman wawancara yang tertulis dan berisikan sejumlah
pertanyaan ditujukan kepada informan. Wawancara dilakukan dengan pengemis
perempuan di TPU Bonoloyo dengan tujuan agar terpenuhinya informasi dan data
guna menunjang fokus penelitian yaitu proses terbentuknya konstruksi sosial di
lingkungan pengemis perempuan TPU Bonoloyo.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan penelitian terhadap benda-benda tertulis atau dokumen
yang digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
Pemanfaatan dokumen ini untuk mendukung data-data yang sudah dikumpulkan
melalui observasi dan wawancara. Teknik ini disebut dengan studi pustaka yang
dilakukan di Laboratorium Pendidikan Sosiologi Perpustakaan Pusat UNS
H. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara pasti, maka
peneliti memerlukan prosedur penelitian sebagai kerangka agar tidak salah
langkah dan memudahkan dalam pengumpulan data. Berikut langkah yang
dilakukan dalam menyusun laporan penelitian:
1. Persiapan
a. Mengajukan tema dan judul penelitian kepada dosen pembimbing.
b. Mengumpulkan data pra-penelitian.
c. Menyusun proposal penelitian.
d. Menyiapkan instrumen penelitian.
2. Pengumpulan Data
a. Mempersiapkan perizinan penelitian.
b. Pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
c. Membuat field note hasil pengumpulan data.
d. Memilih dan mengkategorikan data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
a. Melakukan analisis data sesuai proposal.
b. Mengolah data analisis dengan temuan data sebenarnya di lapangan.
c. Melaksanakan verifikasi, pengayaan, dan pendalaman data.
d. Menyusun kesimpulan sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Menyusun laporan penelitian berdasarkan data.
b. Melakukan pembimbingan dengan dosen pembimbing mengenai laporan.
c. Melakukan perbaikan laporan dan menyusunnya sebagai laporan akhir.