Anda di halaman 1dari 3

MATA LUKA SENGKON KARTA

Serupa Maskumambang Peralihan kepemimpinan yang mendesak

Pupuh mengantarkan wejangan hidup Bung Karno diganti pak Harto

Kecapi dalam suara sunyi menyendiri Dengan dalih keamanan Negara

Pupuh dan kecapi membalut nyeri Pembantaian enam jendral satu perwira

Menyatu dalam suara genting Enam jam dalam satu malam

Terluka, melukai, luka-luka Mati di lubang tak berguna

Menganga akibat ulah manusia Tak ada dalam perang Mahabharata

Bahkan di sejarah dunia

Terengah-engah dalam tabung dan selang Hanya di sejarah Indonesia

Aku, seorang petani Bojongsari

Menghidupi mimpi Pemusnahan golongan kiri

Dari padi yang ditanam sendiri PKI wajib mati

Pemimpin otoriter

Kesederhanaan panutan hidup REPELITA

Dapat untung Rencana pembangunan lima tahun

Dilipat dan ditabung Bisa jadi rencana pembantaian lima tahun

1974 tanah air yang kucinta Di tahun-tahun berikutnya

Berumur dua puluh Sembilan tahun Kudapati penembak misterius

Waktu yang muda, bagi berdirinya sebuah Tak ada salah apa lagi benar
Negara Tak ada hukum Negara

Lambang garuda Pembantaian dimana-mana


Dasarnya, Pancasila Diburu sampai got
Undang-undang empat lima Dor di mulut

Dor di kepala,
Merajut banyak peristiwa Di ikat tali, Dikafani karung
Penguasa punya tahta Di lubang bilik
Yang tidak ada Ada banyak obor dan petromak menyala
Bisa diada-ada Teriakan tegas
‘Saudara sengkon,
Akulah sengkon yang sakit Saudara sudah dikepung ABRI
Berusaha mengenang setiap luka Kalau mau selamat menyerahlah
Di dada, di punggung, Saudara tidak bias kabur’
Di batuk yang berlapis tuberculosis
Istriku kaget
Malam Jumat, ‘Kok kamu, kang?’
21 November 1974. Kebingungan
‘Demi Allah saya tidak berbuat jahat!’
Setiap malam jum’at
Yasin dilantunkan dengan hikmat Masih dalam suara yang sama
Bintang-bintang berdzikir di kedipannya ‘Kalau saudara tidak mau keluar dalam
hitungan tiga
Suara-suara binatang melengkingkan pujian
untuk Tuhan Kami akan mengeluarkan tembakan
peringatan
‘Satu! Dua! Ti …’
Istriku masih mengenakan mukena
Secepat yang kubisa
Mengambilkan minum dari dapur

Di pintu,
Di kejauhan terdengar warga desa gaduh
Ratusan warga mulai melontarkan sumpah
'Ya!... Adili saja sikeluarga rampok itu!'
serapah
'Usir dari kampung ini!'
'Bakar saja rumahnya!'
'Betul!'
Segalanya ada di mulut warga Duk! dak!
Kata-kata tak mewakili perikemanusiaan Aku dikerumuni pukulan warga
Warga desa bengis seperti serigala ABRI dan Polisi ikut-ikutan menendang
Tak ada rasa kasihan
‘Dar!’
Dari batu sampai bambu Suara tembakan di langit terdengar sayu
Dari golok sampai balok Aku terkapar di tanah
Diacung-acungkan ke arahku
Seorang ABRI menggusurku
Serentak berkata Darah dan becek tanah bercampur di tubuh
‘Allahu Akbar’ Aku dilemparkan ke atas bak mobil
Batu, bambu dan balok beterbangan ke Kondisi diantara sadar dan tidak
arahku

‘Saudara-saudara sekalian
Selang kejadian
Tolong hentikan
Sesosok tubuh dilemparkan lagi ke atas bak
Biar pengadilan yang menentukan mobil
hukuman’
Kuperhatikan wajah yang penuh luka itu
‘Karta’
Aku masih diselimuti kebingungan
Disambut rajia seluruh badan
Kami ditangkap atas tuduhan perampokan,
Kepalaku ditodong senjata laras panjang Juga pembunuan.
Mendekati puluhan ABRI dan Polisi

‘Ya… gantung saja!’


‘Dasar orang yang tak tahu diri!’
‘Sampah masyarakat!’

Anda mungkin juga menyukai