Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit

Indonesia adalah negara dengan luas areal kelapa sawit terbesar di dunia,
yaitu sebesar 34,18% dari luas areal kelapa sawit dunia. Pencapaian produksi rata-
rata Indonesia tahun 2004-2008 sebesar 40,26% dari total produksi kelapa sawit
dunia (Fauzi, 2012). Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu
jenis limbah padat yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit.
Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit cukup signifikan bila ditinjau
berdasarkan rerata nisbah produksi tandan kosong kelapa sawit terhadap total
jumlah tandan buah segar (TBS) yang diproses (Arif, 2012). Setiap 1 ton tandan
buah segar (TBS) akan menghasilkan limbah padat berupa serabut (fibre) 130 kg
(13%/ton) dengan kalori sekitar 2637-4554 kkal/kg, cangkang (shell) 65 kg
(6,5%/ton) dengan kalori 4105 - 4802 kkal/kg, tandan kosong (empty fruit bunch)
230 kg (23 % /ton) dengan kalori 2492 kkal/kg, sedangkan limbah cair (POME)
sekitar 600-700 kg, (60%/ton) (Wibowo, 2015).

Tandan kosong sawit adalah residu sampah yang dihasilkan dari industri
kelapa sawit. Setelah panen, tandan ini disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal
untuk menonaktifkan enzim dalam pericarp dan melonggarkan buah-buahan dari
tandan (Kerdsuwan dkk., 2011 dalam Kavitha dkk., 2013). Tandan yang
disterilkan dimasukkan ke dalam thresher (drum berputar) untuk menyisihkan
buah yang telah steril dari tandan. Tandan ini tanpa buah disebut sebagai tandan
kosong yang disampaikan ke tanah, sedangkan buah yang steril lebih lanjut
digunakan sebagai bahan baku untuk produksi minyak sawit (Kavitha dkk., 2013).
Secara fisik tandan kosong kelapa sawit terdiri dari berbagai macam serat
dengan komposisi antara lain selulosa (24-65%), hemiselulosa (21-34%) dan
lignin (14-31%) (Chang, 2014 dalam Palamae dkk., 2016). Komposisi kimia dari
serat TKS sebelum treatment adalah sebagai berikut 36,6 ± 0,6% hemiselulosa,
28,3 ± 1,0% selulosa, dan 35,1 ± 0,8% lignin. Nilai-nilai ini umumnya sebanding
dengan rentang yang dilaporkan oleh Chang (2014). Konten hemiselulosa adalah
<3% lebih tinggi dari nilai 34% yang dilaporkan oleh Chang (2014) dan lignin
adalah sekitar 4% lebih dari nilai 31% yang dilaporkan oleh Chang (2014).

Namun perlu diketahui bahwa tandan kosong kelapa sawit merupakan


sumber bahan organik yang kaya unsur hara N, P, K, dan Mg. Jumlah tandan
kosong kelapa sawit diperkirakan sebanyak 23% dari jumlah tandan buah segar
yang di olah. Dalam setiap ton tandan kosong kelapa sawit mengandung hara N
1,5%, P 0,5%, K 7,3%, dan Mg 0,9% yang dapat digunakan sebagai substitusi
pupuk pada tanaman kelapa sawit (Sarwono, 2008). Solusi untuk mengatasi
masalah limbah tandan kosong kelapa sawit dengan pemanfaatan tandan kosong
kelapa sawit menjadi kompos ini memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi.
Hal ini didukung dengan semakin meningkatnya permintaan pupuk kompos
sebagai salah satu bentuk dari asupan organik bagi tanaman dewasa ini (Refqi,
2013).

Salah satu potensi tandan kosong kelapa sawit yang cukup besar adalah
sebagai bahan pembenah tanah dan sumber hara bagi tanaman. Potensi ini
didasarkan pada kandungan tandan kosong kelapa sawit yang merupakan bahan
organik dan memiliki kadar hara yang cukup tinggi. Pemanfaatan tandan kosong
kelapa sawit sebagai bahan pembenah tanah an sumber hara ini dapat dilakukan
dengan cara aplikasi langsung sebagai mulsa atau dibuat menjadi kompos
(Darmosarkoro dan Rahutomo, 2007).

Tandan kosong kelapa sawit berfungsi ganda yaitu selain menambah hara
dalam tanah, juga meningkatkan kandungan bahan organik tanah yang sangat
diperlukan bagi perbaikan sifat fisik tanah. Dengan meningkatnya bahan organik
tanah maka struktur tanah semakin mantap dan kemampuan tanah menahan air
bertambah baik. Perbaikan sifat fisik tanah tersebut berdampak positif terhadap
pertumbuhan akar dan penyerapan unsur hara (Ditjen PPHP, 2006).

Menurut Sakiah (2012), kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang


menguntungkan antara lain:
1. Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan
2. Membantu kelarutan unsur – unsur hara yang diperlukan bagi
pertumbuhan tanaman
3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman
4. Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam
tanah
5. Dapat diaplikasikan pada sembarang musim.

2.2 Pengomposan
Pengomposan atau dekomposisi merupakan peruraian dan pemantapan
bahan-bahan organik secara biologi dalam temperatur yang tinggi dengan hasil
akhir bahan yang bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan
(Prihandarini,2004 dalam Agustina 2007). Dengan kata lain terjadi perubahan
fisik semula menjadi fisik yang baru. Perubahan itu terjadi karena adanya kegiatan
jasad renik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahan organik yang dapat
digunakan sebagai kompos dapat berasal dari limbah hasil pertanian dan non
pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia dkk.,2001 dalam Harizena
2012). Limbah hasil dari pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan
brangkasan),sisa hasil pertanian (sekam, dedak padi, kulit kacang tanah, ampas
tebu,dan belotong). Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan
dari pasar atau sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman
kota (Setyorini dkk.,2003 dalam Harizena 2012).
Kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan yaitu pada tahap
pertama yaitu tahap penghangatan (tahap mesofilik), mikroorganisme hadir dalam
bahan kompos secara cepat dan temperatur meningkat. Mikroorganisme mesofilik
hidup pada temperatur 10-45oC dan bertugas memperkecil ukuran partikel bahan
organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses
pengomposan. Pada tahap kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme
termofilik hadir dalam tumpukan bahan kompos. Mikroorganisme termofilik
hidup pada tempratur 45-60oC dan bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan
protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.Mikroorganisme
ini berupa Actinomycetes dan jamur termofilik. Sebagian dari Actinomycetes
mampu merombak selulosa dan hemiselulosa. Kemudian proses dekomposisi
mulai melambat dan temperatur puncak dicapai. Setelah temperatur puncak
terlewati, tumpukan mencapai kestabilan, dimana bahan lebih mudah
terdekomposisikan. Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan. Pada
tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan makanan
bagi mikroorganisme ini juga berkurang, hal ini mengakibatkan organisme
mesofilik mulai beraktivitas kembali. Organisme mesofilik tersebut
akanmerombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya
menjadi gula yang lebih sederhana, tetapi kemampuanya tidak sebaik organism
termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun jumlahnya dan panas yang
dilepaskan relatif kecil (Djuarnani dkk.,2005).

2.3 Metode pengomposan


Secara garis besar metode pengomposan saat ini dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori besar yaitu metode in-vessel dan windrow. Keistimewaan
dari metode windrow adalah akumulasi (penggabungan) substrat kedalam
tumpukan. Biasanya tumpukan memiliki tinggi 1.5 – 2.5 m dan dibentuk
memanjang. Sedangkan untuk metode In-vessel, seluruh atau sebagian dari
pengomposan berlangsung didalam reaktor. (Diaz dkk., 2007)

2.3.1 Windrow system


Windrow system dapat dibagi atas dasar metode aerasi menjadi turned
windrow dan forced air windrow (static pile system / stationary windrow system).
Klasifikasi system windrow yang tidak lagi digunakan adalah open windrow
.
2.3.1.1 Forced air window / aerated static pile
Forced aerated system pada dasarnya melibatkan periode awal
melewatkan udara kedalam dan melalui tumpukan, diikuti dengan periode
memaksa udara keatas melalui tumpukan. Pada tahap menarik (hisap), udara
meninggalkan sistem dan dibuang langsung ke lingkungan, atau dipaksa melalui
tumpukan kompos matang atau materi organic stabil. Guna dari prosedur kedua
adalah untuk menghilangkan bau aliran udara buangan. Ini menunjukkan kompos
matang dan bahan organic lainnya dapat menjadi filter bau. System ini meliputi
enam langkah, diantaranya :

1. Pencampuran bulking agent dengan limbah yang akan dikomposkan.


2. Konstruksi dari windrow.
3. Proses pengomposan.
4. Penyaringan campuran kompos tercampur untuk mengurangi bulking
agent.
5. Pengobatan.
6. Penyimpanan
Pembangunan windrow yaitu sebagai berikut, serangkaian pipa berlubang
10.2 – 15.2 cm (diameter) ditempatkan pada pad kompos. Pipa-pipa yang
berorientasi longitudinal dan ditempatkan sejajar dengan windrow tersebut. Aliran
pendek udara dihindari dengan mengakhiri pipa sekitar 1.5 – 2.7 m daru tepi
windrow. Pipa berlubang yang terhubung ke blower memlalui lengan pipa dari
non perforasi. Setelah jaringan pipa pada tempatnya, pipa tersebut ditutup oleh
lapisan bulking agent atau kompos matang yang membentang daiatas area yang
akan dicakup oleh bahan windrow yang akan dibuat kompos. Lapisan dasar ini
disediakan untuk memfasilitasi pergerakan dan keseragaman penyebaran udara
selama pengomposan. Itu sekalian menyerap kelembaban berlebih dan
meminimalkan rembesan dari tumpukan. Bahan yang akan dibbuat kompos
kemudian ditumpuk pada pipa dan tempat material penting untuk mwmbwntuk
windrow. Tumpukan matang memiliki panjang sekitar 20 – 30 cm, lebar 3 – 6 m,
dan tinggi 1.5 – 2.5 m.
Akhirnya seluruh tumpukan bahan kompos ditutup dengan lapisan kompos
matang yang tebalnya sekitar 15 cm jika kompos penutup disaring, dan tebal 20
cm jika kompos penutup tidak disaring. Penutup berfungsi untuk menyerap bau
dari material yang dikomposkan dan memastikan terjadinya tingkat suhu tinggi
seluruh bahan kompos. Pada zaman sekarang, terdapat bahan sintesis yang dapat
ditempatkan pada windrow untuk dasarnya agar mencapai hasil yang sama.
Pengalaman menunjukkan bahwa pemaksaan terus menerus pada udara melalui
tumpukan tidak perlu untuk memelihara kondisi aerobic.
Porositas massa kompos merupakan factor penting dalam forced aerated
system. Dengan demikian penting bahwa kadar air sedemikian rupa sehingga
rongga bebas dari air, tingkat kadar air yang aman adalah kisaran 40 – 55%.
Awalnya disain forced aeration system disebut bahwa udara keluar akan menjadi
dilewatkan meski kecil, tumpukan berbentuk kerucut, dansebaiknya kompos
matang (sebagai biofilter). Pada Beltsville, pada dasarnya tumpukan ini biasanya
tinggi sekitar 1.2 m dan diameter sekitar 2.4 m. kadar air dari bahan dalam
tumpukan harus kurng dari 50%. Sejak itu desain dari biofiltrasi telah berevolusi
secara substansial. Biofiltrasi kini telah menjadi komponen integral dari system
manajemen udara dalam operasi pembuatan kompos dan fasilitas industry lainnya.
Dalam proses Beltsville, lumpur untuk dibuat kompos (kira-kira 22%
padatan) yang dicampur dengan serpihan kayu (bulking agent) pada rasio
volumetric dari satu bagian lumpur ke dua bagian kayu. Proses pengomposan
memerlukan waktu dari dua sampai tiga minggu. Ketika proses telah mencapai
penyelesaian, tumpukan tersebut diruntuhkan dan bahan disaring. Jika bahan
penting untuk daur ulang, bukaan layar diatur sedemikian rupa agar bahan penting
tetap dilayar dan kompos dapat dikeluar dari tumpukan.
Jika jumlah materi yang hendak dikomposkan besar, maka extended
aerated pile dapat digunakan. Tumpukan pada extended aerated memiliki susunan
sebagai berikut : pada hari pertama, tumpukan dibangun dengan cara yang sama
dengan forced aerated (aerated static pile), kecuali bahwa hanya satu sisi dan dua
ujung tiang ditutupi dengan lapisan kompos matang.
Namun, sisi yang tertutup dengan kompos matang untuk mencegahnya
keluarnya bau tertentu. Pada hari kedua, jaringan kedua pipa dan bedding(tempat
meletakkan kompos) diletakkan berbatasan langsung dengan sisi terbuka dari
rumpukan yang didirikan pada hari pertama, dan tumpukan tersebut didirikan
dengan cara yang sama seperti tumpukan satu. Prosedur ini diulang selama 28
hari. Tumpukan pertama dipindahkan setelah 21 hari, tumpukan kedua pada hari
setelahnya, dan seterusnya. Keuntungan dari pendekatan ini adalah pengurangan
substansi dalam dalam persyaratan tata ruang.
Kebutuhan lahan untuk system yang menggunakan tiang tunggal adalah
sekitar 1 ha per 7 – 11 ton (berat kering) dari lumpur yang diproses. Estiasi sekitar
7 ton / ha memungkinkan untuk lahan yang cukup untuk menampung limpasan,
administrasi, dan penyimpanan.

2.3.1.2 Turned windrow system


Metode turned windrow adalah salah satu metode tradisional dan
konvensional dalam pengomposan. Istilah turned berlaku untuk metode yang
digunakan untuk aerasi. Pada intinya, turned terdiri dalam pembongkaran
tumpukan dan merekonstruksinya. Terdapat banyak rincian dan variasi metode
pembalikan. Pembalikan tidak hanya penggerak aerasi, tetapi juga memastikan
keseragaman dekomposisi dengan membuka pada satu waktu atau keseluruhan
bahan pengomposan menjadi zona partikel aktif pada tumpukan. Selain itu,
pembalikan juga berfungsi untuk mengurangi ukuran partikel dari beberapa
bahan. Keuntungannya yaitu merduksi air dengan cepat oleh proses pembalikan.
Di sisi lain, mereduksi air merupakan suatu kerugian jika tingkat kelembaban
terlalu rendah, sangat baik untuk melakukan penambahan air selama proses
pembalikan.
Tumpukan harus dalam bentuk windrow dan mengerucut dibagian atas.
Namun dalam kondisi khusus berbentukk cross-sectional. Sebagai contoh selama
kering, periode berangin, tumpukan dalam bentuk loaf (papan roti) cenderung
pipih keatas karena rasio luas permukaan terkena volume yang lebih rendah
seeprti konfigurasi. Selain itu volume zona panas lebih besar dengan penampang
segitiga atau kerucut. Sebaliknya selama cuaca basah adalah kerugian karena air
diserap kedalam massa kompos. Idealnya tinggi windrow harus sekitar 1.5 – 2.0
m. jika pembalikan manual maka tingginya harus dikira-kira sesuai dengan buruh
dan peralatan yang digunakan.
Alat yang lengkap untuk melakukan pembalikan manual adalah pitchfork
(garpu rumput). Umumnya garpu rumput memuliki empat atau lima gigi.
Beberapa hal harus diingat ketika melakukan pembalikan manual. Idealnya proses
pembangunan kembali tumpukan, material dari luar lapisan dari windrow asli
harus dipindahkan kedalam windrow yang dibangun kembali.

2.3.2 In- vessel system


Pada metode in-vessel, diaplikasikan tahapan pengomposan menggunakan
tempat. Karena pengomposan merupakan proses biologis, unit ini desebut
bioreaktor. Seiring berjalannya waktu , tipe dan jumlah dari bioreaktor mengalami
peningkatan. Desainnya berkembang, dan umumnya terbagi kedalam 2 jenis
utama yaitu vertical dan horizontal, dan tipe lainnya disebut dengan drum
berputar.

2.3.2.1 Vertical Reactor


Vertical reaktor termasuk jenis kontainer atau tank silinder. Reactor dapat
dibuat dari baja dan beton, dan umumnya mengisolasi suhu panas. Reaktor
dibangun dengan kapasitas dari 1 m3 sampai 1500 m3. Dalam desain yang umum
digunakan, material yang dikomposkan dimasukkan melalui atas dan dikeluarkan
dari bawah unit. Umumnya, materi yang dipindahkan dari reactor melalui
konveyor berputar, yang mana reaktor betul-betul dipertimbangkan untuk
beroperasi secara kontiniu.
Oksigen disediakan untuk mikroorganisme dengan forced aeration, baik
melalui bagian bawah dengan cara pipa aerasi, atau dari atas dengan memasukkan
bentuk manifold dengan rangkaian dari tobak udara yang dimasukkan kedalam
massa kompos. Kebanyakan vertical reactor digunakana untuk mengomposkan
limbah padat dan lumpur yang memiliki gangguan jumlah kesulitan operasi dan
sudah tertutup.

2.3.2.2 Horizontal Reactor


Horizontal reactor adalah unit yang beroperasi dalam posisi horizontal,
dan diklasifikasikan menjadi (1) channels, (2) cells, (3) container, (4) tunnels.
a. Channels (saluran)
Desain ini mirip dengan windrow system, perbedaan utama antara saluran
dan windrow adalah dalam pengomposan system saluran, bahan untuk
dijadikan kompos ditempatkan diantara dinding. Variasi dinding yaitu 1 – 3
meter dan ditempatkan terpisah sekitar 6 meter. Panjang saluran umumnya
50m. Dalam desain ini, bahan kompos disimpan pada kondisi aerobik dengan
mamaksa udara masuk melalui massa. Aerasi dimasukkan dengan kombinasi
pembalikan mekanik. Seluruh saluran disimpan didalam reaktor. Dalam desain
modern, untuk mengelola dampak negative potensi emisi dari massa kompos,
breaktor pengolahan disimpan dalam tekanan rendah. Udara yang dikeluarkan
dari reaktor diarahkan ke biofilter atau perangkat control polusi udara lainnya.
Beberapa reaktor ini bergantung pada aerasi, sementara yang lainnya
menggunakan tekanan negatif.
b. Cells
Cells atau yang dikenal dengan biocell merupakan unit yang tertutup,
umumnya berbentuk persegi panjang, tempat pengomposan berlangsung.
Karena wadah sepenuhnya tertutup, kondisi lingkungan dari proses
pengomposan dapat dioptimalkan. Cells pada dasarnya adalah proses yang
batch (berkelompok) dan dapat dibangun di tempat. Mayoritas desain
menggabungkan isolasi thermal pada semua permukaan luar untuk menjaga
kerugian panas minimum.
Awalnya substrat dimasukkan kedalam sel dengan cara dimasukkan
menggunakan conveyor. Setelah unit terisi, cell ditutup dan proses
pengomposan dimulai. Biasanya periode pengomposan yaitu 14 hari. Oksigen
diberikan kepada massa kompos dengan system aerasi, udara dipaksa masuk
keatas melalui lantai cell (menggunakan pipa). Gas buangan dibuang ke
bagian atas cells dan diarahkan ke biofilter. Kelelmbaban biomassa dengan
cara system pengairan dibagian atas cell (dengan pipa). Setiap kelembaban
dikumpulkan dan diresirkulasi. Setelah pengomposan selesai, bahan kompos
dikeluarkan dari cells. Beberapa model biocell untuk mencampur bahan
didalam wadah dilakukan menggunakan conveyor sekrup dan lantai bergerak.
c. Containers
Container biasa berbentuk persegi panjang dengan kapasitas volumetric
mulai dari 20 – 40 m3. Dalam instalasi, bagian atas wadah dibuka dan bahan
baku dimasukka kedalam wadah dengan conveyor berjalan. Air dipaksa
masuk dari bagian bawah wadah memalui mozel atau pipa. Udara yang
dikeluarkan dari wadah diangkut ke system biofilter. Biasanya wadah
dilengkapi dengan system untuk penambahan air. Setiap kelebihan
kelembaban dibuang secara gravitasi melalui perforasi yang terletak dibagian
bawah wadah. Setelah 8 – 15 hari, pintu yang berada disalah satu ujung wadah
dibuka dan bahan kompos yang telah jadi dikeluarkan.

d. Tunnels (terowongan)
Tunnels atau biotunnels biasanya bersifat terisolasi. Kotak persegi panjang
yang terbuat dari logam, beton, atau batu bata. Dimensinya kira-kira lebar 4 –
5 m, tinggi 3 – 4 m, dan panjang samapi 30 m. substrat dimasukkan melalui
salah satu ujung terowogan tiap harinya. Materi yang bergerak menuju ujung
terowongan dengan cara piston hidrolik.
Kelembaban dan oksigen diatur dengan cara air dan udara dapat
ditambahkan sesuai kebutuhan. Air umumnya disediakan melalui kompresor
dan memaksa udara masuk melalui lantai. Beberapa desain menggunakan
kipas sentrifugal sebab kompresor menghasilkan kebisingan. Pipa ditempatkan
diatap unit untuk mengeluarkan udara dari dalam melalui tekanan negative.
Seluruh proses dikendalikan dengan cara computer. Aktu pengomposan 14
hari, dan berlangsung aerasi dengan pembalikan.

3.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan


Nutongkaew et al (2011) menjelaskan bahwa proses pengomposan
dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu,
kadar air, karbon-nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan
baku. Menurut Tchobanoglous (1993),untuk menghasilkan produk kompos yang
bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor
nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien,
mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar
air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan
bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan,
temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan
pengomposan harus dikontrol.
Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang
memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel
baru, bersama dengan pasokan nitrogen untuk protein sel. Nitrogen merupakan
unsur hara paling penting. Perbandingan karbon dan nitrogen (C/N) berkisar
antara 25-35 : 1. Jika perbandingan jauh lebih tinggi, proses metabolisme
membutuhkan waktu lama sebelum karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida,
sedangkan jika perbandingan lebih kecil, maka nitrogen yang merupakan
komponen penting pada kompos akan dibebaskan sebagai amonia
(Outerbridge,1991 dalam Anon., 2011).
Ukuran partikel berperan dalam pergerakan oksigen ke dalam tumpukan
kompos (melalui pengaruh porositas), akses mikroorganisme dan enzim untuk
substrat. Partikel ukuran besar mendifusikan oksigen akibat rata-rata pori besar.
Namun, partikel yang lebih besar juga meminimalkan permukaan spesifik dari
substrat, yang merupakan rasio luas permukaan dengan volume, sehingga
sebagian besar substrat tidak terakses pada mikroorganisme atau enzim mereka.
Pengomposan yang efisien membutuhkan akses terhadap oksigen dan nutrien di
partikel (Sylvia et al,2005 dalam Anon., 2011).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen)
dan anaerobik (tidak menggunakan oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya
adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses
dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi juga dapat terjadi tanpa
menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Sistem pengomposan
bertujuan untuk mempertahankan kondisi aerob selama proses. Pengomposan
pada kondisi aerob meningkatkan laju dekomposisi, sehingga terjadi peningkatan
temperatur. Apabila aerasi tidak terhambat, maka tidak dihasilkan bau tidak sedap.
Pada proses anaerob akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam
mikroorganisme yang menyebabkan pengawetan keasaman dan pembusukan
tumpukan yang menimbulkan bau busuk. Aerasi diperoleh melalui gerakan alami
dari udara ke dalam tumpukan kompos, dengan membolak-balik.
Kelembaban merupakan faktor utama dalam pengomposan aerob.
Kelembaban dibawah 20 % menyebabkan pengomposan terhenti. Jika
kelembaban diatas 55 %, air akan mulai mengisi ruang antara bahan,
menyebabkan pengurangan jumlah oksigen dan terbentuk kondisi anaerob,
sehingga temperatur menurun dan menimbulkan bau tidak sedap (Holmes, 1981
dalam Anon., 2011). Dalam proses pengomposan, salah satu faktor yang harus
diperhatikan ialah kelembaban. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan
organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 – 60%
adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di
bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah
lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan
tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan
akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Widharti,
2015). Karena itu dekomposisi bahan organik sangat tergantung dari kelembaban
lingkungan dan oksigen yang diperoleh dari rongga udara yang terdapat diantara
partikel bahan yang dikomposkan.

pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di


lingkungan. pH kompos bervariasi dengan waktu selama proses pengomposan dan
digunakan sebagai indikator dekomposisi dalam massa kompos. pH awal bahan
pengomposan sekitar 5,0 sampai 7,0. Setelah tiga hari pengomposan, pH menurun
menjadi 5,0 atau kurang karena hasil penguraiannya adalah asam organik
sederhana dan kemudian meningkat sekitar 8,5 sebagai akibat sisa dari proses
aerob (protein diuraikan dan amonia dilepaskan).
3.3 Kompos

Pengomposan timbul dari kegiatan mikroorganisme, sehingga diharapkan


bahwa proses pengomposan akan lebih baik dengan penambahan inokulan dari
kultur mikroorganisme. Mikroorganisme berkembangbiak dengan sangat cepat,
dan dalam beberapa hari jumlahnya dapat mencapai titik maksimum yang
dimungkinkan oleh kondisi lingkungan dalam tumpukan kompos. Kompos yang
baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan yang cukup dengan
dicirikan warna sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, berbau seperti
tanah, kadar air rendah, dan mempunyai suhu ruang. Standar Nasional Indonesia
(SNI) memiliki syarat mutu produk kompos untuk melindungi konsumen dan
mencegah pencemaran lingkungan. Standar ini dapat dipergunakan sebagai acuan
bagi produsen kompos dalam memproduksi kompos.Adapun standar kualitas
kompos dari sampah organik domestik yang merujuk pada SNI 19-7030-2004.
Berikut standar kualitas kompos berdasarkan spesifikasi SNI 19-7030-
2004, yaitu :
Tabel 2.1. Standar Kualitas Kompos
No Minimu
Parameter Satuan Maksimum
. m
1 Kadar Air % - 50
suhu air
2 Temperatur °C
tanah
3 Warna kehitaman
4 Bau berbau tanah
5 pH 6,8 7,49
6 Nitrogen % 0,4 -
7 Karbon % 9,8 32
8 Phospor % 0,1 -
9 rasio C/N 10 20
10 Kalium % 0,2 -
Sumber : SNI 19-7030-2004

1.2.1 POME

1.2.1.1. Pengertian dan Karakteristik

Palm Oil Mill Effluent atau biasa disebut POME merupakan limbah cair dari
kelapasawit yang berasal dari pemurnian minyak mentah. Jika dibandingkan
dengan limbah lainyang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit, POME memiliki
persentase yang palingbesar diantara yang lainnya.Limbah POME sebenarnya
tidak beracun, namun limbah ini memiliki pengaruhyang cukup besar terhadap
lingkungan disebabkan adanya Biochemical oxygen demandatau BOD dan
Chemical oxygen demand atau COD. Kedua komposisi ini
merupakankarakteristik utama dari POME yang dapat merusak
lingkungan.Berikut ini adalah karakteristik dari POME. Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit(LPCKS) berwarna kecoklatan, terdiri dari padatan terlarut
dan tersuspensi berupa koloiddan residu minyak dengan kandungan COD dan
BOD tinggi 68.000 mg/ L dan 27.000 mg/L, bersifat asam (pH nya 3,5 - 4), terdiri
dari 95%air, 4-5% bahan-bahan terlarut dantersuspensi (selulosa,protein,lemak)
dan 0,5-1%residu minyak yang sebagian besar berupaemulsi. Kandungan TSS
(Total Suspensi Solid) LCPKS tinggi sekitar 1.330

50.700 mg/ L,besi (Fe) 46,5 mg/ L dan seng (Zn)2,3 mg /L serta amoniak 35
mg/L (Ma, 2000)Karena dampaknya yang sangat berbahaya bagi lingkungan
seharusnya limbahPOME ini harus dilakukan treatment yang bertujuan untuk
mengurangi dampak kerusakanyang akan ditimbulkan pada lingkungan. Dampak
utama yang dapat ditimbulkan padalingkungan yaitu rusaknya ekosistem air yang
akan menyebabkan terganggunya organismeakuatik yang ada. Hal ini juga
merupakan dampak buruk pagi perusahaan tersebut, karenaperusahaan kelapa
sawit membutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar untukmengekstraksi
tandan buah segar sampai menjadi minyak sawit mentah.

2.1.2. Penanganan limbah POME di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki industri kelapa sawit
dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan banyaknya industri kelapa sawit yang
ada di Indonesiamaka jumlah limbah kelapa sawit yang dihasilkan di Indonesia
juga cukup banyak. Jumlahlimbah kelapa sawit terutama POME yang banyak di
Indonesia sayangnya belum dapatdimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat dan
hanya menyebabkan berbagai masalahlingkungan dan ekosistem di sekitar
industri tersebut. Industri kelapa sawit di Indonesiabiasanya hanya membuang
limbah POME ini ke sungai atau hanya ditampung dalam bakpenampungan yang
diberi treatment tertentu lalu dibuang ke sungai. Hal ini sangatdisayangkan karena
limbah POME ini sebenenarnya sangat berguna jika bisa dimanfaatkandengan
baik. Salah satu contoh pemanfaatan limbah POME ini adalah konversi
menjadibiogass dengan menggunakan teknik penguraian anaerobic atau beberapa
teknik lain.Biogass yang dihasilkan dari proses ini dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energy yangnantinya dapat dimanfaatkan kembali oleh industri tersebut
dalam memproses kelapa sawitsampai menjadi minyak yang dapat dipasarkan.

Anda mungkin juga menyukai