Anda di halaman 1dari 21

DESAIN TEKNIK LINGKUNGAN 2

TUGAS 2

Pengomposan Limbah Padat Industri Gula dengan


Aerated Static Pile
Disusun oleh:
Kelompok D
Yuniki Mediayati

15311016

Muhammad Andhika P.

15311018

Nina Mulyani

15311022

Tito Faradhimu

15311036

Laurentia Mutiara Sani W

15311048

Rica Martyna

15311046

Annida Ferani Ramadhiani

15311050

Marissa Rakhma Sofiani

15311066

Refnilda Fadhilah

15311068

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014

A. PENDAHULUAN
Proses pembuatan gula dengan bahan baku tebu menghasilkan limbah padat yang secara
kuantitas cukup besar, antara lain ampas tebu (bagas) dan blotong. Blotong (filter cake)
merupakan residu dari proses pemurnian nira berupa endapan semi basah seperti lumpur yang
cukup padat (Isroi 2008). Sedangkan bagas merupakan hasil sisa penggilingan dan pemerahan
tebu di stasiun penggilingan berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur
Pemanfaatan limbah padat gula dapat dimanfaatkan dengan cara pengomposan. Akan tetapi,
apabila dilakukan pengomposan secara tunggal terhadap blotong ataupun bagas saja., maka
proses pengomposan yang terjadi tidak akan optimum. Hal ini dikarenakan nilai rasio C/N
awal bahan-bahan tersebut ada yang sangat tinggi dan juga ada yang rendah. Blotong
memiliki nilai C/N rendah, maka diperlukan bahan-bahan tambahan yang kaya karbon,
seperti jerami, sekam, atau serbuk-serbuk kayu (Dalzell 1987).
Agar proses menjadi lebih efektif dan efisien maka pengomposan blotong dan bagas
dilakukan bersama. Hal ini disebabkan bagas tergolong kaya akan karbon sehingga dapat
menjadi penyeimbang nilai C/N dari blotong yang rendah. Oleh karenanya, nilai rasio C/N
awal pengomposan yang ideal dapat dicapai. Proses penggabungan ini disebut juga
Pengomposan bersama atau Co-composting. Pengomposan bersama (Co-composting) adalah
pengontrolan degradasi aerobik dari bahan organik dengan menggunakan lebih dari satu
bahan baku.

B. PENGOMPOSAN
Pengomposan merupakan suatu proses biokimiawi yang mendekomposisi bahan organik
menjadi zat-zat humus oleh berbagai macam mikroorganisme pengurai pada kondisi
terkontrol. Biokonversi dilakukan oleh mikroorganisme heterotrofik yang berbeda-beda
seperti bakteri, kapang, protozoa, dan actinomycetes (Gaur 1983). Limbah padat organik
memiliki kandungan karbon organik yang tinggi sehingga mempermudah sirkulasi dan aliran
udara masuk ke dalam co-composting (Drescher et al. 2006).
Menurut Indrasti (2004), ada beberapa metode produksi yang dapat dilakukan dalam
mengomposkan bahan organik, baik secara aerobik ataupun anaerobik. Proses dekomposisi
bahan organik menurut Setyorini (2006) terjadi secara biofisiko kimia melibatkan kegiatan

biologis mikroba dan

mesofauna. Secara umum, proses dekomposisi biokimiawi secara

aerobik dan anaerobik dapat dilihat pada persamaan 1 dan 2 :

Dekomposisi bahan spesifik pada pengomposan aerobik menurut Gaur (1983) dapat dilihat
pada persamaan 3, 4, 5 dan 6 :

Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan dikarenakan mudah dan murah untuk
dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang sulit. Dekomposisi bahan dilakukan
oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Proses pengomposan
yang sempurna akan menghasilkan produk pupuk yang tidak berbau dan tidak bersifat
patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya.
Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau busuk dan memiliki waktu
pengomposan yang relatif singkat sehingga proses ini cocok untuk diaplikasikan pada
pengomposan limbah industri gula. Hasil akhir proses pengomposan berupa bahan yang
bagus untuk digunakan tanah sebagai pemulih unsur hara (Indriani 1999).
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses
pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap
pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah
terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan
meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu
akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.

Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada
suhu tinggi.Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif.
Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan
organik menjadi CO2, uap air dan panas.

Gambar 1 Proses umum pengomposan limbah padat organik


(Rynk 1992)

Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami
penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan
komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun
biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 40% dari volume/bobot awal bahan.

C. KRITERIA PENGOMPOSAN
a)

Ratio C/N
Dalam pengomposan, terdapat dua faktor utama yang perlu diperhatikan yaitu nilai C/N
awal dan ketersediaan oksigen (Aerasi). Pertama nilai C/N awal, karena menurut Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (2003), setiap bahan organik mengandung unsur C
(karbon) dan N (nitrogen) dengan perbandingan yang berbeda-beda. Suatu bahan yang
mengandung unsur C tinggi maka nilai C/N juga akan tinggi, sebaliknya bahan yang
mengandung unsur N tinggi maka nilai C/N akan rendah. Nilai C/N tersebut akan sangat
berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi.
Maka dari itu nilai C/N awal pengomposan perlu untuk diatur. Material kompos
memerlukan nilai C/N yang ideal sehingga dapat mengoptimalkan penguraian bahan
organik.Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nilai C/N sekitar 30, sedangkan

kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N kurang dari 20.Bahan organik yang
memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terdekomposisi dalam waktu yang
lama.Selain itu, keadaan ini dapat menyebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam
proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu
rendah akan terjadi kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia, karena menguap
(teroksidasi) selama proses perombakan berlangsung. (Rynk 1992)
b) Aerasi
Adapun faktor kedua yang perlu diperhatikan dalam pengomposan adalah tingkat
ketersediaan oksigen.Secara alami pengomposan telah mendapatkan oksigen dari alam,
namun untuk mempercepat proses maka dibuatlah kondisi pengomposan menjadi lebih
optimum, yaitu dengan menambahkan proses aerasi ke dalam proses pengomposan agar
aktivitas bakteri aerob dapat berlangsung secara optimum (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian 2003).
Proses pengomposan secara aerobik membutuhkan oksigen yang cukup untuk aktivitas
mikroorganisme pengurai.Aerasi secara alami akan terjadi saat terjadi peningkatan suhu
yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Proses aerasi dapat dibantu dengan pembalikan atau mengalirkan
udara ke dalam tumpukan kompos. Apabila aerasi terhambat akan menimbulkan proses
anaerob yang ditandai dengan bau busuk. (Isroi 2008).
c) Suhu
Faktor ke tiga adalah suhu. Proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan panas
akibat dari metabolisme mikroba pengurai. Pada awal pengomposan suhu tumpukan
bahan akan berada pada kisaran 32C dan lama-kelamaan seiring dengan meningkatnya
aktivitas mikroorganisme suhu tumpukan bahan akan terus naik hingga 60C bahkan bisa
mencapai 78C. Tinggi rendahnya suhu pengomposan sangat bergantung pada jenis
bahan yang dikomposkan. Bahan dengan nilai C/N tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi
sebaliknya bahan-bahan dengan nilai C/N rendah akan dengan cepat mencapai suhu
tinggi.
Semakin tinggi suhu yang bisa dicapai maka akan semakin cepat pula proses
pengomposan. Kecenderungan inilah yang menimbulkan cara menyiasati agar
pengomposan berlangsung lebih cepat yaitu dengan cara menutup bahan yang dikompos

dengan terpal atau plastik hitam agar panas yang dihasilkan dari metabolisme mikroba
pengurai tidak keluar tetapi tetap bertahan di dalam. (Balai Pengkaian Teknologi
Pertanian 2003)
d) Ukuran Partikel & Porositas
Aktivitas mikroba pengurai berada di permukaan area bahan dan udara.Ukuran partikel
yang lebih kecil memiliki permukaan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan
kontak antara mikroba dengan bahan.Hal ini dapat mempercepat proses dekomposisi
bahan organik.Secara langsung ukuran partikel dapat mempengaruhi porositas dari
timbunan kompos. Porositas merupakan ruang diantara partikel yang terbentuk di dalam
timbunan kompos. Ruang antar partikel ini merupakan areal untuk sirkulasi air dan udara
(Isroi 2008).
e)

Kelembaban (Kadar Air)


Kelembaban yang tepat pada kompos akan menyediakan kondisi yang sesuai bagi proses
biologis yang terjadi dalam pengomposan. Kompos yang terlalu basah menyebabkan
penghambatan proses aerasi dan proses akan berlangsung anaerobik, sedangkan kompos
yang terlalu kering dekomposisi tidak akan terjadi. Selama pengomposan, nilai
kelembaban yang diharapkan yaitu 55% per berat kompos, dengan batas atas 60% dan
batas bawah 45%.
Indriani (1999) menambahkan kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan
organik. Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik bila kadar airnya mencapai 40-60 %.
Kadar air yang terlalu tinggi mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi
sehingga tercipta kondisi anaerob. Kadar air terlalu rendah dapat menyebabkan
mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga dekomposisi bahan organik oleh
mikrorganisme tidak optimal (Indrasti 2007).

f)

Nilai pH
Nilai pH optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5.Pengomposan
dapat menyebabkan perubahan bahan organik sehingga terjadi perubahan pH.Bahan
organik yang terurai menghasilkan asam akan menurunkan pH sedangkan yang
menghasilkan ammonia akan meningkatkan pH pada fase awal. Namun, kompos yang
sudah matang memiliki pH yang mendekati netral(Isroi 2008).

Tabel 1 Kondisi Optimal Proses Pengomposan

(Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20920/4/Chapter%20II.pdf)

g) Standar Pematangan Kompos


Kematangan kompos sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor selama pengomposan.
Setelah selesai pengomposan, semua bahan baku mengalami perubahan warna menjadi
coklat kehitaman. Hal ini terjadi karena penambahan mikroorganisme dapat
mempercepat pematangan kompos sehingga mencapai warna kematangan kompos yang
lebih cepat pula dibandingkan dengan warna kematangan kompos dari sampel lain.
Kematangan kompos dikatakan tercapai bila warnanya telah menjadi coklat kehitaman
(Indriani, 2000).Kematangan kompos dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen
melalui rasio C/Nnya. Kondisi optimal untuk proses pengomposan menurut Rynk, 1992
adalah seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar Mutu Kompos

Selain itu, Indonesia sendiri telah memiliki standar mutu untuk kompos yang baik dan ideal.
Standar mutu tersebut tercantum pada SNI (Standar Nasional Indonesia). Standar mutu
kompos menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

D. METODE PENGOMPOSAN AERATED STATIC PILE


D.1 Definisi
Kebutuhan oksigen pada proses pengkomposan bisa disuplai dengan beberapa cara yaitu
dengan pengadukan, pembalikan, pemberian udara secara aktif atau pasif. Pemberian
udara secara aktif dilakukan dengan memberikan aerasi menggunakan blower udara yang
dialirkan ke seluruh bagian kompos. Metode ini disebut juga dengan aerated static pile.
Aerasi secara aktif dilakukan guna mengurangi proses pembalikan yakni menggunakan
aerator sebagai sumber aerasi yang dialirkan ke dalam pipa.
Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan pada metode ini, namun
pembalikan tersebut harus tetap dilakukan sesekali untuk mendapatkan sirkulasi udara
yang optimum, meratakan kadar air, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan oleh
mikroorganisme.Selain itu, aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu
pengomposan yang lebih singkat dibandingkan dengan aerasi secara pasif.

.
Gambar 2 Ilustrasi Aerated Static Pile
Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Setelah proses pengomposan selesai, kompos baru yang telah matang harus disisihkan
dalam tumpukan untuk keperluan stabilisasi. Kompos dianggap stabil ketika aktivitas
biologis telah melambat ke titik dimana karakteristik fisik dan kimia dari produk tidak
akan berubah dalam jumlah yang besar. Stabilitas merupakan salah satu ukuran
kematangan kompos.

Kompos yang telah matang dapat menambahkan bahan organik ke tanah. Bahan organik
adalah sumber utama nutrisi bagi tanaman, dan mikroorganisme tanah.Bahan organik
juga meningkatkan daya tahan tanah terhadap air dan sebagai sumber utama belerang,
fosfor dan nitrogen yang menyediakan energi bagi organisme tanah. Hal ini
meningkatkan permeabilitas air dan struktur tanah sambil mengurangi pembentukan
gumpalan dan pengerasan kulit.

D.2 Prinsip Kerja


Dalam metode aerated static pile, blower digunakan untuk mengalirkan udara ke
tumpukan bahan baku pengomposan melalui pipa. Tidak ada proses pembalikan terhadap
bahan baku pembuatan kompos setelah tumpukan terbentuk. Dikarenakan pada
tumpukan bahan baku tidak dilakukan proses pembalikan, maka perhatian khusus harus
diberikan

dalam

mencampurkan

bahan

dengan

perubahan

struktural

untuk

mempertahankan porositas selama periode pengomposan. Serpihan kayu, tongkol jagung,


sisa tanaman, kulit, daun, gambut, kertas dan kompos daur ulang dapat digunakan untuk
memenuhi tekstur dan kelembaban bahan utama. Hal ini penting untuk mencapai
campuran homogen dan tidak mengkompaksi bahan baku dengan mesin ketika
membangun tumpukan, sehingga distribusi udara merata dan tidak ada daerah di
tumpukan yang menjadi anaerobik .

Gambar 3 Ilustrasi Pipa Aerasi Untuk ASP


Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Dimensi tumpukan bahan baku selama proses ASP adalah sekitar 1,5 - 2,5 m untuk tinggi
dan 3 - 5 m untuk lebar. Panjang tumpukan dibatasi oleh distribusi udara dalam pipa
aerasi dan harus kurang dari 21 atau 27 m (tergantung pada sistem aerasi). Jika tidak,
sedikit udara segar akan mencapai ujung pipa. Tinggi tumpukan biasanya dua kali lebar
tumpukan. Lapisan 15 cm kompos yang matang dapat digunakan untuk menutupi bahan

baku pengomposan dengan tujuan untuk mengurangi pengeringan, kehilangan panas,


menghindari lalat dan bertindak sebagai biofilter untuk gas berbau.
Bagian berlubang pipa aerasi tertanam dalam dasar berpori dari potongan kayu atau
jerami, 1/4 untuk 1/3 lebar tumpukan. Bagian pipa berlubang lebih pendek dari tumpukan
dengan dua kali ketinggian tumpukan (3 -5 m lebih pendek dari tumpukan). Hal ini untuk
mencegah udara mengalir keluar ke ujung pipa pengaliran.
Lubang pipa harus dalam 2 baris, menghadap ke bawah, dan pada sudut 60o antara baris
dan dengan ruang lubang, tidak lebih besar dari 12 inchi dalam tiap baris. Jumlah dan
ukuran lubang harus menyediakan total luas sama dengan 2 kali luas penampang pipa.
Udara harus diberikan secara merata di sepanjang pipa namun pada jarak antar lubang,
udara mengalir menjadi kurang merata. Jadi, untuk mengatasi masalah jarak antar
lubang, bagian berlubang pipa tidak boleh lebih dari 50 kaki dalam sistem kontrol suhu
dan 75ft dalam sistem kontrol waktu.

Gambar 4 Layout dan Demensi Tumpukan Diperpanjang (Extended Aerated Static Pile)
Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Dua bentuk tumpukan yang umum terdiri dari tumpukan tunggal dan tumpukan
diperpanjang. Tumpukan tunggal berbentuk triangular panjang dengan lebar 10 hingga
16 feet (tidak termasuk cover) sama dengan dua kali tinggi dari tumpukan. Untuk jenis
tunggal, tumpukan material harus satu batch atau beberapa batch kecil dengan usia yang
sama (misal dalam waktu 3 hari).Hal ini karena pipa tunggal dan blower harus
memberikan porsi yang sama pada tumpukan untuk mengalirkan udara di seluruh area
yang dibutuhkan sehingga reaksi pengomposan homogen.
Aliran udara dapat terus menerus atau intermiten, dikendalikan oleh timer atau sensor
suhu di tumpukan. Operasi terus-menerus memungkinkan untuk udara yang lebih rendah

mengalir tetapi dapat berisiko terjadi pendinginan yang berlebihan di daerah dekat pipa
berlubang. Sehingga, suhu yang ada di dalam tumpukan kemungkinan tidak pernah
mencapai tingkat untuk dapat menghancurkan patogen. Dengan penggunaan operasi arus
udara yang telah diprogram, suhu dikondisikan cenderung untuk menyamakan
kedudukan setelah aliran udara berhenti.
Blower dapat diaktifkan secara kontinu atau pada interval tertentu. Ketika dioperasikan
pada interval, blower diaktifkan baik pada set interval waktu atau berdasarkan suhu
kompos. Set blower dengan temperatur dimatikan ketika kompos mendingin di bawah
suhu tertentu. Aerasi dengan menggunakan blower memungkinkan untuk pengendalian
proses lebih besar daripada aerasi pada windrow secara konvensional.
Untuk metode pengomposan ASP, udara dapat diberikan dalam dua cara: sistem hisap
dengan udara yang ditarik melalui tumpukan atau sistem tekanan dengan blower
mendorong udara ke dalam tumpukan. Sistem hisap menarik udara ke dalam tumpukan
dari permukaan luar dan mengumpulkannya dalam pipa aerasi. Karena pembuangan
udara yang terkandung dalam pipa pembuangan, dapat dengan mudah disaring jika
terbentuk odor/bau yang terjadi selama proses pengomposan.
Dengan aerasi tekanan positif, pembuangan udara meninggalkan tumpukan kompos di
atas permukaan seluruh tumpukan. Oleh karena itu, sulit untuk mengumpulkan udara
untuk pengolahan bau. Jika kontrol bau yang lebih baik yang diinginkan, lapisan luar
tebal kompos dapat digunakan. Aerasi bertekanan memberikan aliran udara yang lebih
baik daripada aerasi hisap, terutama karena kurangnya filter terhadap bau yang dapat
dihasilkan. Oleh karena itu, sistem tekanan dapat lebih efektif dalam menyejukkan
tumpukan dan lebih disukai ketika menghadapi masalah kontrol odor.

Gambar 5 Skema Aerated Static Pile


Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Sebuah aerated static pile memiliki lapisan dasar dan lapisan atas seperti windrow pasif
aerasi. Tujuan dari lapisan dasar adalah untuk mendistribusikan udara secara merata baik
saat memasuki atau meninggalkan pipa aerasi. Hal ini memerlukan bahan berpori, seperti
serpihan kayu atau jerami. Lapisan atas umumnya terdiri dari kompos yang sudah jadi
atau serbuk gergaji untuk menyerap bau, mencegah lalat, dan menjaga kelembaban,
amonia, dan panas. Untuk itu, campuran awal dan pembentukan tumpukan harus
memiliki porositas yang tepat dan struktur untuk distribusi udara yang memadai. Sebuah
bulking agent pembusukan diperlukan untuk memberikan porositas yang diperlukan.

D.3 Perencanaan Desain


A. Perhitungan Komposisi Campuran
Dengan perbandingan C/N blotong sebesar 3 dan bagasse sebesar 223, diperlukan
pencampuran keduanya sebelum dilakukan pengomposan. Moisture content bagasse
52.67% menurut Budiono, 2008, dan blotong 54% (Pabrik Gula Madukismo). Dengan
pencampuran yang dilakkan, moisture content pun berubah sehingga perlu dihitung
kembali. Komposisi campuran dapat dihitung dengan metode sebagai berikut
(Tchobanoglous, 1993).
1. Tentukan komposisi dari blotong dan bagasse (kg)
a. Untuk 1 kg blotong

(
(

b. Untuk 1 kg bagasse

(
(

2. Tentukan jumlah bagasse yang harus ditambahkan pada 1 kg blotong untuk


mencapai rasio C/N optimal yaitu sebesar 30/1

dengan x merupakan berat (kg) bagasse yang diperlukan.


3. Periksa kembali nilai C/N serta moisture content dari campuran yang telah dihitung
sebelumnya.
a. Untuk x kg bagasse

b. Untuk x kg bagasse + 1 kg blotong

c. Hitung rasio C/N baru hasil campuran

d. Hitung moisture content baru hasil campuran

B. Perhitungan Area Komposting


Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008 menyebutkan komposisi
rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari blotong 3,5% dan ampas
(bagasse) 32,0%, dari data tersebut serta diketahui jumlah limbah total yang terbentuk
per hari, dapat dihitung jumlah limbah per hari (rate of feedstock, kg/day) dari blotong
dan bagasse.
Dengan komposisi berat masing-masing jenis limbah serta data nilai bulk density dan
rate of feedstock masing-masing (blotong dan bagasse), dapat diketahui volume limbah
yang akan terbentuk dengan perhitungan berikut.

Dengan retention time merupakan lamanya limbah ditumpuk di area pengomposan,


sehingga dari persamaan tersebut diperoleh volume limbah dari akumulasi selama
retention time. Lamanya waktu retensi untuk pengomposan berkisar 20-30 hari
(Tchobanoglous, 1993).
Dengan mencampurkan blotong dan bagasse, volume total bahan baku (feedstock)
pengomposan dihitung dengan menjumlahkan volume masing-masing limbah.

Langkah selanjutnya yaitu menghitung cross section area (A) dari setiap composting pile,
dimana luas area berbeda-beda untuk jenis konfigurasi pile yang berbeda, persamaan
untuk menghitung luas area tersebut dapat dilihat pada Table 4.
Dalam penghitungan luas area, beberapa data seperti lebar serta ketinggian pile dapat
diasumsikan dengan kriteria seperti pada Table 3.
Tabel 3 Typical Dimension Composting Pile
Parameter
Ketinggian pile (h)
Lebar pile (b)
Panjang pile (l)
Cover layer
Porous base

Kriteria
1,5 2 meter, biasanya 2h
3 5 meter
Maksimal 27 meter
15 cm
( ) b

Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Dengan mengetahui besarnya cross section area setiap pile, dapat dihitung volume dari 1
composting pile sebagai berikut.

Banyaknya pile (N) yang dibutuhkan untuk mengakomodir seluruh feedstock ditentukan
dengan memperhitungkan volume total feedstock dan volume 1 pile.

Dalam merencanakan area pengomposan, selain perlu diketahui total area yang
dibutuhkan oleh composting pile, perlu juga diperhatikan jarak antar composting pile
yang berfungsi jika sewaktu-waktu dilakukan inspeksi/controlling serta perlakuan
mekanis pada pile. Besarnya jarak antar pile tergantung pada mekanisme pembalikan
untuk windrow, atau untuk aerated static pile, peralatan mekanis digunakan saat
pembentukan pile, penempatan blower, dan pemanenan kompos. Perkiraan jarak antar
pile berdasarkan penggunaan peralatan mekanis dapat dilihat pada Table 5. Secara

umum, jarak antara 2 individual pile adalah sekitar 6.1 meter (Alberta Env Midscale
Composting Manual).
Tabel 4 Cross Section Area untuk Berbagai Konfigurasi Composting Piles
No

Konfigurasi

Cross Section Area

Sumber: Tchobanoglous, 2002

Selain area yang dibutuhkan oleh pile yang akan dibentuk, dalam perencanaan area
composting diperlukan pula perkiraan jarak dari area bersih composting dengan
lingkungan luar, yang disebut dengan jarak perimeter.
Luas area total yang akan digunakan sebagai area pengomposan aerated static pile dapat
dihitung dengan terlebih dahulu menghitung panjang dan lebar area total. Contoh
persamaan penghitungan panjang total serta lebar total jika digunakan layout pile seperti
pada Gambar 6 adalah sebagai berikut.

perimeter

sp. bw. piles

pile width

perimeter

pile length

total width

total length

Gambar 6 Contoh Layout Aerated Static Pile

Tabel 5 Jarak Antarpile Berdasarkan Peralatan Pembalik


Illustration

Turner
Equipment

Space between
Piles

Bucket Loader

Minimal 1.22
meter

Self Propelled
Turner

0.9 1.5 meter

Tractor-assisted
Turner

1.8 2.4 meter

Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

C. Perhitungan Kebutuhan Udara


Menurut Alberta Env dalam Midscale Composting Manual, kebutuhan udara ditentukan
dari panjang berat kering feedstock (dry weight).

Perkiraan kebutuhan udara menurut sumber yang sama dihitung dengan mengalikan berat
kering dengan debit aliran udara dalam pipa. Menurut Archer Christian dalam On-Farm

Composting: A Guide to Principles, Planning, and Operations, debit aliran sebesar 15-25
ft3/min/dry ton hingga 100 ft3/min/dry ton.

Sementara menurut Tchobanoglous, 1993, kebutuhan udara dihitung dari banyaknya


volatile matter dalam bahan kompos. Untuk dapat menghitung kebutuhan udara (O2),
perlu diketahui rumus empiris senyawa bahan baku kompos sebab perhitungan
didasarkan pada pendekatan stoikiometri, selain itu perlu pula diketahui komponenkomponen yang dapat menguap (volatile matter).
Langkah perhitungan kebutuhan oksigen menurut Tchobanoglous, 1993 adalah sebagai
berikut.
1. Tentukan massa biodegradable volatile solid (BVS) dalam 1 satuan berat (missal
kg) limbah

Dengan VS merupakan Volatile Solid


2. Dengan diketahui perkiraan faktor konversi massa BVS, dihitung perkiraan massa
setelah konversi

3. Persamaan reaksi stoikiometri degradasi senyawa adalah sebagai berikut


(Tchobanoglous, 1993)
(

Dihitung nilai a, b, c, dan d sehingga diperoleh persamaan lengkap, kemudian


dihitung kebutuhan O2 untuk 1 kg limbah (BVS) dengan perbandingan berat
molekul (MW) dan koefisien (coef.)senyawa-senyawa dalam reaksi.
, satuan dalam kg O2 per kg BVS converted
4. Tentukan total kebutuhan udara untuk 1 kg feedstock dengan persentase oksigen
tertentu (misal 21% dalam udara)

5. Tentukan kapasitas aerator/blower, dalam m3/minute

Dengan OD merupakan oxygen demand (%), dan Blower capacity dalam satuan
m3/minute.

D. Perhitungan Spesifikasi Pipa Aerasi


Perhitungan spesifikasi pipa aerasi dijelaskan dalam Alberta Env Midscale Composting
Manual.
Dengan menentukan kecepatan aliran udara dalam pipa aerasi (v), dapat dihitung luas
area (A) pipa yang dibutuhkan.

Diameter pipa (D) dengan luas A dihitung dengan persamaan luas permukaan lingkaran

Dengan diameter D atau dibulatkan pada diameter pipa yang tersedia di pasaran, dapat
ditentukan jarak antarlubang serta diameter lubang pada pipa aerasi dengan melihat Tabel
4. Lubang pipa dibuat dalam 2 baris, menghadap ke bawah, dan pada sudut 60o antara
baris.
Jarak antar pipa menggunakan ketinggian pile,
Panjang pipa aerasi (perforated pipe) dihitung dengan:

Tabel 6 Kriteria Pipa Aerasi

Sumber : Alberta Env Midscale Composting Manual

Sumber
Alberta Environment. 1999. Midscale Composting Manual. Olds College
Tchobanoglous, George. 1993.Integrated Solid Waste Management. USA: McGrawHill
Tchobanoglous, George. Handbook of Solid Waste Management, 2nd Ed. 2002. USA: McGrawHill

E. Keuntungan dan Kerugian


Perbedaan utama antara passively aerated windrow dengan aerated static pile adalah ASP
menggunakan blower, baik untuk menghisap udara dari tumpukan ataupun meniup udara ke
dalam tumpukan menggunakan tekanan positif. Penggunaan blower ini tidak hanya untuk
menyediakan oksigen tapi juga berfungsi dalam proses pendinginan. Berikut keuntungan dan
kerugian pemakaian metode ASP.
a) Kelebihan

Lebih efisien dalam penggunan lahan

Secara ukuran dapat lebih besar dari windrows karena adanya proses aerasi aktif

Tidak dibutuhkan lahan untuk poses pembalikan

Peningkatan waktu aerasi yang lebih pendek dan kontinu sehingga proses
pengomposan dapat berlangsung lebih cepat.

Peningkatan suhu meningkatkan patogen membunuh.

Lapisan isolasi pada tumpukan membantu untuk mencapai suhu yang lebih tinggi
serta mencegah kehilangan amonia serta mengurangi intensitas bau.

Membutuhkan investasi modal yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem in


vessel

b) Kekurangan

Hubungan arus pendek dari udara dalam tumpukan dapat terjadi, yang
menyebabkan pengomposan tidak rata dan produk yang dihasilkan tidak
konsisten. Hal ini lebih mungkin terjadi ketika bahan baku tidak dicampur secara
benar untuk mendapatkan porositas dan struktur yang baik.

Bukaan pipa beresiko menjadi tersumbat sehingga mencegah proses aerasi. Hal
ini menyulitkan dalam tindakan perbaikan selama pengomposan dikarenakan pipa
ditanam di dasar tumpukan.

Instalasi, pemindahan, dan kerusakan pada pipa selama pembentukan tumpukan


dan pembersihan dapat menjadi masalah.

Beberapa investasi modal yang diperlukan untuk membeli peralatan seperti


blower dan pipa.

Aerasi paksa cenderung menyebabkan kondisi kering pada tumpukan kompos dan
jika berlebihan, akan mencegah stabilisasi kompos.

F. Daftar pustaka
_____. 2003. Teknologi Pengomposan. Jakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Drescher, dkk. 2006. Decentralised Composting for Cities of Low--and Middle-Income
Countries -- A Users Manual. Dhaka: Eawag/Sandec.
Dalzell H.W., A.J. Bidlestone, K.R. Gray, & K. Thurairajan. 1987. Soil Management:
Compos Production and Use in Tropical and Subtropical Environment, Soil Bulletin 56,
Food and Agricultural Organization of the united National.
Gaur, AC. 1983. A Manuanl of Rural Composting. Rome: FAO, The United Nation.
Indrasti NS, Purwoko, dan Suherman. 2005. Aplikasi Linear Programming dalam Formulasi
Pupuk Organik Berbasis Kompos untuk Berbagai Tanaman, Teknologi Industri Pertanian
15(2) : 40-41.
Indriani, YH. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
Rynk RM, dkk. 1992. On-Fram Composting Handbook. New York: Northeat Regional
Agricultural Engineering Service, U.S. Departement of Agriculture.
Setyorini D, Saraswati R, Anwar EK. 2003. Persyaratan Mutu Pupuk Organik untuk
Menunjang Budidaya Pertanian Organik. Yogyakarta: BPTP DI Yogyakarta.
Alberta Environment. 1999. Midscale Composting Manual. Olds College
Tchobanoglous, George. 1993.Integrated Solid Waste Management. USA: McGrawHill
Tchobanoglous, George. Handbook of Solid Waste Management, 2nd Ed. 2002. USA:
McGrawHill

SNI 19-7030-2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi
Nasional.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20920/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai