Anda di halaman 1dari 3

MUSIBAH SEBAGAI AZAB ATAU SEBAGAI UJIAN?

Oleh: Muhamad Sidik, S.Sos.


(Penyuluh Agama Ahli Pertama Kua Kec. Kabawetan)

Dalam hidup ini kita mungkin sering mengalami berbagai macam masalah (musibah).
Bahkan jika satu masalah selesai, masalah lain muncul. Hingga pada akhirnya kita kerap
berpikir apakah masalah yang kita hadapi sebuah hukuman (azab) dari Allah atau memang
sebuah ujian.

Sejatinya musibah sendiri akan terus ada selama kita hidup. Jika dalam hidup kita tidak
pernah mendapatkannya, hal itu justru patut dipertanyakan. Karena bagaimanapun juga,
dunia di mana kita hidup saat ini hakikatnya adalah ujian sebelum kita benar-benar hidup
selamanya di akhirat.

Allah sendiri telah menyinggung terkait hal ini di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami
telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (QS. Al-’Ankabut: [29]: 2).

Pada ayat ini, Allah bertanya kepada kita sebagai manusia yang telah mengaku beriman
dengan mengucapkan kalimat syahadat bahwa apakah manusia itu sendiri akan dibiarkan
begitu saja mengakui keimanan tersebut tanpa lebih dahulu diuji? Tidak, malah setiap orang
beriman harus diuji lebih dahulu, sehingga dapat diketahui sampai di manakah kita bisa sabar
dan tahan menerima ujian tersebut.

Ujian yang harus manusia tempuh itu bermacam-macam. Umpamanya perintah


mengendalikan syahwat, mengerjakan tugas-tugas dalam rangka taat kepada Allah, dan
bermacam-macam musibah seperti kehilangan anggota keluarga, dan hawa panas yang kering
yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan mati kekeringan. Semua cobaan itu dimaksudkan
untuk menguji siapakah di antara manusia yang sungguh-sungguh beriman dengan ikhlas dan
siapa pula yang berjiwa munafik. Juga bertujuan untuk mengetahui apakah mereka termasuk
orang yang kokoh pendiriannya atau orang yang masih bimbang dan ragu sehingga iman
mereka masih rapuh.

Kemudian Allah juga berfirman di ayat yang lain: Kami pasti akan mengujimu dengan
sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah
(wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar (QS. Al-Baqarah [2]:
155).
Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Allah akan menguji hamba-hambaNya
dengan sedikit ketakutan dari musuh-musuh dan kelaparan, yaitu dengan sesuatu yang
sedikit dari keduanya, karena apabila Allah menguji manusia dengan seluruh ketakutan atau
seluruh kelaparan niscaya mereka akan binasa, sedangkan cobaan-cobaan itu hanya
membersihkan bukannya untuk membinasakan. dan kekurangan harta yang meliputi seluruh
kekurangan yang bersangkutan dengan harta, baik bencana dari langit, tenggelam,
kehilangan, dan perompak jalanan yang merampas harta dan sebagainya.

Dan jiwa yaitu perginya orang-orang yang dicintai, baik anak-anak, kerabat karib, dan
teman sejawat, dan dari berbagai macam penyakit pada tubuh seorang hamba atau tubuh
orang yang dicintainya, dan buah-buahan yaitu hasil bumi dari petani dan segala macam
pepohonan serta sayur-mayur dengan adanya hawa dingin, gemuruh, kebakaran dan penyakit
dari langit seperti adanya hama belalang atau semacamnya. Hal-hal tersebut pasti akan terjadi
karena Allah Maha Mengetahui lagi maha mengamati, telah mengabarkan tentangnya dan
akhirnya terjadilah apa yang dia kabarkan, maka apabila semua itu terjadi di bagi lah manusia
ke dalam 2 golongan, orang-orang yang berkeluh kesah dan orang-orang yang sabar.

Kedua ayat di atas memberitahu kita bahwa konsekuensi dari keimanan adalah ujian.
Allah akan menguji hamba-Nya untuk mengetahui bagaimana respon kita terhadap apa yang
Allah berikan, apakah akan bersyukur dan bersabar, atau justru malah menjauh dan kufur.

Selain itu, pada hakikatnya Allah memberikan ujian untuk mensucikan kita dari dosa-
dosa yang pernah kita lakukan. Rasulullah Saw. bersabda: Tidaklah seorang muslim itu
ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan
atau rasa gelisah bahkan sampai duri yang melukainya sekalipun, melainkan dengannya
Allah akan mengampuni dosa-dosanya (HR. Bukhari no. 5641).

Kemudian, bagaimana kita tahu bahwa musibah yang kita terima merupakan sebuah
ujian atau azab dari Allah? Jika musibah tersebut membuat kita tidak sabar dan jauh dari-
Nya, maka hal itu adalah sebuah azab. Sementara itu, jika musibah itu membuat kita semakin
mendekat kepada Allah, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut adalah ujian yang Allah
berikan untuk mengangkat derajat kita.

Dalam At-Tabaqah Al-Kubra As-Sya’rani, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menerangkan:


Tanda bala (musibah) sebagai hukuman dan sebagai pembalasan adalah jika orang tersebut
tidak bersabar, bahkan bersedih dan mengeluh kepada makhluk. Tanda bala (musibah)
sebagai penebus dan penghapus kesalahan adalah kesabaran yang indah tanpa mengeluh,
tidak bersedih dan tidak gelisah, serta tidak merasa berat ketika melaksanakan perintah dan
ketaatan. Tanda bala (musibah) sebagai pengangkat derajat adalah adanya ridha,
menerima (takdir Allah), dan merasa tenang jiwanya serta tunduk patuh terhadap takdir
hingga hilangnya musibah tersebut.

Jadi, setiap musibah yang kita terima bisa jadi merupakan azab, penebus dosa, atau ujian
untuk mengangkat derajat kita, tergantung dari sikap kita menghadapinya. Adapun jika kita
merasa bahwa ujian yang kita terima sebagai hukuman dari Allah, kita harus tetap
berprasangka baik kepada-Nya bahwa yang kita terima adalah bentuk cinta-Nya kepada kita.

Rasulullah Saw. bersabda: Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan
segerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan
mengakhirkan balasan atas dosa yang diperbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat
kelak (HR. Tirmidzi no. 2396).

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Anda mungkin juga menyukai