Anda di halaman 1dari 26

Tinjauan Pustaka

Enhanced Recovery After Caesarean Surgery

dr.
NIM

Stase di RS Ortopedi Prof. Dr.R Soeharso Surakarta


Periode 1-31 Maret 2021

Pembimbing:

PPDS ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA
2023
I. Pendahuluan
Operasi caesar merupakan persalinan janin melalui sayatan perut terbuka
(laparotomi) dan sayatan pada rahim (histerotomi). Operasi caesar pertama kali
didokumentasikan pada tahun 1020 Masehi, dan sejak saat itu, prosedur pembedahan ini
telah berkembang dengan sangat pesat. Operasi caesar merupakan operasi yang paling
umum dilakukan di Amerika Serikat, dengan lebih dari 1 juta wanita melahirkan melalui
operasi caesar setiap tahunnya. Tingkat kelahiran sesar meningkat dari 5% pada tahun
1970 menjadi 31,9% pada tahun 2016 (Sung dan Mahdy, 2022). Lama tinggal di rumah
sakit/length of stay (LOS) pada pasien dengan operasi caesar sangat bervariasi tergantung
tipe dan fasilitas rumah sakit. Nyeri kronis pascaoperasi caesar mempengaruhi hingga
11% wanita dalam 1 tahun pertama. Hampir 10% dari angka tersebut melaporkan
mengalami nyeri yang cukup signifikan (Patel dan Zakowski, 2021).
Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) merupakan program perawatan
perioperatif multidisiplin yang menggabungkan praktik berbasis bukti yang dapat
mengoptimalkan dan meningkatkan pemulihan pasien. Tujuan dari protokol ERAS adalah
untuk mengurangi stres operasi dan mempercepat pemulihan fisiologis dan fungsional
pasien pasca operasi. ERAS berfokus pada pendekatan yang berpusat pada pasien dan
dapat diterapkan pada persalinan caesar pada periode perioperatif untuk meningkatkan
outcome kesehatan ibu dan janin (Tamang et al., 2021). Pasien yang menjalani operasi
caesar dapat memperoleh manfaat yang sangat besar dari protokol ERAS, sehingga
meskipun saat ini metode ini masih lambat diadopsi, program ini dapat terus
direkomendasikan untuk penerapan yang lebih rutin (Rosyidah et al., 2021).

II. Mengapa menggunakan ERAS pada persalinan caesar?


ERAS pada persalinan caesar atau yang sering disebut Enhanced Recovery After
Caesarean Surgery (ERACS) memiliki beberapa keuntungan antara lain mempercepat
pemulihan dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit, meningkatkan hasil akhir
operasi dan tingkat kepuasan ibu, menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal, dan
mengurangi penggunaan opioid dan obat-obatan pasca operasi (Ituk dan Habib, 2018).

1. Mempercepat pemulihan dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit


Karena sebagian besar pasien obstetri kebanyakan masih muda dan dalam kondisi
yang sehat, mereka memiliki potensi yang besar untuk pulih dengan cepat dan
termotivasi untuk kembali ke fungsi keseharian yang normal untuk dapat merawat
bayi mereka. Selain itu, lebih cepatnya pemulihan sangat menguntungkan sistem
perawatan kesehatan dengan mengurangi pemborosan sumber daya medis dan
mengurangi biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa protokol ERACS dapat membantu mengurangi lama tinggal di
rumah sakit dan mengurangi biaya total pasca operasi (Liu et al., 2020).
Berkurangnya waktu mobilisasi, pelepasan kateter urin, dan konsumsi opioid juga
sangat berkaitan dengan pemulihan pascapersalinan yang lebih baik secara
keseluruhan, sehingga pada akhirnya akan menciptakan pengalaman dan tingkat
kepuasan pasien yang lebih baik (Sultan et al., 2021).

2. Meningkatkan hasil akhir operasi dan tingkat kepuasan ibu


Upaya untuk meningkatkan pemulihan pasca operasi dapat membantu
meningkatkan bonding antara ibu-bayi dan proses menyusui, serta mengurangi
kejadian depresi pasca melahirkan (Liu et al., 2020).

3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal


Berbagai studi telah melaporkan bahwa lebih dari separuh kematian ibu dapat
dicegah dan menggunakan variasi dalam praktik dan penanganan ibu. Diperlukan
standarisasi praktik untuk memastikan setiap wanita menerima perawatan yang
berkualitas tinggi, terlepas dari demografi atau lokasi geografisnya. Salah satu
kontributor morbiditas dan mortalitas ibu adalah infeksi pasca operasi caesar, yang
terjadi pada 3-15% persalinan sesar. Protokol ERAS telah menunjukkan peningkatan
yang signifikan pada angka kejadian infeksi pasca operasi, termasuk infeksi tempat
operasi / surgical site infections (SSI). Mekanisme teoretis dari terjadinya penurunan
tingkat infeksi ini salah satunya disebabkan oleh praktik perawatan yang terstandar,
penggunaan rutin rejimen antibiotik perioperatif, dan mobilisasi dini (Peahl et al.,
2019).
4. Mengurangi penggunaan opioid dan obat-obatan pasca operasi
Implementasi ERACS dikaitkan dengan pengurangan konsumsi opioid pasca
operasi. Hal ini sangatlah penting terutama akibat terdapatnya resiko penggunaan
opioid dan hubungan antara paparan opioid pascapersalinan dengan risiko
penggunaan opioid kronis (Sultan et al., 2021).

III. Persiapan perioperatif


Beberapa persiapan perioperatif yang wajib dilaksanakan dalam protokol ERACS
antara lain:
1. Edukasi pasien
Edukasi pra operasi sebelum hari-H operasi sangatlah penting untuk
meningkatkan keterlibatan pasien, mengatur ekspektasi, mengurangi kecemasan, dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap protokol ERACS, mempengaruhi pasien
agar berperilaku lebih sehat, membangun kepercayaan diri wanita dalam kemampuan
mereka untuk melahirkan, mempersiapkan menjadi orang tua, mengembangkan
jaringan dukungan sosial, mendorong orang tua yang percaya diri, dan berkontribusi
untuk mengurangi morbiditas dan morbiditas perinatal (Huang et al., 2019). Terdapat
banyak handout dan alat yang dapat digunakan untuk edukasi pra operasi, termasuk
berbagai materi edukasi yang tersedia pada website Society for Obstetric Anesthesia
and Perinatology (SOAP) ERAC (www.soap.org) (Patel dan Zakowski, 2021).
Edukasi pasien sebaiknya mencakup indikasi persalinan caesar, informasi prosedur
bedah dasar yang akan dilakukan, risiko dan manfaat prosedur, dan implikasi
kehamilan dan kelahiran di masa depan setelah operasi caesar (Huang et al., 2019).
2. Status Nil per os, cairan preoperatif dan intake kalori
American Society of Anesthesiologists (ASA) merekomendasikan puasa sebelum
operasi (NPO) untuk makanan padat berlemak 8 jam sebelum operasi, makanan
ringan 6 jam sebelum operasi, dan cairan 2 jam sebelum operasi untuk mengurangi
risiko aspirasi. Interval NPO yang lebih lama dari itu biasanya tidak diperlukan dan
dapat menyebabkan hipovolemia dan penurunan kepuasan pasien (Patel dan
Zakowski, 2021). Pemberian minuman yang mengandung karbohidrat pada ibu
nondiabetes merupakan bagian yang umum dari protokol ERAS, meskipun bukti
mengenai pemberian karbohidrat sebelum persalinan caesar masih cukup terbatas
(Suharwardy dan Carvalho, 2020). Sebelum prosedur operasi, pertimbangkan
pemberian antasida nonpartikulat, antagonis reseptor H2, dan/atau metoclopramide
pada waktu yang tepat sebagai profilaksis aspirasi (Huang et al., 2019).
3. Optimalisasi hemoglobin pra operasi
Anemia pra operatif dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
Berat badan lahir yang rendah, persalinan prematur, peningkatan kehilangan darah
peripartum, dan infeksi postpartum semuanya berkaitan dengan anemia defisiensi
besi. British Society for Haematology, Obstetric Hematology Group dan British
Committee for Standards in Hematology merekomendasikan bahwa kadar
hemoglobin >110 g/L cukup adekuat pada trimester pertama, dan kadar hemoglobin
>105 g/L cukup pada trimester kedua dan trimester ketiga. Skrining pra operasi
sangat dianjurkan untuk mendeteksi anemia. Kondisi ini harus diidentifikasi dan
dikoreksi sebelum operasi elektif (Huang et al., 2019).
4. Menentukan waktu dilakukannya operasi
Telah dibuktikan dalam berbagai studi bahwa bayi dari wanita yang melahirkan
pada usia kehamilan kurang dari 39 minggu memiliki peningkatan risiko komplikasi
pernapasan dan memerlukan rawat inap yang lebih lama dibandingkan wanita yang
melahirkan pada usia lebih dari 39 minggu. Sebuah penelitian telah menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan biaya rawat inap neonatal yang signifikan berkaitan
dengan operasi caesar elektif berulang bila dilakukan pada usia kehamilan 37 atau 38
minggu dibandingkan dengan usia kehamilan 39 minggu. American College of
Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan bahwa operasi caesar harus
dijadwalkan pada usia kehamilan 39 minggu atau lebih sesuai dengan tanggal
menstruasi (Huang et al., 2019).

IV. Perawatan Intraoperatif


1. Antibiotik profilaksis
Pemberian profilaksis antibiotik yang tepat sangat penting untuk mencegah
infeksi pada situs bedah. Pedoman ACOG menganjurkan pemberian cefazolin 2 gram
sebagai antibiotik lini pertama, dengan penambahan azitromisin pada persalinan sesar
yang lebih kompleks (seperti pada operasi caesar atas indikasi ketuban pecah dini).
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum sayatan. Waktu pemberian preinsisi
akan meningkatkan efektivitas profilaksis tanpa meningkatkan risiko pada janin
(Bollag et al., 2021). ERAS Society merekomendasikan pemberian antibiotik dalam
waktu 60 menit sebelum insisi kulit (Kinay et al., 2022).
2. Tromboprofilaksis
Trombosis dan tromboemboli seringkali menjadi penyebab utama kematian ibu,
sehingga strategi pencegahan yang efektif sangatlah penting. Royal College of
Obstetricians and Gynecologists dari Inggris menerbitkan pedoman komprehensif
pada tahun 2015 tentang profilaksis venous thromboembolism (VTE). Mereka
menyatakan bahwa semua wanita harus melewati penilaian faktor risiko (Ljungqvist
et al., 2020):
 Komorbiditas medis, misalnya kanker dan gagal jantung
 Usia di atas 35
 Obesitas
 Merokok
 Kehamilan lebih dari satu
 Operasi caesar segmen bawah / Lower segment Caesarean section (LSCS)
Individu dengan empat atau lebih faktor risiko harus dipertimbangkan untuk
diberikan low molecular weight heparin (LMWH) selama periode antenatal hingga 6
minggu pascakelahiran. Mereka yang memiliki tiga faktor risiko harus
dipertimbangkan untuk pemberian LMWH mulai dari 28 minggu, dilanjutkan selama
6 minggu pascakelahiran; dan mereka yang memiliki dua faktor risiko menerima
LMWH setidaknya selama 10 hari pascapersalinan. Faktor risiko individu lainnya
misalnya, pasien dengan BMI lebih besar dari 40 dan mereka yang membutuhkan
LSCS emegensi harus mendapatkan LMWH pada 10 hari pascapersalinan
(Ljungqvist et al., 2020).
Selain intervensi farmakologis, metode mekanik atau non-farmakologis juga
memiliki peran penting dalam mencegah pembentukan trombus setelah operasi
caesar. Metode ini antara lain penggunaan stoking kompresi bertingkat (GCS) dan
kompresi pneumatik intermiten (IPC). Stoking kompresi secara bertahap memberikan
tekanan yang paling tinggi di pergelangan kaki dan bertahap menurun ke arah paha,
mendorong aliran balik vena dan mengurangi risiko trombosis vena dalam / deep vein
thrombosis (DVT) dengan mencegah penggumpalan darah di ekstremitas bawah.
Perangkat kompresi pneumatik intermiten, di sisi lain, memberikan tekanan secara
intermiten ke kaki sehingga dapat membantu mencegah stasis vena dan meningkatkan
aliran darah. Dengan merangsang kontraksi otot dan mendorong aliran balik vena,
IPC secara efektif mengurangi risiko pembentukan trombus. Baik GCS dan IPC
terbukti aman dan merupakan metode non-invasif yang dapat dengan mudah
diimplementasikan pada periode perioperatif setelah caesar untuk mengurangi risiko
kejadian tromboemboli dan meningkatkan outcome pasien. Intervensi mekanis dapat
digunakan bersamaan dengan profilaksis farmakologis sebagai strategi
tromboprofilaksis yang komprehensif bagi pasien (Gupta et al., 2020; National
Institute for Health and Care Excellence, 2019).
3. Manajemen cairan dan tekanan darah
Menjaga euvolemia selama periode perioperatif penting untuk meningkatkan
outcome ibu dan bayi. Hipervolemia perioperatif dapat mengakibatkan edema paru
pada ibu dan penurunan berat badan yang berlebihan pada bayi baru lahir di hari-hari
pertama kehidupan. Sebaliknya, apabila terjadi hipotensi yang disebabkan oleh
anestesi spinal juga dapat mengurangi aliran darah uterus dan menyebabkan hipoksia
dan asidosis janin. Studi menunjukkan bahwa kombinasi antara pemberian cairan
yang adekuat dan fenilefrin dapat mencegah hipotensi yang disebabkan oleh anestesi
spinal dan mengurangi risiko asidosis janin. Penilaian preoperatif secara multidisiplin
dan manajemen cairan intraoperatif yang hati-hati harus dilakukan pada wanita
dengan penyakit jantung dan preeklampsia. Pemantauan tekanan darah dan curah
jantung secara invasif selama periode intraoperatif dan pascaoperasi mungkin
diperlukan pada populasi pasien ini (Kinay et al., 2022).
4. Manajemen suhu
Hipotermia perioperatif (suhu <36°C) dapat terjadi dengan cepat setelah
administrasi anestesi spinal selama persalinan caesar dan termoregulasi baru akan
dimulai setelah beberapa jam. Pada populasi umum, hipotermia peri-operatif
berkaitan dengan outcome operasi yang buruk akibat meningkatnya resiko infeksi,
iskemia miokard, koagulopati, shivering, menurunnya kemampuan metabolisme obat,
waktu tinggal di rumah sakit yang lebih lama, dan tingkat kepuasan pasien yang lebih
buruk. Meskipun outcome pada pasien obstetri jarang diteliti karena suhu inti tubuh
sulit dipantau selama persalinan caesar, diketahui bahwa hipotermia neonatal dapat
menyebabkan sindrom gangguan pernapasan, hipoglikemia, dan kematian neonatal.
Manajemen penghangatan aktif (pemberian cairan intravena yang dikombinasikan
dengan force-air warming) dapat secara efektif mengurangi hipotermia dan kejadian
shivering peri-operasi, meningkatkan kenyamanan termal ibu, memfasilitasi ikatan,
dan waktu tinggal di unit perawatan pasca anestesi yang lebih singkat (Liu et al.,
2020). Pemantauan suhu juga dapat dilakukan dengan terus-menerus menggunakan
metode non-invasif, seperti termometer inframerah atau termometer pada membran
timpani. Cara monitoring ini memungkinkan deteksi cepat setiap adanya
penyimpangan suhu sehingga memungkinkan intervensi yang tepat waktu untuk
mempertahankan normothermia (Van Duren et al., 2023).
5. Manajemen anestesi
Anestesi regional merupakan rejimen anestesi yang sangat dianjurkan untuk
persalinan caesar. Anestesi regional memberikan kontrol nyeri yang lebih baik,
meningkatkan fungsi organ tubuh, ambulasi, mengurangi kejadian mual-muntah pada
pasien dan lama tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan anestesi umum (Iddrisu
dan Khan, 2021). Anestesi neuraxial adalah anestesi regional yang dilakukan pada
persalinan caesar dan bisa berupa spinal, epidural atau kombinasi antara keduanya.
Sensasi nyeri intraoperatif lebih rendah dengan penggunaan anestesi spinal daripada
anestesi epidural. Pemulihan motorik yang lebih cepat dilaporkan dengan anestesi
kombinasi spinal-epidural dibandingkan dengan hanya anestesi spinal. Penggunaan
analgesia multimodal dapat digunakan untuk mengendalikan nyeri pasca operasi.
Penggunaan opioid intratekal, analgesia nonopioid yang dimulai di ruang operasi,
blok bidang transversus abdominis, blok saraf perut dengan analgesik lokal
merupakan metode yang biasa digunakan dalam manajemen anestesi multimodal
(Kinay et al., 2022).
5.1. Blok Regional
Blok regional berguna untuk operasi caesar termasuk blok truncal (TAP, QL) atau
infus luka. Secara keseluruhan, blok regional belum terbukti memberikan manfaat
yang signifikan bila digunakan sebagai tambahan dari morfin neuraxial,
acetaminophen dan NSAID (Bollag et al., 2020). Namun blok regional, seperti
blok saraf perifer atau blok transversus abdominis plane (TAP), memainkan peran
penting dalam strategi manajemen nyeri perioperatif sebagai alternatif apabila
morfin neuraksial dikontraindikasikan untuk mengelola nyeri hebat atau pada
pasien yang berpotensi tinggi mengalami nyeri pasca operasi yang berat (Landau,
2019).
Blok Transversus Abdominis Plane (TAP) telah diteliti secara ekstensif
akan kemanjurannya dalam persalinan sesar, namun, bukti yang ada menunjukkan
bahwa mereka tidak secara konsisten menawarkan manfaat tambahan jika
dibandingkan dengan opioid neuraksial, kecuali dalam kasus yang melibatkan
anestesi umum atau pada kontraindikasi opioid neuraksial. Terlepas dari
keterbatasannya, blok TAP terus menjadi subjek penelitian yang menarik karena
adanya kebutuhan untuk mengoptimalkan strategi manajemen nyeri dan
mengidentifikasi skenario spesifik di mana mereka dapat memberikan keuntungan
yang signifikan dalam persalinan caesar (Bollag et al., 2020).
Mengenai blok quadratus lumborum (QL), telah terdapat banyak
penelitian yang membuktikan keefektifitasannya mengurangi nyeri pasca operasi
abdomen. Blok anterior QL (QL1) berkerja mirip dengan blok TAP sementara
blok QL (QL2) posterior dapat menghasilkan anestesi lokal yang lebih medial
menuju area paravertrebral dan menghambat nyeri visceral selain nyeri somatik.
Blok QL menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif dan pasca operasi pada
pasien dibandingkan dengan blok TAP. Tanpe morfin intratekal, pasien yang
menjalani operasi caesar yang diberikan blok QL2 membutuhkan lebih sedikit
penggunaan morfin pasca operasi dibandingkan kelompok blok TAP, dan dengan
skor nyeri VAS yang lebih rendah (Patel dan Zakowski, 2021).
5.2. Gabapentinoid
Gabapentinoids (seperti, gabapentin dan pregabalin) berkerja dengan mengikat
dan memblokir subunit α2δ yang mengandung kalsium channel sehingga
berpotensi efektif dalam mengurangi nyeri pasca operasi. Dalam sebuah meta-
analisis pada pasien non-caesar menemukan dosis gabapentin sebesar 900 mg dan
1200 mg atau pregabalin 150 mg dan 300 mg dapat menurunkan penggunaan
opioid postop dan skor nyeri (Hu et al., 2018). Gabapentin sebelum dan selama 2
hari pasca persalinan caesar juga terbukti dapat mengurangi nyeri dalam 24 jam
walaupun hasilnya kurang signifikan (4,0 vs 4,7 VAS, P < 0,05), (Patel dan
Zakowski, 2021). Sebuah meta-analisis terbaru juga menemukan bahwa
gabapentinoid dikaitkan dengan penurunan intensitas nyeri pasca operasi yang
lebih rendah, tetapi perbedaannya tidak signifikan secara klinis (≤ 1 VAS) (Verret
et al., 2020). Meskipun saat ini gabapentinoid tidak direkomendasikan sebagai
komponen rutin dari protokol ERAC, mungkin memiliki manfaat potensial
persalinan ibu yang berisiko tinggi, terutama mereka yang memiliki masalah nyeri
kronis atau gangguan penggunaan opioid. Dengan hati-hati menilai karakteristik
dan kebutuhan pasien secara individual, penggunaan gabapentinoid dapat
dipertimbangkan secara bijaksana (Patel dan Zakowski, 2021).
5.3. Local Anesthetic Wound Infusions
Teknik ini telah digunakan untuk membantu mengontrol nyeri pasca operasi pada
persalinan caesar dan lebih unggul dibandingkan pemberian morfin epidural 2 mg
setiap 12 jam disertai acetaminophen dan diklofenak bila perlu (Patel dan
Zakowski, 2021). Sebaliknya, sebuah studi lain menunjukkan bahwa pada pasien
yang menjalani operasi caesar dan menerima 150 mcg morfin TI dengan
acetaminophen terjadwal dan ketorolac/ibuprofen sistemik, penambahan infus
luka terus menerus dengan ropivacaine 0,2% dengan ketorolac 30 mg/48 jam
tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik terhadap skor nyeri,
tingkat kepuasan pasien, kebutuhan penggunaan opioid, atau depresi
pascapersalinan (Barney et al., 2020). Perbedaan diantara kedua studi tersebut
kemungkinan besar disebabkan akibat tidak diberikannya NSAID sistemik
terjadwal pada penelitian pertama. Sebagian besar penelitian belum menemukan
manfaat dari blok saraf anestesi lokal perifer selain morfin neuraksial dan
analgesik non-opioid terjadwal (asetaminofen dan NSAID) (Bollag et al., 2020).
Teknik local anesthetic wound infusions biasanya melibatkan penempatan kateter
di dekat lokasi incisi bedah dan pemberian infus agen anestesi lokal secara terus
menerus. Pilihan anestesi lokal, kecepatan infus, dan durasi harus disesuaikan
dengan karakteristik pasien dan preferensi ahli bedah. Pemasangan kateter dapat
dilakukan dengan visualisasi langsung atau dengan menggunakan panduan
ultrasonografi untuk memastikan penempatan yang akurat. Fiksasi dan penutupan
kateter yang dilakukan secara tepat sangat penting untuk mencegah pergeseran
kateter dan infeksi. Penilaian rutin lokasi infus, pemantauan akan adanya tanda-
tanda toksisitas atau infeksi, dan penyesuaian parameter infus berdasarkan
respons pasien merupakan aspek yang perlu diperhatikan selama perawatan.
Dengan mengikuti protokol dan pedoman standar, penyedia layanan kesehatan
dapat secara efektif mengimplementasikan pemberian infus luka anestesi lokal
sebagai bagian dari pendekatan analgesik multimodal pada pasien setelah operasi
caesar (Rawal., 2017)
5.4. Liposomal Bupivacaine
Formulasi liposomal memiliki keuntungan waktu kerjanya yang lepas lambat
sehingga menghasilkan efek anestesi lokal yang lebih lama. Namun begitu,
kemanjuran bupivakain liposom dalam persalinan caesar memberikan hasil yang
beragam. Studi retrospektif yang dilakukan oleh Parikh et al. (2019) menemukan
bahwa pemberian bupivakain liposom pada insisi menyebabkan penurunan
ekuivalen miligram morfin (MMEQ). Kombinasi bupivakain liposomal (266 mg)
dan bupivakain (50 mg) dalam blok transversus abdominis plane (TAP) secara
signifikan mengurangi konsumsi opioid dalam 72 jam sebesar 16,5 mg (P =
0,012) dan menunjukkan proporsi yang lebih tinggi dari pasien yang tidak
memerlukan opioid (54% vs. 25%, P = 0,001) dibandingkan dengan bupivacaine
(50 mg) saja (Nedeljkovic et al., 2020).
5.5. Antagonis NMDA
Antagonis reseptor NMDA adalah analgesik potensial yang mencegah sensitisasi
sentral dan timbulnya nyeri kronis (Raja et al., 2019).
 Ketamin: Ketamine yang telah lama dikenal akan sifat analgesiknya, telah
digunakan dalam pencegahan nyeri akut dan kronis, hiperalgesia,
sensitisasi sentral, dan bahkan toleransi opioid akut (Komatsu et al., 2020).
Secara khusus, S-Ketamine, diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg secara
intramuskular (IM) diikuti dengan infus intravena (IV) terus menerus 2
mcg/kg/menit selama 12 jam, telah menunjukkan hasil yang signifikan
dalam konteks persalinan caesar, termasuk penurunan yang signifikan
dalam konsumsi morfin mulai 8 jam pasca operasi sebesar 31% selama
periode 24 jam, peningkatan waktu penggunaan morfin pertama, dan
kecenderungan penurunan hiperalgesia pada dermatom T10. Temuan ini
menyoroti potensi ketamin sebagai terapi tambahan untuk
mengoptimalkan kontrol nyeri pasca operasi dan mengurangi kebutuhan
opioid pada persalinan caesar sehingga meningkatkan kenyamanan dan
pemulihan ibu (Patel dan Zakowski, 2021).
 Magnesium: magnesium adalah mineral dengan sifat analgesik yang
diakui, telah menunjukkan potensi dalam mengurangi skor nyeri pada 24
jam berdasarkan meta-analisis pasien non-obstetri, dan juga dapat
berkontribusi pada penurunan konsumsi analgesik di antara pasien
obstetrik. Pemberian magnesium dengan dosis 50 mg/kg telah terbukti
efektif mengurangi skor nyeri dan penggunaan obat setelah anestesi umum
untuk persalinan caesar, sehingga menyoroti potensi penggunaan ketamin
sebagai terapi tambahan dalam mengoptimalkan manajemen nyeri pasca
operasi dan meningkatkan pengalaman pasien secara keseluruhan dalam
bidang obstetri. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi
sepenuhnya manfaat analgesik magnesium dan pemanfaatan optimalnya
pada berbagai populasi pasien (Patel dan Zakowski, 2021).
 Dextromethorphan: dapat menurunkan nyeri pada lokasi cedera (situs
primer) dan di luar cedera (situs sekunder), hiperalgesia yang terjadi
akibat pembedahan atau trauma (Raja et al., 2021). Dekstrometorfan dosis
rendah (30 mg) memberikan efek anti-hiperalgesik yang signifikan pada
manusia untuk hiperalgesia primer dan sekunder dan menurunkan
sensitisasi saraf perifer dan sentral pada penelitian dengan model freeze-
injury (Martin et al., 2019). Sebuah meta-analisis ekstensif yang
mencakup 21 studi yang berfokus pada berbagai disiplin ilmu bedah,
termasuk bedah umum, ginekologi, dan ortopedi, menunjukkan adanya
bukti kuat yang mendukung kemanjuran dekstrometorfan perioperatif
dalam mengurangi konsumsi opioid secara signifikan dengan rata-rata
setara morfin 10 mg dan mencapai hasil yang baik dan adanya
pengurangan skor nyeri hampir 1 poin pada skala nyeri 10 poin selama 24
jam pertama pasca operasi. Namun begitu, dekstrometorfan belum
dipelajari secara khusus untuk penggunaannya dalam operasi caesar;
penggunaan pada wanita berisiko tinggi dapat dipertimbangkan (Patel dan
Zakowski, 2021).
5.6. Alpha-2 Adrenergic Agonists:
Agonis alfa-adrenergik clonidine dan dexmedetomidine memiliki sifat analgesik,
tetapi karena keterbatasan bukti dalam penggunaannya untuk operasi caesar, agen
ini tidak dimasukkan dalam protokol ERAC. Penggunaaanya masih dapat
dipertimbangkan pada pasien berisiko tinggi untuk nyeri atau toleransi terhadap
opioid. Klonidin 1,2 mcg/ml/bupivakain 0,1% infus epidural postcesarean selama
24 jam memberikan analgesia yang baik tanpa perlu opioid tambahan untuk 70%
ibu melahirkan dengan gangguan penggunaan opioid buprenorfin (Soens et al.,
2019). Pemberian dexmedetomidine dengan dosis 4 mg intratekal (IT)
menunjukkan penurunan yang signifikan dalam skor visual analog scale (VAS)
baik selama dan setelah operasi caesar, dengan rata-rata skor VAS menunjukkan
penurunan dari 3,6 ± 1 menjadi 2,1 ± 1 (P < 0,001). Studi ini menyoroti
efektivitas dexmedetomidine dalam mengurangi rasa sakit dan meningkatkan
kenyamanan perioperatif pada pasien yang menjalani operasi caesar (Patel dan
Zakowski, 2021). Dalam konteks manajemen nyeri, dexmedetomidine
menunjukkan keefektifannya ketika diberikan sebagai infus intravena (IV) dalam
kisaran dosis 0,2-1,4 mcg/kg/jam setelah dosis loading 1 mcg/kg (Landau, 2019).
6. Profilaksis mual dan muntah intraoperatif dan pascaoperasi
Mual dan muntah sering terjadi selama operasi caesar, baik saat operasi
berlangsung atau di ruang pemulihan. Insidensi mual muntah selama anestesi
regional selama persalinan caesar berkisar antara 21% sampai 79%. Kejadian ini
dapat memperpanjang durasi pembedahan, meningkatkan resiko perdarahan dan
trauma pembedahan, dan menimbulkan risiko aspirasi yang merupakan salah satu
penyebab kematian ibu. Mual muntah juga menyebabkan berkurangnya kepuasan
pasien dan tertundanya pemulangan pasien dari rumah sakit. Berbagai faktor
berkontribusi terhadap gejala mual muntah. Salah satu penyebab yang paling umum
adalah akibat hipotensi maternal akibat anestesi regional (Macones et al., 2019).
Tindakan pencegahan mual muntah sangat penting dalam meningkatkan proses
pemulihan ibu, dan tujuan ini dapat dicapai secara efektif melalui pendekatan
multifaset yang mencakup berbagai strategi diantaranya (Suharwardy dan Carvalho,
2020):
 Pemberian profilaksis seperti pemberian vasopresor (seperti infus fenilefrin)
dan pemberian bersama cairan, untuk mencegah/meminimalkan terjadinya
hipotensi akibat anestesi spinal
 Menggabungkan pemberian dua kelas antiemetik yang berbeda, seperti
penghambat reseptor 5-HT3 dan kortikosteroid. Hal ini dapat secara efektif
mengurangi risiko mual dan muntah
 Menekankan pentingnya teknik bedah yang berkontribusi pada hasil yang
optimal, salah satunya dengan menghindari eksteriorisasi uterus dan irigasi
perut oleh ahli bedah bila dianggap tepat, sehingga memberikan manfaat
tambahan dalam hal pemulihan ibu dan kesejahteraan secara keseluruhan
7. Delayed cord clamping
Penjepitan tali pusat yang tertunda / delayed cord clamping merupakan sebuah
praktik yang dikenal untuk meningkatkan kadar hemoglobin neonatal saat lahir dan
meningkatkan simpanan zat besi pada bayi cukup bulan. Hal ini memberikan potensi
manfaat dalam perkembangan saraf. Dalam kasus bayi yang prematur, penundaan
penjepitan tali pusat dapat memberikan keuntungan (Bollag et al., 2021):
 Peningkatan sirkulasi
 Peningkatan volume sel darah merah
 Penurunan risiko transfusi
 Penurunan kemungkinan komplikasi seperti necrotizing enterocolitis
 Pendarahan otak
Namun, penting untuk dicatat bahwa mungkin ada sedikit peningkatan risiko
penyakit ikterik neonatal terkait dengan teknik ini. Perlunya dilakukan pemantauan
yang ketat dan intervensi tepat waktu untuk mengatasi kondisi ikterik pada bayi.
Penjepitan tali pusat yang tertunda belum ditemukan secara signifikan meningkatkan
kehilangan darah perioperatif atau kejadian anemia pasca operasi ibu, dan
rekomendasi saat ini oleh ACOG menganjurkan penundaan penjepitan tali pusat
setidaknya 30-60 detik setelah lahir. Selain itu, sangat penting untuk melakukan
penilaian klinis dan mempertimbangkan faktor individu pasien dalam menentukan
apakah penjepitan tali pusat yang tertunda tepat untuk dilakukan, terutama dalam
situasi yang melibatkan perdarahan pascapersalinan atau persalinan berisiko tinggi
(Bollag et al., 2021).
8. Skin to skin
Akibat terdapatnya dampak signifikan dari ikatan ibu-bayi dini, sangat penting
untuk memprioritaskan dan memfasilitasi kontak kulit segera setelah melahirkan di
ruang operasi, karena praktik ini tidak hanya mendorong kedekatan fisik tetapi juga
mendorong hubungan emosional antara ibu dan bayi. Lebih jauh lagi, ketika
diintegrasikan ke dalam program Enhanced Recovery After Surgery (ERAS), kontak
kulit-ke-kulit menjadi metode yang ampuh untuk meningkatkan ikatan antara ibu dan
bayi, dengan pasien ERAS melaporkan peningkatan emosi positif yang nyata
terhadap bayi mereka yang baru lahir. Hal ini mengakibatkan tingkat kepuasan ibu
yang lebih tinggi dan rasa nyaman yang lebih besar dalam merawat bayi mereka,
terutama dalam kegiatan seperti menggendong dan menyusui, yang pada akhirnya
membuka jalan bagi pengalaman pengasuhan dan pemenuhan ikatan yang meletakkan
dasar yang kokoh bagi hubungan ibu-bayi (Suharwardy dan Carvalho, 2020). Kontak
skin-to-skin segera atau dini setelah persalinan caesar (juga dikenal sebagai
perawatan kanguru/kangaroo care) juga dapat meningkatkan kemungkinan
keberhasilan menyusui. Namun begitu, kondisi hipotermia pada ibu merupakan
penghalang untuk memberikan kontak skin-to-skin ke bayi, karena hal ini dapat
menyebabkan hipotermia neonatal. Sehingga, sebelum dilakukan metode ini, pastikan
ibu berada dalam suhu tubuh yang optimal (Adshead et al., 2020).
9. Manajemen oksitosin
Pemberian uterotonika yang optimal selama persalinan sesar penting untuk
mencegah dan mengobati atonia uteri dan perdarahan postpartum (PPH). Dosis yang
tepat dari penggunaan uterotonika penting untuk menghindari efek samping terkait
obat. Dianjurkan untuk menggunakan dosis uterotonika efektif terendah yang
diperlukan untuk mencapai tonus uterus yang memadai untuk meminimalkan efek
samping. Efek yang tidak diinginkan dari agen uterotonika antara lain flushing, mual
dan muntah, takikardia, hipotensi, retensi air, hiponatremia dan kejang (oksitosin),
bronkospasme (prostaglandin), hipertensi (alkaloid ergot), dan kesalahan pemberian
obat (risiko yang terkait dengan pemberian obat yang tidak perlu) (Bollag et al.,
2021).
Pemberian bolus oksitosin dalam jumlah yang banyak dan cepat harus dihindari
untuk meminimalkan efek samping. Keperluan dosis oksitosin persalinan sesar
intrapartum beberapa kali lipat lebih banyak dibandingkan kasus elektif tanpa paparan
oksitosin sebelumnya. Gunakan dosis uterotonika efektif terendah yang diperlukan
untuk mencapai tonus uterus yang adekuat dan meminimalkan efek samping. Dalam
kasus perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri, diperlukan transisi dari protokol
ERAC ke protokol resusitasi perdarahan institusional (Bollag et al., 2021). Untuk
memitigasi potensi risiko perdarahan postpartum secara efektif, dianjurkan untuk
memulai infus oksitosin dosis rendah sebagai profilaksis dengan kecepatan yang
dipantau secara hati-hati yakni sebanyak 15–18 U/jam (Ituk dan Habib, 2018).

V. Perawatan Postoperatif
1. Asupan oral awal
Pendekatan asupan oral awal, telah terbukti secara signifikan berkaitan dengan
pemulihan gastrointestinal yang lebih cepat setelah persalinan caesar, tanpa
meningkatkan kemungkinan komplikasi gastrointestinal (Jarraya et al., 2016).
Manfaat pemberian asupan oral dengan lebih dini antara lain:
 Sebagai strategi yang efektif untuk memfasilitasi proses pemulihan
 Meningkatkan kenyamanan pasien selama periode pasca operasi (Jarraya et
al., 2016).
 Meminimalkan penggunaan opioid pasca operasi
 Menurunkan resiko ileus
 Meningkatkan kembalinya fungsi usus (Suharwardy dan Carvalho, 2020 ).
ERAS Society merekomendasikan secara kuat untuk memulai kembali diet teratur
dalam 2 jam setelah operasi. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti dengan kualitas
sedang-tinggi. SOAP merekomendasikan pemberian es batu/air dalam 1 jam dan diet
teratur idealnya dalam 4 jam. Jalur intravena harus diklem lebih awal setelah infus
oksitosin selesai dan cairan oral dapat ditoleransi. Sebuah studi uji coba kontrol acak
menemukan bahwa wanita yang mengunyah permen karet 2 jam pasca operasi dan
melanjutkannya setiap 2 jam setelah bangun memiliki waktu yang lebih singkat pada
buang air besar pertama daripada mereka yang mengonsumsi cairan oral 6 jam pasca
operasi atau kelompok kontrol pada cairan intravena (Suharwardy dan Carvalho,
2020).
2. Multimodal postoperative analgesia
Nyeri pasca operasi merupakan faktor yang memperpanjang waktu pemulihan dan
durasi rawat inap di semua operasi. Pada persalinan sesar, nyeri pasca operasi dapat
mencegah mobilisasi dini dan perawatan bayi baru lahir oleh ibu (Kinay et al., 2022).
Secara tradisional, intravenous patient-controlled analgesia (IV-PCA) telah digunakan
sebagai rejimen gold standard untuk pasien pasca persalinan caesar ketika teknik
neuraksial tidak digunakan atau gagal. Infus yang berkelanjutan tidak dianjurkan pada
ibu nifas yang tidak pernah mendapatkan opioid, karena memiliki risiko lebih tinggi
akan terjadinya depresi pernapasan. Akibat adanya berbagai efek samping terkait
dengan opioid seperti mual, muntah, penurunan gerakan gastrointestinal, pruritus,
retensi urin, sedasi, dan depresi pernapasan, opioid telah menjadi rejimen yang
menjadi pilihan paling terakhir pada masa pemulihan setelah operasi (Ljungqvist et
al., 2020). Analgesia pasca operasi multimodal merupakan landasan protokol ERAC.
Asetaminofen dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah komponen penting
dari analgesia pasca operasi multimodal dan pemberian gabungan dari kedua obat
tersebut dapat menawarkan analgesia yang lebih baik daripada jika diberikan tunggal
(Forkin et al., 2022):
 NSAIDS: Nonsteroidal anti-inflammatory agents (NSAID) adalah analgesik
kuat yang berfungsi sebagai penghambat sintesis siklooksigenase dan
prostaglandin. Idealnya, NSAID harus diberikan sebagai pilihan pertama
untuk mengatasi nyeri setelah memberikan opioid kerja lama neuraksial. Jika
persalinan caesar dilakukan tanpa anestesi neuraksial, maka NSAID IV
dan/atau PO juga harus digunakan sebagai analgesik lini pertama
dibandingkan opioid IV. Meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan NSAID IV/intramuskular (IM) perioperatif pada pasien dengan
persalinan caesar memiliki skor nyeri yang jauh lebih rendah, konsumsi
opioid yang lebih sedikit, dan rasa kantuk/sedasi yang lebih sedikit walaupun
tanpa perbedaan gejala mual atau muntah dibandingkan dengan mereka yang
tidak menerima NSAID. Meskipun ada kekhawatiran secara teoretis bahwa
NSAID berhubungan dengan disfungsi trombosit, iritasi/perdarahan
gastrointestinal, dan disfungsi ginjal, studi menunjukkan bahwa ketorolac
secara klinis aman untuk diberikan pada pasien postpartum. Meta-analisis
terbaru membuktikan bahwa ketorolac IV tidak meningkatkan perdarahan.
 Acetaminophen: Seperti NSAID, IV atau PO acetaminophen harus diberikan
secara terjadwal untuk mencapai efek yang optimal. Acetaminophen dan
NSAID apabila diberikan secara bersamaan akan menghasilkan efek analgesik
aditif dan sinergis. Satu hal yang perlu diperhatikan lebih dalam pemberiannya
yakni potensi toksisitas hati. Dosis maksimum untuk pasien obstetri harus
dibatasi hingga 3–4 g/hari (yaitu, 60 mg/kg/hari).
Bukti terbaru menunjukkan bahwa metode pemberian asetaminofen dan NSAID
terjadwal berkorelasi dengan pengurangan penggunaan opioid secara keseluruhan
(Forkin et al., 2022). Pemanfaatan terapi kombinasi ini telah diidentifikasi sebagai
pendekatan yang terjangkau dan bermanfaat, menunjukkan efektivitas biaya dan
potensi untuk menghasilkan hasil yang lebih baik dengan insiden efek samping yang
lebih rendah dibandingkan dengan perawatan berbasis opioid (Kinay et al., 2022).
Pemulihan pascaoperasi telah berkembang dari berfokus pada tujuan satu dimensi
dari skor nyeri visual analog scale (VAS) ≤3/10 menjadi pendekatan multidimensi
yang lebih holistik. Tujuan mendasar dari mengurangi rasa sakit tidak hanya
mengurangi penderitaan individu tetapi juga meningkatkan pemulihan fungsional
dengan lebih cepat kembali ke aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk ikatan ibu-
bayi, kembali ke rumah, dan kepuasan yang lebih tinggi. ERAC menggunakan
pendekatan interdisipliner yang membutuhkan pendaftaran pasien (dan sistem
pendukungnya), anestesiologi, kebidanan, pediatri, keperawatan, spesialis laktasi, dan
rumah sakit (Patel dan Zakowski, 2021).
3. Mobilisasi dini
Outcome pasien yang optimal adalah pengukuran akhir dari protokol ERAS
setelah persalinan caesar. Aktivitas fisik pra operasi dan latihan pernapasan
berkorelasi dengan peningkatan ambulasi dan peningkatan outcome pasien pasca
operasi. Nyeri dan kelelahan pasca operasi berkontribusi pada penurunan mobilitas,
yang pada akhirnya menghasilkan penekanan fungsi sistem kardiopulmoner dan
muskuloskeletal. Mobilisasi awal setelah persalinan caesar meminimalkan penekanan
fungsi dan dekondisi; memfasilitasi interaksi berkualitas tinggi antara ibu dan bayi
baru lahir; mempercepat ibu kembali ke fungsi dasar; dan mencapai tujuan hasil fisik,
mental, dan ekonomi yang lebih baik secara keseluruhan. Gejala mual, nyeri kepala,
dan pusing yang disebabkan oleh hipotensi ortostatik juga merupakan hambatan
umum ibu setelah persalinan caesar. Terlebih hipotensi ortostatik merupakan
fenomena umum setelah analgesia epidural. Peralihan awal dari epidural ke
pengobatan oral akan mengurangi kejadian orthostasis. Mobilisasi dini dapat
dilakukan dengan cara perlahan-lahan mengangkat kepala tempat tidur, lalu
tempatkan pasien tegak di kursi, dan pemantauan ketat gejala pasien dan tekanan
darah harus dilakukan selama proses berlangsung. Sementara itu, perhatian dengan
terus menerus harus diberikan untuk mewaspadai adanya perdarahan pasca persalinan
(Huang et al., 2019).
4. Pelepasan kateter urin dini
Saat ini, pelepasan kateter Foley segera setelah operasi caesar direkomendasikan
untuk wanita yang tidak memerlukan pengukuran keluaran urin secara terus menerus
(Ogunkua dan Duryea, 2021). Studi menunjukkan bahwa pelepasan kateter 12 jam
setelah operasi dikaitkan dengan lebih tingginya bakteriuria, frekuensi berkemih
kencing, berkemih yang tidak nyaman, ambulasi pasca operasi tertunda, berkemih
pertama tertunda, dan debit rumah sakit tertunda daripada pelepasan kateter segera
(Kinay et al., 2022). Ini telah menciptakan beberapa kontroversi di antara para ahli
terkemuka. Satu kekhawatiran adalah kurangnya data yang ada tentang pelepasan
segera kateter Foley dalam opioid neuraxial long-acting. Kurangnya data ini harus
ditimbang dengan manfaat ambulasi dini yang didapatkan apabila kateter dilepaskan
lebih awal. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa segera melepas kateter Foley dapat
meningkatkan risiko hipovolemia yang tidak terdeteksi. Kuantifikasi kehilangan
darah pada saat persalinan cukup sulit dilakukan meskipun terus dilakukan upaya
untuk meningkatkan perkiraan kehilangan darah dan penggunaan pengukuran
kehilangan darah secara kuantitatif. Seringkali, penurunan keluaran urin mungkin
merupakan tanda awal hipovolemia (Ogunkua dan Duryea, 2021).

VI. Pasca keluar rumah sakit


Sejalan dengan rekomendasi ERAS Society, penerapan instruksi pemulangan
tertulis yang terstandarisasi telah dianjurkan untuk meningkatkan perawatan pascaoperasi
setelah persalinan caesar. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi penting yang
melibatkan pasien dalam pemahaman komprehensif tentang aspek kunci dari proses
pemulihan mereka. Instruksi ini harus mencakup topik penting antara lain (Kinay et al.,
2022):
 Identifikasi tanda dan gejala infeksi luka operasi
 Panduan pembatasan aktivitas
 Pengelolaan obat
 Dukungan menyusui
 Cara membina ikatan ibu-bayi.
Selain itu, jika memungkinkan dan tanpa halangan apa pun, akan bermanfaat bagi
ibu dan bayi untuk dipulangkan secara bersamaan, meningkatkan kesinambungan
perawatan dan memfasilitasi kelancaran transisi ke periode pascapersalinan (Kinay et al.,
2022).
Sebelum pasien dipulangkan, penting untuk memastikan bahwa mereka memiliki
akses ke sarana komunikasi yang dapat diandalkan dengan unit persalinan. Hal ini dapat
dilakukan salah satunya dengan memberi mereka nomor kontak yang diperlukan dan
instruksi yang jelas tentang siapa yang harus dihubungi jika ada kekhawatiran, masalah,
atau pertanyaan. Menyadari pentingnya perawatan pascapersalinan, penyedia layanan
kesehatan harus secara proaktif menghubungi pasien dalam waktu 24 jam setelah
pemulangan, memprioritaskan penilaian kesejahteraan ibu dan bayi baru lahir, sementara
juga menjawab setiap pertanyaan atau kekhawatiran yang mungkin muncul selama
periode postpartum awal. Pendekatan komunikasi yang proaktif ini tidak hanya
memperkuat kesinambungan perawatan tetapi juga menumbuhkan rasa kepastian dan
dukungan, memastikan bahwa pasien merasa didukung dan diberdayakan secara
memadai selama fase pascapersalinan yang krusial. Dengan membangun sistem
komunikasi yang kuat dan memberikan tindak lanjut yang tepat waktu, tenaga kesehatan
profesional dapat secara efektif mengatasi masalah potensial apa pun, meningkatkan
kepuasan pasien, dan mendorong hasil yang optimal bagi ibu dan bayi baru lahir (Ituk
dan Habib, 2018).

VII. Implementasi ERACS dalam keterbatasan sumber daya menimbulkan tantangan


Literatur yang kuat tentang ERACS termasuk pedoman masyarakat ERAS diikuti
oleh pedoman konsensus dari Perhimpunan Anestesi Kebidanan dan Perinatologi
menunjukkan fakta bahwa ERACS telah dianut oleh banyak negara maju. Namun,
banyak yang harus dipastikan sebelum pelaksanaan ERACS di negara berkembang.
Hambatan utama yang disebutkan dalam literatur untuk memperkenalkan ERACS di
negara-negara yang membatasi sumber daya adalah kurangnya pendidikan, perbedaan
besar antara pengaturan perawatan kesehatan pedesaan dan perkotaan, kegagalan untuk
mengenali tanda-tanda peringatan dini dan infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya
staf terlatih untuk penerapan protokol ERAS, dan tidak tersedianya jaringan dan fasilitas
telekomunikasi yang memadai (Gupta et al., 2022; Trikha dan Kaur, 2020). Semua
hambatan ini membutuhkan dukungan di tingkat pemerintah, namun prioritas pemerintah
di negara berkembang adalah pada penurunan angka kematian ibu, sehingga
implementasi ERACS bukan salah satu yang paling diutamakan (Trikha dan Kaur, 2020).
Disarankan bahwa pendekatan di negara-negara berkembang harus pada tingkat
kelembagaan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Tim termasuk ahli
anestesi, dokter kandungan, perawat, rumah sakit, dan pasien harus turut ikut serta. Tim
medis multidisiplin di tingkat institusional harus mencoba melakukan strategi intervensi
program ERAC secara bertahap. Hal ini dapat dimulai dengan melatih staf dan
memberikan edukasi terhadap pasien. Ahli anestesi menjadi bagian penting dari tim ini
dapat bertujuan untuk membakukan elemen perawatan perioperatif seperti yang
disarankan oleh ERAS. Prosedur dapat dimulai dengan melibatkan pasien dan keluarga
mereka dalam rencana anestesi dan manajemen nyeri, penggunaan anestesi regional
semaksimal mungkin, memperkenalkan protokol pencegahan hipotensi pasca-spinal,
manajemen mual muntah, hipotermia perioperatif, dan penggunaan analgesia multimodal
(Adshead et al., 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Adshead, D., Wrench, I., & Woolnough, M. (2020). Enhanced recovery for elective Caesarean
section. BJA education, 20(10), 354.
Barney, E. Z., Pedro, C. D., Gamez, B. H., Fuller, M. E., Dominguez, J. E., & Habib, A. S.
(2020). Ropivacaine and Ketorolac Wound Infusion for Post–Cesarean Delivery
Analgesia: A Randomized Controlled Trial. Obstetrics & Gynecology, 135(2), 427-435.
Bollag, L., Lim, G., Sultan, P., Habib, A. S., Landau, R., Zakowski, M., ... & Carvalho, B.
(2021). Society for obstetric anesthesia and perinatology: consensus statement and
recommendations for enhanced recovery after cesarean. Anesthesia & Analgesia, 132(5),
1362-1377.
Forkin, K. T., Mitchell, R. D., Chiao, S. S., Song, C., Chronister, B. N., Wang, X. Q., ... &
Tiouririne, M. (2022). Impact of timing of multimodal analgesia in enhanced recovery
after cesarean delivery protocols on postoperative opioids: A single center before-and-
after study. Journal of Clinical Anesthesia, 80, 110847.
Gupta, A., Di Mascio, D., Sileo, F. G., Kelly, E., Saccone, G., & Berghella, V. (2020).
Thromboprophylaxis for cesarean delivery: A systematic review and meta-analysis.
American Journal of Obstetrics and Gynecology, 222(6), 521-530. doi:
10.1016/j.ajog.2019.12.002
Gupta, S., Gupta, A., Baghel, A. S., Sharma, K., Choudhary, S., & Choudhary, V. (2022).
Enhanced recovery after cesarean protocol versus traditional protocol in elective cesarean
section: A prospective observational study. Journal of Obstetric Anaesthesia and Critical
Care, 12(1), 28-33.
Hu, J., Huang, D., Li, M., Wu, C., & Zhang, J. (2018). Effects of a single dose of preoperative
pregabalin and gabapentin for acute postoperative pain: a network meta-analysis of
randomized controlled trials. Journal of pain research, 2633-2643.
Huang, J., Cao, C., Nelson, G., & Wilson, R. D. (2019). A review of enhanced recovery after
surgery principles used for scheduled caesarean delivery. Journal of Obstetrics and
Gynaecology Canada, 41(12), 1775-1788.
Iddrisu, M., & Khan, Z. H. (2021). Anesthesia for cesarean delivery: general or regional
anesthesia—a systematic review. Ain-Shams Journal of Anesthesiology, 13(1), 1-7.
Ituk, U., & Habib, A. S. (2018). Enhanced recovery after cesarean delivery. F1000Research, 7,
F1000 Faculty Rev-513. https://doi.org/10.12688/f1000research.13895.1
Jarraya, A., Zghal, J., Abidi, S., Smaoui, M., & Kolsi, K. (2016). Subarachnoid morphine versus
TAP blocks for enhanced recovery after caesarean section delivery: a randomized
controlled trial. Anaesthesia Critical Care & Pain Medicine, 35(6), 391-393.
Kınay, T. , İbanoğlu, M. C. & Ustun, Y. (2022). Enhanced Recovery After Surgery Programs in
Cesarean Delivery: Review of the Literature . Türk Kadın Sağlığı ve Neonatoloji
Dergisi , 4 (2) , 87-96 . DOI: 10.46969/EZH.1076419
Landau, R. (2019). Post-cesarean delivery pain. Management of the opioid-dependent patient
before, during and after cesarean delivery. International journal of obstetric anesthesia,
39, 105-116.
Liu, Z. Q., Du, W. J., & Yao, S. L. (2020). Enhanced recovery after cesarean delivery: a
challenge for anesthesiologists. Chinese medical journal, 133(05), 590-596.
Ljungqvist, O., Nelson, G., & Demartines, N. (2020). The post COVID-19 surgical backlog: now
is the time to implement enhanced recovery after surgery (ERAS). World Journal of
Surgery, 44, 3197-3198.
Macones, G. A., Caughey, A. B., Wood, S. L., Wrench, I. J., Huang, J., Norman, M., ... & Wilson,
R. D. (2019). Guidelines for postoperative care in cesarean delivery: Enhanced Recovery
After Surgery (ERAS) Society recommendations (part 3). American journal of obstetrics
and gynecology, 221(3), 247-e1.
National Institute for Health and Care Excellence. (2019). Venous thromboembolism in over 16s:
Reducing the risk of hospital-acquired deep vein thrombosis or pulmonary embolism.
Clinical guideline [CG92]. Retrieved from https://www.nice.org.uk/guidance/cg92
Nedeljkovic, S. S., Kett, A., Vallejo, M. C., Horn, J. L., Carvalho, B., Bao, X., ... & Habib, A. S.
(2020). Transversus abdominis plane block with liposomal bupivacaine for pain after
cesarean delivery in a multicenter, randomized, double-blind, controlled trial. Anesthesia
and Analgesia, 131(6), 1830.
Ogunkua, O., & Duryea, E. (2021). Enhanced recovery after cesarean section. Contemporary
OB/GYN Journal, 66(05).
Parikh, P., Sunesara, I., Singh Multani, S., Patterson, B., Lutz, E., & Martin Jr, J. N. (2019).
Intra-incisional liposomal bupivacaine and its impact on postcesarean analgesia: a
retrospective study. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 32(6), 966-970.
Patel, K., & Zakowski, M. (2021). Enhanced recovery after cesarean: current and emerging
trends. Current Anesthesiology Reports, 11, 136-144.
Peahl, A. F., Smith, R., Johnson, T. R., Morgan, D. M., & Pearlman, M. D. (2019). Better late
than never: why obstetricians must implement enhanced recovery after cesarean.
American journal of obstetrics and gynecology, 221(2), 117-e1.
Raja, S. N., Sivanesan, E., & Guan, Y. (2019). Central sensitization, N-methyl-D-aspartate
receptors, and human experimental pain models: bridging the gap between target
discovery and drug development. Anesthesiology, 131(2), 233-235.
Rawal, N. (2017). Enhanced recovery after surgery: The future of improving surgical care. The
Surgical Clinics of North America, 97(5), 953-964. doi: 10.1016/j.suc.2017.05.009
Rosyidah, R., Widyastuti, Y., Dewanto, A., Hapsari, E. D., & Wicaksana, A. L. (2021). The
attitude of health care workers on enhanced recovery after surgery for cesarean delivery:
A scoping review. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, 43(7), 856-863.
Soens, M. A., He, J., & Bateman, B. T. (2019, April). Anesthesia considerations and post-
operative pain management in pregnant women with chronic opioid use. In Seminars in
Perinatology (Vol. 43, No. 3, pp. 149-161). WB Saunders.
Suharwardy, S., & Carvalho, B. (2020). Enhanced recovery after surgery for cesarean delivery.
Current Opinion in Obstetrics and Gynecology, 32(2), 113-120.
Sultan, P., Sharawi, N., Blake, L., Habib, A. S., Brookfield, K. F., & Carvalho, B. (2021). Impact
of enhanced recovery after cesarean delivery on maternal outcomes: A systematic review
and meta-analysis. Anaesthesia Critical Care & Pain Medicine, 40(5), 100935.
Sung S, Mahdy H. Cesarean Section. [Updated 2022 Sep 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546707/
Tamang, T., Wangchuk, T., Zangmo, C., Wangmo, T., & Tshomo, K. (2021). The successful
implementation of the Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) program among
caesarean deliveries in Bhutan to reduce the postoperative length of hospital stay. BMC
pregnancy and childbirth, 21(1), 1-7.
Trikha, A., & Kaur, M. (2020). Enhanced recovery after surgery in obstetric patients–Are we
ready?. Journal of Obstetric Anaesthesia and Critical Care, 10(1), 1.
Van Duren, A., Muris, N. M. J., Kalkman, C. J., Dankelman, J., & Schouten, E. G. (2019). Active
body surface warming systems for preventing complications caused by inadvertent
perioperative hypothermia in adults. Cochrane Database of Systematic Reviews, (8). doi:
10.1002/14651858.CD012794.pub2
Verret, M., Lauzier, F., Zarychanski, R., Perron, C., Savard, X., Pinard, A. M., ... & Turgeon, A.
F. (2020). Perioperative use of gabapentinoids for the management of postoperative acute
pain: a systematic review and meta-analysis. Anesthesiology, 133(2), 265-279.

Anda mungkin juga menyukai