Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian bedah caesar semakin meningkat tiap tahunnya.

Berdasarkan WHO, standar pembedahan caesar di sebuah negara adalah 5–

10% per kelahiran di dunia. Peningkatan persalinan dengan prosedur caesar

terjadi pada kisaran tahun 2007–2008 dengan 110.000 per kelahiran di Asia

termasuk di Indonesia (Gibbons et al., 2010). Di Indonesia, terjadi

peningkatan angka bedah caesar yang disertai kejadian infeksi luka

pascabedah caesar. Sekitar 90% morbiditas pascaoperasi disebabkan oleh

infeksi luka operasi.

Infeksi merupakan salah satu komplikasi dari prosedur pembedahan

caesar. Banyak faktor yang dapat meningkatkan infeksi pasca pembedahan

caesar seperti kegawatdaruratan pembedahan caesar, lama persalinan,

penggunaan antibiotik profilaksis atau tidak, jumlah kunjungan prenatal, dan

sebagainya (Ibrahim et al., 2011).

Beberapa sumber menjelaskan pemberian antibiotik profilaksis dalam

praktik klinik sangat bermanfaat. Menurut Negara (2014), infeksi dapat

dikurangi dengan penggunaan antibiotik profilaksis. Efektivitas penggunaan

antibiotik profilaksis bedah sangat begantung pada dosis dan waktu

pemberian antibiotik tersebut.

Dalam prosedur pembedahan caesar, penggunaan antibiotik

profilaksis sangat direkomendasikan untuk mengurangi angka morbiditas


(SIGN, 2014). Tidak digunakannya antibiotik profilaksis, dapat

meningkatkan kejadian endometritis postpartum sebanyak 30–45%. Bahkan

penggunaan antibiotik profilaksis masih dapat menyebabkan endometritis

sebanyak 2–15% (Unbound Medicine, 2018).

Ceftriaxone dan Cefazoline merupakan obat dari golongan

Cefalosporin yang berbeda generasi. Ceftriaxone merupakan generasi ketiga

dan Cefazoline generasi pertama (WHO, 2001). Pada penelitian sebelumnya

oleh Mugisa et al. (2018), Ceftriaxone terbukti efektif sebagai antibiotik

profilaksis sectio caesarea (SC). Sedangkan Cefazoline juga efektif sebagai

antibiotik profilaksis pada operasi ginekologi (Finch et al., 2010).

Berdasarkan beberapa informasi di atas, maka peneliti ingin

melakukan kajian pustaka untuk mengetahui perbedaan kejadian infeksi luka

operasi SC pada pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline.

1.2 Fokus Pembahasan dan Gagasan Utama

Bagaimana perbedaan kejadian infeksi luka operasi SC pada

pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline? Salah satu dari kedua antibiotik

profilaksis (Ceftriaxone dan Cefazoline) memiliki efek yang lebih baik dalam

mencegah kejadian infeksi luka operasi SC.

1.3 Tujuan

Mengetahui perbedaan kejadian infeksi luka operasi SC pada

pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline.


1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Akademik

1. Memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk

penelitian lebih lanjut mengenai kejadian infeksi post operasi SC.

2. Mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama mengenai antibiotik

profilaksis.

1.4.2 Manfaat Klinis

Dengan mengetahui angka kejadian infeksi luka operasi SC terkait

dua jenis antibiotik yang berbeda dapat memberikan masukan

terkait penggunaan antibiotik profilaksis pada divisi obstetrik

ginekologi di RS UMM.

1.4.3 Manfaat untuk Masyarakat

1. Menambah pengetahuan tentang operasi SC.

2. Mengetahui antibiotik yang dapat digunakan untuk mengurangi

risiko infeksi pada operasi SC.

1.5 Metode Penelusuran

Tinjauan pustaka dilakukan untuk menentukan perbedaan kejadian

infeksi luka operasi SC pada pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline sehingga

kata kunci yang dipakai antara lain: “ceftriaxone”, “cefazoline”, “sectio

caesar”, “profilaksis”, “infeksi”, serta variasinya dalam Bahasa Indonesia

maupun Bahasa Inggris. Pencarian dilakukan di Google Scholar dan PubMed.


Pustaka yang dipakai sebagai pustaka utama harus memenuhi kriteria inklusi

sebagai berikut: merupakan artikel terpublikasi pada jurnal nasional

terakreditasi Sinta atau jurnal internasional bereputasi baik terindeks Scopus

maupun non-Scopus, diterbitkan paling lama tahun 2017, dan berbahasa

Indonesia atau Inggris. Sebagai pelengkap dapat digunakan pustaka yang

yang relevan yang diacu oleh pustaka utama dan buku literatur atau textbook

bukan buku ajar, paling lama 10 tahun terakhir.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio Cesarean

Sectio caesarean (SC) adalah suatu proses persalinan dimana

mengeluarkan bayi dari perut seorang ibu dengan cara menginsisi bagian

perut (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Seiring perkembangan

jaman, bedah, insisi ini dapat dilakukan dibagian perut bawah. Sectio

caesarean ini bisa dilakukan secara elektif apabila ada indikasi bayi tidak

bisa dilahirkan secara normal ataupun bisa dilakukan secara mendadak

(emergency) apabila ada kondisi dimana bayi harus dilahirkan segera (Ni

et al., 2018).

2.1.1 Jenis Sectio Caesarean

Sectio Caesarea dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda

Merupakan jenis pembedahan yang paling banyak dilakukan dengan cara

menginsisi di segmen bagian bawah uterus. Beberapa keuntungan

menggunakan jenis pembedahan ini, yaitu perdarahan luka insisi yang

tidak banyak, bahaya peritonitis yang tidak besar, parut pada uterus

umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri dikemudian hari tidak besar

karena dalam masa nifas ibu pada segmen bagian bawah uterus tidak

banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat

sembuh lebih sempurna (Yustanta, 2015).

2) Sectio Caesarea Klasik atau Sectio Caesarea Corporal


Merupakan tindakan pembedahan dengan pembuatan insisi pada bagian

tengah dari korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas

batas plika vesio uterine. Tujuan insisi ini dibuat hanya jika ada halangan

untuk melakukan proses Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda,

misal karena uterus melekat dengan kuat pada dinding perut karena

riwayat persalinan Sectio Caesarea sebelumnya, insisi di segmen bawah

uterus mengandung bahaya dari perdarahan banyak yang berhubungan

dengan letaknya plasenta pada kondisi plasenta previa. Kerugian dari jenis

pembedahan ini adalah lebih besarnya risiko peritonitis dan 4 kali lebih

bahaya rupture uteri pada kehamilan selanjutnya. Setelah dilakukan

tindakan Sectio Caesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi atau

histerektomi untuk menghindari risiko yang ada (Yustanta, 2015).

3) Sectio Caesarea Ekstraperitoneal

Insisi pada dinding dan fasia abdomen dan musculus rectus dipisahkan

secara tumpul. Vesika urinaria diretraksi ke bawah sedangkan lipatan

peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah

uterus. Jenis pembedahan ini dilakukan untuk mengurangi bahaya dari

infeksi puerperal, namun dengan adanya kemajuan pengobatan terhadap

infeksi, pembedahan Sectio Caesarea ini tidak banyak lagi dilakukan

karena sulit dalam melakukan pembedahannya (Yustanta, 2015).

2.1.2 Indikasi

Tindakan SC ini dilakukan untuk mengeluarkan bayi dari tubuh

sang ibu. Biasanya tindakan ini dilakukan apabila terdapat komplikasi


pada sang bayi maupun ibu jika tetap dilakukan persalinan melalui

pervaginam. Ada beberapa indikasi yang mengharuskan dilakukannya SC

yaitu indikasi absolut dan indikasi relative. Untuk indikasi absolut yaitu:

 Absolut disproportion

Ukuran panggul ibu yang terlalu kecil dapat menjadi faktor

penyulit untuk dilakukannya persalinan pervaginam sehingga SC

perlu dilakukan untuk mengeluarkan bayi.

 Chorioamnionitis

Pyang terkena infeksi bisa menularkan infeksinya pada bayi

dalam rahim sehingga perlu dilakukan tindakan secepatnya

untuk mengeluarkan bayi agar tidak terkena infeksi.

 Deformitas panggul ibu

Malformitas panggul ibu juga termasuk penyulit dalam

persalinan pervaginam.

 Eklamsia

Ibu hamil dengan hipertensi (Eklamsia) merupakan ibu hamil

dengan risiko tinggi sehingga SC perlu dilakukan.

 Fetal asidosis dan Fetal asfiksia

Asidosis dan asfiksia yang dialami oleh bayi merupakan indikasi

absolut untuk dilakukan SC agar tidak terjadi kematian dalam

kehamilan.

 Plasenta Previa

Tempat penempelan plasenta dijalan keluar rahim juga indikasi

dilakukannya SC.
 Proplaps Tali Pusat

Kepala bayi yang terkena prolaps tali dapat meningkatkan risiko

bayi asfiksia apabila dipaksa dilahirkan pervaginam.

 Presentasi yang abnormal

Posisi bayyi yang tidak seharusnya saat aterm menjadikannya

sebagai indikasi SC.

 Ruptur Uteri

Merupakan salah satu gawat darurat obstetric sehingga perlu

dilakukan tindakan SC untuk menyelamatkan sang bayi dan ibu

(Mylonas & Friese, 2015).

Sedangkan untuk indikasi relatif yaitu :

 CTG yang abnormal

Gambaran CTG abnormal dapat diinterpretasikan adanya

asfiksia ataupun asidosis pada bayi

 Kegagalan dalam persalinan pervaginam

Saat persalinan, dapat terjadi pembukaan yang lama. Hal ini bisa

dijadikan indikasi untuk tindakan SC

 Riwayat SC sebelumnya

Adanya riwayat SC juga tidak menutup kemungkinan persalinan

selanjutnya juga dilakukan SC (Mylonas & Friese, 2015).

2.1.3 Kontraindikasi

Ada beberapa kondisi dimana SC tidak boleh dilakukan, contohnya:

 IUFD
 Syok

 Anemia berat

 Kelainan kongenital berat

 Infeksi progenik pada dinding abdomen

 Fasilitas yang minim untuk melakukan tindakan SC

(Prawirohardjo, 2015).

2.1.4 Risiko

Persalinan dengan teknik apapun pasti punya risiko masing

masing. The National Institutes of Health telah melakukan sebuah

penelitian untuk membandingkan risiko dan keuntungan melakukan

persalinan pervaginam dengan SC. Dalam beberapa kasus seperti

plasenta previa memang perlu dilakukannya tindakan SC. Tetapi

untuk kasus kehamilan risiko rendah, tindakan SC lebih berisiko

meningkatkan morbiditas dan mortilitas sang ibu dibandingkan

persalinan pervaginam (Caughey et al., 2014).


Tabel 2.1 Perbandingan risiko antara persalinan pervaginam dan sectio

caesarea (Caughey et al., 2014).

Persalinan
Hasil/ Akibat Sectio Caesar
Pervaginam
 Ibu

- Morbiditas 8,6 % 9,2%

- Mortilitas 3,6 : 100.000 13,3 : 100.000

- Emboli amnion 3,3 – 7,7:100.000 15,8 : 100.000

- Perineal laserasi 1-3% -

(derajat 3 atau 4)

- Abnormalitas - -

plasenta

- Urinanry - -

incontinence

- Depresi postpartum - -

 Bayi

- Laserasi

- Asfiksia - 1-2%

- Distosia bahu <1% 1-4%

1-2% 0%

2.1.5 Managemen Preoperatif

Sebelum dilakukannya tindakan SC, pasien diharuskan untuk

berpuasa 8 jam terlebih dahulu. Tapi kadang perawat atau dokter

menyarankan puasa selama 12 jam sebelum tindakan.

Berikut ini beberapa managemen preoperative SC :


a. Pemasangan intravena (IV) + pemberian infus RL/ NS / D5%

b. Pemasangan kateter pada ibu

c. Pemantauan TTV bayi yang berada dalam kandungan dan sang

ibu.

d. Pemberian antibiotik profilaksis

e. Evaluasi oleh dokter Sp.OG dan dokter Sp.An (Cunningham et

al., 2014).

Sebelum tindakan SC juga perlu dilakukan pemeriksaan

laboratorium yang mencakup:

a. Darah lengkap

b. Golongan darah ibu beserta rhesus

c. Screening untuk HIV, Hepatitis B, dan Sifilis

d. Faktor pembekuan darah (Cunningham et al., 2014).

2.1.6 Managemen Post-operatif

Pasca tindakan SC, monitoring keadaan sang ibu perlu dilakukan

oleh dokter Sp.An, perawat pendamping, bidan atau staff yang

bertanggungjawab untuk memerika kondisi sang ibu mulai dari TTV

sampai yang lain-lain hingga sang ibu sadar (efek anestesi mulai

menghilang). Beberapa aspek yang perlu dipantau adalah:

a. GCS

b. Saturasi oksigen dan Hb

c. TTV ( Tekanan darah, denyut nadi, suhu, respiratory rate )

d. Infus
e. Pemberian obat (Cunningham et al., 2014).

2.1.7 Komplikasi

Banyak komplikasi yang dapat terjadi jika dilakukan

tindakan SC. Ada komplikasi jangka pendek dan jangka panjang.

Komplikasi jangka pendek ini terjadi sesaat setelah dilakukannya

tindakan, seperti:

 Kematian ibu

Pada beberapa kasus, tindakan SC dapat menyebabkan kematian

sang ibu. Biasanya pada saat setelah tindakan terjadi sepsis

sehingga kematian ibu tidak dapat terhindar. Kematian ibu juga

dapat terjadi akibat dari komplikasi anestesi. Dibandingkan

dengan kelahiran pervaginam, kematian ibu setelah operasi

caesar adalah tiga kali lebih tinggi (Kallianidis et al., 2018).

 Thromboembolism

Salah satu penyebab kematian ibu saat tindakan SC adalah

thromboembolism. Bisanya terjadi akibat ada indikasi dari SC

itu sendiri yaitu obesitas maternal yang menyebabkan

thromboembolism (Kawaguchi et al., 2017).

 Perdarahan

Perdarahan rentan terjadi saat tindakan SC dibanding persalinan

pervaginam. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat adanya

laserasi pada pembuluh darah uterus yang disebabkan insisi

yang kurang tepat pada uterus. Faktor klinis dengan OR


tertinggi untuk PPH berat selama SC prelabor adalah anestesi

umum, kehamilan ganda, dan plasenta previa. Faktor klinis

dengan OR tertinggi untuk PPH berat selama SC intrapartum

adalah anestesi umum, kehamilan ganda, dan anemia (Butwick

et al., 2017).

 Infeksi

Infeksi ini merupakan salah satu komplikasi tersering pada saat

tindakan SC. Penggunaan antibiotik profilaksis yang kurang

tepat merupakan faktor pemicunya (Kawakita & Landy, 2017).

 Cedera bedah insidental

Trauma pada kantong kemih sering terjadi setelah tindakan SC.

Apabila dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, dapat terjadi

komplikasi komplikasi yang lebih buruk seperti sepsis dan gagal

ginjal. Mencegah dan mengenali cedera saluran kemih

iatrogenik adalah yang paling penting bagi semua dokter yang

melakukan intervensi di daerah panggul (Bodean et al., 2018).

 Masa rawat inap lebih lama

Wanita yang melakukan persalinan dengan SC akan lebih lama

dirawat dibanding dengan wanita yang melakukan persalinan

per vaginam karena ada hal-hal yang perlu dievaluasi pasca SC

(Pereira et al., 2019).

 Histerektomi

Tindakan ini biasanya dilakukan apabila terjadi perdarahan

uterus terus menerus yang tidak dapat ditangani meskipun sudah


diberi oksitosin. Agar mengurangi risiko perdarahan yang lebih

jauh, histerektomi perlu dilakukan agar tidak terjadi syok pada

sang ibu (Huque et al., 2018).

 Nyeri akut

Setelah efek anestesi habis, wanita biasanya merasakan nyeri

yang luar biasa pasca tindakan SC. Biasanya ditangani dengan

anti nyeri golongan narkotik tetapi perlu diperhatikan disini

untuk pemberian narkotik dapat berefek pada psikologi sang ibu

(Borges et al., 2017).

Komplikasi jangka panjang merupakan komplikasi yang

akan dirasakan dari setelah tindakan SC sampai dengan beberapa

bulan pasca persalinan. Komplikasi tersebut seperti :

 Nyeri kronik

Insiden nyeri pasca operasi SC adalah 92,7%. Tingkat rata-rata

intensitas rasa sakit pada saat rasa sakit terburuk adalah 6,6.

Nyeri intensitas tinggi pasca operasi adalah kondisi sering

dialami wanita yang menjalani seksio sesarea, menunjukkan

pentingnya penilaian nyeri untuk implementasi tindakan kuratif

dan preventif untuk meningkatkan pemulihan dan mencegahnya

menjadi nyeri kronik (Borges et al., 2017).

 Infertilitas
Wanita yang menjalani SC dapat mengalami gangguan

pembentukan scar sehingga cenderung mengalami infertilitas

pasca persalinan dengan SC (Donnez et al., 2017).

Ada juga beberapa komplikasi terkait dengan sang bayi dan

juga komplikasi saat sang ibu mengandung lagi. Komplikasi tersebut

ialah :

 Kematian neonatal

Meskipun tindakan SC biasanya dilakukan untuk

menyelamatkan sang bayi, tapi dalam beberapa kasus dapat

menyebabkan kematian pada bayi (Choudhary et al., 2017).

 Transient tachypnea

Bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar dapat mengalami

gangguan pernapasan sesaat setelah kelahiran. Hal ini biasanya

terjadi akibat kegagalan paru sang bayi saat menghirup nafas

pertamanya (Osman et al., 2017).

 Trauma

Bayi yang dilahirkan dengan metode SC juga berisiko

mendapatkan trauma. Trauma yang didapatkan biasanya berasal

dari insisi operasi saat operasi darurat (Dolivet et al., 2018).

 Rupture uteri

Rupture uteri ini lebih berisiko terjadi pada wanita yang sudah

pernah melakukan persalinan SC dibanding dengan wanita yang

melakukan persalinan pervaginam (Motomura et al., 2017).


2.2 Infeksi Luka Operasi

Infeksi luka operasi (Surgical Site Infection) adalah infeksi yang

disebabkan pasca operasi, tepatnya di bekas bagian tubuh dimana operasi

dilakukan. Infeksi ini kadang hanya terlihat secara superfisial (kulit).

Dalam beberapa kasus, infeksi bisa bersifat lebih serius dimana infeksi

menyerang bagian dalam sampai ke organ – organ di dalam tubuh (Adane

et al., 2019).

2.2.1 Etiologi

Ketika infeksi luka operasi berkembang dalam waktu 48 jam, organisme

penyebab biasanya adalah Streptococcus hemolyticus grup A atau grup B.

Patogen umum lain yang terlibat dalam infeksi luka adalah Ureaplasma

urealyticum, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus facialis,

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis (Kawakita

& Landy, 2017).

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi infeksi luka operasi menurut CDC terbagi menjadi:

1. Infeksi luka operasi insisional superfisialis: Infeksi terjadi dalam

30 hari setelah operasi dan infeksi hanya melibatkan kulit atau

jaringan subkutan sayatan.

2. Infeksi luka operasi insisional dalam: Infeksi terkait operasi yang

melibatkan jaringan lunak dalam yang terjadi dalam 30 hari setelah

operasi (Molla et al., 2019).


2.2.3 Faktor Risiko

Durasi persalinan yang lama, ruptur membran, anemia, korioamnionitis,

mekonium, jenis sayatan kulit vertikal, ketebalan jaringan subkutan lebih

dari 2 cm, dan jenis anestesi umum secara bermakna ditemukan menjadi

faktor risiko kejadian infeksi luka operasi sectio caesarea (Adane et al.,

2019).

2.2.4 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis untuk infeksi luka operasi insisional superfisialis

mencakup setidaknya satu dari tanda berikut:

1. Drainase purulen, dengan atau tanpa konfirmasi laboratorium, dari

sayatan superfisial.

2. Organisme yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan yang

diperoleh secara aseptik dari sayatan superfisial.

3. Setidaknya satu dari tanda atau gejala infeksi berikut ini: nyeri atau

nyeri tekan, pembengkakan setempat, kemerahan, atau panas dan

sayatan superfisial sengaja dibuka oleh ahli bedah, kecuali sayatan

itu kultur-negatif (Molla et al., 2019).

Kriteria diagnosis untuk infeksi luka operasi insisional dalam mencakup

setidaknya satu dari tanda berikut:

1. Drainase purulen dari sayatan dalam tetapi tidak dari komponen

organ dari lokasi bedah.


2. Sayatan yang dalam secara spontan terbuka atau dengan sengaja

dibuka oleh seorang ahli bedah ketika pasien memiliki setidaknya

satu dari tanda-tanda atau gejala berikut: demam (> 38 ° C), nyeri

terlokalisasi, atau nyeri tekan, kecuali hasil kulturnya negatif.

3. Abses atau bukti infeksi lain yang melibatkan sayatan dalam

ditemukan pada pemeriksaan langsung, selama operasi ulang, atau

dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis (Molla et al.,

2019).

2.2.5 Pencegahan

Banyak penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa intervensi

tertentu menurunkan kejadian infeksi luka operasi. Karena sectio

caesarea adalah salah satu prosedur paling umum dilakukan di

seluruh dunia, penting untuk penerapan pendekatan berbasis bukti

untuk mengurangi komplikasi pasca operasi tersebut. Pencegahan

yang dapat dilakukan mencakup pemberian antibiotik profilaksis,

pembersihan kulit menggunakan klorheksidin, dan pencukuran

rambut kemaluan menggunakan clipper (Kawakita & Landy, 2017).

2.3 Antibiotik Profilaksis

2.3.1 Indikasi
Antibiotik profilaksis berarti menggunakan antibiotik untuk mencegah

perkembangan infeksi dan perawatan antibiotik berarti menggunakan

antibiotik untuk menyelesaikan infeksi yang sudah ada. Pemberian

antibiotik profilaksis tidak dimaksudkan untuk mensterilkan jaringan,

tetapi untuk bertindak sebagai tambahan untuk mengurangi beban mikroba

intra-operatif ke tingkat yang dapat dikelola oleh inang bawaan dan

respons imun adaptif (Kumari et al., 2017).

Antibiotik profilaksis diberikan untuk meminimalkan kejadian infeksi

dalam operasi. Wanita yang menjalani operasi caesar memiliki risiko 5-20

kali terkena infeksi jika antibiotik profilaksis tidak diberikan bila

dibandingkan dengan persalinan normal. Pemberian antibiotik profilaksis

dalam operasi caesar direkomendasikan dengan tingkat bukti IA. Sebuah

tinjauan pustaka Cochrane pada 86 penelitian (melibatkan lebih dari

13.000 pasien) menemukan bahwa pemberian antibiotik profilaksis kepada

wanita yang menjalani operasi caesar dapat mengurangi kejadian demam,

infeksi luka, endometritis dan komplikasi infeksi ibu yang serius

(Muzayyanah et al., 2018).

2.3.2 Pemilihan

Antibiotik golongan cephalosporin generasi pertama, seperti cefazolin,

harus digunakan sebagai antibiotik profilaksis daripada generasi

selanjutnya karena mereka memiliki daya bunuh yang tinggi terhadap

bakteri gram-positif yang menyebabkan infeksi pada seksio sesarea dan

kemampuan penetrasi yang tinggi ke jaringan yang lebih besar. Dosis yang
digunakan sebagai profilaksis umumnya 2 g jika ibu memiliki berat <120

kg dan 3 g jika ibu memiliki berat> 120 kg. Jika ibu alergi terhadap

cefazolin, pemilihan antibiotik profilaksis lainnya adalah 2-3 g ampisilin-

sulbaktam iv, 600-900 mg klindamisin iv atau 15 mg/kg vankomisin tetapi

tidak lebih dari 2 g iv jika diikuti oleh 5 mg/kg gentamisin iv atau 2 g

aztreonam iv; 500 mg metronidazol iv ditambah 5 mg / kg gentamisin iv

(Muzayyanah et al., 2018).

2.3.3 Resistensi

Saat ini masalah kesehatan masyarakat yang utama adalah resistensi

antibiotik karena itu mengarah pada infeksi oleh bakteri resisten multi-

obat yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan meningkatkan biaya

terapi. Perkembangan resistensi antibiotik terutama disebabkan oleh

penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan terapi antibiotik yang

tidak lengkap/tidak sesuai aturan dan penggunaan rejimen spektrum yang

lebih luas yang sebetulnya tidak perlu adalah dua hal yang berperan

meningkatkan resistensi antibiotik (Kumari et al., 2017).

2.3.4 Uji Kepekaan antibiotik

Semua pasien yang dicurigai menderita infeksi luka operasi wajib segera

dilakukan apusan luka sesuai dengan standar di rumah sakit setempat,

sebelum dimulainya pemberian antibiotik untuk terapi. Ketika biakannya

positif, sensitivitas antibiotik dari organisme yang tumbuh dilakukan


dengan menggunakan teknik mikrobiologi standar (Afroz & Rashid,

2019).

Kapas steril digunakan untuk pengumpulan eksudat dari luka pasien yang

mengalami infeksi luka operasi yang ditransfer pada suhu kamar ke

laboratorium dalam waktu 20 menit. Inokulasi dilakukan pada beberapa

media, dan menempatkan petri cokelat dan petri lain dalam toples dengan

suhu 35-37 ° C selama 24-48 jam. Prosedur pewarnaan gram dilakukan

pada kultur yang tumbuh. Petri agar darah tambahan diinokulasi secara

anaerob pada 35-37 ° C selama 48-72 jam. Tes difusi disk dilakukan untuk

menguji kepekaan terhadap antibiotik. Umumnya dipaparkan terhadap

gentamisin, erythromycin, ceftriaxone, cefazolin, ciprofoxacillin,

chloramphenicol (CAF), cloxacillin, ampicillin, tetrasiklin, atau antibiotik

lain yang dibutuhkan uji kepekaannya (Billoro et al., 2019).

2.4 Cefalosporin

2.4.1 Ceftriaxone

Saat ini, dosis tunggal cefazolin intravena 1 g atau dosis yang lebih

tinggi hingga 2 g direkomendasikan sebagai antibiotik preoperatif lini

pertama pilihan untuk pasien sesar. Terlepas dari pedoman yang jelas

tentang profilaksis antibiotik pra operasi, perbedaan dalam praktik klinis

tetap ada, tergantung pada preferensi dokter kandungan. Ceftriaxone dan

ampicillin masih dipakai untuk profilaksis pada operasi SC di Thailand

(Assawapalanggool et al., 2018). Ceftriaxone sebagai sefalosporin

generasi ketiga dapat dipilih sebagai antibiotik profilaksis karena memiliki


tingkat stabilitas tinggi dalam hal beta-laktamase, baik penisilinase dan

sefalosporinase dan efektif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif

(Kalaranjini et al., 2013).

2.4.2 Cefazoline

Cefazolin sodium adalah obat yang larut dalam air, dengan

pengikatan protein plasma yang tinggi dalam konsentrasi terapeutik,

distribusi terbatas ke cairan ekstraseluler, dan mayoritas diekskresikan

melalui ginjal. Cefazolin adalah sefalosporin generasi pertama yang aktif

melawan berbagai bakteri Gram-positif dan beberapa bakteri Gram-

negatif. Cefazolin adalah agen antimikroba profilaksis standar untuk

berbagai intervensi bedah, termasuk persalinan sesar (Elkomy et al., 2014).

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)

merekomendasikan pemberian cefazolin 1g intravena dalam waktu 60

menit sebelum sayatan kulit. Untuk wanita dengan (IMT> 30 kg/m2 atau

berat >100 kg, dianjurkan pemberian infus cefazolin 2g (Silverman, 2011).

2.5 Infeksi Luka Operasi pada Pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline

Hasil pencarian menghasilkan 6 jurnal yang meneliti tentang kejadian

infeksi luka operasi SC pada penggunaan Ceftriaxone dan Cefazoline sebagai

antibiotik profilaksis. Rangkuman kejadian infeksi luka operasi SC pada

pemakaian Ceftriaxone dan Cefazoline disajikan dalam Tabel 2.2.

Penelitian di India menggunakan Ceftriaxone (cephalosporin generasi

ketiga) untuk antibiotik profilaksis karena pola resisten lokal resisten terhadap
beberapa antibiotik termasuk Ampicillin dan Azithromycin tetapi menunjukkan

sensitivitas terhadap Ceftriaxone, memiliki waktu paruh yang panjang, hemat

biaya, aman dan efektif terhadap mikroorganisme yang mungkin ditemui dalam

prosedur sectio caesarea. Pasien dalam kelompok inklusi menerima dosis tunggal,

injeksi 1 gram Ceftriaxone, setelah tes sensitivitas kulit, 30 menit sebelum sayatan

pada kulit dilakukan dalam operasi caesar. Karena tidak ada morbiditas infeksi

yang signifikan dalam penelitian tersebut, maka dilaporkan bahwa Ceftriaxone

(dosis tunggal) efektif dalam pencegahan komplikasi infeksi pasca operasi caesar

(Kumari et al., 2017).


Tabel 2.2 Kejadian Infeksi Luka Operasi SC pada Pemakaian
Ceftriaxone dan Cefazoline
Jenis Obat & Jumlah Kejadian
Waktu Pemberian Referensi
Dosis Sampel Infeksi
Ceftriaxone, 1 30 menit sebelum insisi 110 3 (2,72%) Kumari et
gram al., 2017
Ceftriaxone, 1 Kelompok I: 15-45 menit Kelompok Kelompok I: Kalaranjini
gram sebelum insisi I: 437 3 (0,7%) et al., 2013
Kelompok II: Setelah Kelompok Kelompok
penjepitan tali pusat II: 437 II: 6 (1,4%)
Ceftriaxone, 2 Maksimal 60 menit 911 1 (0,1%) Assawapalan
gram sebelum insisi atau setelah ggool et al.,
penjepitan tali pusat, 2018
ditambah dengan 1 kali
pemberian pasca operasi
Cefazolin, 2 Kelompok I: Cefazolin 2 Kelompok Kelompok I: Purbadi &
gram atau 2 gram pada 30 menit I: 23 0 (0%) Fadli, 2017
gram sebelum insisi Kelompok Kelompok
ditambah 1 Kelompok II: Cefazolin 2 II: 23 II: 0 (0%)
gram gram pada 30 menit
sebelum insisi dan 1 gram
pada delapan jam setelah
dosis awal
Cefazolin, 2 Maksimal 60 menit 6163 145 (2,4%) Kawakita et
gram sebelum insisi al., 2018
(ditingkatkan
menjadi 3
gram pada
pasien dengan
IMT>40)
Cefazolin, 2 Maksimal 60 menit 861 124 (14,4%) Jalil et al.,
gram atau 1 sebelum insisi 2017
gram, dosis
tunggal atau
multiple

Penelitian dilakukan oleh Kalaranjini et al berupa uji coba terkontrol

secara acak pada antara 874 wanita yang menjalani operasi caesar elektif dari

Oktober 2010 hingga Juli 2012. Wanita-wanita ini secara acak dikategorikan

menjadi dua kelompok dengan 437 wanita di setiap kelompok. Kelompok 1

menerima dosis tunggal ceftriaxone 1 g intravena 15-45 menit sebelum sayatan

kulit, sedangkan kelompok 2 menerima antibiotik setelah penjepitan tali pusat.

Infeksi luka operasi terjadi pada 3 wanita pada kelompok 1 (0,7%) dan 6 wanita
pada kelompok 2 (1,4%) dengan nilai p 0,505. Demam terjadi pada 9 wanita pada

kelompok 1 (2,1%) dan 5 wanita pada kelompok 2 (1,1%) dengan nilai p 0,419.

Infeksi saluran kemih terjadi pada 9 wanita pada kelompok 1 (2,1%) dan 7 wanita

pada kelompok 2 (1,6%) dengan nilai p 0,801. Tak satu pun dari wanita di kedua

kelompok mengalami endometritis. Waktu pemberian ceftriaxone sebagai

antibiotik profilaksis untuk operasi caesar elektif baik sebelum sayatan kulit atau

setelah penjepitan tali pusat tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam

terjadinya morbiditas infeksi pasca operasi (Kalaranjini et al., 2013). Dari

penelitian ini tampak bahwa ceftriaxone profilaksis efektif untuk mencegah

terjadinya infeksi luka operasi SC.

Assawapalanggool et al. (2018) melakukan penelitian kohort di rumah

sakit tersier di Thailand mulai 1 Januari 2007 hingga 31 Desember 2012 pada

semua wanita yang menjalani operasi caesar. Sebanyak 911 pasien menerima

ceftriaxone sedangkan 3238 pasien menerima ampisilin sebagai antibiotik

profilaksis. Insiden infeksi luka operasi insisional adalah (0,1% vs 1,2%; p =

0,001) dan infeksi luka operasi ruang organ adalah (1,2% vs 2,9%; p = 0,003)

pada kelompok ceftriaxone dibandingkan dengan kelompok ampisilin. Setelah

disesuaikan untuk perancu, rasio tingkat infeksi luka operasi SC pada kelompok

ceftriaxone dibandingkan dengan kelompok ampisilin tidak berbeda, meskipun

secara klinis tingkat infeksi luka operasi SC pada kelompok ceftriaxone lebih

rendah (Assawapalanggool et al., 2018).

Purbadi & Fadli melakukan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal

dengan dua kelompok perlakuan yaitu cefazolin dosis tunggal 2 gram pada 30

menit sebelum insisi dan cefazolin dosis multipel (cefazolin dosis tunggal 2 gram
pada 30 menit sebelum insisi dan 1 gram pada delapan jam setelah dosis awal).

Penelitian dilakukan pada wanita yang menjalani operasi SC elektif di RS

Fatmawati dan RS Anna, Jakarta pada Januari - Maret 2016. Terdapat 46 subjek

dengan 23 subjek pada kelompok cefazolin dosis tunggal dan 23 subjek pada

cefazolin dosis multipel. Dilaporkan bahwa 9 dari seluruh subjek mengalami

infeksi (19,6%). Dosis tunggal cefazolin memperlihatkan angka kejadian infeksi

yang serupa dengan dosis multipel. Infeksi terjadi dalam bentuk bakteriuria

asimptomatik, tidak ditemukan subjek dengan infeksi luka operasi atau

endometritis. Empat kejadian infeksi terjadi pada subjek yang mendapatkan dosis

tunggal cefazolin, dan lima infeksi terjadi pada subjek yang mendapatkan dosis

multipel cefazolin (Purbadi & Fadli, 2017). Dari penelitian ini tampak bahwa

cefazolin profilaksis efektif untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi SC.

Penelitian kohort retrospektif oleh Kawakita et al. dilakukan dari tahun

2012-2017 pada semua wanita dengan usia kehamilan 23 minggu atau lebih yang

menjalani persalinan sesar di MedStar Washington Hospital Center. Di antara

6.584 subyek, 6.163 (93,6%) menerima cefazolin, 274 (4,2%) menerima alternatif

standar (klindamisin dan gentamisin), dan 147 (2,2%) menerima alternatif yang

tidak tepat (misalnya hanya klindamisin). Penggunaan antibiotik alternatif standar

dibandingkan dengan cefazolin berhubungan dengan peningkatan peluang

selulitis. Penggunaan antibiotik alternatif yang tidak tepat dibandingkan dengan

cefazolin berhubungan dengan peningkatan peluang selulitis, endometritis, infeksi

luka dalam, abses, dan sepsis. Kesimpulannya adalah penggunaan antibiotik

alternatif standar dan alternatif yang tidak tepat sebagai profilaksis berhubungan
dengan peningkatan peluang infeksi luka operasi SC dibandingkan dengan

cefazolin (Kawakita et al., 2018).

Jalil et al. melakukan penelitian kohort dari Juli 2015 hingga Mei 2016

pada semua wanita yang menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Universitas

Jordan. Tim pengendalian infeksi di Rumah Sakit Universitas Jordan

mengadaptasi pedoman American Society of Health-System Pharmacists (ASHP)

untuk profilaksis antimikroba sebagai protokol profilaksis antibiotik bedah

mereka. Untuk operasi caesar tanpa alergi β-laktam, ASHP merekomendasikan

pemberian dosis tunggal cefazolin 2 gram untuk wanita dengan berat kurang dari

120 kg, dalam jangka waktu 60 menit sebelum sayatan pertama. Mereka

melaporkan frekuensi infeksi luka operasi SC yang tinggi (14,4%); faktor yang

berhubungan antara lain: indeks massa tubuh ≥36 kg/m2 sebelum kehamilan,

rawat inap lebih dari 3,5 hari, menjalani operasi pada usia kehamilan lebih dari 40

minggu. Menerima dosis cefazolin profilaksis yang lebih tinggi yang disesuaikan

dengan berat badan ditemukan berhubungan dengan risiko infeksi luka operasi SC

yang lebih rendah (Jalil et al., 2017). Meskipun penggunaan dosis yang lebih

tinggi telah dipertimbangkan pada wanita dengan IMT> 40 kg/m2, satu studi

retrospektif dari wanita sangat gemuk tidak menunjukkan perbedaan dalam

kejadian infeksi luka operasi antara dosis cefazolin 2g dan 3g (Ahmadzia et al.,

2015).
BAB 3

PEMBAHASAN

Tinjauan pustaka ini memfokuskan hanya pada kejadian infeksi luka

operasi sectio caesarea pada kedua kelompok pengguna antibiotik Cefazoline atau

Ceftriaxone, dan menilai ada tidaknya perbedaan di antara keduanya. Tidak

ditemukan penelitian yang membandingkan langsung antara Ceftriaxone dan

Cefazoline dalam hal infeksi luka operasi. Hal ini kemungkinan karena kedua obat

adalah dari golongan yang sama yaitu sefalosporin. Penggunaan sefalosporin

generasi I dan generasi II dianjurkan untuk profilaksis bedah sedangkan

sefalosporin generasi III dan generasi IV tidak dianjurkan untuk profilaksis bedah,

meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sefalosporin generasi I

atau II (misalnya cefazolin) sama efektifnya dengan sefalosporin generasi III

(misalnya ceftriaxone) untuk profilaksis preoperatif pada pasien yang menerima

pembedahan obstetrik dan ginekologi, saluran empedu, kardiovaskular, atau

ortopedik (Karminingtyas et al., 2018).

Infeksi luka operasi merupakan infeksi nosokomial yang paling umum

pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan dan sering disebabkan oleh

beberapa patogen oportunis, yaitu S. aureus, E. coli, K. pneumoniae dan

Pseudomonas aeruginosa (Alfouzan et al., 2019). The American College of

Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) merekomendasikan secara khusus

penggunaan dosis tunggal antibiotik sefalosporin generasi pertama yang memiliki

spektrum yang sempit, yaitu cefazolin sebagai regimen terapi profilaksis untuk

sectio caesarea secara elektif ataupun emergensi (Hardiyanti, 2020). Penggunaan


cefazolin sebagai profilaksis profilaksis efektif untuk mencegah terjadinya infeksi

luka operasi SC (Jalil et al., 2017; Kawakita et al., 2018; Purbadi & Fadli, 2017).

Tidak ditemukan perbedaan kejadian infeksi pada pasien yang

mendapatkan cefazolin dosis tunggal maupun cefazolin dosis multipel. Pemberian

dosis tunggal sudah tepat untuk dijadikan protokol dalam prosedur SC terkait

efikasi dan efisiensinya (Purbadi & Fadli, 2017). The American Society of

Health-System Pharmacists merekomendasikan penggunaan Cefazolin intravena

2g untuk pasien dengan berat badan kurang dari 120 kg dan 3g untuk pasien

dengan berat badan lebih dari 120 kg sebagai antibiotik profilaksis untuk

mencegah kejadian infeksi luka operasi. Padahal CDC merekomendasikan bahwa

untuk prosedur yang bersih tidak diperlukan pemberian antimikroba profilaksis

tambahan luka operasi ditutup di ruang operasi bahkan jika ada drain yang

terpasang (Zejnullahu et al., 2019).

Waktu pemberian antibiotik profilaksis yang direkomendasikan oleh

WHO adalah 15-60 menit sebelum dimulainya prosedur sectio caesarea untuk

mencapai kadar antibiotik yang cukup pada saat prosedur dilakukan. Penggunaan

antibiotik profilaksis sectio caesarea sebelum insisi kulit tidak berpengaruh pada

kesehatan janin (Hardiyanti, 2020). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Jalil et

al yang menyatakan bahwa pemberian beberapa antibiotik setelah operasi caesar

selama rawat inap tidak mengurangi risiko infeksi pasca operasi caesar. Pasien

yang menerima cefazolin sebelum operasi memiliki tingkat infeksi yang sama

dibandingkan dengan pasien yang menerima cefazolin sebagai pengobatan

profilaksis sebelum operasi dan kemudian mendapatkan antibiotik lain setelah

operasi (Jalil et al., 2017). Penelitian Kalaranjini et al menunjukkan hasil yang


mendukung bahwa waktu pemberian ceftriaxone sebagai antibiotik profilaksis

untuk operasi caesar elektif baik sebelum sayatan kulit atau setelah penjepitan tali

pusat tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam kejadian infeksi luka

operasi (Kalaranjini et al., 2013).

Penggunaan ceftriaxone sebagai profilaksis profilaksis efektif untuk

mencegah terjadinya infeksi luka operasi SC (Assawapalanggool et al., 2018;

Kalaranjini et al., 2013; Kumari et al., 2017). Ceftriaxone sebagai antibiotik

golongan sefalosporin generasi ketiga merupakan antibiotik yang mempunyai

daya kerja spektrum luas yang efektif terhadap bakteri gram positif dan gram

negatif, antara lain Escherichia coli, Klebsiela, S. Aureus, dan Proteus. Antibiotik

ini sering digunakan sebagai antibiotik profilaksis karena spektrum kerjanya yang

cukup luas dan memiliki efikasi tinggi (Sumanti et al., 2016). Namun perlu

diperhatikan bahwa ekskresi ceftriaxone mungkin lebih lambat pada wanita yang

menjalani operasi SC, sehingga ada potensi risiko kelebihan dosis. Oleh karena

itu, jika memungkinkan maka perlu dilakukan pemantauan antibiotik individu

setelah operasi SC. Salah satu penjelasan untuk efek kehamilan yang berbeda

pada farmakokinetik ceftriaxone yaitu mungkin karena perubahan albumin selama

kehamilan. Karena pengikatan ceftriaxone yang kuat terhadap albumin, fraksi

bebasnya akan bervariasi tergantung waktu, dosis, dan kadar albumin pasien.

Selain itu, perubahan cairan tubuh juga dapat memiliki dampak signifikan pada

konsentrasi ceftriaxone dalam plasma (Grujić et al., 2010).


BAB 4

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

 Cefazolin merupakan antibiotik profilaksis yang direkomendasikan secara

internasional sebagai lini pertama untuk mencegah terjadinya infeksi luka

operasi sectio cesarea.

 Ceftriaxone merupakan antibiotik profilaksis empiris di beberapa negara

yang dapat mencegah terjadinya infeksi luka operasi sectio cesarea.

 Tidak ada penelitian yang membandingkan langsung efikasi cefazolin dan

ceftriaxone dalam mencegah terjadinya infeksi luka operasi sectio cesarea.

5.2 Saran

 Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan secara langsung efikasi

cefazolin dan ceftriaxone dalam mencegah terjadinya infeksi luka operasi

sectio cesarea.

 Penggunaan ceftriaxone sebagai antibiotik profilaksis empiris infeksi luka

operasi sectio cesarea sebaiknya didukung oleh konfirmasi secara

mikrobiologis berupa identifikasi mikroba penyebab dan uji sensitivitas

antimikroba.
Daftar Pustaka

Adane, F., Mulu, A., Seyoum, G., Gebrie, A., & Lake, A. (2019). Prevalence and

root causes of surgical site infection among women undergoing caesarean

section in Ethiopia: A systematic review and meta-analysis. Patient Safety in

Surgery, 13(1), 1–10.

Afroz, S., & Rashid, M. (2019). Study on Risk Factors and Microorganisms for

Surgical Site Infection following Caesarean Section among 100 Patients in a

Tertiary Hospital in Bangladesh. Journal of Enam Medical College, 9(2),

90–96.

Ahmadzia, H. K., Patel, E. M., Joshi, D., Liao, C., Witter, F., Heine, R. P., &

Coleman, J. S. (2015). Obstetric surgical site infections: 2 grams compared

with 3 grams of cefazolin in morbidly obese women. Obstetrics and

Gynecology, 126(4), 708–715.

Alfouzan, W., Al Fadhli, M., Abdo, N., Alali, W., & Dhar, R. (2019). Surgical

site infection following cesarean section in a general hospital in Kuwait:

trends and risk factors. Epidemiology and infection, 147(e287), 1–5.

Assawapalanggool, S., Kasatpibal, N., Sirichotiyakul, S., Arora, R.,

Suntornlimsiri, W., & Apisarnthanarak, A. (2018). The efficacy of ampicillin

compared with ceftriaxone on preventing cesarean surgical site infections:

An observational prospective cohort study. Antimicrobial Resistance and

Infection Control, 7(13), 1–8. Retrieved from

https://aricjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13756-018-0304-6

Billoro, B. B., Nunemo, M. H., & Gelan, S. E. (2019). Evaluation of antimicrobial

prophylaxis use and rate of surgical site infection in surgical ward of


Wachemo University Nigist Eleni Mohammed Memorial Hospital, Southern

Ethiopia: Prospective cohort study. BMC Infectious Diseases, 19(1), 1–8.

Bodean, O., Bratu, O. G., Munteanu, O., Marcu, D., Spinu, D. A., Socea, B., …

Cirstoiu, M. (2018). Iatrogenic injury of the low urinary tract in women

undergoing pelvic surgical interventions. Archives of the Balkan Medical

Union, 53(2), 281–284.

Borges, N. C., Silva, B. C. e, Pedroso, C. F., Silva, T. C., Tatagiba, B. S. F., &

Pereira, L. V. (2017). Postoperative pain in women undergoing caesarean

section. Enfermeria Global, (48), 374–383.

Butwick, A. J., Ramachandran, B., Hegde, P., Riley, E. T., El-Sayed, Y. Y., &

Nelson, L. M. (2017). Risk Factors for Severe Postpartum Hemorrhage after

Cesarean Delivery: Case-Control Studies. Anesthesia and Analgesia, 125(2),

523–532.

Caughey, A. B., Cahill, A. G., Guise, J. M., & Rouse, D. J. (2014). Safe

prevention of the primary cesarean delivery This document was developed

jointly by the with the assistance of. American Journal of Obstetrics and

Gynecology, 210(3), 179–193. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2014.01.026

Choudhary, B., Choudhary, Y., Pakhare, A. P., Mahto, D., & Chaturvedula, L.

(2017). Early neonatal outcome in caesarean section: A developing country

perspective. Iranian Journal of Pediatrics, 27(1), 1–6.

Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S.,

Hoffman, B. L., … Sheffield, J. S. (2014). Williams Obstetrics (24th Ed).

New York: McGraw-Hill.

Dolivet, E., Delesalle, C., Morello, R., Blouet, M., Bronfen, C., Dreyfus, M., &
Benoist, G. (2018). A case–control study about foetal trauma during

caesarean delivery. Journal of Gynecology Obstetrics and Human

Reproduction, 47(7), 325–329.

Donnez, O., Donnez, J., Orellana, R., & Dolmans, M. M. (2017). Gynecological

and obstetrical outcomes after laparoscopic repair of a cesarean scar defect in

a series of 38 women. Fertility and Sterility, 107(1), 289–296.

Elkomy, M. H., Sultan, P., Drover, D. R., Epshtein, E., Galinkin, J. L., &

Carvalho, B. (2014). Pharmacokinetics of prophylactic cefazolin in

parturients undergoing cesarean delivery. Antimicrobial Agents and

Chemotherapy, 58(6), 3504–3513.

Finch, R., Greenwood, D., Whitley, R., & Norrby, S. R. (2010). Antibiotic and

Chemotherapy. New York: Saunders.

Gibbons, L., Belizán, J. M., Lauer, J. A., Betrán, A. P., Merialdi, M., & Althabe,

F. (2010). The Global Numbers and Costs of Additionally Needed and

Unnecessary Caesarean Sections Performed per Year : Overuse as a Barrier

to Universal Coverage. Geneva: World Health Organization.

Grujić, Z., Popović, J., Bogavac, M., & Grujić, I. (2010). Preoperative

administration of cephalosporins for elective caesarean delivery. Srpski

Arhiv za Celokupno Lekarstvo, 138(9-10), 600–603.

Hardiyanti, R. (2020). Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Sectio

Caesarea. Jurnal Stikes Siti Hajar, 2(1), 96–105.

Huque, S., Roberts, I., Fawole, B., Chaudhri, R., Arulkumaran, S., & Shakur-Still,

H. (2018). Risk factors for peripartum hysterectomy among women with

postpartum haemorrhage: Analysis of data from the WOMAN trial. BMC


Pregnancy and Childbirth, 18(1), 1–8.

Ibrahim, W. H., Makhlouf, A. M., Khamis, M. A., & Youness, E. M. (2011).

Effect of prophylactic antibiotics (Cephalosporin versus Amoxicillin) on

preventing post caesarean section infection. Journal of American Science,

7(5), 178–187.

Jalil, M. H. A., Abu Hammour, K., Alsous, M., Awad, W., Hadadden, R., Bakri,

F., & Fram, K. (2017). Surgical site infections following caesarean

operations at a Jordanian teaching hospital: Frequency and implicated

factors. Scientific Reports, 7(12210), 1–9. Retrieved from

https://www.nature.com/articles/s41598-017-12431-2.pdf

Kalaranjini, S., Veena, P., & Rani, R. (2013). Comparison of administration of

single dose ceftriaxone for elective caesarean section before skin incision and

after cord clamping in preventing post-operative infectious morbidity.

Archives of Gynecology and Obstetrics, 288(6), 1263–1268.

Kallianidis, A. F., Schutte, J. M., Roosmalen, J. Van, & Akker, T. van den.

(2018). Maternal mortality after cesarean section in the Netherlands.

European Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology,

229, 148–152.

Karminingtyas, S. R., Oktianti, D., & Furdiyanti, N. H. (2018). Keefektifan

Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Sesar (Sectio

Caesarea). Cendekia Journal of Pharmacy, 2(1), 22–31.

Kawaguchi, R., Haruta, S., & Kobayashi, H. (2017). Efficacy and safety of

venous thromboembolism prophylaxis with fondaparinux in women at risk

after cesarean section. Obstetrics & Gynecology Science, 60(6), 535–541.


Kawakita, T., Huang, C. C., & Landy, H. J. (2018). Choice of prophylactic

antibiotics and surgical site infections after cesarean delivery. Obstetrics and

Gynecology, 132(4), 948–955. Retrieved from

https://journals.lww.com/greenjournal/Fulltext/2018/10000/Choice_of_Proph

ylactic_Antibiotics_and_Surgical.21.aspx

Kawakita, T., & Landy, H. J. (2017). Surgical site infections after cesarean

delivery: epidemiology, prevention and treatment. Maternal Health,

Neonatology and Perinatology, 3(1), 1–9.

Kumari, R., Sharma, A., Sheetal, P., & Anupriya, R. (2017). To study the

effectiveness of prophylactic use of ceftriaxone (single dose) in caesarean

section in low risk patients in a tertiary care center, Moradabad, India.

International Journal of Research in Medical Sciences, 5(12), 5278–5282.

Retrieved from

https://www.msjonline.org/index.php/ijrms/article/view/3985/3553

Molla, M., Temesgen, K., Seyoum, T., & Melkamu, M. (2019). Surgical site

infection and associated factors among women underwent cesarean delivery

in Debretabor General Hospital, Northwest Ethiopia: Hospital based cross

sectional study. BMC Pregnancy and Childbirth, 19(1), 1–10.

Motomura, K., Ganchimeg, T., Nagata, C., Ota, E., Vogel, J. P., Betran, A. P., …

Mori, R. (2017). Incidence and outcomes of uterine rupture among women

with prior caesarean section: WHO Multicountry Survey on Maternal and

Newborn Health. Scientific Reports, 7, 1–9.

Mugisa, G. A., Kiondo, P., & Namagembe, I. (2018). Single dose ceftriaxone and

metronidazole versus multiple doses for antibiotic prophylaxis at elective


caesarean section in Mulago hospital: A randomized clinical trial. AAS Open

Research, 1(11), 1–8.

Muzayyanah, B., Yulistiani, Y., Hasmono, D., & Wisudani, N. (2018). Analysis

of Prophylactic Antibiotics Usage in Caesarean Section Delivery. Folia

Medica Indonesiana, 54(3), 161.

Mylonas, I., & Friese, K. (2015). Indications for and Risks of Elective Cesarean

Section. Deutsches Arzteblatt International, 112, 489–495.

Negara, K. S. (2014). Analisis Implementasi Kebijakan Penggunaan Antibiotika

Rasional Untuk Mencegah Resistensi Antibiotika di RSUP Sanglah

Denpasar: Studi Kasus Infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus.

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 1(1), 42–50.

Ni, L., Elsaharty, A., & McConachie, I. (2018). Cesarean birth – What’s in a

name? International Journal of Obstetric Anesthesia, 34, 5–9.

Osman, A. M., El-Farrash, R. A., & Mohammed, E. H. (2017). Early rescue

Neopuff for infants with transient tachypnea of newborn: a randomized

controlled trial. Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, 32(4),

597–603.

Pereira, S. L., Silva, T. P. R. da, Moreira, A. D., Novaes, T. G., Pessoa, M. C.,

Matozinhos, I. P., … Matozinhos, F. P. (2019). Factors associated with the

length of hospital stay of women undergoing cesarean section. Revista de

saude publica, 53, 65.

Prawirohardjo, S. (2015). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

Purbadi, S., & Fadli, M. (2017). Single vs Multiple Dose of Cefazolin Prophylaxis
in Elective Cesarean Section. Indonesian Journal of Obstetrics and

Gynecology, 5(1), 60–65.

SIGN. (2014). Antibiotic prophylaxis in surgery. Edinburgh: Scottish

Intercollegiate Guidelines Network.

Silverman, N. (2011). Use of prophylactic antibiotics in labor and delivery.

Obstetrics and Gynecology, 117(6), 1472–1483.

Sumanti, E. W., Ayu, W. D., & Rusli, R. (2016). Pola Penggunaan Antibiotik

Profilaksis pada Pasien Bedah Sesar (Sectio Caesarean) di Rumah Sakit

Islam Samarinda. In Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-3 (pp. 22–

28). Samarinda: Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman.

Unbound Medicine. (2018). Endometritis and Other Postpartum Infections.

Retrieved October 16, 2018, from

https://www.unboundmedicine.com/5minute/view/5-Minute-Clinical-

Consult/116969/all/Endometritis_and_Other_Postpartum_Infections

WHO. (2001). WHO Model Prescribing Information: Drugs used in Bacterial

Infections. Geneva: World Health Organization.

Yustanta, B. F. (2015). Medical Indications of Sectio Caesarea in General District

Hospital of Pare Kediri Year 2013 – 2015. Jurnal Ilkes, 3(2), 375–379.

Zejnullahu, V. A., Zejnullahu, V. A., Isjanovska, R., & Sejfija, Z. (2019). Surgical

site infections after cesarean sections at the University Clinical Center of

Kosovo: Rates, microbiological profile and risk factors. BMC Infectious

Diseases, 19(1), 1–9.

Anda mungkin juga menyukai