Anda di halaman 1dari 16

Konsep Dasar Sectio Caesar

a. Pengertian
Menurut Wiknjosatro (2007) dalam Sumelung (2014), section
caesarea yaitu tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi dengan
melalui insisi pada dinding perut dan didnding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Istilah
Caesar berasal dari bahasa latin caedere pada abad pertengahan
yang artinya memeotong. Sedangkan seksio dalam bahasa latin seco
yang berarti memotong. Sehingga dapat didefinisikan sebagai
kelahiran janin melalui insisi pada dinding abdomen (Laparotomi) dan
dinding uterus (Histerotomi) dalam Cunningham, dkk (2014; h.568).
definisi ini tidak mencakup pada pengangkatan janin janin dari rongga
abdomen pada kasus rupture uterus atau pada kasus kehamilan
abdominal. Seksio caesaria merupakan tindakan melahirkan bayi
melalui insisi (membuat sayatan) di depan uterus (RN Lockhart dan
Saputra.2014; h.249).

b. Indikasi
Hal - hal lain yang dapat menjadi pertimbangan disarankannya bedah
cesarea antara lain (Purwoastuti dan Walyani, 2015; h.118):
1) Proses persalinan normal yang lama (kegagalan proses persalinan
normal)
2) Detak jantung janin melambat
3) Adanya kelelahan persalinan
4) Komplikasi pre-eklamsia
5) Sang ibu menderita herpes
6) Putusnya tali pusar
7) Risiko luka pada Rahim
8) Persalinan kembar (masih dalam kontroversi)
9) Sang bayi dalam posisi sungsang atau menyamping atau posisi
letak muka
10) Kegagalan persalinan dengan induksi
11) Kegagalan persalinan dengan alat bantu
12) Bayi besar (lebih dari 4200 gram)
13) Plasenta previa, placental abrution atau accrete
14) Kontraksi pada pinggul
15) Riwayat sectio cesarea
16) Cephalo pelvic disproportion (CPD) atau feto pelvic disproportion
(FPD)
17) Hidrosefalus pada janin
18) Ibu menderita hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi)

c. Jenis – jenis operasi sectio cesarea


1) Sectio cesarea primer (elektif) : operasi yang telah direncanakan
jauh hari sebelum jadwal melahirkan dan tidak diharapkan lagi
kelahiran normal, dengan mempertimbangkan keselamatan ibu dan
janin (Purwoastuti dan Walyani,2015 ; h.121) dan (Sofian, 2013).
2) Sectio cesarea sekunder : mencoba menunggu kelahiran biasa
(partus percobaan). Jika tidak ada kemajuan persalinan atau partus
percobaan gagal, baru dilakukan sectio cesarea (Sofian, 2013 ;
h.85)
3) Sectio cesarea Emergency (Darurat) : operasi dilakukan ketika
proses persalinan telah berlangsung. Operasi ini dilakukan karena
ada masalah pada ibu maupun janin (Purwoastuti dan Walyani,
2015 ; h.121)
4) Sectio cesarea ulang : ibu pada kehamilan yang lalu menjalani
sectio cesarea dan pada kehamilan selanjutnya juga dilakukan
sectio cesarea (Sofian, 2013 ; h.85).
5) Sectio cesarean histerektomi : operasi yang meliputi pelahiran janin
dengan sektio sesarea yang secara langsung diikuti histerektomi
karena suatu indikasi (Sofian,2013 ;h. 85).
6) Operasi porro : operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri
(tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan histerektomi

d.Teknik sectio cesarean


Teknik sectio cesarea menurut Cunningham, dkk (2014; h. 573) dan
Annisa (2011).
1) insisi Abdomen :
a) Insisi Vertikal
Pembedahan ini dilakukan dengan insisi vertikal garis tengah
infraumbilikus. Panjang insisi harus sesuai dengan taksiran ukuran
janin.
b) Insisi Transversal atau Lintang
Dengan insisi pfanenstiel modifikasi, kulit dan jaringan subkutan
disayat dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit
melengkung. Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluas
sedikit melebihi batas lateral otot rektus. Insisi transversal ini jelas
memiliki keunggulan kosmetik. Sebagian orang beranggapan
bahwa insisi tersebut lebih kuat dan kecil kemungkinannya
terlepas. Kerugian dari teknik ini adalah apabila diperlukan ruang
lebih banyak, insisi vertikal dapat dengan cepat diperluas
melingkari dan ke atas pusar, sedangkan insisi Pfannenstiel tidak
dapat. Apabila wanita yang bersangkutan obes, lapangan operasi
mungkin lebih terbatas lagi.
2) Insisi Uterus :
a) Insisi Klasik
Pembedahan ini dilakukan dengan insisi vertikal ke dalam korpus
uterus dan mencapai fundus uterus. Keunggulan tindakan ini
adalah mengeluarkan janin lebih cepat, tidak mengakibatkan
komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan bisa diperpanjang
proksimal dan distal. Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi
mudah menyebar secara intraabdominal dan lebih sering terjadi
ruptur uteri spontan pada persalinan berikutnya.
b) Insisi Profunda
Dikenal juga dengan sebutan low cervical, yaitu sayatan pada
segmen bawah uterus. Keuntungannya adalah penjahitan luka
lebih mudah, kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
dibandingkan dengan seksio sesarea dengan cara klasik,
sedangkan kekurangannya yaitu perdarahan yang banyak dan
keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.
c) Insisi Ekstraperitonealis
Pada awalnya, tindakan ini dilakukan untuk menangani kehamilan
dengan infeksi isi uterus. Tekniknya dengan insisi dinding dan fasia
abdomen sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk
memaparkan segmen bawah uterus sehingga uterus dapat dibuka
secara ekstraperitoneum. Antusiasme terhadap prosedur ini hanya
beralangsung singkat, sebagian besar mungkin karena tersedianya
berbagai obat antimikroba yang efektif.

e. Komplikasi Seksio Sesarea


Menurut Annisa (2011; h.14) komplikasi pada seksio sesarea terutama
berdampak :
1) Ibu :
a) Endomiometritis
b) Perdarahan
c) Infeksi saluran kemih
d) Tromboembolisme
2) Bayi :
a) Asfiksia dan gangguan pernafasan lain
b) Gangguan otak
c) Trauma

f. Faktor – faktor risiko persalinan seksio caesarea


Adapun faktor – faktor risiko yang berpengaruh terhadap persalinan
antara lain yaitu :
1) Faktor Ibu
a) umur
Kurun reproduksi sehat adalah antara umur 20 - 35 tahun. Ini
berarti umur ibu diluar batas tersebut merupakan kehamilan
dengan resiko tinggi. Kurang dari 20 tahun panggul belum
sempurna sehingga menimbulkan kesulitan persalinan sedangkan
lebih dari 35 tahun ada kecenderungan mengalami perdarahan
post partum (Siswosudarmo, 2008) dalam Muhamad (2016; h. 5).
Menurut (Ningrum, dkk, 2011) dalam Muhamad (2016; h. 5),
menyimpulkan bahwa usia ibu kurang 20 tahun atau lebih 35
tahun lebih beresiko terhadap tindakan persalinan sectio caesarea
dibanding berumur 21 - 34 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia
20 tahun rahim dan panggul belum berkembang dengan baik.
b) Paritas
Paritas adalah riwayat reproduksi seorang wanita yang berkaitan
dengan jumlah kehamilan, (Sulistyawati, 2009). Klasifikasi paritas
menurut Saiffudin dalam Manuaba ( 2007) yaitu : Primipara :
paritas satu anak, Multipara : paritas 2-5 anak, Grandemulti
adalah seorang wanita yang telah melahirkan lima orang anak
atau lebih. Paritas yang ideal adalah 2 - 3, dengan jarak
persalinan 3 - 4 tahun. Bila Gestasi lebih dari 5 dan umur ibu lebih
dari 35 tahun maka disebut grande multigravida, yang
memerlukan perhatian khusus (Siswosudarmo, 2008) dalam
Muhamad (2016; h. 6).
c) Jarak kehamilan dan kelahiran sebelumnya
Seorang wanita setelah melahirkan membutuhkan 2 sampai 3
tahun untuk memulihkan tubuhnya dan mempersiapkan dirinya
pada persalinan berikutnya serta memberi kesempatan pada luka
untuk sembuh dengan baik. Jarak persalinan yang pendek akan
meningkatkan risiko terhadap ibu dan anak. Hal ini disebabkan
karena bentuk dan fungsi organ reproduksi belum kembali dengan
sempurna sehingga fungsinya akan terganggu apabila terjadi
kehamilan dan persalinan kembali (Annisa, 2011;h. 16).
Agudelo dan Belizen (2000) dalam Kusumawati (2006; h.23)
menemukan bahwa jarak kehamilan atau kelahiran yang terdahulu
dekat (kurang 6 bulan) dan terlalu jauh (lebih 5 tahun) dengan
riwayat kehamilan dan persalinan yang buruk sebelumnya, seperti
ekstraksi vakum, forsep dan seksio caesareaakan meningkatkan
risiko terjadinya komplikasi persalinan berikutnya, seperti
perdarahan trimester tiga, ketuban pecah dini, puerperal
endometritis dan anemia.
d) Pendidikan ibu
Pendidikan yang ditempuh oleh seseorang merupakan salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
individu maupun masyarakat. Seseorang dengan pendidikan yang
tinggi, akan mudah menerima informasi-informasi kesehatan dari
berbagai media dan biasanya ingin selalu berusaha untuk mencari
informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan
yang belum diketahuinya. Informasi kesehatan yang cukup
terutama masalh kehamilan dan persalinan diharapkan akan
dapat merubah pola perilaku hidup sehat termasuk dalam pelaku
pemeriksaan kehamilan (ANC) dalam (Kusumawati, 2006; h.25)
e) Sosial ekonomi
Menurut Kusumawat (2006) dalam Annisa (2011; h. 17)
mengatakan pendapatan keluarga berpengaruh terhadap
terjadinya partus lama sehingga perlu tindakan, seperti seksio
caesarea. Dimana pendapatan rendah di bawah upah minimum
propinsi (kurang UMP) mempunyai risiko 15,60 kali akan terjadi
partus lama daripada ibu dengan pendapatan tinggi (lebih UMP).
Hal ini berkaitan dengan kemampuan ekonomi untuk mengakses
pelayanan kesehatan terutama dalam pemeriksaan kehamilan.
f) Pengetahuan tentang faktor risiko atau masalah kehamilan
Pengetahuan tentang faktor risiko atau masalah kehamilan
penting diketahui oleh ibu, suami dan keluarga. Karena dengan
pengetahuan yang baik, seseorang ibu hamil akan tahu keadaan
kehamilannya dan diharapkan dapat berprilaku sehat, melakukan
pemeriksaan kehamilan dengan baik. Selain itu, ibu yang
mengetahui keadaan dirinya dan kehamilannya diharapkan dapat
menentukan kepada siapa dan dimana akan melahirkan secara
aman, karena setiap persalinan dapat timbul risiko bahaya bagi
ibu dan bayi. sedangkan bagi petugas kesehatan, dapat
memberikan tindakan yang tepat, (Kusumawati, 2006;h. 27).
Menurut Kusumawati (2006;h. 27-30), masalah atau faktor risiko
tentang kehamilan yang harus diketahui oleh ibu, suami dan
keluarga dikelompokan menjadi tiga , yaitu :
(1)Ada potensi gawat obstetri (faktor risiko kelonpok I) meliputi :
(a) bu hamil premature umur kurang 16 tahun
(b) Ibu hamil pertama setelah kawin 4 tahun atau lebih (primi
tua) dan hamil pertama umur lebih dari 35 tahun.
(c) Anak terkecil umur kurang 2 tahun (jarak kehamilan kurang
2 tahun)
(d) Ibu hamil dengan persalinan terakhir lebih dari 10 tahun
(e) Ibu melahirkan anak lebih dari 4 kali (Grande Multipara)
(f) Ibu hamil berumur lebih dari 35 tahun
(g) Tinggi badan 145 cm atau kurang
(h) Riwayat obstetri jelek (kehamilan kedua atau lebih, dimana
kehamilan sebelumnya mengalami keguguran, lahir belum
cukup bulan, lahir mati, lahir hidup kemudian mati dalam
waktu kurang dari 7 hari)
(i) Persalinan sbelumnya dengan tindakan (dengan tarikan
tang atau forsep atau ekstraksi vakum)
(j) Bekas operasi seksio caesarea
(2)Ada gawat obstetri (kelompok II) :
(a) Penyakit pada ibu hamil, berupa anemi(kurang drah,
malaria, TBC paru, payah jantung, diabetes militus,
HIV/AIDS, toksoplasmosis)
(b) Preeklamsia ringan, dengan tanda-tanda (pembengkakkan
pada tungkai, muka, tekanan darah tinggi, dalam urin
terdapat zat putih telur)
(c) Hamil kembar, IUGR, molahidatidosa,serotinus, letak
sungsang, dan lintang.
(3) Ada gawat darurat obtetri (kelompok III) :
(a) Perdarahan sebelum bayi lahir
(b) Preklamsia berat/eklamsia
2) Faktor gizi
a)Tinggi Badan
Wanita primipara risiko rendah di Western Australia yang
merupakan faktor risiko untuk seksio sesarea darurat dan juga
tindakan pervaginam salah satunya adalah tinggi badan pendek,
kurang 145 cm, (Annisa,2011; h.18).
b) Status Gizi/IMT
Wanita muda juga meningkat risikonya bila mempunyai berat yang
kurang (umur gestasi yang kecil) atau kurang dalam memberi
makan bayi. Di Indonesia, status gizi ibu hamil sering dinyatakan
dalam ukuran lingkar lengan atas (LILA). Apabila ibu mempunyai
LILA kurang 23,5 cm atau berat badan kurang dari 38 kg sebelum
hamil, maka termasuk Kekurangan Energi Kalori (KEK). Selain itu,
status gizi seorang dewasa dapat dinilai dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Hasil penelitian Murphy dkk, salah satu faktor yang
meningkatkan kemungkinan persalinan seksio sesarea adalah IMT
ibu sebelum hamil lebih dari 30 dengan risiko sebesar 2,4 kali
daripada ibu dengan IMT kurang 30.13, (Annisa,2011; h.18).
c) Kadar Hb
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma
bertambah dan sel darah merah meningkat. Peningkatan produksi
sel darah merah ini terjadi sesuai dengan proses perkembangan
dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan
tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh.
Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar
nilai hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau
kadar nilai hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua.
Perbedaan nilai batas diatas dihubungkan dengan kejadian
hemodilusi, (Annisa,2011; h.18).
3)Faktor kesehatan
a) Tekanan Darah
Hipertensi yaitu peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya
30 mmHg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya
15 mmHg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mmHg.
Hipertensi dapat juga ditentukan dengan tekanan arteri rata-rata
105 mmHgatau dengan kenaikan 20 mmHg atau lebih. Nilai-nilai
tersebut harus dimanifestasikan pada sekurang-kurangnya dua
kesempatan dengan perbedaan waktu 6 jam atau lebih dan harus
didasarkan pada nilai tekanan darah sebelumnya yang diketahui.
Hal ini merupakan penyulit dalam kehamilan, (Kusumawati, 2006;
h.34-35).
b) Penyakit penyerta
Wanita yang mempunyai penyakit-penyakit kronik sebelum
kehamilan, seperti jantung, paru, ginjal, diabetes mellitus, malaria,
dan lainnya termasuk dalam kehamilan risiko tinggi yang dapat
memperburuk proses persalinan (Annisa, 2011; h.21).
c) Penyakit infeksi bakteri dan parasit
Penyakit-penyakit infeksi bakteri dan parasit, seperti TORCH
(Toksoplasma, Rubella, Citomegalovirus, Herpes Simpleks),
penyakit menular seksual, dan virus seperti HIV/AIDS dapat
menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada janin dan
kelainan jalan lahir, (Annisa,2011; h.21).
d) Riwayat komplikasi obstetric
Seorang ibu yang pernah mengalami komplikasi dalam kehamilan
dan persalinan seperti keguguran, melahirkan bayi prematur, lahir
mati, persalinan sebelumnya dengan tindakan seperti ekstraksi
vakum, forsep, atau seksio sesarea merupakan risiko untuk
persalinan berikutnya, (Annisa,2011; h.22).

g. Pra-operatif
Rumah sakit harus memenuhi persyaratan fasilitas dan sumber daya
manusia yang mampu melayani tindakan seksio sesarea “darurat” dalam
waktu kuran dari 30 menit sejak diagnosis dibuat. Hal ini diperlukan dalam
keadaan gawat janin dan gawat ibu pada saat tertentu (Wiknjosastro,
2014 hal 439).
Bila Sectio Caesarea direncanakan, obat sedative dapat diberikan
pada waktu tidur malam hari sebelum operasi.Obat sedative, narkotika
atau obat penenang umumnya tidak diberikan sampai setelah bayi lahir.
Asupan oral dihentikan 8 jam sebelum pembedahan. Hematokrit diperiksa
ulang, demikian juga dengan uji Coombs indireck.Bila hasil coombs
positif, maka ketersediaan darah yang sesuai harus dipastikan.Antasida,
seperti bicitra 30 ml diberikan peroral tepat sebelum analgesia konduksi
atau induksi dengan anastesi umum untuk mengurangi resiko cedera
paru akibat aspirasi asam lambung.Kateter kandung kemih indwelling
dipasang.Jika rambut menutupi lapangan operasi, rambut harus digunting
atau dicukur pada hari operasi.Bila pencukuran dilakukan pada malam
sebelum operasi. Resiko terjadinya infeksi luka akan meningkat
(Cunningham, 2014 hal 584). Berikut ini perawatan pra-operatif menurut
Wiknjosastro, 2014 hal 439 - 440) :
Perawatan Pra-operatif
1) Persiapan kamar bedah
Pastikan bahwa :
a) Kamar bedah bersih (harus dibersihkan setiap selesai suatu
tindakan).
b) Kebutuhan bedah dan peralatan tersedia, termasuk oksigen dan
obat-obatan.
c) Peralatan gawat darurat tersedia dan dalam keadaan siap pakai.
d) Baju bedah, kain steril, sarung tangan, kasa, dan instrument
tersedia dalam keadaan steril dan belum kadaluarsa.
2) Persiapan pasien :
Terangkan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Jika pasien
tidak sadar, terangkan pada keluarganya. Dapatkan persetujuan
tindakan medik :
a) Bantu dan usahakan pasien dan keluarganya siap secara mental.
b) Cek kemungkinan alergi dan riwayat medik lain yang diperlukan.
c) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik awal yang baik
merupakan langkah esensial setiap pembedahan.
d) Siapkan contoh darah untuk pemeriksaan hemoglobin dan
golongan darah. Jika diperkirakan diperlukan, minta darah terlebih
dahulu.
e) Pemeriksaan laboratorium diperlukan disesuaikan dengan
kebutuhan. Apabila umur semakin tua diperlukan EKG dan foto
toraks.
f) Cuci dan bersihkan lapangan insisi dengan sabun dan air.
g) Lepaskan semua perhiasan.
h) Janganlah mencukur rambut pubis karena hal ini dapat menambah
resiko infeksi luka.
i) Rambut ubis hanya dipotong atau dipendekkan kalau diperlukan.
j) Pantau dan catat tanda vital (tekanan darah, nadi , pernafasan, suhu).
k) Berikan pramedikasi yang sesuai.
l) Berikan antacid untuk mengurangi keasaman lambung (sodium sitrat
0,3% atau Mg trisilikat 300 mg). sebaiknya pasien harus puasa 4 jam
sebelumnya. Sedangkan asupan oral dihentikan sedikitnya 8 jam
sebelum pembedahan (Cunningham, 2014 hal 584).
m) Pasang kateter dan monitor pengeluaran urin.
n) Pastikan semua informasi sudah disampaikan apda seluruh tim bedah.
baik dokter Obgin maupun dokter anastesi sudah memeriksa keadaan
pasien sebelum operasi

h. Post operasi
(1) Perawatan awal
Letakkan pasien dalam posisi untuk pemulihan :
a)Tidur miring dengan kepala agak ekstensi untuk membebaskan
jalan nafas.
b)Letakkan lengan atas dimuka tubuh agar mudah melakukan
pemeriksaan tekanan darah
c)Tungkai bawah agak tertekuk, bagian atas lebih tertekuk dari pada
bagian bawah untuk menjaga keseimbangan.
Segera setelah selesai pembedahan periksa kondisi pasien :
a) Cek tanda vital dan suhu tubuh setiap 15 menit selama jam
pertama, kemudian tiap 30 menit pada jam selanjutnya.
b) Periksa tingkat kesadaran setiap 15 menit selama jam pertama.
c) Cek kontraksi uterus jangan sampai lembek.
Catatan : pastikan ibu tersebut dibawah pengawasan sampai ia sadar;
yakinkan bahwa jalan nafas bersih dan cukup ventilasi, transfuse jika
diperlukan, jika tanda vital tidak stabil dan hematokrit turun walau diberi
transfuse, segera kembalikan ke kamar bedah karena kemungkinan
terjadi perdarahan pasca bedah (Wiknjosastro, 2014 hal 444).

(2) Analgesia
a) Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting.
b) Pemberian sedasi yang berlebihan akan menghambat mobilitas
yang diperlukan pasca bedah.
Analgesia yang diberikan : Supositoria ketokrofen 2 kali/12 jam tau
tramadol; oral: tramadol tiap 6 jam atau parasetamol; injeksi: petidin 50-
75 mg diberikan tiap 6 jam bila perlu. Bila pasien sudah sadar,
perdarahan minimal, tekanan darah baik stabil, urin > 30 cc/jam, pasien
bisa kembali ke ruangan (Wiknjosastro,2014; h. 444).
Perawatan lanjutan
Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital tiap 4 jam, kontraksi uterus,
dan perdarahan (Wiknjosastro,2014; h.444).
(1) Terapi cairan dan diets
Masa nifas ditandai dengan ekskresi cairan yang tertahan selama
kehamilan.Lebih lanjut, pada pelahiran Caesar tipikal, tidak dijumpai
sekuestrasi bermakna cairan ekstrasel dalam dinding usus dan lumen,
kecuali bila usus dipisahkan dari lapangan operasi atau timbul
peritonitis.Karena itu, wanita yang menjalani pelahiran sesar jarang
mengalami sekuentrasi cairan dalam ruang ketiga. Sebaliknya, pasien
memulai pembedahan secara normal dengan volume ekstravaskular
berlebih yang fisiologis selama kehamilan dan akan dimobilisasi dan di
eksresikan setelah pelahiran. Karena itu, volume cairan intravena yang
besar selama dan setelah operasi tidak diperlukan untuk mengganti
sekuentrasi cairan ekstra sel.sebagai generalisasi, 3 L cairan harus
terbukti adekuat selama 24 jam pertama setelah pembedahan. Namun,
bila keluaran urin turun dibawah 30 mL/jam, pasien harus segera di
evaluasi ulang.Penyebab oliguria dapat berkisar dari kehilangan darah
yang tidak diketahui hingga efek antidiuretik dari infus oksitosin.
Pengecualian dari pola mobilisasi cairan tipikal ini adalah konstriksi
kompartemen cairan ekstrasel yang patologis dari pre-eklampsia berat,
muntah, demam, persalinan lama tanpa asupan cairan adekat, kehlan
darah signifikan, atau sepsis (Cunningham, 2014; h.586).
(2) Laboratorium
Hematokrit rutin diperiksa pada pagi hari setelah operasi. Pemeriksaan
dilakukan lebih dini jika terdapat kehilangan darah yang tidak lazim atau
oliguria atau tanda lain yang mengarah hipovolemia. Apabila nilai
hematokrit menurun secara bermakna dari nilai pra-operasi, pemeriksaan
diulang dan dilakukan pencarian untuk mengidentifikasi penyebab
penurunan tersebut. Jika nilai hemaktokrit stabil, pasien diperbolehkan
ambulansi, dan bila terjadi sedikit kemungkinan kehilangan darah yang
lanjut, terapi zat besi lebih dipilih dari pada transfuse (Cunningham, 2014;
h. 587)
(3) Mobilisasi
Pasien telah dapat menggerakkan kaki dan tangan serta tubuhnya
sedikit, kemudian dapat duduk pada jam 8-12 (bila taka da kontraindikasi
dari anastesi). Ia dapat berjalan bila mampu pada 24 jam pasca bedah,
bahkan mandi sendiri pada hari ke dua (Wiknjosastro,2014; h.444).
(4) Fungsi gastrointestinal
Pada kasus-kasus tanpa komplikasi, makanan padat dapat diberikan
dalam waktu 8 jam setelah operasi (Bar,2008 dalam Cunningham,2014;
h.586). Fungsi gastrointestinal pada pasien obstetric yang tindakannya
tidak terlalu berat akan kembali normal dalam waktu 12 jam
(Wiknjosastro, 2014; h.445).
a) Jika tindakan bedah tidak berat, berikan pasien diet cair. Misalnya
6-8 jam pasca bedah dengan anastesi spiral, infus dan keteter
dapat dilepas.
b) Jika ada tanda infeksi, atau jika seksio sesarea karena partus
macet atau ruptura uteri, tuggu sampai bising usus timbul.
c) Jika peristaltic baik dan pasien bisa flatus mulai berikan makanan
padat.
d) Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan
baik.
e) Berikan pada 24 jam I pada sekitar 2 liter cairan dengan monitor
produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam. Bila kurang
kemungkinan ada kehilangan darah yang tidak kelihatan atau efek
antidiuretic dari oksitisin.
f) Jika pemberian infus melebihi 48 jam, berikan cairan elektrolit
untuk balans (misalnya kalium klorida 40 mEq dalam 1/cairan
infus).
g) Sebelum keluar dari rumah sakit, pasien sudah ahrus bisa makan
makanan biasa (Wiknjosastro, 2014; h. 445).
(5) Pembalut dan perawatan luka
Penutup atau pembalut luka berfungsi sebagai penghalang dan
pelindung terhadap infeksi selama proses penyembuhan yang dikenal
dengan reepitelisasi. Pertahankan penutup luka ini selama hari pertama
setelah pembedahan untuk mencegah infeksi selama proses reepitelisasi
berlangsung (Wiknjosastro, 2014; h.445).
Jika pada pembalut luka terdapat perdarahan sedikit atau keluar
cairan tidak telalu banyak, jangan mengganti pembalut : perkuat
pembalutnya; pantau keluar cairan dan darah; jika perdarahan tetap
bertambah atau sudah membasahi setengah atau lebih dari pembalutnya,
buka pembalutya, inspeksi luka, atasi penyebabnya, dan ganti dengan
pembalut baru (Wiknjosastro, 2014; h. 445). Jika pembalut agak kendor,
jangan ganti pembalut tetapi diplester untuk mengencangkan. Ganti
pembalut dengan cara yang steril. Luka harus dijaga tetap kering dan
bersih, tidak boleh terdapat bukti infeksi atauseroma sampai ibu
diperbolehkan pulang dari rumah sakit (Wiknjosastro, 2014; h. 445).
Insisi diinspeksi setiap hari, dan jahitan atau klip pada kulit dapat
diangkat pada hari keempat setelah operasi. Namun, jika khawatir akan
pelepasan luka superfisial, misalnya pada pasien yang gemuk, benang
atau klip harus dipertahankan selama 7 hingga 10 hari. Pada hari ke tiga
pascapartum, mandi tidak berbahaya terhadap luka insisi (Cunningham,
2014;h. 587).
(1) Perawatan fungsi kandung kemih
Kateter kandung kemih paling sering dapat dilepas dalam waktu 12
jam pasca operasi atau supaya lebih nyaman, dilepas pada pagi hari
setelah operasi (Cunningham, 2014;h.587). Pemakaian kateter
dibutuhkan pada prosedur bedah.semakin cepat melepas kateter akan
lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan membuat peremuan lebih
cepat mobilisasi (Wiknjosastro, 2014;h. 446).
a) Jika uri jernih, kateter dilepas 8 jam setelah bedah atau sesudah
semalam.
b) Jika urine tidak jernih, biarkan kateter dipasang sampai urine
jernih.
c) Kateter dipakai 48 jam pada kasus : bedah karena rupture uteri;
partus lama atau partus macet; edema peritoneum yang luas;
sepsis puerperalis/pelvio peritonitis.
Catatan : pastikan urin jernih apda saat melepas kateter.
d) Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih pasang kateter sampai
minimum 7 hari, atau urin jernih.
e) Jika sudah tidak memakai antibiotika, berikan nitrofurantoin 100
mg per oral per hari sampai kateter dilepas (untuk mencegah
sistitis), (Wiknjosastro, 2014; h.446).
(7) Antibiotika
Jika ada tanda infeksi atau pasien demam, berikan antibiotika sampai
bebas demam selama 48 jam (Wiknjosastro, 2014;h.446).
(8) Melepas jahitan
Jahitan fasia merupakan hal utama pada pembedaha abdomen.
Melepas jahitan kulit 5 hari setelah hari bedah pada penjahitan dengan
sutera, (Wiknjosastro, 2014; h.446).
(1) Demam
Suhu yang melebihi 38°C pesca pembedahan hari ke-2 harus dicari
penyebabnya. Yakinkan pasien tidak panas minimum 24 jam sebelum
keluar dari rumah sakit (Wiknjosastro, 2014; h.446).
(10) Ambulansi
Ambulansi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat nafas dalam,
dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal. Dorong unruk
menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin,biasanya
dalam waktu 24 jam (Wiknjosastro, 2014; h.446). Pada sebagian besar
kasus, sehari setelah operasi, pasien harus bangun dari tempat tidur
dengan bantuan sekurang-kurangnya dua kali untuk berjalan. Ambulansi
dapat dijadwalkan sehingga pemberian obat analgesic akan mengurangi
ketidaknyamanan. Pada hari kedua, pasien dapat berjalan tanpa
bantuan.Ambulansi dini menurunkan resiko trombosisi vena dan emboli
paru (Cunningham, 2014; h.586).
(11) Perawatan gabung
Pasien dapat dirawat gabung dengan bayi dan memberikan ASI dalam
posisi tidur atau duduk (Wiknjosastro, 2014; h.446).
(12) Perawatan payudara
Menyusui dapat dimulai pada hari operasi. Apabila pasien memilih
untuk tidak meyusui, pengikat yang menopang payudara tanpa kompresi
yang kuat akan mengurangi ketidaknyamanan pasien (Cunningham,
2014; h.586).
(13) Memulangkan pasien
a) 2 hari pasca secsio sesarea berencana tanpa komplikasi.
b) Perawatan 3-4 hari cukup untuk pasien. Berikan instruksi
mengenai perawatan luka (mengganti kasa) dan keterangan
tertulis mengenai teknik pembedahan.
c) Pasien diminta datang untuk kontrol 7 hari pasien pulang.
d) Pasien perlu segera datang bila terdapat perdarahan, demam, dan
nyeri perut berlebihan (Wiknjosastro, 2014;h.447).

Anda mungkin juga menyukai