Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP SECTIO CAECAREA


1. Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin yang
dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin diatas
500 gram (Wiknjosastro, 2005). Persalinan sectio caesaria adalah proses
melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan
dinding uterus (histerektomi), (Williams, 2002).
Istilah Caesar berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya
memotong atau menyayat. Tindakan yang dilakukan tersebut bertujuan
untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Kasdu, 2003).
Sectio Caesarea adalah persalinan buatan yang dilakukan dengan
cara penyayatan atau insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin diatas 500 gram
dengan pertimbangan medis untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu
dan bayinya.
2. Istilah tindakan sectio caesarea
Mochtar (2005), ada beberapa istilah dalam tindakan sectio caesarea yaitu:
a. Sectio caesarea primer (efektif)
Tindakan operasi direncanakan karena janin yang akan dilahirkan tidak
bisa lahir dengan kelahiran normal sehingga dilakukan tindakan Sectio
caesarea, misalnya pada ibu dengan panggul sempit.
b. Sectio caesarea sekunder
Yaitu menunggu kelahiran normal (partus percobaan), bila tidak ada
kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, kemudian dilakukan
sectio caesarea.

c. Sectio caesarea ulang


Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami sectio caesarea (previous
caesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan sectio
caesarea ulang
d. Sectio caesarea histerektomy
Suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan sectio caesarea,
langsung dilakukan histerektomy oleh karena suatu indikasi.
e. Operasi Porro.
Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin sudah
mati) langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi
rahim yang berat.
3. Indikasi sectio saesaera
Melahirkan dengan sectio caesarea sebaiknya dilakukan atas
pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun
bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam kadaan gawat
darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan sectio
caesarea dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu
maupun bayinya, Sinaga (2009).
Ricci (2001), indikasi persalinan sectio caesarea dibedakan
berdasarkan beberapa faktor yaitu :
a. Faktor ibu
Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalopelvik yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi
dengan ukuran panggul ibu (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer,
2007). Selain itu dapat juga disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptura
uteri, partus tak maju yang merupakan, persalinan yang berlangsung
lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara
yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat, janin tidak
dapat turun karena faktor mekanis (Mochtar, 2012).

b. Faktor janin
1) Gawat janin
Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang
kurang baik dianjurkan untuk dilakukan persalinan sectio
caesarea. Jika ibu mengalami tekanan darah tinggi, kejang
ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat
mengakibatkan gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga
dapat

menyebabkan

kerusakan

otak

yang

bahkan

dapat

menimbulkan kematian janin dalam rahim (Oxorn, 2003).


2) Prolaps tali pusat
Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan
jika plasenta letaknya rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi
keadaan ibu secara langsung tetapi dapat sangat membahayakan
janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan anak
dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma,
2004).
3) Malpresentasi janin
a) Letak sungsang
Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan
bokong sebagai bagian yang letaknya paling rendah
(Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan letak
bayi yang dilahirkan melalui persalinan sectio caesarea. Hal
ini karena risiko kematian dan kecacatan yang timbul karena
persalinan pervaginam jauh lebih tinggi. Secara teori
penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti
kelainan bentuk rahim, letak plasenta yang rendah ataupun
tumor jinak yang terdapat dalam rahim (Dewi, 2007).
b) Letak Lintang
Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin
menyilang sumbu memanjang ibu secara tegak lurus atau
mendekati 90 derajat. Dalam kedaan normal yang cukup

bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan


secara spontan. Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan
jika janin prematur, sudah mati serta bila panggul ibu lebar
(Bratakoesuma, 2004).
c) Faktor plasenta
(1) Plasenta previa
Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau
implantasi plasenta yang tidak normal yang dapat
menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium
internum sehingga dapat menghambat keluarnya bayi
melalui jalan lahir (Chalik, 2008).
(2) Solusio plasenta
Solusio

plasenta

merupakan

keadaan

terlepasnya

sebagian atau seluruh plasenta yang letaknya normal dari


perlekatannya di atas 22 minggu dan sebelum anak lahir
(Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai
dengan perdarahan yang keluar melalui vagina, tetapi
juga dapat menetap di dalam rahim, yang dapat
menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya
dilakukan persalinan sectio caesarea untuk menolong
agar janin segera lahir sebelum mengalami kekurangan
oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat
menghentikan perdarahan yang dapat menyebabkan
kematian ibu (Mochtar, 2012).

4. Komplikasi tindakan sectio caesarea


Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan sectio caesarea menurut
Mochtar (2012) yaitu:
a. Infeksi puerperal (nifas)
1) Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2) Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan

10

perut sedikit kembung.


3) Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita
jumpai pada partus yang terlantar, dimana sebelumnya telah timbul
infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b. Perdarahan yang dapat disebabkan oleh:
1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2) Atonia uteri
3) Perdarahan pada placental bed.
c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonialisasi terlalu tinggi.
d. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.
Sectio Caesarea merupakan tindakan medis yang mana dilakukan insisi
pada dinding perut dan rahim. Pada sub bab berikut penulis akan membahas
tentang konsep pembedahan.

B. KONSEP PEMBEDAHAN
1. Pengertian
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh
(Smeltzer and Bare, 2004). Pembedahan merupakan salah satu tindakan
medis yang penting dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan
merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan
nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi (Haynes, et al. 2009). Menurut
Sjamsuhidajat & Jong (2005), Pembedahan atau operasi adalah tindak
pengobatan yang menggunakan

cara invasif dengan membuka atau

menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh


ini umumnya dilakukan dengan membuka sayatan. Setelah bagian yang
ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam
perawatan pascabedah.

11

2. Macam pembedahan
Brunner & Sudarth (2010), pembedahan dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Bedah Mayor
Bedah mayor merupakan pembedahan yang relatif lebih sulit untuk
dilakukan dari pada pembedahan minor, membutuhkan waktu, dan
melibatkan resiko terhadap nyawa pasien, dan memerlukan bantuan
asisten seperti contoh bedah sesar, mammektomi, bedah torak, bedah
otak.
b. Bedah Minor
Bedah minor merupakan pembedahan yang secara relatif dilakukan
secara simple, tidak memiliki risiko terhadap nyawa pasien dan tidak
memerlukan bantuan asisten untuk melakukannya seperti contoh
membuka abses superficial, pembersihan luka, inokuasi, superfisial
neuroktomi dan tenotomi.
c. Bedah Emergency
Bedah emergency merupakan pembedahan yang dilakukan darurat,
tidak boleh ditunda dan membutuhkan perhatian segera (gangguan
mungkin mengancam jiwa) seperti contoh luka bakar

luas, perdarahan

hebat.
d. Bedah Elektif
Bedah elektif merupakan pembedahan yang dilakukan ketika
diperlukan dan kalau tidak dilakukan juga tidak terlalu membahayakan
nyawa. Contoh: hernia sederhana, perbaikan vaginal.
3. Tingkatan luka operasi
Brunner & Sudarth (2010), membagi tingkat luka operasi menjadi luka
operasi

bersih,

luka

operasi

bersih

terkontaminasi,

luka

operasi

terkontaminasi dan luka operasi kotor. Klasifikasi ini mempermudah untuk


memprediksikan tingkat infeksi luka setelah operasi.

12

a. Luka Operasi Bersih


Luka operasi bersih mempunyai kriteria elektif, tidak emergency,
kasus non trauma, tertutup secara primer, tidak ada peradangan akut,
tidak ada kesalahan pada teknik aseptik, tidak ada luka tembus ke sistem
pernafasan, pencernaan, empedu, saluran kencing dan kelamin.
b. Luka Operasi Bersih Terkontaminasi
Luka operasi bersih terkontaminasi mempunyai kriteria darurat
namun tidak emergency atau luka bersih, pembedahan elektif sistem
pernafasan, pencernaa, saluran kemih, tidak termasuk pembukaan saluran
empedu yang terinfeksi, kesalahan minor dalam metode aseptik.
c. Luka Operasi Terkontaminasi
Luka operasi terkontaminasi mempunyai kriteria peradangan non
purulen, luka ke dalam empedu atau saluran kencing yang terinfeksi,
kesalahan mayor pada teknik aseptik, luka tembus kurang dari 4 jam.
Luka terbuka kronis yang akan ditutup.
d. Luka Operasi Kotor
Luka operasi kotor mempunyai kriteria peradangan yang purulen
(abses), perforasi saluran pernafasan preoperatif, pencernaa, empedu dan
luka tembeus selama 4 jam.
Tindakan pembedahan khususnya bedah mayor selalu menimbulkan luka
operasi, dimana luka yang ditimbulkan berpotensi untuk diinfeksi oleh kuman
atau patogen. Pada sub bab berikut penulis membahas prosess infeksi yang
mungkin terjadi pada luka operasi.

C. KONSEP INFEKSI
1. Pengertian
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap
organisme inang dan bersifat membahayakan inang. Organisme penginfeksi
atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat
memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen

13

mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik,
gangren, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respon inang
terhadap infeksi disebut peradangan.
Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme
mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup
bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid . Potter dan Perry (2005),
mendefinisikan infeksi sebagai proses invasif oleh mikroorganisme dan
berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit. Sedangkan menurut
Kozier

(2004),

infeksi

didefinisikan

sebagai

invasi

tubuh

oleh

mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.

2. Proses Infeksi

Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien


tergantung dari tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan
kerentanan penjamu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
a. Periode inkubasi
Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala
pertama.
b. Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik ( malaise, demam
ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Tahap ini mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan mampu menyebarkan penyakit ke
orang lain.
c. Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis
infeksi.
d. Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi.

14

3. Tanda-Tanda Infeksi
Tanda-tanda infeksi menurut Potter dan Perry (2005), adalah sebagai berikut:
a. Calor (panas)
Daerah

peradangan

pada

kulit

menjadi

lebih

panas

dari

sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area


terkena infeksi/fenomena panas lokal karena jaringan jaringan tersebut
sudah mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan
perubahan.
b. Dolor (rasa sakit)
Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan pH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf. Pengeluaran zat
kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat
merangsang saraf nyeri, selain itu pembengkakan jaringan yang meradang
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit.
c. Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami
peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang
mensuplai daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah
yang mengalir kedalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh
terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan selsel dari sirkulasi darah kejaringan interstisial. Campuran cairan dan sel
yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
e. Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara superficial bagian yang bengkak
dan sakit disertai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,
sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara
normal.

15

4. Infeksi Luka Operasi


Morison (2003) mengatakan luka operasi dikatakan terinfeksi apabila
luka tersebut mengeluarkan nanah atau puss dan kemungkinan terinfeksi
apabila luka tersebut mengalami tanda-tanda inflamasi atau mengeluarkan
rabas serosa .
Faktor-faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka pasca operasi
ada 2 faktor yaitu faktor intrinsik : umur, penyakit penyerta, status nutrisi,
oksigenasi dan perfusi jaringan, serta merokok. Kemudian faktor ekstrinsik :
teknik pembedahan buruk, mobilisasi, pengobatan, manajemen luka yang tidak
tepat, psikososial dan infeksi. (Potter and Perry, 2005)
Morison (2003), faktor- faktor yang mempengaruhi risiko infeksi pada
luka operasi meliputi:
a. Durasi rawat inap pra operatif
Semakin lama pasien dirawat di rumah sakit sebelum operasi, maka semakin
rentan terhadap infeksi luka. Alasan tepat mengenai kondisi tersebut tidak
dapat diketahui secara pasti, tetapi dimungkinkan karena kulit pasien
terpapar mikroorganisme rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik
multipel.
b. Persiapan kulit pra operatif
Beberapa bentuk persiapan kulita pra operasi meliputi mandi dengan sabun,
mencukur sekitar daerah yang akan dioperasi.
c. Penggunaan antibiotik profilaksis
Penggunaan antibiotik profilaksis membuat risiko infeksi berkurang sampai
dengan 75%. Pemberian antibiotik secara umum diberikan satu jam sebelum
pembedahan maupun selama induksi anesthesia .
d. Faktor selama operasi
Lamanya operasi, tingkat trauma yang diderita jaringan selama operasi,
masuknya benda asing, misalnya benang atau drain mempengaruhi
probabilitas infeksi luka operasi dan kemungkinan tinggi terjadinya
kerusakan luka berikutnya.

16

e. Perawatan luka pasca operatif


Perawat memiliki peranan yang sangat penting dalam pentalaksanaan luka
bedah tertutup. Peran perawat meliputi observasi luka dan pengkajian pasien,
penggantian balutan dan perawatan luka secara umum. Ruang perawatan
luka operasi juga berpengaruh terhadap peningkatan risiko infeksi. Untuk
mencegah kontaminasi udara pada luka, ruang perawatan direkomendasikan
memiliki sistem ventilasi mekanik yang baik.
f. Kadar Albumin
Pasien yang akan dibedah pada umumnya tidak membutuhkan perhatian
khusus tentang gizi. Mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai
dengan penyakit dan pembedahannya. Tetapi tidak jarang juga pasien datang
dalam keadaan gizi yang kurang baik misalnya yang terjadi pada penderita
penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik dan trauma berat (Pieter,
2005). Sebuah penelitian pada tahun 2004, menemukan kadar albumin serum
yang rendah ada hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum
dengan lamanya penyembuhan luka operasi (Agung et al, 2005).
Status gizi yang cukup baik pada pasien sebelum dilakukannya bedah
elektif terutama bedah elektif mayor merupakan hal yang sangat penting.
Fungsi imun akan terganggu pada kondisi malnutrisi yang mengakibatkan
meningkatnya resiko infeksi serta terjadinya komplikasi seperti dehiscence,
pneumonia dan sepsis dimana semuanya itu berdampak terhadap
meningkatnya risiko infeksi, morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap
dengan konsekuensi bertambahnya biaya perawatan kesehatan (Pilchard et
al, 2004). Konsep status gizi dalam bedah terbangun secara gradual melalui
seluruh periode nutrisi mencakup aspek pre-operatif dan post-operatif.
Banyak penelitian menunjukkan kondisi pre-operatif dengan status gizi yang
baik membantu mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi termasuk
infeksi. Proses penyembuhan luka memerlukan protein sebagai dasar untuk
terjadinya jaringan kolagen, sedangkan defisiensi protein dapat diketahui
melalui rendahnya kadar serum albumin berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka (Agung et al, 2005).

17

5. Pengkajian Tingkat Infeksi Luka Operasi


Observasi luka harus dilakukan dan dicatat setiap penggantian balutan
dan setiap bentuk perubahan pada luka harus diperhatikan. Hal ini diperlukan
untuk mengetahui secara dini adanya infeksi pada luka. Pengelompokkan luka
berdasarkan tingkat infeksi sangat penting untuk menentukan prioritas
perawatan luka. Luka dengan tingkat infeksi lebih ringan harus didahulukan
penggantian balutannya (Morison, 2003). Morison (2003), menjelaskan
terdapat 7 kriteria penilaian untuk menentukan tingkat infeksi pada luka operasi
tertutup, yaitu eksudat, eritema, edema, hematoma, letak nyeri, frekuensi nyeri
dan bau. Tingkatan infeksi dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu infeksi ringan,
sedang dan infeksi berat.
Tabel 2.1 Tingkat infeksi berdasarkan kriteria penilaian
Sumber : Morison, 2003.
No Kriteria
penilaian

Tingkat infeksi
Ringan

Sedang

Berat

Eksudat

Minimal

Sedang

Banyak

Eritema

Minimal

Hanya disekitar
jaringan

Meluas keluar daerah


sekitar luka

Edema

Ringan

Sedang

Berat

Hematoma

Ringan

Sedang

Berat

Letak nyeri

Hanya pada daerah Hanya pada daerah luka Nyeri menyebar ke


luka
daerah sekitar luka

Intensitas nyeri

Tidak ada/ hanya


pada saat
penggantian
balutan

Intermiten

Kontinyu

Bau

Tidak ada

Ada bau

Bau menyengat

Untuk menyamakan persepsi dalam pengkajian tingkat infeksi luka bedah


tertutup, maka RSUD Kota Semarang memberikan pedoman beberapa kriteria
untuk pengisian lembar obervasi infeksi luka tertutup sebagai berikut:
a. Eksudat
1) Minimal
Tidak ada eksudat atau ada eksudat tetapi tidak purulen, dan
jumlahnya tidak lebih dari seperempat kassa balutan

18

2) Sedang
Apabila eksudat berwarna kekuningan dan jumlahnya maksimal
setengah dari kassa balutan
3) Banyak
Apabila eksudat purulen dan jumlahnya lebih dari setengah kassa
pembalut

b. Eritema
1) Minimal
Tidak ada eritema atau ada eritema tetapi tidak terlalu tampak
2) Hanya disekitar jaringan
Ada eritema, tetapi tidak lebih dari 0,5 cm dari luka
3) Meluas keluar daerah sekitar luka
Ada eritema dan meluas lebih dari 0,5 cm dari luka
c. Edema
1) Ringan
Tidak ada edema atau ada edema tetapi tidak terlalu tampak
2) Sedang
Tampak ada edema tetapi tidak disertai kemerahan
3) Berat
Tampak sekali ada edema yang menonjol dan disertai kemerahan
d. Hematom
1) Ringan
Tidak ada atau ada hematoma, tetapi
2) Sedang
Terdapat hematoma dengan diameter maksimal 1 cm
3) Berat
Terdapat hematoma dengan diameter lebih dari 1 cm
e. Letak nyeri
1) Ringan
Hanya di daerah luka

19

2) Sedang
Hanya di daerah luka
3) Berat
Nyeri menyebar ke daerah sekitar luka
f. Intensitas nyeri
1) Ringan
Tidak ada / hanya pada saat penggantian balutan
2) Sedang
Nyeri dirasa kadang-kadang muncul
3) Berat
Rasa nyeri selalu dirasakan pasien
g. Bau
1) Ringan
Tidak ada bau
2) Sedang
Terdapat bau yang tidak menusuk saat balutan dibuka
3) Berat
Terdapat bau yang menusuk, baik saat baluta belum dibuka maupun
setelah dibuka
Tindakan medis yaitu pembedahan khususnya bedah mayor pada Sectio
Caesarea mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan pada dinding
abdomen dan dinding rahim yang menimbulkan luka operasi. Luka operasi
yang ditimbulkan beresiko diinfasi oleh kuman patogen penyebab infeksi, salah
satu pencegahan resiko infeksi pada bedah mayor adalah pemberian antibiotik
profilaksis sebelum pembedahan. Dalam sub bab berikut, penulis membahas
tool yang dibuat oleh WHO untuk mengurangi komplikasi akibat pembedahan,
salah satunya infeksi post operasi yaitu Safety Surgical Checklist (SSC).

20

D. KONSEP SAFETY SURGERY CHEKLIST


1. Pengertian
Surgical safety checklist adalah sebuah daftar periksa untuk
memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical
Safety Checklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang
digunakan oleh tim profesional di ruang operasi (Safety & Compliance,
2012).
2. Manfaat surgical safety checklist
a. Surgical safety checklist disusun untuk membantu tim bedah untuk
mengurangi angka kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya
kejadian tidak diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan
mengakibatkan WHO membuat program surgical safety checklist untuk
mengurangi kejadian tidak diinginkan (KTD). Dalam praktiknya
surgical safety checklist bermanfaat untuk mengurangi angka kematian
dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan angka kematian da
komplikasi berkurang setelah digunakan surgical safety checklist.
Penelitian Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5%
menjadi 0,8% dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0%
(Haynes, et al. 2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang
serupa bahwa jika surgical safety checklist dilaksanakan secara
konsisten maka angka kematian mengalami penurunan dari 1,5%
menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11% menjadi 7%
(Latonsky, et al., 2010).
b.Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan
darah lebih dari 500 ml.
Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO)
mengalami

penurunan

setelah

dilakukan

penelitian

dengan

menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan
risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi
13,2% (Weizer, et al. 2008).

21

c. Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai


insisi kulit. Penelitian tentang a Surgical Patient Safety System
menghasilkan penerapan surgical patient safety system pra operasi
menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9
menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak menerima antibotik sampai
insisi kulit menurun sebesar 6%.
d. Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail
mengenai kasus yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan
fokus diskusi dan kemudian pembentukan tim (Depkes RI, 2008).
e. Penggunaan checklist kertas merupakan salah satu solusi karena
checklist kertas dapat disediakan dengan cepat dan

membutuhkan

biaya sedikit, selain itu checklist kertas juga dapat disesuaikan ukuran
dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan
penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Depkes RI, 2008).

3. Implementasi surgical safety checklist


Surgical safety checklist di kamar operasi digunakan melalui 3 tahap,
masing-masing sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum induksi anestesi
(sign in), sebelum insisi kulit (time out) dan sebelum mengeluarkan pasien
dari ruang operasi (sign out) (Haynes, et al. 2009). Implementasi surgical
safaty checklist memerlukn seorang koordinator yang bertanggung jawab
untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya seorang perawat, dokter
atau profesional kesehatan lainnya yang terlibat dalam operasi. Pada setiap
fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim
telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih lanjut.
Fase Sign In sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal
memeriksa apakah identitas pasien delah dikonfirmasi, prosedur dan sisi
operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan
untuk operasi telah diberikan oksimeter pulse pada pasien berfungsi.
Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi resiko pasien
apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi

22

alergi.
Fase Time Out setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan
peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di
ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit
tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi
yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa
antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
Fase Sign Out tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan.
Dilakukan pengecekan kelengkapan kasa (spons), penghitungan instrumen,
pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu
ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci
dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan
sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Scheidegger et al, 2009).
Secara umum proses SSC menurut WHO (2009) adalah sebagai berikut :
a. Sebelum induksi anestesi (Sign In)
Perawat melakukan sign in di ruang serah terima sebelum pasien
masuk kamar operasi. Langkah-langkah surgical safety checklist
sebagai berikut
1) Perawat mengkonfirmasi kepada pasien mengenai identitas, sisi
yang akan dioperasi, prosedur dan persetujuan tindakan di ruang
serah terima instalasi. Setelah konfirmasi lengkap maka pasien
masuk ruang operasi untuk konfirmasi tahapan berikutnya.
Langkah ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya
operasi pada pasien yang salah, sisi yang salah dan prosedur.
2) Sisi yang akan dioperasi sudah ditandai
Pada item pemberian sisi pada pasien yang akan dioperasi
koordinator checklist harus mengkonfirmasikan bahwa ahli bedah
melakukan operasi telah menandai sisi yang akan dilakukan
pembedahan.
3) Obat dan mesin anestesi telah diperiksa secara lengkap
Koordinator meminta dokter anestesi memeriksa peralatan anestesi,

23

sistem pernafasan (oksigen dan inhalansi) apakah berfungsi dengan


baik serta memeriksa ketersediaan obat sebelum melakukan induksi
anestesi.
4) Pulse oksimetri pada pasien berfungsi
Koordinator checklist menegaskan sebelum induksi anestesi bahwa
oksimeter pulse telah dipasang pada pasien dan berfungsi dengan
baik. Bila dimungkinkan sebuah sistem suara digunakan untuk
mengingatkan tim bedah tentang denyut nadi dan saturasi oksigen
oksimetri. Pulse oksimetri direkomendasikan oleh WHO sebagai
komponen penting dalam pemberian anesetesi.
5) Apakah pasien memiliki alergi
Koordinator checklist menanyakan 2 pertanyaan pada anestesi
profesional. Pertanyaan pertama koordinator checklist menanyakan
apakah pasien mengalami alergi yang telah diketahui anestesi,
kemudian sebutkan jenis alerginya, hal ini dilakukan untuk
mengkonfirmasi bahwa anestesi mengetahui adanya alergi yang
akan menimbulkan risiko pada pasien. Jika koordinator mengetahui
bahwa anestesi tidak tahu ada alergi maka informasi ini harus
dikomunikasi.
6) Apakah pasien memiliki risiko aspirasi
Dokter anestesi akan menulis kesulitan jalan nafas pada status
sehingga pada tahapan Sign In tim bedah dapat mengetahuinya dan
mengantisipasi pemakaian jenis anestesi yang digunakan. Risiko
aspirasi divevaluasi sebagai bagian dari penilaian jalan nafas. Jika
pasien memiliki gejala refluks aktif atau perut penuh, dokter
anestesi harus mempersiapkan untuk kemungkinan aspirasi. Risiko
ini dapat dikurangi dengan memodifikasi rencana anestesi,
misalnya menggunakan teknik induksi cepat dan dengan bantuan
asisten memberikan tekanan krikoid selama induksi untuk
mengantisipasi risiko aspirasi pasien dipuasakan 6 jam sebelum
operasi.

24

7) Apakah pasien memiliki risiko kehiliangan darah lebih dari 500


ml?
Kehilangan darah merupakan salah satu bahaya yang paling umum
dan penting bagi pasien. Syok hipovelemik meningkat ketika darah
mengalami kekurangan lebih dari 500 ml (7 mil/ kg pada anak).
Pasien yang mempunyai risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml
dipersiapkan darah sehari sebelum dilakukan operasi. Dokter
anestesi akan mempersiapkan infus 2 jalur atau kateter vena sentral
dan tim harus mengkonfirmasikan ketersediaan darah untuk
resusitasi. Untuk meningkatkan keamanan kehilangan darah harus
ditinjau kembali oleh dokter bedah pada waktu time out.

b. Sebelum Insisi Kulit (Time Out)


Tindakan hening sejenak dengan melakukan doa bersama
dilakukan semua anggota tim bedah sebelum membuat insisi.
1) Konfirmasi identitas tim bedah
Konfirmasi tim bedah dengan cara tim bedah memperkenalkan
diri dan peranannya masing-masing karena anggota tim operasi
sering berubah.
2) Dokter, anetesi dan perawat mengkonfirmasi secara lisan pasien,
sisi operasi dan prosedur pembedahan.
Sebelum melakukan tindakan operasi, operator memastikan
identitas pasien. Secara lisan anggota tim mengkonfirmasi nama
pasien, sisi operasi, telah menandai sisi yang di operasi. Sebagai
contoh, perawat secara lisan mari kita Time Out dan kemudian
melanjutkan apakah semua orang setuju bahwa ini adalah X pasien,
mengalami Hernia Inguinal kanan. Jika pasien tidak dibius maka
pasien dapat mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini dilakukan
untuk memastikan tim bedah tidak melakukan salah sisi pada
pasien.

25

3) Antisipasi peristiwa kritis


Komponen yang penting dalam operasi adalah mengantisipasi
keadaan yang membahayakan, komunikasi tim yang efektif, kerja
tim yang efisiensi dan pencegahan komplikasi.
4) Dokter review: apa langkah kritis, durasi operasi dan kehilangan
darah diantisipasi?
Diskusi

langkah-langkah

kritis

yang

dilakukan

untuk

meminimalkan risiko pembedahan. Semua anggota tim mendapat


informasi dari dokter. Risiko kehilangan darah yang cepat, cidera
atau morbiditas untuk meninjau langkah-langkah yang memerlukan
peralatan khusus. Sebelum dilakukan operasi pasien dan anggota
keluarga diberitahukan risiko tindakan dan kemungkinan perubahan
prosedur tindakan.
5) Anaesthesia team reviews: are there any patient-specific concerns?
Anggota tim anestesi memperhatikan penyakit penyerta
pasien. Tim anestesi harus memperhatikan rencana tindakan untuk
resusitasi, penggunaan darah pada pasien yang berisiko kehilangan
darah besar, ketidakstabilan hemodinamik atau lainnya.
6) Nursing team reviews: has sterility (including indicator results)
been confirmed? Are there equipment issues or any concerns?
Perawat menanyakan kepada dokter bedah mengenai alat-alat
yang diperlukan sehingga perawat memastikan instrumen di kamar
operasi telah steril dan lengkap.
7) Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan 60 menit terakhir.
Anggota tim yang bertanggung jawab pada pemberian
antibiotik profilaksis adalah dokter anestesi (WHO, 2009). Jika
antibiotik diberikan lebih dari 60 menit sebelumnya maka tim
bedah harus mempertimbangkan pemberian antibiotik ulang pada
pasien.
8) Ahli bedah akan memastikan pemeriksaan penunjang berupa foto
apakah perlu ditampilkan di kamar operasi.

26

Dokter bedah memberi keputusan apakah foto penunjang


diperlukan dalam pelaksaan operasi atau tidak. Jika foto penunjang
diperlukan tapi tidak ada maka harus diperoleh.

c. Sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out)


1) Procedure Recorded
Koordinator checklist mengkonfirmasi pada dokter bedah dan
tim apakah prosedur atau sebagai konfirmasi kami melakukan
prosedur X, benar?
2) Penghitungan instrumen, jarum dan kasa
Perawat instrumen memberitahukan secara lisan kepada tim
mengenai kelengkapan instrumen, jika jumlah tidak tepat maka
anggota tim memeriksa di lipatan kain operasi dan jika perlu
memeriksa di tempat sampah.
3) Jika ada spesimen harus dilakukan pelabelan
Pelabelan sangat penting dilakukan, hal ini dilakukan untuk
diagnostik spesimen patologi. Perawat sirkuler dan dokter bedah
membuat label dengan cara membuat label pada spesimen yang
diperoleh selama prosedur operasi dengan membuat pengantar
patologi dan menggambarkan bentuk dan ciri spesimen.
4) Are there any equipment problems to be addressed?
Apakah ada masalah peralatan di kamar operasi yang bersifat
universal sehingga koordinator harus mengidentifikasi peralatan
yang bermasalah sehingga dapat ditangani.
5) Surgeon, Anaesthesia Professional And Nurse Review The Key
Concerns For Recovery And Management Of This Patient
Pada tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang
operasi. Dokter bedah, anestesi dan perawat harus memperhatikan
rencana pemulihan pasca operasi. Sebelum pasien dikeluarkan dari
ruang operasi anggota tim melakukan pemeriksaan keselamatan,
saat pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah

27

memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang


bertanggung jawab di ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini
adalah efisiensi dan tepat trasfer informasi penting untuk seluruh
tim (Scheidegger et al, 2009).

E. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi infeksi
Faktor internal :
- umur
- penyakit penyerta
- status nutrisi
- oksigenasi dan perfusi jaringan
- merokok
Faktor ekternal :
- Teknik pembedahan buruk
- Mobilisasi
- Pengobatan
- Manajemen luka yang tidak tepat
- Psikososial
- Infeksi

Komplikasi sectio
secarea
- Infeksi
- Perdarahan
- Luka kandung kemih
- Resiko ruptur uteri

Infeksi
post
operasi

Penurunan
kejadian
infeksi

Safety
surgery
checklist

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ( Mochtar (2012), Potter and Perry (2005),
WHO (2009).

28

F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian digambarkan dalam bagan sebagai berikut ;
Safety
surgery
checklist

Infeksi post
operasi
| Sectio secarea

Bagan 2.2 Kerangka Konsep Penelitian


G. Variabel Penelitian
Variabel atau perubah merupakan suatu konsep yang mempunyai variasi
nilai, dan variasi nilai itu tampak jika variabel didefinisikan secara operasional
dan ditentukan tingkatannya (Danim, 2003). Penelitian ini terdiri dari dua
variabel yaitu:
1. Variabel bebas penelitian adalah penggunaan safety surgery checklist
2. Variabel terikat penelitian adalah kejadian infeksi post operasi sectio
caesarea
H. Hipotesa
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil
sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2005). Hipotesa penelitian ini menggunakan hipotesa alternatif
(Ha) yaitu ada hubungan penggunaan safety surgery checklist terhadap
kejadian infeksi post operasi sectio secarea di RSUD Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai