ASUHAN KEPERAWATAN
PADANY.A DENGAN POST PARTUM SECTIO CAESAREA
DI RUANG VK RSU MUHAMMADIYAH BANDUNG TULUNGAGUNG
Yohanis Y. Kabnani
Mengetahui,
Kepala Bagian Ruang Intensif
RSU MUHAMMADIYAH BANDUNG TULUNGAGUNG
Kerugian :
1) Hemostasis lebih sulit dengan insisi vascular yang tebal
2) Pelekatan ke organ sekitarnya lebih mungkin
3) Plasenta anterior dapat ditemukan selama pemasukan
4) Penyembuhan terhambat karena involusi miometrial
5) Terdapat lebih besar risiko rupture uterus pada kehamilan berikutnya.
Indikasi janin
1) Kelainan letak.
2) Gawat janin
3) Prolapsus plasenta
4) Perkembangan bayi yang terlambat
5) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia.
b. Indikasi relatif
1) Riwayat seksio cesarea sebelumnya
2) Presentasi bokong
3) Distosia
4) Fetal distress
5) Preeklamsi berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
6) Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
7) Gemeli, menurut Eastman, seksio cesarea dianjurkan : a) Bila janin pertama letak
lintang atau presentasi bahu b) Bila terjadi interlock c) Distosia oleh karena tumor d)
IUFD (Intra Uterine Fetal Death)
c. Indikasi Sosial
1) Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya
2) Wanita yang ingin seksio cesarea elektif karena takut bayinya mengalami cedera
atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko kerusakan dasar panggul
3) Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau sexuality image setelah
melahirkan.
4. Kontraindikasi
Menurut Rasjidi (2009) kontraindikasi dari seksio cesarea adalah:
a. Janin mati
b. Syok
c. Anemia berat
d. Kelainan kongenital berat
e. Infeksi piogenik pada dinding abdomen
f. Minimnya fasilitas operasi seksio cesarea.
6. Pathway
7. Komplikasi
Komplikasi utama persalinan seksio cesarea adalah kerusakan organ-organ
seperti vesika urinasia dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anestesi,
perdarahan, infeksi dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada persalinan
seksio cesarea dibandingkan persalinan pervagina (Rasjidi, 2020).
Menurut Rasjidi (2021) takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih sering
terjadi pada persalinan seksio cesarea, dan kejadian trauma persalinan pun tidak dapat
disingkirkan. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya plasenta
previa, solusio plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri.
Sementara itu menurut Leveno (2009) menyatakan bahwa komplikasi
pascaoperasi seksio sesaria meningkatkan morbiditas ibu secara drastis dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Penyebab utamanya adalah endomiometritis,
perdarahan, infeksi saluran kemih, dan tromboembolisme. Infeksi panggul dan infeksi
luka operasi meningkat dan, meskipun jarang, dapat menyebabkan fasiitis
nekrotikans.
g. Menyusui
Menyusui dilakukan pada hari 0 post Sectio Caesarea. Apabila klien memutuskan
untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebat untuk menopang payudara yang bisa
mengurangi rasa nyeri pada payudara.
h. Pencegahan infeksi
pasca operasi Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari
demam dan tetap terjadi pada 20% wanita walaupun telah diberikan antibiotik
profilaksis. Sejumlah uji klinis acak telah membuktikan bahwa antibiotik dosis
tunggal dapat diberikan saat Sectio Caesarea untuk menrunkan angka infeksi.
i. Mobilisasi
Mobilisasai dilakukan secara bertahap meliputi miring kanan dan kiri dapat
dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi. Hari kedua post operasi penderita dapat
didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam. Kemudian posisi
tidur telentang dapat diubahmenjadi posisi setengah duduk. Selanjutnya dengan
berturrut-turut selama hari demi hari pasien dianjurkan belajar uduk selama sehari,
belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ketiga sampai hari
kelima pasca operasi sectio caesarea j. Kateterisasi Kandung kemih yang penuh
menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, meghalangi involusi
uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24-48 jam atau
lebih.
9. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola Pengkajian
Pola Fungsional Dongoes (2021) dan Kozier & Erb (2019)
1) Aktivitas dan istirahat
Gejala : kelemahan dan keletihan, keterbatasan dalam ambulasi,
perubahan pola istirahat, dan jam tidur pada malam hari, adanya faktor
mempengaruhi tidur misalnya nyeri dan ansietas.
2) Sirkulasi darah Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kurang
lebih 600- 800 ml. Volume darah menurun seperti sebelum hamil.
3) Integritas ego Gejala : faktor stress ( keuangan, pekerjaan, dan perubahan
peran) masalah dalam penampilan, misalnya lesi dalam pembedahan,
masalah tentang keluarga, penolakan terhadap keadaan saat ini, perasaan
tidak berdaya, putus asa, tidak bermakna, rasa bersalah dan depresi. Tanda
: ansietas, terjadi penolakan, menyangkal, menarik diri, marah, harga diri
rendah.
4) Eliminasi Kateter urinarius mungkin terpasang dengan urine berwarna
jernih pucat. Pasien yang tidak terpasang kateter tetap diajnurkan untuk
melakukan kateterisasi rutin kira-kira 12 jam pasca bedah, kecuali jika
pasien dapat buang air kecil sebanyak 100 cc atau lebih dalam suatu
jangka. Pasien kemungkinan mengalami konstipasi dengan tanda adanya
perubahan bising usus dan distensi abdomen.
5) Makanan atau cairan Gejala : membran mukosa yang kering ( pembatasan
masukan atau periode puasa pre operatif dan post operatif ) anoreksia,
mual, muntah, haus. Tanda : antopometri A : BB: TB: B : Hemoglobin :
Hematokrit(HCT) : C : mukosa bibir kering D :
6) Neurosensori Kerusakan gerakkan dan sensasi dibawah tingkatan anastesi
spinal epidural. Setalah 24 jam pasien boleh duduk, miring ke kanan,
miring ke kiri serta melipat kaki agar perdarahan lancar.
7) Nyeri atau ketidaknyamanan Terdapat beberapa cara untuk mengkaji klien
dengan nyeri. Diantaranya adalah (pengkajian PQRST) :
a) Lokasi Nyeri
Untuk memastikan lokasi nyeri yang dialami klien, perawat harus
meminta klien menunjukan daerah yang dirasakan tidak nyaman bagi
klien.
b) Skala Intensitas atau Tingkat Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah
dalam menentukan intensitas nyeri klien. Sebagian besar skala
menggunakan rentang 0-10 dengan 0 mengindikasikan “tidak
nyeri” dan nomor tertinggi mengindikasikan “kemungkinan nyeri
terhebat” bagi klien tersebut. Dimasukanya kata-kata penjelas pada
skala dapat membantu beberapa klien yang mengalami kesulitan
dalam menentukan nilai nyerinya. Klien diminta untuk
menunjukkan skala nilai yang paling baik mewakili intesitas
nyerinya. Tidak semua klien dapat mengerti atau menghubungkan
nyeri yang dirasakan pada skala intensitas nyeri berdasarkan angka.
Anak-anak yang tidak dapat mengkomunikasikan
ketidaknyamanan secara verbal dan klien lansia yang mengalami
kerusakan kognitif atau sulit berkomunikasi tidak dapat
menghubungkan nyeri yang dirasakan pada skala intensitas nyeri
berdasarkan angka. Maka dari itu skala tingkat nyeri wajah adalah
cara yang efektif untuk klien tersebut. Skala wajah memiliki skala
nomor pada tiap ekspresi sehingga intensitas nyeri dapat
didokumentasikan. Jelaskan pada klien bahwa setiap wajah adalah
wajah seseorang, yang terlihat bahagia karena ia tidak merasa nyeri
(sakit) dan yang terlihat sedih karena ia merasakan nyeri (sakit).
c) Kualitas Nyeri
Penjelasan dengan kata sifat membantu orang untuk
mengkomunikasikan kualitas nyeri. Beberapa istilah yang sering
digunakan klien untuk menggambarkan nyeri misalnya terasa
seperti terbakar, seperti tertusuk, panas, tidak dapat ditahan dll.
Perawat perlu mencatat kata-kata sebenarnya yang digunakan klien
dalam menggambarkan nyeri karena kata-kata klien lebih akurat
dan deskriptif.
d) Pola Nyeri
Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kapan nyeri berulang.
Perawat perlu menanyakan kepada klien saat kapan nyeri terjadi,
berapa lama nyeri berlangsung, dan apakah terjadi nyeri berulang.
e) Faktor Presipitasi
Aktivitas tertentu terkadang dapat mengakibatkan nyeri. Seperti
aktivitas-aktivitas yang berat pada seseorang yang berisiko
mengalami nyeri akan menyebabkan nyeri terjadi. Faktor
lingkungan seperti kondisi dingin atau panas yang ekstrem dan
kelembaban yang ekstrem dapat mempengaruhi terjadinya nyeri.
Selain itu stressor fisik dan emosional juga dapat menyebabkan
nyeri terjadi.
11) Pembelajaran
Respon klien terhadap ketidaktahuan
12) Higiene
Dilakukan personal higiene yang mungkin dibantu pihak keluarga
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemindaian CT Untuk mendeteksi perbedaan kecepatan jaringan
2) Magneti Resonance Imaging (MRI) Menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan
pemindaian CT
3) Pemindaian positron emission tomography (PET) Untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik,
atau aliran darah dalam otak
4) Uji laboratorium
a) Fungsi lumbal Menganalisis cairan serebrovaskular
b) Hitung darah lengkap Mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c) Panel elektrolit
d) AGD
e) Kadar kalsium darah
f) Kadar natrium darah
g) Kadar magnesium darah
2. Diagnosa Keperawatan
Batasan karakteristik
1) Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien
yang tidak dapat mengungkapkannya
2) Diaphoresis
3) Dilatasi pupil
4) Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata berpencar atau tetap pada satu focus, meringis)
5) Focus menyempit (mis., persepsi waktu , proses berpikir, interaksi dengan
orang dan lingkungan)
6) Focus pada diri sendiri
7) Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
8) Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar instrument
nyeri
9) Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas
10) Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis, waspada)
11) Perilaku distraksi
12) Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah. Frekuensi jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan endtidal karbon dioksida [CO2])
13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
14) Perubahan selera makan
15) Putus asa
16) Sikap melindungi area nyeri
17) Sikap tubuh melindungi
Factor yang berhubungan
1) Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)
2) Agens cedera fisik (mis., abses, amputasi, luka bakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)
3) Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agens
mustard) (NANDA, 2018)
Berpakaian :
1) Hambatan memilih pakaian
2) Hambatan mempertahankan penampilan yang memuaskan
3) Hambatan mengambil pakaian
4) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh atas
5) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh bawah
6) Hambatan menggunakan alat bantu
7) Hambatan menggunakan resleting
8) Ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian (mis., blus, kaus kaki, sepatu)
9) Ketidakmampuan memadupadankan pakaian
10) Ketidakmampuan mengancingkan pakaian
11) Ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian (mis., blus, kaus kaki, sepatu)
Factor yang berhubungan Mandi :
1) Ansietas 2) Gangguan fungsi kognitif 3) Gangguan musculoskeletal 4)
Gangguan neuromuscular 5) Gangguan presepsi 6) Kelemahan 7) Kendala
lingkungan 8) Ketidakmampuan merasakan bagian tubuh 9) Ketidakmampuan
merasakan hubungan spasial 10) Nyeri 11) Penurunan motivasi
3. Intervensi
a. NOC (Nursing Outcome Clasification)
Menurut Moorhead dkk, (2019) Nursing Outcome Clasification (NOC) yaitu :
3) Risiko infeksi
a) Keparahan infeksi (0703)
01 Kemerahan 12345
02 Vesikel yang tidak mengeras permukaannya 12345
03 Cairan [luka] purulent 12345
05 Drainase purulent 12345
07 Demam 12345
29 Hipotermia 12345
30 Ketidakstabilan suhu 12345
33 Nyeri 12345
34 Jaringan lunak 12345
11 Malaise 12345
12 Menggigil 12345
31 Lethargy 12345
32 Hilang nafsu makan 12345
26 Peningkatan jumlah sel darah putih 12345
27 Depresi jumlah sel darah putih 12345
(4) Evaluasi keefektifan analgesik dengan interval yang teratur pada pemberian
pertama kali, dan observasi tanda dan gejala efek samping (misal depresi
pernafasan, mual, muntah,mulut kering, mual).
(5) Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya efek samping.
(6) Lakukan tindakan untuk menurunkan efek samping analgesik ( misal, iritasi
lambung, dan konstipasi).
(7) Kolaborasikan dengan dokter apakah obat,dosis,rute pemberian, atau
perubahan interval dibutuhkan, buat rekomendasi khusus berdasarkan prinsip
analgesic.
2) Risiko infeksi
a) Perawatan area sayatan (3440)
(1) Jelaskan prosedur pada pasien, gunakan persiapan sensorik
(2) Periksa daerah sayatan terhadap kemerahan, bengkak, atau tanda-tanda
dehiscence atau eviserasi
(3) Catat karakteristik drainase
(4) Monitor proses penyembuhan di daerah sayatan
(5) Bersihkan mulai dari area yang bersih ke area yang kurang bersih
(6) Monitor sayatan untuk tanda dan gejala infeksi
(7) Arahkan pasien cara merawat luka insisi selama mandi
(8) Arahkan pasien dan/atau keluarga cara merawat luka insisi, termasuk tanda-
tanda dan gejala infeksi
Secara mandiri
Adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan intruksi dari
dokter dan lainnya
Secara ketergantungan
Adalah kegiatan yang memerlukan kerja sama dengan dokter dan lainnya
Rujukan
Adalah kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan
tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk mengukur
respons klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan
(Potter & Perry, 2018).
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang terjadi pada setiap langkah dari proses keperawatan
dan pada kesimpulan (Herdman, 2018). Evaluasi keperawatan dicatat disesuaikan dengan
setiap diagnosa keperawatan.
Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan meliputi data subyektif (S), data obyektif (O),
analisa permasalahan (A) klien berdasarkan S dan O, serta perencanaan ulang (P)
berdasarkan hasil analisa data diatas. Evaluasi ini juga disebut evaluasi proses. Semua itu
dicatat pada formulir catatan perkembangan (progress note).
DAFTAR PUSTAKA
Aprina dan Anita. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Persalinan
Sectio Caesarea . Jurnal Kesehatan, 8 (1), 90-99
Aizid, R (2019). Sehat dan cerdas dengan terapi musik. Jogjakarta: laksana
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika
Barbara. (2020). Paradigma for Psychopatology. Jakarta: EGC
Berhimpong, M dkk. (2018). Perbandingan premedikasi fentanyl i mcg IV dan 2
mcg IV terhadap tekanan darah dan nadi akibat intubasi jalan nafas pada
pasien yang menjalani pembedahan elektif. Jurnal e Clinic (eCl), 3 (1)
Bulechek, GM, dkk. (2019). Nursing Intervention Classification (NIC), edisi 5.
Jakarta : Elsevier
Cahyono. (2020). Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan Nyeri Pada
Pasien Post Operasi Sectio Caesarea Pada Hari Ke 1-2. Jurnal AKP, 5 (2),
13-18
Carpenito, L. J. (2018). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek Klinik
(Terjemahan) Edisi 6. Jakarta: EGC
Doengoes, ME, dkk. (2018). Manual Diagnosis Keperawatan : rencana,
intervensi & dokumentasi asuhan keperawatan. Jakarta : EGC
Dongoes. (2020). Asuhan Keperawatan Doengoes Edisi 3. Jakarta : EGC
Dzulyadjaeni, S, (2019). Sectio caesarea dalam penatalaksanaaan medis.
Surabaya : Mahesa Jaya
Edward R. (2019). Praktik Nafas Dalam. Kesehatan Anak, (16), 231–237
Gill. ( 2020 ). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan
Fitriyah, Pipit C dkk. (2019). Hubungan Obesitas Dengan Kadar Asam Urat
Darah. Surya 2 (9)
Gondo, H.K. (2020). Pendekatan nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri saat
persalinan. Jurnal CDK 185 38 (4)
Kozier, Erb, (2021). Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5.
Jakarta: EGC