Disusun Oleh :
Rahma Anggun Hairani
Mengetahui
Dosen Pembimbing
Kehingan
Berduka
Anggota baru
Sayatan pada
Tindakan anestesi perut
Tonus otot
melemah pada terputusnya Defisit
kandung kemih Gangguan
inkontinensia mobilitas fisik perawatan
jaringan diri
Gangguan
eliminasi urin
Keluarnya hormon
histamin dan Risiko tinggi
prostaglandin Infeksi
Nyeri akut
7. Komplikasi
Komplikasi utama persalinan seksio cesarea adalah kerusakan organ-organ
seperti vesika urinasia dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi
anestesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada
persalinan seksio cesarea dibandingkan persalinan pervagina (Rasjidi, 2009).
Menurut Rasjidi (2009) takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih sering terjadi
pada persalinan seksio cesarea, dan kejadian trauma persalinan pun tidak dapat
disingkirkan. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya plasenta
previa, solusio plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri.
Sementara itu menurut Leveno (2009) menyatakan bahwa komplikasi
pascaoperasi seksio sesaria meningkatkan morbiditas ibu secara drastis
dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Penyebab utamanya adalah
endomiometritis, perdarahan, infeksi saluran kemih, dan tromboembolisme. Infeksi
panggul dan infeksi luka operasi meningkat dan, meskipun jarang, dapat
menyebabkan fasiitis nekrotikans.
8. Penatalaksanaan Post Sectio Caesarea
Perawatan post Sectio Caesarea menurut Rasjidi (2009) yaitu :
a. Ruang Pemulihan
Dalam ruang pemulihan prosedur yang harus dilakukan yaitumemantau dengan
cermat jumlah perdarahan dari vagina dan palpasi fundus uteri untuk
memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik.
b. Pemberian Cairan Intravena
Perdarahan yang tidak disadari di vagina selama tindakan dan perdarahan yang
tersembunyi didalam uterus atau keduanya, sering menyebabkan perkiraan
kehilangan darah menjadi lebih rendah daripada sebenarnya. Cairan intravena yang
perlu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan klien yaitu larutan Ringer Laktat atau
larutan Kristaloid ditambah Dektrosa 5%. Bila kadar Hb rendah diiberikan transfusi
darah sesuai kebutuhan.
c. Tanda-Tanda Vital
Setelah pulih dari ansetesi, observasi pada klien dilakukan setiap setengah jam
setelah 2 jam pertama dan tiap satu jam selama minimal 4 jam setelah didapatkan
hasil yang stabil. Tanda vital yang perlu dievaluasi yaitu Tekanan darah, Nadi,
Jumlah urin, Jumlah perdarahan, Status fundus uteri, Suhu tubuh.
d. Analgesik
Pemberian analgesik dapat diberikan paling banyak setiap 3 jam untuk mengurangi
nyeri yang dirasakan. Pemberian analgesik dapat berupa Meperidin 75-100mg
intramuskuler dan morfin sulfat 10- 15mg intramuskuler.
e. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria biasanya dapat dilepas dalam waktu 12 jam setelah operasi
dilakukan. Sedangkan untuk makanan padat dapat diberikan kurang lebih 8 jam
stelah operasi, atau jika klien tidak mengalami komplikasi.
f. Pemeriksaan laboratorium
Hematrokit secara rutin diukur pada pagi hari stelah pembedahan. Pemeriksaan
dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan darah yang banyak selama operasi
atau menunjukkan tanda-tanda lainyang mengarah ke hipovoemik.
g. Menyusui
Menyusui dilakukan pada hari 0 post Sectio Caesarea. Apabilaklien memutuskan
untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebatuntuk menopang payudara yang bisa
mengurangi rasa nyeri pada payudara.
h. Pencegahan infeksi pasca operasi
Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari demam dan tetap
terjadi pada 20% wanita walaupun telah diberikan antibiotik profilaksis. Sejumlah
uji klinis acak telah membuktikan bahwa antibiotik dosis tunggal dapat diberikan
saat Sectio Caesarea untuk menrunkan angka infeksi.
i. Mobilisasi
Mobilisasai dilakukan secara bertahap meliputi miring kanan dan kiri dapat
dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi. Hari kedua post operasi penderita dapat
didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam. Kemudian posisi
tidur telentang dapat diubahmenjadi posisi setengah duduk. Selanjutnya dengan
berturrut-turut selama hari demi hari pasien dianjurkan belajar uduk selama sehari,
belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ketiga sampai hari kelima
pasca operasi sectio caesarea
j. Katerisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, meghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24-48 jam atau lebih.
B. Solusio Plasenta
1. Definisi
Gambar Normal
dan Solutio Plasent
2. Klasifikasi
Menurut (Norma, 2013) solusio plasenta di klasifikasikan menjadibeberapa
tipe :
a. Faktor kardiorenovaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan
eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi
pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang
hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya
hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta
cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu
b. Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri
yang menuju ke ruangan interviler, maka terjadilah anoksemia dari jaringan
bagian distalnya. Sebelum ini menjadi nekrotis, spasme hilang dan darah
kembali mengalir ke dalam intervili, namun pembuluh darah distal tadi
sudah demikian rapuhnya serta mudah pecah, sehingga terjadi hematoma
yang lambat laun melepas plasenta dari rahim. Darah yang tekumpul
dibelakang plasenta disebut hematoma retroplasenter.
c. Faktor trauma
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Anamnesis.
b. Inspeksi.
c. Palpasi
d. Auskultasi
f. Pemeriksaan Laboratorium
2) Darah.
3) Tepian plasenta.
6. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya
plasenta yang terlepas,usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta
berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
a. Syok perdarahan
b. Gagal ginjal
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
3. Tanda-tanda vital ibu hamil apakah dalam rentang normal atau terjadi
hipotensi, takikardi atau keduanya. Hipertensi mungkin apat terjadi pada
awal abruption plasenta. Pemantauan kondid janin secara elektronik dapat
menentukan denyut jantung janin, adanya percepatan, dan respon janin
terhadap aktivitas uterus.
4. Kontraksi uterus: penggunaan monitor eksterna dan menentukan frekuensi
dan lamanya kontraksi. Tekanan intrauterus dapat mengidentifikasi kontraksi
hipertonik dan menungkatkan hubungan irama istirahat dengan obruptio
plasenta. Palpasi dapat mengidentifikasi apakah uterus mengalami relaksasi
antara kontraksinya atau tidak.
5. Riwayat kehamilan (gravid, para, riwayat aborsi, dan melahirkan bayi
premature).
6. Lamanya usia kehamilan (HTHP, tinggi fundus, hubungan tinggi fundus
dengan usia kehamilan) jika terjadi perdarahan kedalam miometrium, fundus
akan membesar sesuai dengan perdarahan. Perawat mengonservasi dan
melaporkan ukuran tinggi fundus yang akan menunjukkan bahwa perdarahan
kedalam otot uterus sedang terjadi.
7. Data laboraturium (Hb, Ht, golongan darah, pembekuan darah). Data
laboraturium diperoleh untuk mempersiapkan tranfusi darah yang diperlukan.
Disamping pengkajian fisik, respon emosi ibu hamil dan pasangan juga
harus diperhatikan. Mereka sering merasa cemas, sedih, ragu, dan aktivitas
yang berlebihan. Mereka mugkin memiliki pengetahuan yang sedikit
mengenai manajemen kesehatan dan tidak menyadari bahwa janin akan
segera lahir,sehingga penjelasan prosedur operasi merupakan hal yang
penting.Mereka mungkin merasa takut dan khawatir tentang kehidupan ibu
dann janin.