Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN POST SECTIO CAESAR

Disusun oleh :
Andri Yusia Tarigan (520006)
Ch. Sri Tanjung Sudewi (520020)
Elva Nur Paradinah (520033)
Hayu Parashati (520045)
Indah Handayani Sukarno (520052)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA

I. Konsep Dasar
A. Sectio Caesarea
1. Definisi sectio caesarea
Persalinan sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
dengan dilakukan insisi pada dinding perut dan rahim, dengan syarat rahim dalam
kcadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2011).
Sectio caesarea merupakan suatu tindakan pengeluaran janin dan plasenta melalui
tindakan insisi pada dinding perut dan dinding rahim dalam keadaan utuh
(Ratnawati, 2016).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
dinding uterus melalui dinding perut (Hartanti, 2014). Sectio caesarea adalah suatu
pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada pada dinding abdomen dan
uterus (Hartanti, 2014). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa sectio caesarea merupakan salah satu cara persalinan, yang mana janin
dikeluarkan dengan dilakukan insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus,
dengan syarat berat janin diatas 500 gram dan rahim utuh.
2. Etiologi
Adapun penyebab dari sectio caesarea dibedakan menjadi 2 yaitu penyebab yang
berasal dari ibu dan penyebab yang berasal dari janin. Pada ibu, ada sejarah
kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, plasenta
previa terutama pada primigravida, solutsio plasenta tingkat I-II, komplikasi
kehamilan, kehamilan yang di sertai penyakit seperti jantung dan diabetes miletus,
gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan lain sebagainya).
Selain itu penyebab yang berasal dari ibu terdapat beberapa etiologi yang menjadi
indikasi medis dilaksanakannya sectio caesarea antara lain : CPD (Chepalo Pelvik
Disproportion), PEB, KPD, dan faktor hambatan jalan lahir. Penyebab terjadinya
sectio caesarea yang berasal dari janin dikarenakan gawat janin, mal presentasi,
mal posisi kedudukan janin, prolapses tali pusat dengan pembukaan kecil,
kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi ( Nurarif & Kusuma, 2015).
3. Klasifikasi Sectio Caesarea
Klasifikasi sectio caesarea menurut (Prawirohardjo 2010), antara lain:
a. Sectio caesarea klasik, yaitu pembedahan secara sanger
b. Sectio caesarea transperitoneal profunda (supra cervicalis 5 lower segmen
caesarean section)
c. Sectio caesarea diikuti dengan histerektomi (caesarean hysterectomy-seksio
histerektomi)
d. Sectio caesarea ekstraperitoneal
e. Sectio caesarea vaginal

Klasifikasi sectio caesarea menurut Hartanti (2014), yaitu diantaranya:

a. Segmen bawah: insisi melintang


Sectio caesarea tipe ini memungkinkan abdomen dibuka dan uterus
disingkapkan. Lipatan vesicouterina (bladder flap) yang terletak dengan
sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat melintang,
lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama-sama kandung kemih
didorong kebawah serta ditarik agar tidak menutupi lapang pandang.
b. Segmen bawah: insisi membujur
Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan dengan gunting tumpul
untuk menghindari cedera pada bayi. Keuntungan tipe ini yaitu dapat
memperlebar insisi keatas apabila bayi besar, pembentukan segmen bawah
tidak baik, terdapat malposisi janin seperti letak lintang atau adanya anomali
janin seperti kehamilan kembar yang menyatu. Kerugiannya adalah perdarahan
dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot.
c. Sectio Caesarea Klasik Insisi
Longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel kedalam dinding anterior
uterus dan dilebarkan keatas serta kebawah dengan gunting berujung tumpul.
d. Sectio Caesarea Ekstraperitonial
Pembedahan ini dilakukan guna untuk menghindari perlunya histerektomi pada
kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah peritonitis
generalisata yang sering berakibat fatal. Teknik pada prosedur ini relatif sulit,
sering tanpa sengaja masuk kedalam kavum peritonei dan insidensi cedera
vesika urinaria meningkat.
e. Histerektomi Caesarea
Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang dilanjutkan dengan
pengeluaran uterus.
4. Pathways
Indikasi bayi
Indikasi ibu
Fetal distress, giant baby,
Preeklampsia berat,
posisi bayi (letak
ketuban pecah dini,
sungsang, oblique)
cephalopelvic
disproportion, miopi Sectio Caesarea

Luka Sectio Pengaruh anestesi Adaptasi ibu post


Caesarea spinal partum

Tonus otot kandung


Trauma jaringan Perubahan peran
kemih menurun

Distensi kandung Kurang


Jaringan terputus Jaringan terbuka
kemih pengetahuan
tentang teknik
menyusui
Histamin dan Proteksi kurang Perubahan
prostaglandin keluar eliminasi urin
Sekresi oksitosin
terhambat
Merangsang area Gangguan
Invasi bakteri
sensorik eliminasi urine

Pressure the
Nyeri akut ejection of
Resiko infeksi
breast feeding

Hambatan Menyusui tidak Ineffective


mobilitas fisik efektif breast feeding
5. Patofisiologi
Sectio Caesarea adalah suatu proses persalinan melalui pembedahan pada bagian
perut dan Rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas
500 gram. Selain berasal dari faktor ibu seperti panggul sempit absolut, kegagalan
melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor – tumor jalan
lahir yang menimbulkan obstruksi. Indikasi dilakukannya Sectio Caesarea dapat
berasal dari janin seperti kelainan letak, gawat janin, prolapsus plasemta. Setiap
operasi Sectio Caesarea anestesi spinal lebih banyak dipakai karena lebih aman
untuk janin. Tndakan anestesi yang diberkan dapat mempengaruhi tonus otot pada
kandung kemih sehingga mengalami penurunan yang menyebabkan gangguan
eliminasi urin.
Sayatan pada perut dan rahim akan menimbulkan trauma jaringan dan terputusnya
inkontinensia jaringan, pembuluh darah, dan saraf disekitar daerah insisi. Hal
tersebut merangsang keluarnya histamine dan prostaglandin yang akan
menyababkan nyeri pada daerah insisi. Rangsangan nyeri yang dirasakan dapat
menyebabkan munculnya masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik. Dengan
adanya jaringan terbuka juga akan menimbulkan munculnya risiko tinggi terhadap
masuknya bakteri dan virus yang akan menyebabkan infeksi apabila tidak
dilakukan perawatan luka yang baik.
6. Manifestasi Klinik
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus terletak di umbilicus
d. Aliran lockhea sedang bebas membeku yang tidak berlebihan
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan
f. Menahan batuk akibat rasa nyeri yang berlebihan
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
b. Pemantauan EKG
c. JDL dengan diferensial
d. Elektrolit
e. Hemoglobin
8. Komplikasi Sectio Caesarea
Komplikasi yang timbul akibat dilakukannya tindakan sectio caesarea menurut
(Khasanah, 2014) antara lain :
a. Komplikasi pada Ibu
1) Infeksi luka insisi
2) Perdarahan
3) Luka kandung kemih
b. Komplikasi pada Janin
1) Kematian perinatal
2) Hipoksia janin
9. Penatalaksanaan
Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya :
a. Penatalaksanaan secara medis
1) Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam
Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
2) Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
3) Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain.
Walaupun pemberian antibiotika sesudah Sectio Caesaria efektif dapat
dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
4) Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
b. Penatalaksanaan secara keperawatan
1) Periksa dan catat tanda – tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama
dan 30 menit pada 4 jam kemudian.
2) Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat.
3) Mobilisasi Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari
tempat tidur dengan dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita
sudah dapat berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.

B. Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Definisi Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda mulai
persalinan dan ditunggu satu jam sebelum terjadi in partu (Manuaba, 2011).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum persalinan mulai pada
tahapan kehamilan manapun (Arma, dkk 2015). Sedangkan menurut (Sagita,
2017) ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan berupa air-air dari
vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan pecah dini
terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Cairan keluar melalui selaput
ketuban yang mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai 28
minggu dan setidaknya satu jam sebelum waktu kehamilan yang sebenarnya.
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami KPD.
Jadi ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini dapat berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak
antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten atau
dengan sebutan Lag Period. Ada beberapa perhitungan yang mengukur Lag
Period, diantaranya 1 jam atau 6 jam sebelum intrapartum, dan diatas 6 jam
setelah ketuban pecah. Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah
pecah, maka dapat terjadi infeksi pada ibu dan juga bayi (Fujiyarti, 2016).
2. Etiologi
Adapun penyebab terjadinya ketuban pecah dini merurut (Manuaba, 2011) yaitu
sebagai berikut :
a. Multipara dan Grandemultipara
b. Hidramnion
c. Kelainan letak: sungsang atau lintang
d. Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)
e. Kehamilan ganda
f. Pendular abdomen (perut gantung)
Adapun hasil penelitian yang dilakukan (Rahayu and Sari 2017) mengenai
penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa kejadian KPD
mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37 minggu,
pembesaran uterus normal dan letak janin preskep.
3. Tanda dan gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina,
aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, berwarna pucat,
cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena uterus diproduksi sampai
kelahiran mendatang. Tetapi, bila duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah
terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara. Sementara itu, demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut
jantung janin bertambah capat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi
(Sunarti, 2017).
4. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah tepi
robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh
infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada
amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan
retikuler atau trofoblas (Mamede dkk, 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan biokimia
yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur,
jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput
ketuban diidentifikasi sebagai suatu zona “restriced zone of exteme altered
morphologi (ZAM)” (Rangaswamy, 2012).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya sebuah area
yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput ketuban di
daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2 – 10% dari keseluruhan
permukaan selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut
menemukan bahwa area ini ditandai dengan adanya penigkatan MMP-9,
peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan
myofibroblas (Rangaswany dkk, 2012).
Penelitian oleh (Rangaswamy dkk, 2012), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal
akan pecah dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan
untuk robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
mendukung konsep adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di
sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona
lainnya seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan
histologi. Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah
selaput ketuban dan berperan sebagai initial breakpoint (Rangaswamy dkk,
2012).
Penelitian lain oleh (Reti dkk, 2011), menunjukan bahwa selaput ketuban di
daerah supraservikal menunjukan penigkatan aktivitas dari petanda protein
apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2.
Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien
dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini,
dan laju apopsis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks
dibandingkan daerah fundus (Reti dkk, 2011).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur
intrinsik maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari
caspase. Jalur intrinsik dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan
pada apoptosis selaput ketuban pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini
dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved
caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah supraservikal, di mana protein-protein
tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas dan ligannya,
Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur ekstrinsik juga ditemukan pada seluruh
sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda bermakna antara daerah
supraservikal dengan distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak berperan banyak pada
remodeling selaput ketuban (Reti dkk, 2011).
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim matriks
metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat oleh
tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang
persalinan, terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan
TIMP, penigkatan aktivitas kolagenase dan protease, penigkatan tekanan
intrauterin (Weiss, 2011).
5. Faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini
Menurut (Sudarto, 2016), Kejadian Pecah Dini (KPD) dapat disebabkan oleh
beberapa faktor meliputi :
a. Usia
Karakteristik pada ibu berdasarkan usia sangat berpengaruh terhadap kesiapan
ibu selama kehamilan maupun mengahdapi persalinan. Usia untuk reprosuksi
optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun. Di bawah atau di
atas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan.
Usia seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi sistem reproduksi,
karena organ-organ reproduksinya sudah mulai berkuarng kemampuannya dan
keelastisannya dalam menerima kehamilan.
b. Sosial Ekonomi
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
kesehatan di suatu keluarga. Pendapatan biasanya berupa uang yang
mempengaruhi seseorang dalam mempengaruhi kehidupannya. Pendapatan
yang meningkat merupakan kondisi yang menunjang bagi terlaksananya status
kesehatan seseorang. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang
menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatan sesuai
kebutuhan.
c. Paritas
Paritas merupakan banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak pertama
sampai dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu primipara,
multipara, dan grande multipara. Primipara adalah seorang wanita yang baru
pertama kali melahirkan dimana janin mencapai usia kehamilan 28 minggu
atau lebih. Multipara adalah seorang wanita yang telah mengalalmi kehamilan
dengan usia kehamilan 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilan 2 kali
atau lebih. Sedangkan grande multipara merupakan seorang wanita yang telah
mengalami hamil dengan usia kehamilan minimal 28 minggu dan telah
melahirkan buah kehamilannya lebih dari 5 kali. Wanita yang telah melahirkan
beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya serta
jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih berisiko akan mengalami
KPD pada kehamilan berikutnya.
Kehamilan yang terlalu sering, multipara atau grademultipara mempengaruhi
proses embriogenesis, selaput ketuban lebih tipis sehingga mudah pecah
sebelum waktunya. Pernyataan teori dari menyatakan semakin banyak paritas,
semakin mudah terjadinya infeksi amnion karena rusaknya struktur serviks
pada persalinan sebelumnya. KPD lebih sering terjadi pada multipara, karena
penurunan fungsi reproduksi, berkurangnya jaringan ikat, vaskularisasi dan
servik yang sudah membuka satu cm akibat persalinan yang lalu.
d. Anemia
Anemia pada kehamilan merupakan adalah anemia karena kekurangan zat
besi. Jika persendian zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan
mengurangi persendian zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia.
Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami
hemodelusi atau pengencangan dengan penigkatan volume 30% sampai 40%
yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu hamil yang
mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah,
mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan yang pada trimester pertama dan trimester ke tiga.
Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian intrauterin,
prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada
ibu, saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus, persalinan prematuritas,
ancaman dekompensasikordis dan ketuban pecah dini.
e. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas tinggi dapat
berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok menggandung lebih dari 2.500 zat
kimia yang teridentifikasi termasuk karbonmonoksida, amonia, aseton, sianida
hidrogen, dan lain-lain. Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan
gangguan-gangguan seperti kehamilan ektopik, ketuban pecah dini, dan resiko
lahir mati yang lebih tinggi.
f. Riwayat KPD
Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian ketuban
pecah dini dapat berpengaruh besar terhadap ibu jika menghadapi kondisi
kehamilan. Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban
pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat
penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya
ketuban pecah dini dan ketuban pecah preterm. Wanita yang pernah
mengalami KPD pada kehamilan menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita yang tidak pernah mengalami
KPD sebelumnya karena komposisi membran yang semakin menurun pada
kehamilan berikutnya.
g. Serviks yang Inkompetensik
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot- otot
leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit
membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan
janin yang semakin besar. Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu
kelainan anatomi yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium
uteri atau merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang
memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules
dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti
dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.

h. Tekanan Intra Uterin


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
1) Trauma : berupa hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis.
2) Gemelli : Kehamilan kembar dalah suatu kehamilan dua janin atau
lebih.
Pada kehamilan gemelli terjadinya distensi uterus yang berlehihan,
sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlehihan. Hal
ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak
ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah (Novihandari, 2016).
6. Komplikasi
Adapun pengaruh KPD terhadap ibu dan janin menurut (Sunarti, 2017) yaitu :
a. Prognosis Ibu
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada ibu yaitu infeksi intrapartal/
dalam persalinan, infeksi puerperalis/ masa nifas, dry labour/ partus lama,
perdarahan post partum, meningkatnya tindakan operatif obstetric (khususnya
SC), morbiditas dan mortalitas maternal.
b. Prognosis Janin
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada janin itu yaitu prematuritas
(sindrom distes pernapasan, hipotermia, masalah pemberian makanan
neonatal), retinopati premturit, perdarahan intraventrikular, enterecolitis
necroticing, ganggguan otak dan risiko cerebral palsy, hiperbilirubinemia,
anemia, sepsis, prolaps funiculli/ penurunan tali pusat, hipoksia dan asfiksia
sekunder pusat, prolaps uteri, persalinan lama, skor APGAR rendah,
ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, gagal ginjal, distres
pernapasan, oligohidromnion, sindrom deformitas janin, hipoplasia paru,
deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat), morbiditas dan
mortalitas perinatal (Marmi dkk, 2016).
7. Penatalaksanaan
Pastikan diagnosis terlebih dahulu kemudian tentukan umur kehamilan, evaluasi
ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin serta dalam keadaan inpartu
terdapat gawat janin. Penanganan ketuban pecah dini dilakukan secara
konservatif dan aktif, pada penanganan konservatif yaitu rawat di rumah sakit
(Prawirohardjo, 2011).
Masalah berat pada ketuban pecah dini adalah kehamilan dibawah 26 minggu
karena mempertahankannya memerlukan waktu lama. Apabila sudah mencapai
berat 2000 gram dapat dipertimbangkan untuk diinduksi. Apabila terjadi
kegagalan dalam induksi makan akan disetai infeksi yang diikuti histerektomi.
Pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan akan menambah reseptor
pematangan paru, menambah pematangan paru janin. Pemberian batametason 12
mg dengan interval 24 jam, 12 mg tambahan, maksimum dosis 24 mg, dan masa
kerjanya 2-3 hari, pemberian betakortison dapat diulang apabila setelah satu
minggu janin belum lahir. Pemberian tokolitik untuk mengurangi kontraksi
uterus dapat diberikan apabila sudah dapat dipastikan tidak terjadi infeksi
korioamninitis. Meghindari sepsis dengan pemberian antibiotik profilaksis
(Manuaba, 2011).
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada ibu hamil aterm atau preterm dengan
atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. Apabila janin hidup serta
terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih tinggi dari
badannya, bila mungkin dengan posisi sujud. Dorong kepala janin keatas degan 2
jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus
kain hangat yang dilapisi plastik. Apabila terdapat demam atau dikhawatirkan
terjadinya infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, makan
berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta UI intramuskular dan ampisislin 1 g
peroral.
Pada kehamilan kurang 32 minggu dilakukan tindakan konservatif, yaitu tidah
baring, diberikan sedatif berupa fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan antibiotik
selama 5 hari dan glukokortikosteroid, seperti deksametason 3 x 5 mg selama 2
hari. Berikan pula tokolisis, apanila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan. Pada
kehamilan 33-35 miggu, lakukan terapi konservatif selama 24 jam kemudian
induksi persalinan. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu dan ada his maka
pimpin meneran dan apabila tidak ada his maka lakukan induksi persalinan.
Apabila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan pembukaan kurang dari 5 cm atau
ketuban pecah lebih dari 5 jam pembukaan kurang dari 5 cm (Sukarni, 2013).
Sedangkan untuk penanganan aktif yaitu untuk kehamilan > 37 minggu induksi
dengan oksitosin, apabila gagal lakukan seksio sesarea. Dapat diberikan
misoprostol 25µg
– 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali (Khafidoh, 2014).

C. Induksi Gagal
1. Definisi induksi persalinan
Induksi persalinan adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap ibu hamil yang
belum inpartu baik secara operatif maupun medisinal untuk merangsang
timbulnyakontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. (Cuningham,2013)
2. Metode induksi persalinan
a. Medisinal
- Infus oksitosin
- Prostaglandin
- Cairan hipertonik intrauterin
Yang banyak digunakan saat ini adalah pemberian infus oksitosin.
b. Manipulatif/operatif
- Amniotomi
- Melepaskan selaput ketuban dari bagian bawah rahim
- Pemakaian rangsangan listrik
- Rangsangan pada puting susu
3. Indikasi
a. Indikasi Janin
- Kehamilan lewat waktu
- Ketuban Pecah Dini
- Janin mati
b. Indikasi Ibu
- Kehamilan dengan hipertensi
- Kehamilan 37 minggu dengan Diabetes Melitus
- Penyakit ginjal berat
- Hidramnion yang besar
- Primigravida tua
4. Kontraindikasi
a. Malposisi dan malpresentasi janin
b. Insufisiensi plasenta
c. Disproporsi sefalopelvik
d. Cacat Rahim
e. Grande multipara
f. Gemelli
g. Distensi rahim yang berlebihan
h. Plasenta previa
5. Syarat pemberian infus oksitosin
a. Kehamilan aterm
b. Ukuran panggul normal
c. Tidak ada CPD
d. Janin dalam presentasi kepala
e. Serviks sudah matang yaitu porsio teraba lunak, mulai mendatar dan sudah
mulai membuka
f. Bishop score > 8 (kemungkinan besar induksi berhasil)

Skor 0 1 2 3
Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6
serviks (cm)
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan -3 -2 -1 +1 +2
kepala diukur
dari bidang
Hodge III
Konsistensi Keras Sedang Lunak
serviks
Posisi serviks Ke belakang Searah sumbu Ke arah
jalan lahir depan

6. Komplikasi infus oksitosin


a. Tetania uteri, ruptur uteri
b. Gawat janin
7. Cara pemberian oksitosin drip
a. Kandung kemih dikosongkan
b. Oksitosin 5 IU dimasukkan ke dalam dextrose 5% 500 cc dimulai dengan 8
tetes permenit
c. Kecepatan dapat dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai tetes maksimal 60
tetes permenit
d. Pasien harus diobservasi ketat
e. Bila kontraksi rahim timbul secara teratur dan adekuat maka kadar tetesan
dipertahankan sampai persalinan selesai. Bila kontraksi rahim sangat kuat,
jumlah tetesan dapat dikurangi atau sementara dihentikan
f. Bila dalam pemberian oksitosin ditemukan penyulit pada ibu atau janin, infus
oksitosin harus dihentikan dan kehamilan diselesaikan dengan seksio sesarea

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Riwayat
Riwayat penyakit yang diderita pasien seperti DM, jantung, hipertensi,
hiperparatirodisme.
2. Pola Gordon
a) Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan Apakah klien tahu
tentang penyakitnya? Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika
terjadi rasa sakit? Apa yang dilakukan jika rasa sakitnya timbul? Apakah
pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya? Tanda dan gejala apa yang sering
muncul jika terjadi rasa sakit?
b) Nutrisi metabolik Apakah klien merasa mual/muntah/sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia? Makan/minu: frekuensi, jenis, waktu,
volume, porsi?
c) Eliminasi Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur,
frekuensi, waktu, warna, konsistensi, keluhan nyeri, bau, sejak kapan?
d) Aktivitas dan latihan Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas
(penkes, sebagian, total)? Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak,
batuk)?
e) Tidur dan istirahat Apakah tidur klien terganggu, penyebab? Berapa
lama, kualitas tidur (siang dan/malam) ? Kebiasaan sebelum tidur?
f) Kognitif dan persepsi sensori Sebelum sakit: Bagaimana menghindari
rasa sakit? Apakah mengalami nyeri (PQRST)? Apakah merasa pusing?
g) Persepsi dan konsep diri Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya
terkait dengan penyakitnya? Bagaimana harapan klien terkait dengan
penyakitnya?
3. Pengkajian Fisik
a) Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b) Tanda - tanda vital
Tekanan darah naik, respirasi norma, nadi meningkat dan regular

B. DIAGNOSA
1. D. 0077 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik yang ditandai
dengan mengeluh nyeri.
2. D. 0054 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri yang ditandai dengan
nyeri saat bergerak.
3. D.0029 Menyusui tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai ASI
4. D. 0142 Resiko infeksi berhubunga dengan efek prosedur infasif

C. INTERVENSI

No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi


1 D.0077 Nyeri akut L. 08066 Tingkat nyeri I 08238 Manajemen nyeri
berhubungan Ekspetasi : Menurun Tindakan :
dengan agen Kriteria hasil : Observasi: identifikasi
pencedera fisik 1. Keluhan nyeri lokasi, karakteristik, durasi,
yang ditandai meningkat (1) menjadi frekuensi, keualitas,
dengan mengeluh sedang (3) intensitas nyeri, skala nyeri
nyeri 2. Meringis meningkat (1) Terapeutik :
menjadi sedang (3) 1. Berikan teknik
3. Sikap protektif nonfarmakologis (teknik
meningkat (1) menjadi relaksasi)
sedang (3) 2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
Edukasi : jelaskan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi : kolaborasi
pemberian analgetik, jika
perlu
2 D. 0054 Gangguan L 05042 mobilitas fisik I.06171 Dukungan ambulasi
mobilitas fisik Ekspetasi : meningkat Tindakan :
berhubungan Kriteria hasil : Observasi :
dengan nyeri yang 1. pergerakan 1. identifikasi toleransi
ditandai dengan ekstremitas menurun fisik melakukan
nyeri saat bergerak (1) menjadi sedang ambulasi
(3) 2. monitor kondisi
2. gerakan terbatas umum selama
meningkat (1) ambulasi
menjadi sedang (3) terapeutik :
3. kelemahan fisik 1. anjurkan melakukan
meningkat (1) ambulasi dini
menjadi sedang (3) 2. libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
edukasi :
1. ajarkan ambulasi
sedrhana ( berjalan dari
tempat tidur ke kamar
mandi )

3 D.0029 Menyusui Kriteria Hasil : L.12393 Intervensi edukasi


tidak efektif a. Suplai ASI adekuat dari menyusui
berhubungan menurun (1) menjadi Observasi
dengan sedang (3) a. Identifikasi tujuan atau
ketidakadekuatan keinginan menyusui
b. Tetesan atau pancaran
suplai ASI ASI dari menurun (1) Terapeutik
menjadi sedang (3) a. Sediakan materi dan
media Pendidikan
kesehatan

b. Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan

Edukasi
- Ajarkan posisi menyusui
dan perlekatan dengan
benar
- Jelaskan manfaat
menyusui bagi ibu dan
bayi
- Berikan konseling
menyusui

4 D. 0142 Resiko L.14125 intergritas kulit dan I.14558 perawatan area insisi
infeksi berhubunga jaringan Tindakan :
dengan efek Ekspetasi : meningkat Observasi : periksa lokasi
prosedur infasif Kriteria hasil : insisi adanya kemerahan
1. kerusakan jaringan bengkak
meningkat (1) menjadi Terapeutik : bersihkan area
sedang (3) insisi dengan pembersih yang
2. kemerahan meningkat tepat
(1) menjadi sedang (3) Edukasi : ajarkan minimalkan
3. kerusakan lapisan kulit tekanan pada tempat insisi
meningkat (1) menjadi
sedang (3)
DAFTAR PUSTAKA

Arma, Nuriah, Nelly Karlinah, and Efrida Yanti. 2015. Bahan Ajar Obstetri Fisiologi –
Nuriah
Arma, Nelly Karlinah Dan Efrida Yanti - Google Books. Yogyakarta:Deepublish
Fujiyarti. 2016. “Hubungan Antara Usia Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan Kejadian
Ketuban Pecah Dini Di Puskesmas PONED Cingambul Kabupaten Majalengka Tahun 2016-
2017.” Vol 4: 1–9
Cuningham, Gery, et al.Wiliams Obstretrics,23 rd Ed United State of America: MC Graw
Hill Companies Inc,2013
Sagita Darma Sari, SST, M.Kes. 2017. Kehamilan, Persalinan, Bayi Preterm & Postterm
Disertai Evidence Based. Jakarta: Noerfikri
Manuaba. 2011. Kepaniteraan Klinik Obsterri & Ginekologi - Google Buku.Jakarta: EGC
Sunarti. 2017. “Manajemen Askeb Intranatal Pada Ny ‘R’ Gestasi 37-38 Minggu Dengan
KPD.” Ketuban Pecah Dini: 156.
Sudarto, Tunut. 2016. “Risiko Terjadinya Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Hamil Dengan
Infeksi Menular Seksual.” II: 126–31.
Novihandari, Anggie. 2016. “Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dengan Kala I
Memanjang Di Ruang VK RSUD Ciamis Kabupaten Ciamis.”
Dewi, Ni Putu A.L.R. 2014. Buku Panduan Penyakit Kista Ovarium. Bandung.
Hartanti, Septi. 2014. Asuhan keperawatan dengan Post Sectio Caesarea. Diakses tanggal 6
September 2021 http://repository.ump.ac.id/2643/
Khasanah. 2014. Asuhan keperawatan dengan post Sc. Diakses pada tanggal 6 September
2021 <http://resipotory.unisula.ac.id/
Manjoer, A.2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media.
Prawiroharjo, S.2011. Ilmu Kandungan. Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Prawirihardjo, Sarwono. 2011. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Smeltzer, dkk.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2. Jakarta: EGC.
TIM POKJA SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta :Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
TIM POKJA SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
TIM POKJA SLKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai