oleh:
Isti Puji Lestari, S.Ked
G1A217006
Pembimbing:
Dr.dr. Herlambang Noerjasin, Sp.OG, (K) FM
oleh:
Isti Puji Lestari, S.Ked
G1A217006
Pecah ketuban dini merujuk pada keadaan pasien dengan usia gestasi lebih
dari 37 minggu dan menunjukkan pecah ketuban sebelum terjadinya persalinan.
Sedangkan untuk pecah ketuban dini premature merupakan pecah ketuban yang
terjadi pada usia kehamilan sebelum 37 minggu. Pecah ketuban dini premature
(PPROM) yang terjadi pada usia kehamilan 24-37 minggu biasanya lebih sulit untuk
ditangani dibandingkan pecah ketuban dini pada usia kehamilan yang cukup bulan
atau aterm. (Jazayeri, Allahyar. 2018)
Pada keadaan tertentu (misalnya, perempuan yang patuh dan telah stabil di
rumah selama 72 jam, yang tinggal di dekat rumah sakit, dapat mempertahankan tirah
baring dan istirahat di rumah, dan yang bersedia memeriksa suhu mereka dua kali
sehari dan rutin), manajemen rawat jalan dapat dipertimbangkan. Namun, pada
beberapa pasien yang memenuhi semua persyaratan ini, pendekatan ini memiliki
risiko potensial untuk ibu dan janin,dan tidak jelas apakah pendekatan seperti itu akan
hemat biaya. (David. 2004)
Setelah periode awal pemantauan terus menerus denyut jantung janin dan
kontraksi uterus selama kurun waktu 24-48 jam, jika temuan sugestif meyakinkan
pengawasan, maka pasien akan dipertimbangkan dilakukan manajemen ekspektatif.
Secara umum, pasien akan dibaringkan di tempat tidur obstetri. Penatalaksanaan
dengan istirahat yang dimodifikasi umumnya direkomendasikan (dalam upaya untuk
meningkatkan reakumulasi cairan ketuban dan untuk meningkatkan perfusi
uteroplasenta dan dengan demikian juga dengan pertumbuhan janin) dengan
mengistirahatkan panggul (tidak ada tampon, douching, atau hubungan seksual).
Namun, data yang ada tidak menunjukkan manfaat untuk istirahat di tempat tidur
untuk kondisi kebidanan apa pun. Karena tirah baring dalam kehamilan dikaitkan
dengan peningkatan kemungkinan trombosis vena dalam, profilaksis untuk
mengurangi risiko ini harus dipertimbangkan. (David. 2004) (Jazayeri, Allahyar.
2018)
Pemantauan janin harus dilakukan setidaknya sekali sehari. Jika ada bukti
terjadinya kompresi tali pusat, pemantauan berkelanjutan harus dilakukan kembali.
Tanda-tanda vital ibu harus dipantau secara ketat. Takikardia dan demam, keduanya
menunjukkan tanda-tanda akan adanya infeksi chorioamnionitis dan memerlukan
evaluasi yang cermat untuk menentukan adanya infeksi intra-amnion, dimana
pemberian dan inisiasi antibiotik spektrum luas harus segera diberikan kepada pasien.
(Jazayeri, Allahyar. 2018)
Evaluasi awal dari pecah ketuban dini preterm (PPROM) harus mencakup
pemeriksaan spekulum steril untuk memastikan bahwa apakah benar telah terjadi
pecah ketuban. Biakan serviks termasuk Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorrh oeae serta biakan anovaginal untuk Streptococcus agalactiae dapat
dilakukan pemeriksaannya. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital ibu juga harus
dicatat, serta pemantauan janin dilakukan terus menerus sejak awal untuk menetapkan
status janin apakah ada tanda-tanda dari gawat janin. Dokumentasi usia kehamilan,
berat janin, presentasi janin, dan indeks cairan ketuban dari ultrasonografi (USG)
harus tersedia. (Simhan 2005)
Pemeriksaan dalam dengan jari atau vaginal digital harus dihindari, tetapi
inspekulo dapat dilakukan dan secara akurat dapat memperkirakan seberapa besar
telah terjadi dilatasi serviks. Pemeriksaan dalam yaitu dengan memasukkan jari
pemeriksa ke dalam vagina pada pecah ketuban dini preterm (PPROM) telah terbukti
memperpendek periode laten dari persalinan dan akan meningkatkan risiko infeksi
(Jazayeri,
pada pasien tanpa memberikan informasi klinis tambahan yang bermanfaat.
Allahyar. 2018)
Jika setelah evaluasi awal ibu dan janin ditentukan secara klinis stabil,
manajemen ekspektatif pecah ketuban dini preterm (PPROM) dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan kualitas janin saat dilahirkan. Risiko utama ibu dengan
manajemen ekspektatif pecah ketuban dini preterm (PPROM) adalah terjadinya
infeksi. Persentase risiko komplikasi dari PPROM ini yatiu korioamnionitis (13-
60%), endometritis (2-13%), sepsis (<1%), dan kematian ibu (1-2 kasus per 1000).
Komplikasi yang terkait dengan plasenta termasuk solusio plasenta (4-12%) dan
retensio plasenta atau perdarahan postpartum yang membutuhkan kuretase uterus
(12%). (Mercer. 2004)
Risiko dan manfaat potensial dari manajemen ekspektatif pada pasien pecah
ketuban dini premature ini harus didiskusikan dengan pasien dan keluarganya serta
informed consent harus diperoleh sebelum melakukan tindakan selanjutnya. Status
ibu dan janin perlu dievaluasi ulang setiap harinya dan keamanan serta manfaat
potensial dari manajemen ekspektatif harus dinilai ulang. Apabila kondisinya tetap
stabil, janin yang belum matang tersebut dapat mengambil manfaat dari manajemen
ekspektatif, bahkan jika hanya dalam jangka waktu yang pendek, dimana
dimungkinkan pemberian steroid dan antibiotik. Ketika janin telah cukup
bulan/aterm, manfaat dari manajemen ekspektatif PPROM menjadi tidak jelas dan
risiko infeksi lebih besar daripada manfaat potensial. (Jazayeri, Allahyar. 2018)
A. Antibiotik
Apusan perineum dan perianal (bukan serviks) untuk GBS harus diambil dari
semua wanita yang datang dengan pecaj ketuban dini prematur dengan status karier
GBS yang tidak diketahui. Keputusan untuk memulai antibiotik harus disesuaikan
dengan kebutuhan individu yang tergantung pada kemungkinan bahwa pasien akan
melahirkan dalam beberapa hari ke depan. Jika antibiotik dimulai dan keputusan
kemudian diambil untuk melanjutkan manajemen konservatif, antibiotik dapat
dihentikan dan dimulai kembali setelah pasien dalam persalinan jika kultur GBS
kembali positif. (David. 2004)
Dua dari studi terbesar yang telah melihat manfaat dari penggunaan antibiotik
dalam pecah ketuban dini preterm (PPROM) yaitu Institut Nasional Kesehatan Anak
dan Pengembangan Manusia - Maternal Fetal Medicine Units (NICHD-MFMU)
mengenai ketuban pecah dini dan percobaan ORACLE. Dalam studi NICHD,
antibiotik intravena digunakan selama 48 jam yaitu ampisilin 2 g tiap 6 jam dan
eritromisin 250 mg tiap 6 jam. Para pasien kemudian diberikan amoksisilin oral 250
mg tiap 8 jam dan salut enterik erythromycin-base 333 mg tiap 8 jam. Terapi
antibiotik ini diberikan selama 7 hari. Dalam studi ini, kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok antibiotik, memiliki durasi latensi yang jauh lebih
singkat. Kelompok antibiotik dua kali lebih mungkin dapat mempertahankan
kehamilan setelah 7 hari. Peningkatan latensi berlanjut hingga 3 minggu setelah
penghentian antibiotik. Morbiditas gabungan dan individual untuk neonatus lebih
rendah pada kelompok antibiotik. Insiden korioamnionitis dan sepsis neonatal,
termasuk sepsis streptokokus grup B juga menurun. (Jazayeri, Allahyar. 2018)
Berdasarkan bukti saat ini, penggunaan antibiotic selama 7 hari, seperti yang
diusulkan oleh studi NICHD-MFMU pada pecah ketuban dini harus menjadi rejimen
antibiotik yang digunakan pada pasien dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM)
yang sedang ditatalaksana secara ekspektatif. Ketika antibiotik lain digunakan untuk
indikasi lain, seperti infeksi saluran kemih pada pasien dengan pecah ketuban dini,
pemilihan harus dilakukan untuk menghindari terapi ganda. Sebagai contoh, seorang
pasien yang dirawat dengan sefalosporin untuk infeksi saluran kemih tidak
memerlukan lagi terapi penisilin. Pengguanaan antibiotik lebih lama dari 7 haripun
harus dihindari; karena hal tersebut belum terbukti lebih efektif dan dapat
menyebabkan munculnya resistensi dari organisme. (Jazayeri, Allahyar. 2018)
B. Kortikosteroid Antenatal
Penggunaan kortikosteroid untuk mempercepat kematangan paru harus
dipertimbangkan pada semua pasien wanita dengan pecah ketuban dini preterm
(PPROM) dengan risiko bayi lahir prematur dari usia kehamilan 24-34 minggu.
Periode laten telah menunjukkan terjadinya dipersingkat karena efek dari pemberian
kortikosteroid untuk membuat perbedaan dalam morbiditas neonatal; Namun, hal ini
jelas tidak terlalu menjadi masalah. Sebagian besar pasien dengan pecah ketuban dini
preterm (PPROM) tetap hamil dalam 48 jam dan dengan demikian akan mendapat
manfaat dari terapi kortikosteroid. Penggunaan steroid juga telah menimbulkan
pemikiran akan terjadinya peningkatan risiko infeksi pasca pemberian steroid.
Namun, saat ini bukti tidak mendukung masalah ini, dimana berdasarkan studi
individu dan meta-analisis; tidak ada perbedaan (baik tingkat infeksi yang lebih tinggi
(Jazayeri,
atau lebih rendah) yang telah diamati dengan penggunaan kortikosteroid.
Allahyar. 2018)
Rekomendasi ACOG:
Pemberian kortikosteroid tunggal direkomendasikan untuk wanita hamil
dengan usia kemalian 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur
dalam 7 hari dan wanita hamil dengan usia kehamilannya kurang dari 23
minggu jika persalinan segera terjadi.
Kortikosteroid antenatal yang diberikan pada wanita hamil untuk
penyelamatan tunggal dapat dipertimbangkan jika pengobatan sebelumnya
telah diberikan lebih dari 2 minggu sebelumnya, usia kehamilan kurang
dari 32 6/7 minggu, dan wanita tersebut dinilai oleh dokter di klinik
kemungkinan melahirkan dalam waktu satu minggu kedepan. Namun,
jadwal berulang yang dijadwalkan secara teratur atau lebih dari 2 kali tidak
direkomendasikan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai risiko,
manfaat, sertadosis optimal dan waktu pemberian tunggal dari terapi
steroid. (Jazayeri, Allahyar. 2018)
C. Tokolitik
Penyebab persalinan yang paling umum dalam pengaturan pasien dengan
pecah ketuban dini premature (PPROM) yaitu korioamnionitis yang mendasarinya.
Penggunaan tokolisis dalam manajemen tersebut tidak dibenarkan. Pada tokolitik,
pecah ketuban dini premature (PPROM) merupakan kontraindikasi relatif terhadap
penggunaan agen tokolitik. Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa
pemberian tokolisis menguntungkan bagi neonatus. (Mercer, 2007) (Jazayeri, Allahyar. 2018) (David.
2004)
D. Amnioinfusion
Amnioinfusion transervikal diketahui dapat meningkatkan pH arteri umbilicus
janin pada persalinan dan mengurangi variabel deselerasi persisten selama persalinan.
Amnioinfusion transervikal dihubungkan dengan perbaikan bentuk denyut jantung
janin dan pH arteri uteroplasenta, namun untuk peningkatan kualitas klinis janin
secara statistic tampak tidak signifikan. Sedangkan amnioinfusion transabdominal
dihubungkan dengan menurunnya angka kematian janin, infeksi atau sepsis neonatal,
dan hypoplasia paru. Amnioinfusion transabdominal telah dicoba pada wanita
trimester ke-2 dengan oligohidramnion untuk mengurangi resiko yang berhubungan
dan meningkatkan kelangsungan hidup perinatal dengan meningkatkan volume cairan
amnion. Namun, cairan yang dimasukkan dapat mengalami kebocoran dan hanya
bertahan pada 24-30% wanita dengan PPROM. Karena trimester 2 dengan PPROM
dikaitkan dengan korioamniositis, pembilasan kavitas amnion dengan larutan saline
masif secara teori masih masuk akal. Sehingga lebih ditekankan mengevaluasi
amnioinfusion kontinyu lebih untuk mengontrol infeksi/inflamasi daripada untuk
mempertahankan jumlah cairan amnion. (marco. 2003) (hofmeyr 2011)
Usia kehamilan saat melahirkan dan berat bayi lahir ditemukan serupa antara
2 kelompok tersebut karena interval persalinan pada pecah ketuban dini premature
(PPROM) ini tidak signifikan berkepanjangan dalam kelompok studi dan penelitian
oleh Ogunyemi dan Thompson melaporkan temuan serupa. Namun, ada penelitian
lain yang telah mengamati peningkatan berat lahir dan usia kehamilan saat
melahirkan. (Singla, 2009)
Adanya jumlah optimal dari liquor cushions janin dan tekanan dari tali pusar
diketahui akan mengurangi kejadian gawat janin. Konsisten dengan hal tersebut,
dalam kejadian distress intrapartum janin diketahui secara signifikan lebih rendah
pada kelompok studi. (Singla, 2009)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Van Teeffelen, dkk tidak ada
perbaikan dari pemberian amnioinfusion transabdominal pada wanita dengan
oligohidramnion sekunder untuk terjadinya selaput ketuban sebelum usia 26 minggu
yang teridentifikasi. Sehingga tindakan amnioinfusion transabdominal tidak
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan oligohidramnion sekunder dari ketuban
pecah dini sebelum usia kehamilan 26 minggu. (Van Teeffelen, dkk. 2013)
A. Sebelum 23 minggu
Pada ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan antara 23 dan 32 minggu dengan
pecah ketuban dini, penanganan dapat dilakukan secara ekspektatif di rumah sakit
kecuali jika ada bukti infeksi atau janin yang dalam keadaan membahayakan.
Penatalaksanaan meliputi pemberian terapi antibiotik intravena dan kortikosteroid,
seperti yang direkomendasikan oleh National Institutes of Health (Gambar 2).
Walaupun masih kontroversial, pertimbangkan terapi tokolitik dengan magnesium
sulfat jika pasien secara aktif berkontraksi tanpa adanya bukti infeksi. (David. 2004)
Beberapa otoritas merekomendasikan amniosentesis (pada usia kehamilan
berapa pun) untuk menyingkirkan infeksi sebelum manajemen konservatif dipilih,
sementara yang lain menganggap penggunaan parameter klinis yang memadai sudah
mencukupi untuk mengambil keputusan manajemen ekspektatif. (David. 2004)
Konfirmasi Diagnosis
Tidak
Ya
Apakah ada tanda-tanda Infeksi? Beri antibiotik dan induksi persalinan
Tidak
Tawarkan induksi vs manajemen
ekspektatif
Gambar 1. Manajemen Pecah Ketuban Dini: Usia Gestasi Kurang Dari 23 Minggu
Konfirmasi Diagnosis
Pertimbangkan Persalinan
Monitoring Janin
Lahirkan
Antibiotik dan Kortikosteroid
Gambar 2. Manajemen Ketuban Pecah Dini: Usia Gestasi 23 sampai dengan <32
minggu
C. Antara 32 dan 34 Minggu
Manajemen untuk rentang usia kehamilan ini adalah yang paling kontroversial
(Gambar 3). Mercer, dkk menunjukkan bahwa manajemen konservatif berbahaya bagi
neonatus jika terdapat kematangan paru janin. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa
beberapa metode penilaian paru janin harus dilakukan. (David. 2004)
Konfirmasi Diagnosis
Ya
Tidak
Pertimbangkan pengambilan sampel Infeksi
dari cairan vaginal untuk
Lahirkan
mengevaluasi maturitas Paru Janin
Ya Tidak
Lahirkan Antibiotik (ampisilin dan
Matur
azithromycin) untuk 7 hari,
setara dengan kortikosteroid
Lahirkan
Immatur Ya Lahirkan Tidak
Gambar 3. Manajemen Ketuban Pecah Dini: Usia Gestasi 32 sampai <34 minggu
Metode yang paling efektif adalah pengambilan sampel cairan ketuban dengan
amniosentesis. Tidak hanya kematangan paru janin dapat ditentukan, tetapi cairan
tersebut dapat dianalisis untuk bukti infeksi menggunakan pewarnaan Gram, kadar
glukosa, dan jumlah sel darah putih. Ketika amniosentesis tidak tersedia,
pertimbangkan untuk menilai kematangan paru janin melalui sampel cairan ketuban
yang dikumpulkan dari vagina. Lahirkan bayi jika ada infeksi intraamniotik atau
kematangan paru janin. Jika tidak ada bukti kematangan paru janin, manajemen
konservatif biasanya direkomendasikan untuk kehamilan antara 32 dan 34 minggu.
(David. 2004)
Poin penting dalam mengelola pasien dengan pecah ketuban dini prematur
adalah mengenali risiko tinggi dari hasil perinatal yang buruk. Untuk alasan ini,
evaluasi kesejahteraan janin yang sering adalah elemen penting dari setiap rencana
manajemen. (David. 2004)
Dalam kasus PPROM, janin sering tidak toleran terhadap persalinan, terutama
karena jumloligohidramnion dan infeksi subklinis. Karena alasan ini, pantau janin
dengan sangat ketat pada periode intrapartum. Amnioinfusion menurunkan deselerasi
variabel dan meningkatkan pH pada pasien-pasien ini dan harus dipertimbangkan
ketika ditunjukkan secara klinis. Tentukan cara persalinan menggunakan indikasi
obstetrik rutin. Bayi-bayi sungsang dilakukan tatalaksana melalui operasi caesar.
Beberapa data ada tentang manfaat sesar untuk neonatus yang sangat prematur;
disarankan untuk menggunakan indikator obstetrik rutin. (David. 2004)
Jika pasien dengan PPROM memiliki wabah klinis virus herpes simpleks,
pertimbangkanlah terjadinya risiko kelahiran dini terhadap risiko infeksi herpes
simpleks. Major et al menyusun seri kasus yang menunjukkan bahwa bayi tidak
terinfeksi virus herpes simpleks, manajemen secara ekspektatif dilakukan. Namun,
pertimbangkan terapi profilaksis dengan agen antivirus pada pasien yang ditangani
dengan baik. Pada usia kehamilan berikutnya, sebagian besar ahli merekomendasikan
persalinan. (David. 2004)
Pada kasus ini juga dapat terjadi abrupsi plasenta. Abrupsi plasenta terjadi
pada sekitar 5% kehamilan PPROM. Beberapa otoritas berpendapat bahwa penyebab
abrupsi adalah plasenta bergeser setelah kebocoran cairan ketuban dan penurunan
volume intrauterin. Namun, perdarahan jarang cukup substansial untuk menjamin
persalinan. Meski begitu, pantau wanita dengan perdarahan aktif di ruang persalinan,
tetap waspada untuk bukti toleransi janin. (David. 2004)
Manajemen Awal
mengizinkan persalinan dan kelahiran
konfirmasi diagnosis
eksklusi diagnosis lain
konfirmasi usia kehamilan
catat janin dalam keadaan baik
kontraindikasi
manajemen ekspektatif tidak ada kontraindikasi untuk
manajemen ekspektatif
Manajemen awal seorang wanita yang diduga menderita pecah ketuban dini
harus fokus pada penegakan diagnosis, perhitungan usia kehamilan, pencatatan
keadaan janin, dan pengambilan keputusan mengenai cara persalinan (yang pada
akhirnya tergantung pada usia kehamilan, presentasi janin, dan pemeriksaan serviks).
Setiap upaya harus dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi untuk manajemen
ekspektatif. Kontraindikasi absolut termasuk infeksi intra-amniotik (korio-
amnionitis), tes janin yang tidak meyakinkan, dan persalinan aktif. Diagnosis
korioamnionitis terutama masih bersifat klinis, dengan bukti takikardia janin,
takikardia ibu, demam maternal (didefinisikan sebagai suhu tubuh ±100,4 ° F), dan
/atau nyeri tekan uterus. Bukti pus yang keluar dari serviks pada pemeriksaan
spekulum steril juga dapat mengkonfirmasikan diagnosis. (David. 2004)
Amniosentesis mungkin dapat membantu penegakan diagnosis (dengan bukti
peningkatan jumlah sel darah putih cairan ketuban, peningkatan kadar dehidrogenase
laktat, dan penurunan konsentrasi glukosa) atau bahkan dengan pasti mengonfirmasi
adanya infeksi intra-amniotik (dengan pewarnaan gram positif atau dengan kultur
cairan ketuban), tetapi tidak dianggap sebagai standar perawatan pada semua wanita
yang datang dengan PPROM. (David. 2004)