Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FRISKILA SUYANTI

NIM: D1101191010

MATA KULIAH : AMDAL PERTAMBANGAN

Kasus Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang “Ilegal” di Sungai


Bila, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap

Sungai Bila merupakan sungai yang bermuara ke Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Di Sungai
ini terdapat bendungan yang didirikan oleh pemerintah pusat pada tahun 1995. Aliran Sungai
Bila di Desa Bila Riase juga merupakan sumber pengairan bagi aktivitas pertanian masyarakat
mulai dari Kecamatan Pitu Riase hingga Kecamatan Maniang Pajo, Kabupaten Wajo.
Berdasarkan catatan WALHI Sulawesi Selatan, aliran Sungai Bila mampu mengairi sawah
masyarakat seluas 7.488 Ha. Selain itu, Sungai Bila merupakan sumber air bagi sekitar 16.500
warga, serta area ikan air tawar yang selalu ditangkap oleh masyarakat untuk makan sehari-
hari.

Saat ini, sungai bila telah rusak akibat aktivitas tambang. Sungai yang dulunya menjadi
sumber penghidupan masyarakat telah berubah menjadi kubangan yang tidak memiliki
manfaat, melainkan area yang berbahaya. Tambang galian batuan di sungai Bila mulai
beraktivitas pada tahun 2008. Hingga saat ini, kegiatan tambang tersebut masih beroperasi,
walau tidak sebanyak yang dulu. Berdasarkan catatan kami, setidaknya ada tujuh pelaku
tambang yang telah melakukan penambangan di Sungai Bila dan hingga saat ini, kondisi sungai
bila telah mengalami kerusakan.

Masyarakat menduga kuat bahwa pengerusakan lingkungan di Sungai Bila, Desa Bila,
Kecamatan Pitu Riase dilakukan oleh:

• UD Ahmad
• CV Ega
• CV Sinta Pratama
• CV Bil Boy
• CV Sumber Tani
• Hj. Mini
• Hj Kartini

Penambangan di Sungai Bila telah merusak sungai Bila. Bahkan bukan cuman itu,
kegiatan tambang di Sungai bila juga telah merusak lahan perkebunan masyarakat Desa Bila
Riase (lampiran daftar lahan masyarakat yang rusak akibat tambanag di Sungai Bila).

Berdasarkan catatan masyarakat setempat, sejak kegiatan tambang beroperasi di Sungai


Bila, telah ada 5 orang yang meninggal dunia di lokasi penambangan. (lampiran korban yang
meninggal akibat tambang di Sungai Bila)

Pada tahun 2014, warga Desa Bila Riase, melakukan pengaduan atau melaporkan
kegiatan tambang di Sungai Bila ke Kepala Desa Bila Riase, Camat Pitu Riase hingga ke Polsek
Pitu Riase. Masyarakat menilai kegiatan tambang yang dilakukan oleh 7 pemilik tambang telah
berada diluar batas yang telah ditentukan, bahkan pada tahun 2015 hingga akhir juli 2018,
pemilik tambang melakukan aktivitas tanpa dilengkapi dokumen perizinan dari pemerintah
provinsi Sulsel. Namun hingga saat ini, tidak ada satu pun pemilik tambang yang diproses
hukum atas pengerusakan lingkungan tersebut.

Pada saat ini, masyarakat telah memperoleh dukungan dari pemerintah. Diantaranya
pemerintah Desa Bila Riase, yang mana Kepala Desa telah mengeluarkan surat untuk
menghentikan seluruh aktivitas tambang yang ada di Desa Bila Riase pada tanggal 4 september
2018. Kemudian, pada tanggal 5 September 2018, Camat Pitu Riase, menindaklanjuti surat
Kepala Desa tersebut mengeluarkan surat pengaduan masyarakat ke Polres Sidrap. Namun
hingga laporan pengaduan ini dibuat, belum ada penegakan hukum yang dilakukan oleh
Kepolisian Resort Sidrap.

Pada akhir Agustus 2018, Masyarakat menemukan ada 4 pemilik tambang yang
mendapat izin tambang dari PTSP Provinsi Sulsel, namun yang perlu kami tegaskan bahwa
masyarakat Desa Bila Riase menolak penambangan di Desa Bila. Selain itu, masyarakat Desa
Bila Riase hingga saat ini tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan UKL/UPL rencana
tambang, serta konsultasi publik lainnya. Hal ini patut menjadi pertimbangan Kapolda untuk
menegakan hukum lingkungan di Sulawesi Selatan, terkhusus pada kasus ini.

Bahwa pada pengaduan ini kami sertakan hasil investigasi WALHI Sulsel yang kami
lakukan pada bulan Agustus 2018. Oleh karena itu, kami sertakan hasil investigasi WALHI
sulsel terkait dampak lingkungan, dampak sosial, dan dampak Ekonomi yang dialami
masyarakat.
Dari hasil investigasi ini, disimpulkan bahwa para pemilik tambang yang menambang di
Sugai Bila, Desa Bila Riase telah melakukan pengrusakan lingkungan yang mengakibatkan
rusaknya lahan- perkebunan masyarakat, dan mengganggu ketentraman masyarakat.

Kerusakan lingkungan di Sungai Bila semakin tinggi terjadi sejak tahun 2015 hingga
2017 dimana pada saat itu, pemilik tambang tetap melakukan penambangan tanpa memiliki
dokumen perizinan. Kami menduga kuat bahwa pemilik tambang tidak mematuhi sejumlah
peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu faktanya adalah, pemilik tambang tidak
pernah melakukan konsultasi publik dengan masyarakat terkait dokumen lingkungan yang
mereka miliki. Hal ini menjadi penyebab utama kegiatan tambang tersebut merusak
lingkungan.

Kegiatan tambang di Sungai Bila telah melanggar ketentuan perundang-undangan,


terutama:

1. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

2. Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

3. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

4. Permen Lingkungan Hidup No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.

Atas pelanggran tersebut, maka kami Aliansi Masyarakat Peduli Sungai Bila,
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan dan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan dengan ini meminta Kepala
Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan untuk:

1. Melakukan penegakan hukum lingkungan atas pengerusakan lingkungan di Sungai


Bila, Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap.

2. Melakukan penindakan terhadap 7 pemilik tambang yang telah menambang dan


melakukan pengerusakan lingkungan serta merusak lahan perkebunan masyarakat di
Sungai Bila.

3. Menjerat pidana para pemilik tambang atas perbuatannya merusak lingkungan, sesuai
ketentuan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai