“Tambang Di Halmahera Tengah, Masyarakat Dapat Apa?”
Halmahera Tengah, salah satu kabupaten di Maluku Utara, kaya akan potensi
sumber daya alamnya (SDA), baik di daratan maupun di pesisir laut. Di wilayah daratan, potensi SDA seperti hutan, tanaman Pala dan Cengkeh, serta sumber daya mineral seperti nikel dan emas, masih merupakan sektor andalan bagi pendapatan daerah. Sementara, pesisir laut Halmaherta Tengah yang lebih luas arealnya dibandingkan daratan, merupakan ruaya untuk jenis ikan pelagis seperti Tuna (Thunnus sp), dan Cakalang (katsuwonus pelamis), masih menjadi anak tiri pembangunan yang tidak dikelola dengan maksimal oleh pemerintah daerah. Kekayaan alam di wilayah Halmahera Tengah, khususnya tambang, mengundang beberapa investor pertambangan seperti PT. Aneka Tambang, PT. Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP), PT. Trakindo, dan PT. Bakti Pertiwi Nusantara. melakukan ekspansi modal ke wilayah ini. Hal ini sangat berimplikasi singnifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat adat. Selain aspek yang katanya “positif”, dalam bentuk devisa bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), kehadiran investasi pertambangan ini justru lebih menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat lokal, yang banyak menggantungkan kehidupannaya di sektor pertanian dan perikanan. Dengan kehadiran beberapa investasi pertamabang terjadilah konflik antara masyarakat dan pihak perusahaan, konflik bermulah pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan Izin Areal Penggunaan Lain (APL) kepada perusahaan di dalam perkebunan warga sebagai pemilik hak atas tanah. Kerusakan ekologi dan lingkungan akibat alihfungsi kawasan untuk aktifitas pertambangan diperkirakan sangat tinggi. Perusahaan ini akan mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 2.650 hektar yang dipergunakan sebagai lokasi pertambangan, perkantoran, dan pabrik. Model kegiatan tambang yang menggunakan sistem tambang terbuka (Open Pit) akan menciptakan masalah lingkungan dikemudian hari. Perusahaan ini akan membutuhkan air dalam jumlah yang besar untuk kepentingan pengelolahan biji nikel. Dalam konteks ini kehadiran investasi ekstraktif yang sangat massif, masyarakat Lalilef Sawai, Gemaf, Sagea, dan Woyebulen kehilangan beberapa situs budaya. Salah satunya adalah Goa Batu Lubang merupakan satu situs yang masih dianggap keramat oleh masyarakat Sagea. Goa Batu Lubang ini juga memiliki fungsi penting sebagai mata air, yang mengairi Desa Sagea (sering disebut sebagai sungai Batu Lubang atau sungai Sagea. Sungai-sungai utama di daerah proyek PT. IWIP adalah dua sungai besar yang melewati areal proyek yaitu sungai Ake Kobe di sebelah Barat, dan sungai Ake Sagea di sebelah Timur. Sungai Sangaji di sebelah Utara memiliki batas-batas daerah aliran sungai yang umumnya berada di luar batas proyek. Walaupun demikian Sebagian besar dari areal proyek merupakan daerah tangkapan air sungai-sungai tersebut. Bagian hulu dari daerah tangkapan air tersebut adalah daerah pegunungan yang berada di daerah utara dan mengalir ke arah Selatan, Barat Daya, dan Tenggara. Dampak yang dirasakan masyarakat yang timbul dari kegiatan pertambangan PT IWIP itu merupakan potret nyata adanya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Seharusnya negara harus hadir memberikan perlindungan kepada warganya, bukan hadir dalam bentuk yang berbeda seperti tindakan aparat kepolisian tersebut. Keberadaan perusahaan tersebut, telah memutus mata rantai ekonomi bagi masyarakat adat Sawai. Tentu ini akan menimbulkan masalah yang dikemudian hari semakin kompleks. Kemiskinan, konflik sosial dan pencemaran lingkungan akan menjadi tontonan dalam kehidupan masyarakat adat di lingkar tambang. Semua itu terjadi karena pengabaian yang dilakukan. Pemerintah harus hadir memberikan atensi kepada masyarakat, menindak secara tegas tindakan perusahaan yang lalai menjalankan aturan hukum yang berlaku di negara ini. Jika tidak dilakukan, maka perlawanan warga terhadap kebijakan ini adalah suatu pembenaran. Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk itu sudah selayaknya pemerintah memiliki paradigma berpikir conceren sepenuhnya terhadap kepentingan masyarakat, berbagai kebijakan yang dibuat harus menjadi dasar hubungan harmonis antara masyarakat dan pemerintah yang berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri.