Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan berdasarkan undang-undang 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat di

pisahkan. Hutan berdasarkan fungsinya ada 3 yaitu hutan produksi, konservasi, dan hutan

lindung. Defenisi hutan lindung menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan

sistem penyangga kehidupan utuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan

erosi tanah, mencegah intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah (Undang-undang No.

41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri

khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya. Payung hukum yang mengatur hutan konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekositemnya. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990

Nomor 49 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34199).

Pengertian hutan produksi adalah suatu areal hutan yang sengaja dipertahankan

sebagai kawasan hutan dan kepentingan masyarakat, dibidang industri dan ekspor. Hutan

ini di tentukan dengan batas-batas suatu HPH (Hak Pengelola Hutan) dan dikelola untuk

menghasilkan kayu. Dengan pengelolaan yang baik, tingkat penebangan diimbangi dengan

penanaman kembali dan pertumbuhan ulang sehingga hutan terus menghasilkan kayu

secara lestari. (Salim, 1997,h.17).

1
Jika di lihat dari pengertian hutan produksi Pinus merupakan salah satu tumbuhan

yang tumbuh di hutan produksi di daerah kawasan KPHL VI Sipirok, Kecamatan Sipirok,

Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Pinus menghasilkan getah pada

umur 11 tahun, getah pada pinus dilakukan dengan cara penyadapan. Menuurut Idris dan

Soenarno (1983) secara garis besar ada tiga sistem penyadapan getah pinus berdasarkan

bekas luka sadapaan yaitu koakan, kopral, dan bor.

Penyadapan pada sistem bor dengan cara membor batang pohon menggunakan bor

manual telah dilakukan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, sementara cara

penyadapan yang dilakukan dengan menggunakan koakan bentuk huruf U terbalik

(Sutjipto,1975). Koakan dibuat sejajar panjang batang dengan kedalaman 2 cm dan lebar 10

cm dengan menggunakan alat sadap konvensional yang disebut kedukul/petel dan terakhir

cara penyadapan dengan sistem rill atau kopral dilakukan dari bagian pangkal batang

kearah atas dengan menggunakan pisau sadap luka sadap bentuk huruf V. Secara umum

penerapan cara penyadapan kedukul lebih banyak disukai karena lebih murah dan lebih

mudah. Namun dalam pelaksanaannya masih tidak sesuai dengan prosedur yang di

tetapkan, seperti pembuatan koakan yang terlalu dalam dan lebar atau jumlah koakan lebih

dari 2 untuk setiap batangnya sehingga memicu robohnya karena terpaan angin.

Produktivitas getah yang di hasilkan bisa dipengaruhi oleh stimulan atau

perangsang, contoh cairan stimulan yang dijumpai adalah asam sulfat. Hal ini berarti

semakin tinggi konsentrasi stimulan maka nilai produktivitas cenderung semakin besar.

Kenaikan nilai produktivitas getah berbanding lurus dengan tinggi konsentrasi stimulan,

penggunaan stimulan asam menyebabkan getah-getah yang keluar semakin banyak, hal ini

sesuai dengan pernyataan Kasmudjo (1992) bahwa penggunaan stimulansi asam dapat

menyebabkan terbukanya saluran getah dan sel-sel parenkim terhidrolisis, tekanan

menurun, cairan sel keluar sehingga getah menjadi lebih encer dan lebih lama keluarnya,

2
seperti yang dilakukan pada penyadapan getah pinus di daerah kawasan KPHL VI Sipirok,

Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian guna mengetahui pengaruh stimulan asam sulfat terhadap produktivitas getah

pinus dengan sistem penyadapan yang berbeda.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pengaruh asam

sulfat terhadap produktivitas getah pinus dengan system penyadapan kopral (Rill)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari rencana penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asam

sulfat terhadap produktivitas getah pinus dengan system penyadapan kopral (Rill)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai teknik, cara, dan perbandingan pengaruh asam sulfat terhadap getah pinus

dengan menggunakan sistem sadap kopral (Rill), khususnya di Kawasan KPHL munit

VI Sipirok Desa Barnang Koling, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,

Provinsi Sumatera Utara. Serta bisa di jadikan sebagai database dan referensi bagi

peneliti lainnya dalam melakukan penelitian dan kajian tentang produktivitas getah

pinus.

1.5 Kerangka Berpikir

Kerangka pemikir ini adalah hutan produksi yang ada di wilayah Kecamatan

Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Tegakan pinus mendominasi hutan produksi

Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tegakan pinus merupakan pengahasil

hutan bukan kayu (HHBK). Masyarakat di desa Sipirok rata-rata pendapatannya dari

hasil getah pinus, jika getah pinusnya semakin baik maka pendapatannya pun semakin

3
bagus juga, maka dari itu perlu dilakukan penelitian terhadap produktivitas getah pinus

dengan menggunakan asam sulfat agar getahnya semakin baik, berikut gambar

kerangka pemikir penelitian.

4
Hutan

Hutan Produksi

pinus

getah

Sistem penyadapan

Kopral (Rill)

Stimulan H2SO4

Gambar 1.Kerangka Penelitian

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pinus (pinus merkussi)

Pinus (P, merkussii) secara umum di sebut juga sebagai jenis tumbuhan asli

Indonesia dengan sebaran alam di daerah Sumatera. Menurut Butarbutar dkk. (1998)

didaerah Sumatera tegakan pinus alam di bagi menjadi 3 strata, yaitu strata Aceh, Tapanuli

dan Kerinci. Pinus tidak menurut syarat yang tinggi terhadap tanah, dapat tumbuh pada

daerah yang kurang subur dan ketinggian tempat 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut.

Hutan tanaman pinus sudah sejak lama di kembangkan di Indonesia terutama di Jawa oleh

perum perhutani saat ini pinus merupakan jenis tanaman hutan terluas ke dua setelah Jati

yang di usahakan oleh perum perhutani.

Menurut Hardwino, dkk (1994) bahwa seresah daun pinus mempunyai kandungan

lignin dan selulosa yang tinggi sehingga proses dekomposisinya berjalan sangat lambat di

bandingkan dengan seresah daun jenis lain. Seresah daun pinus yang melimpah dapat

menutup lantai hutan dan meningkatkan kemasaman tanah sehingga tidak mudah bagi jenis

lain untuk dapat tumbuh dan berkembang di dalam tegakan pinus. Daun pinus merupakan

hutan bahan organik yang mempunyai potensi untuk di manfaatkan sebagai media

pertumbuhan semai.

6
Klasifikasi Pinus merkusii adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Phinophyta

Kelas : pinopsida

Ordo : Pinales

Family : Pinaceae

Genus : Pinus

Spesies : Pinus merkusii

Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh di Indonesia

salah satunya tumbuh di Sumatera Utara dan sebaran alaminya sampai di Asia Tenggara

antara lain Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan di Filipina. P. merkusii termasuk suku

Pinaceae nama daerah pinus (Jawa), tusam (Sumatera) (Siregar,2005). Hidayat dan Hatnen,

(2001) menjelaskan bahwa ”Pohon pinus pertama kali di temukan di daerah Sipirok,

Tapanuli Selatan Sumatera Utara seorang ahli botani dari Jerman oleh Dr.F.R. Junghuhn

pada tahun 1841. Tumbuhan ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan

persyaratan yang khusus. ”Deskripsi botani pinus pada umumnya batang berkayu, bulat,

keras, bercabang horizontal, kulit retak-retak seperti saluran dan berwarna cokelat, daunnya

majemuk dan bentuk jarum memiliki buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang,

akhirnya merenggang, tinggi kisaran 20-40 m dan diameter 30-60 cm”.

7
2.4 Sistem penyadapan getah pinus

Menurut Idris dan Soenarno (1983) secara garis besar ada tiga sistem penyadapan

getah pinus berdasarkan bekas luka sadapan, yaitu sistem koakan, kopral, dan bor, berikut

gambar pada sistem penyadapan koakan.

A. Sistem koakan

Gambar 2 koakan

Cara penyadapan yang di lakukan di Indonesia pada era 1975-an adalah cara koakan

(quare) bentuk huruf U terbalik (Sutjipto,1975). Koakan dibuat sejajar panjang batang

dengan kedalaman 2 cm dan lebar 10 cm dengan menggunakan alat sadap konvensional

yang di sebut kedukul/petel atau alat semi mekanis yaitu mesin mujitech

(Sukardayanti,2014). Saluran getah yang dilukai akan cepat menutup jika tidak diberi

perangsang, sehingga produksi getah yang di peroleh dengan rendah.

Untuk meningkatkan produksi getah, perlu diberikan perangsang untuk

memperpanjang waktu mengalirnya getah, sehingga frekuensi pembuatan luka baru dapat

di kurangi pohon pinus dapat di sadap lebih lama. Dengan demikian luka sadapan

maksimal dalam satu tahun mencapai tinggi 60 cm di tambah 10 cm koakan permulaan.

Lama sadapaan yang dilaksanakan untuk satu unit pengelolaan terkecil (petak) adalah tiga

tahun dengan tinggi luka sadapan (koakan) maksimal 190 cm. Namun penyadapan dengan

sistem ini tidak lebih dari dua tahun dengan tinggi koakan maksiml 130 cm (Idris dan

Soenarno, 1983). Hal tersebut di maksudkan untuk menghindari berkurangnya kuantitas

dan kualitas kayu pinus yang cukup besar, disamping menghindari robohnya pohon oleh

8
angin. Untuk memperbanyak jumlah koakan per pohon sebaiknya ukuran lebar koakan di

perkecil menjadi 6 cm. Sistem koakan di nilai sangat mudah, praktis, tidak memerlukan

banyak peralatan, dan kebutuhan alat (kedukul,/patel dan mangkuk getah dari batok kelapa)

sangat sederhana. Namun menurut Sutjipto (1975) sistem ini masih memiliki kelemahan

yakni berkurangnya hasil kayu yang relatif banyak, mempunyai kecenderungan pohon

pinus roboh pada tiupan angin yang keras bila tinggi koakan telah melebihi satu meter,

terlebih lagi bila pada satu pohon terdapat lebih dari satu koakan.

B.Sistem kopral

Gambar 3 kopral

Penerapan sistem kopral (rill) atau sistem india merupakan sistem penyadapan

getah pinus yang di anggap paling aman untuk kelestarian pohon pinus karena

menyebabkan kerusakan batang yang relatif kecil. Penyadapan getah pinus dengan sistem

ini di lakukan dari bagian pangkal batang ke arah atas dengan menggunakan pisau sadap,

luka sadap berbentuk huruf V (pola India), lebar 15 cm, kedalaman 1 cm (bagian kayu

yang terluka sekitar 0,2 cm) dan jarak antara setiap luka sadapan 2 cm. Hasil getah dan

pembuatan luka sadap baru di lakukan setiap periode 3-4 hari.

9
C.Sistem bor

Gambar 4 Bor

Sistem penyadapan getah pinus dengan cara membor batang pohon menggunakan

bor manual telah di lakukan di Indonesia khususnya Sumatera Utara dan KPH Bumiayu di

Jawa pada tahun 1966. Namun sistem ini dinilai praktis, dan tidak ekonomis serta

menyusahkan para pekerja dalam pelaksanaanya, karena relatif butuh banyak tenaga yang

dikeluarkan untuk membuat satu luka bor, sehingga menyebabkan kapasitas kerja rendah

(Idris dan Soemnarno, 1983). Sistem bor menggunakan bor listrik yang di lengkapi dengan

jenset telah di uji coba dalam penelitian penyadapan getah pinus di Kabupaten Tana Toraja

pada tahun 2006. Pembuatan luka sadap di mulai dari bagian pangkal batang ke arah atas,

luka sadap berbentuk lubang diameter 2,2cm dengan kedalaman 4-8cm. Untuk

memudahkan getah mengalir dari dalam batang pohon ke dalam wadah penampung getah

(kantong plastik) melalui saluran getah (pipa paralon atau selang plastik diameter 1,9 cm

atau 2,2 cm dan panjang 6cm), maka lubang bor tersebut dibuat miring dari luar (kulit

batang) ke arah atas menuju pusat batang (empelur) dengan sudut kemiringan kurang lebih

25º.

10
2.4 Stimulan H2SO4

Asam sulfat merupakan zat pengering yang baik. Asam sulfat digunakan dalam

pengelolaan kebanyakan buah-buah kering. Di atmosfer, asam sulfat merupakan salah satu

bahan kimia yang menyebabkan hujan asam. Tak mudah membayangkan bahan kimia yang

sangat aktif seperti asam sulfat ini adalah bahan kimia yang banyak di pakai dan merupakan

produk yang penting.(Selfi Monica Aura,Rahadian Zainul 18,2021).

Dalam upaya meningkatkan produksi getah dengan menggunakan stimulansia

asam, hal yang perlu diperhatikan adalah tentang konsentrasi asam. Jika konsentrasinya

terlalu rendah, upaya ini kurang efektif. Sebaliknya jika konsentrasinya terlalu tinggi, dapat

mengakibatkan kayu pohon pinus menjadi kering. Faktor lain yang dapat meningkatkan

getah pinus adalah jangka waktu pelukaan. Jika waktu pelukaan terlalu lama dapat

mengurangi produktivitas getah, sebaliknya jika terlalu cepat dapat mengakibatkan

kerusakan kepada pohon pinus. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh konsentrasi stimulansia asam sulfat (H2SO4). (Dahlian dan Hartoyo1997).

11
BAB III

Keadaan Umum Lokasi

3.1 Keadaan Administratif

Wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara secara

geografis terletak 99°20'0" sampai dengan 99°55'0" Bujur Timur dan 01°15'0" sampai

dengan 01°55’0" Lintang Utara. Secara administrasi KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-

Padang Lawas Utara terbagi dalam dua Kabupaten yaitu Tapanuli Selatan (50.173 Ha) dan

Padang Lawas Utara (122.973 Ha). Adapun Batas-batas wilayah KPHL Unit XXVI

Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara adalah sebagai berikut :

 Sebelah Utara : batas wilayah KPHL Unit XXIII

 Sebelah Selatan : batas wilayah KPHP Unit XXXI

 Sebelah Timur : Kabupaten Padang Lawas Utara

 Sebelah Barat : Kabupaten Padang Lawas Utara dan batas

wilayah KPHP Unit XXVII

Wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara berdasarkan

SK. 579/ Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 memliki luas 173.411,87 Ha. Berdasarkan

wilayah cakupan KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara yang cukup luas

maka diperlukan adanya 10 (sepuluh) Resort Pengelolaan Hutan (RPH) yang nantinya

membantu tugas-tugas Kepala UPT. KPH Wilayah VI Sipirok (KPH IV Sipirok).

3.2 Topografi
KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara memiliki kondisi

bentang alam yang sangat variatif yang dimulai dari daerah dataran rendah sampai daerah

bergunung-gunung pada rentang ketinggian antara 100 – 1.966 meter di atas permukaan

laut. Kabupaten Tapanuli Selatan berada pada ketinggian antara 200 – 1966 meter di atas

12
permukaan laut sedangkan Kab. Padang Lawas Utara berada pada ketinggian 100 – 800

meter di atas permukaan laut.

Pada umumnya areal lokasi wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang

Lawas Utara Provinsi Sumatera Utara merupakan dataran tanah kering dengan ketinggian

tempat bervariasi dari lebih kurang 100 - 1.966 diatas permukaan laut (mdpl) dan fisiografi

bervariasi dari dataran, pegunungan lipatan dan pegunungan patahan.

Kemiringan lereng, diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas yaitu datar (0-8 %),

landai (8-15 %), agak curam (15-25 %), curam (25-45 %) dan sangat curam (≥ 45 %).

Berdasarkan data BPKH (2015), topografi di wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-

Padang Lawas Utara cukup beragam, dari kondisi datar sampai curam, namun demikian

persentase lahan dengan topografi sangat curam paling banyak dijumpai diwilayah ini

(87.30%). Adapun rincian topografi di KPHL ini adalah sebagai berikut: datar (2.26%),

landai (0.69%) agak curam (3.72%), curam (6.04%), sangat curam (87.30%) (KPH IV

Sipirok).

3.3 Iklim

Sebagian besar wilayah Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Padang

Lawas Utara dataran tinggi dan rendah, sehingga berpengaruh pada suhu udara yang

tergolong daerah beriklim tropis. Dalam periode bulan Januari-Desember suhu udara

maksimum bisa mencapai ± 33,80 ºC dan suhu minimum mencapai ± 21,20 ºC. Rata-rata

suhu udara di Kab. Tapanuli Selatan dan Kab. Padang Lawas Utara selama tahun 2016

sebesar ± 26,40 ºC.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt Fergusson, maka kondisi iklim Kabupaten

Tapanuli Selatan dan Kab. Padang Lawas Utara tergolong pada tipe iklim A (sangat basah).

Jumlah hari hujan di Tapanuli Selatan pada tahun 2016 adalah sebanyak 267 hari, dan rata-

rata kelembaban udara sebesar 82,58%. Jumlah hari hujan terendah yaitu pada bulan Juni
13
yaitu sebanyak 17 hari, dan jumlah hari hujan tertinggi pada bulan Mei dan Desember yaitu

sebanyak 28 hari. (KPH IV Sipirok).

3.4 Tanah
Jenis tanah yang terdapat di KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas

Utara cukup beragam yang didominasi oleh Podsolik Coklat dan Podsolik Merah Kuning

(PMK). Tipe tanah seperti ini membuat lahan di wilayah ini sebagian besar hanya cocok

untuk tanaman kehutanan dan tanaman keras/perkebunan.

3.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat


1. Jumlah penduduk

Penduduk desa Barnang Koling berjumlah 187 kk atau jiwa yang terdiri dari 94

laki-laki dan 93 perempuan.

Tabel 1 jumlah penduduk perkecamatan 2019

Jumlah Jumlah Jumlah


No Kecamatan/Desa/Kelurahan Penduduk Penduduk Penduduk
(Pria) (Wanita) (jiwa)
A Kecamatan Arse
1 Sipogu 279 312 591
2 Dalihan Natolu 142 134 276
3 Pardomuan 229 232 461
B Kecamatan Angkola Timur
1 Panompuan Jae 664 674 1338
2 Lantosan Rogas 100 116 216
3 Kel. Batang Tura Sirumambe 923 902 1825
4 Sanggapati 450 513 963
5 Panompuan 787 848 1635
C Kecamatan Sipirok
1 Parau Sorat 637 668 1305
2 Barnang Koling 94 93 187
3 Pargarutan 177 194 371
4 Panaungan 252 229 481
5 Pangaribuan 274 277 551
6 Hasang Marsada 137 149 286
7 Batang Tura Julu 249 221 470
8 Batang Tura 223 236 459
9 Sarogodung 380 397 777

14
10 Dolok Sordang 250 238 488
11 Dolok Sordang Julu 326 337 663
D Kecamatan Saipar Dolok Hole
1 Pintu Padang Mandalasena 455 428 883
2 Silangkitang Tambiski 218 219 437
3 Parau Sorat Sitabo Tabo 524 448 972
4 Sunge Sigiring-giring 520 498 1018
5 Ulu Mamis Situnggaling 369 381 750
6 Batang Parsuluman 185 197 382

2. Tingkat pendidikan dan mata pencaharian

Salah satu variable pendidikan yang dapat mengindikasikan meningkatnya jumlah

penduduk yang bersekolah adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS). Penyediaan sarana

fisik yang memadai serta tenaga guru yang mencukupi dan berkualitas sangat

mempengaruhi peningkatan APS.

Sarana pendidikan yang terdapat di desa/kelurahan yang berada di dalam/sekitar

kawasan hutan KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara khususnya di desa

barnang koling yaitu seklah dasar( SD) Negri 1, Sekolah menengah pertama ( SMP) Negri

1, dan Sekolah menengah kejuaruan ( SMK) Negri 1.(KPH IV Sipirok).

3. Sosial Budaya Masyarakat

Beberapa dekade sebelum berlakunya UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Desa, masyarakat sudah tidak lagi hidup dalam format kerajaan. Pengaturan mengenai

hubungan masyarakat dengan tanah juga sudah ditata melalui Undang-Undang Pokok

Agraria No.5 Tahun 1960 dan aturan lain yang kemudian lahir sebagai turunannya.

Selanjutnya dengan corak pemerintahan Orde Baru juga semakin menempatkan komunitas

desa sebagai objek dari pada subjek dalam pengambilan keputusan yang menyangkut

penataan kehidupan mereka sebagai warga kolektif. Dalam suasana yang demikian itulah

komunitas desa-desa termasuk yang hidup di sekitar KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-

Padang Lawas Utara, menata kehidupan sosial dan kelembagaan mereka. Tidak

15
mengherankan bahwa gejala yang mengemuka adalah adanya suasana yang ambigu dimana

disatu sisi terdapat sistem pemerintahan desa yang formal, sedangkan disisi lain masih

banyak aspek kehidupan masyarakat yang diatur dalam tatanan lama berdasarkan adat

terdahulu (KPH IV Sipirok)

16
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini di rencanakan pada bulan Juli sampai agustus 2022. Lokasi

penelitian bertempat di KPHL unit VI Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera

Utara. Peta lokasi penelitian dapat di lihat pada gambar berikut:

Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kamera sebagai alat

dokumentasi, alat tulis sebagai pencatat hasil dari penelitian, alat penyadap getah pinus

(kedukul, dan pisau sadap) penggunaan larutan asam sulfat, tempurung sebagai penampung

getah pinus dan timbangan sebagai alat ukur getah pinus, lempengan seng sebagai media

aliran getah pinus pada koakan, alat hitung, dan alat lain sebagai penunjang berlangsungnya

penelitian, objek penelitian adalah pinus.

17
4.3 Prosedur penelitian

Pengumpulan data di lapangan diambil dengan melakukan kegiatan pelukaan

pohon (penyadap) di lapangan. Penyadapan getah dilakukan dengan menggunakan metode

quarre (sadap lanjut) dengan urut kerja sebagai berikut:

1) Pinus yang akan di sadap berumur 11 tahun dan berdiameter minimum 20 cm

dari permukaan tanah. (Hadipoernomo 1992).

2) System penyadapan yang akan dilakukan yaitu dengan metode kopral (Rill).

3) Pembuatan konsentrasi larutan H2SO4 dengan volume yang dibutuhkan 1000 ml

atau 1 liter, dan larutan H2SO4 akan disemprotkan ke getah pinus yang sudah di

sadap.

4) Penyadapan di lakukan kurang lebih 2 kali seminggu dan melakukan

penimbangan sesuai dengan waktu penyadapan yaitu dengan 2 kali seminggu

serta penelitian ini di lakukan selama 1 bulan.

5) Penyemprotan konsentrasi larutan asam sulfat jarak semprot 30 cm dengan 2

kali tekanan dan dilakukan setelah pembahuruan.

18
4.4 Analisis data

Metode yang digunakan dengan Rancangan acak kelompok (RAK) faktorial

dengan dua faktor setiap perlakuan terdiri dari 1 metode dengan 1 kali ulangan.

a. Factor 1: konsentrasi larutan asam sulfat (H2SO4) (K)

Menurut Peraturan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan Direktorat

Jendral Pengelolaan Hutan Produksi Lestari tentang sistem evaluasi Penyadapan Getah

Pinus komposisi dan dosisi stimulant berdasarkan ketinggian yaitu:

1) 700 - 900 mdpl = asam sulfat maksimal 10%

2) 701 – 900 mdpl = asam sulfat maksimal 15 %

3) ≥ 1100 mdpl = asam sulfat maksimal 20%

Maka dari itu penulis menyesuaikan ketinggian lokasi penelitian dengan peraturan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dimana tinggi lokasi penelitian sekitar 100

-1966 mdpl maka asam sulfat yang digunakan yaitu maksimal 20%.

b. Factor 2: sistem sadap batang

P1. (system sadap batang metode 1)

P2. (system sadap batang metode 2)

P3. (system sadap batang metode 3)

4.5 Parameter penelitian

a. Bobot getah pinus

Bobot getah pinus yang di peroleh dari hasil penyadapan, menurut Soenarno (1999).

Perhitungan produksi getah rata-rata dinyatakan dalam satuan gram/pohon/hari/ di

hitung sebagia berikut :

19
Y=V
I

Dimana:
Y=Produksi getah (g/pohon/hari)
V=Bobot getah yang di pungut(g)
I=Intensitas pemungutan (hari)
b. Kualitas getah pinus

Menurut Hanan dan Harianto (2017), kualitas getah pinus di bedakan atas dua kelas

yaitu:

a. Mutu I/A

-berwarna putih bening


-kadar air ≤70%
-kadar kotoran ≤70% (serangga mati, daun pinus, tanah)
-kadar air +kadar kotoran ≥10 sd 14%
b. Mutu II/B
-Putih sampai keruh kecoklatan –coklatan
70% kadar kotoran 9% (serangga mati, daun pinus, tanah)
-7% kadar air 9%
-14% kadar air +kotoran 18% untuk pengujian warna getah pinus dilakukan dengan

uji visual atau secara kasat mata.

20
Daftar Pustaka

Dahlian, E. dan hartoyo. Komponen Kimia Terpentin dari Getah Pinus merkusi

(Tusam) 1997.
Hardwinoto,S, Haryono, S, Fasis, M dan Sambas S. 1994 Pengaruh sifat kimia
terhadap tingkat dekomposisi beberapa jenis daun tanaman hutan manusia dan
lingKungan,jurnal pusat penelitian lingkungan hidup Universitas Gadjah Mada
no4(2): 25-36.
Hani A.(2009) Pengembangan tanaman penghasil hutan bukan kayu melalui perbanyaKan
vegetatif teknik hutan tanaman 2(2) 83-92.
Hidayat, J. dan Hatsen,CP. (2001) Informasi singkat benih:pinus merkusi jungh.et De
Vriese Indonesia Forest Saeed Project No. 12, Oktober 2001 Bandung.
Idris,M.M & Soenarno (1983). Aspek teknis eksploitasi Hutan pinus di pulau Jawa
Proceding simposium pengusahaan hutan pinus (Jakarta,23-28 Juli 1983). Pusat
penelitian dan pengembangan hasil hutan, Bogor.
Kasdmojo 1992 Usaha Stimulan pada penyadapan getah pinu. Data Rimba (XVII)15-20
KPH 1V Wilayah Sipirok Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.
Lempang (2017) Studi penyadapan getah cara bor dengan Stimulan H 2SO4. Jurnal
Penelitian hasil hutan 35 (3): 221-230.
Muliani dkk.2014. pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan
pengungkapan corporate sosial responsibiliti dan good e-jurnal siak Universitas
Pendidikan Ganesha, 2014
Muhtaria charles., D.supriyatdi dan M.Rafiq. 2015 Pengaruh Konsentrasi Stimulant dan
Intensitas Sadap pada Produksi Lateks Tanaman Karet Seedling. 3(1):59-68.
Monica selfie & R.Zainul Karakteristik dan Interaksi Molekular Asam Sulfat, 18, 2021.
Santoso,(2010) Pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) Diakses
http://MembresMultimania. Co uk pada tanggal 17 Februari 2011.
Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, h17
Shmulsky. R, & Jones P.D (2011). Forest products and wood sclene:nan introduktion
Siregar (2005) intlasi pengelolaan air limbah Yogyakarta Kanisius.
Soenarno 1999. Metode riset :UNS pres.
Sujipto (1975) penyadapan pinus dengan stimulan asam sulfat. Jakarta duta rimba No5, hal
12-15
Sukardayanti (2004) pemanenan getah pinus menggunakan tiga cara sadapan
jurnalPenelitian hasil hutan 32 (1) : 62-70

21
Suharisno (2009). Grand Strategi pengembangan hasil hutan bukan kayu nasional.
Makalah pada workshop pengembangan HHBK Yogyakarta 13 Januari
2009Diakses dari http://www. Dephut 90 id pada tanggal 23 Aagustus 2016.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan

22
Lampiran 1: Anggaran biaya penelitian tentang pengaruh asam sulfat terhadap
produktivitas getah pinus merkusii dengan metode penyadapan berbeda
Provinsi : Sumatera Utara
Kabupaten : Tapanuli Selatan
Kecamatan : Sipirok
Desa : Barnang Koling

No Jenis Kegiatan Jumlah biaya


1 Penyusunan Proposal Rp 60.000
2 Perbaikan Proposal Rp 100.000
3 Seminar Hasil Rp 500.000
4 Persiapan dilapangan Rp 500.000
5 Pengolahan Data Rp 100.000
6 Biaya Print Skiripsi Rp 200.000
7 Persiapan Semhas Rp 500.000
8 Biaya Print Perbaikan Rp 500.000
9 Penggandaan dan Penjilidan Rp 200.000
Skiripsi
10 Ujian Komprensif Rp 200.000
Total Biaya Rp 1.860.000

23
Lampiran 2 : Skedjul Penelitian tentang penelitian pengaruh asam sulfat terhadap
Produktivitas getah pinus dengan metode yang berbeda

Mei Juni Juli Agustus September Oktober


No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
membuat
1 proposal
penelitian
bimbingan
2
proposal
3 seminar proposal
4 revisi proposal
5 penelitian
pembuatan hasil
6
penelitian
7 bimbingan hasil
8 seminar hasil
9 revisi hasil
ujian
10
kompherensif

24

Anda mungkin juga menyukai