PENDAHULUAN
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat di
pisahkan. Hutan berdasarkan fungsinya ada 3 yaitu hutan produksi, konservasi, dan hutan
lindung. Defenisi hutan lindung menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan utuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi tanah, mencegah intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah (Undang-undang No.
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Payung hukum yang mengatur hutan konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekositemnya. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Pengertian hutan produksi adalah suatu areal hutan yang sengaja dipertahankan
sebagai kawasan hutan dan kepentingan masyarakat, dibidang industri dan ekspor. Hutan
ini di tentukan dengan batas-batas suatu HPH (Hak Pengelola Hutan) dan dikelola untuk
menghasilkan kayu. Dengan pengelolaan yang baik, tingkat penebangan diimbangi dengan
penanaman kembali dan pertumbuhan ulang sehingga hutan terus menghasilkan kayu
1
Jika di lihat dari pengertian hutan produksi Pinus merupakan salah satu tumbuhan
yang tumbuh di hutan produksi di daerah kawasan KPHL VI Sipirok, Kecamatan Sipirok,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Pinus menghasilkan getah pada
umur 11 tahun, getah pada pinus dilakukan dengan cara penyadapan. Menuurut Idris dan
Soenarno (1983) secara garis besar ada tiga sistem penyadapan getah pinus berdasarkan
Penyadapan pada sistem bor dengan cara membor batang pohon menggunakan bor
(Sutjipto,1975). Koakan dibuat sejajar panjang batang dengan kedalaman 2 cm dan lebar 10
cm dengan menggunakan alat sadap konvensional yang disebut kedukul/petel dan terakhir
cara penyadapan dengan sistem rill atau kopral dilakukan dari bagian pangkal batang
kearah atas dengan menggunakan pisau sadap luka sadap bentuk huruf V. Secara umum
penerapan cara penyadapan kedukul lebih banyak disukai karena lebih murah dan lebih
mudah. Namun dalam pelaksanaannya masih tidak sesuai dengan prosedur yang di
tetapkan, seperti pembuatan koakan yang terlalu dalam dan lebar atau jumlah koakan lebih
dari 2 untuk setiap batangnya sehingga memicu robohnya karena terpaan angin.
perangsang, contoh cairan stimulan yang dijumpai adalah asam sulfat. Hal ini berarti
semakin tinggi konsentrasi stimulan maka nilai produktivitas cenderung semakin besar.
Kenaikan nilai produktivitas getah berbanding lurus dengan tinggi konsentrasi stimulan,
penggunaan stimulan asam menyebabkan getah-getah yang keluar semakin banyak, hal ini
sesuai dengan pernyataan Kasmudjo (1992) bahwa penggunaan stimulansi asam dapat
menurun, cairan sel keluar sehingga getah menjadi lebih encer dan lebih lama keluarnya,
2
seperti yang dilakukan pada penyadapan getah pinus di daerah kawasan KPHL VI Sipirok,
penelitian guna mengetahui pengaruh stimulan asam sulfat terhadap produktivitas getah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pengaruh asam
sulfat terhadap produktivitas getah pinus dengan system penyadapan kopral (Rill)
Adapun tujuan dari rencana penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asam
sulfat terhadap produktivitas getah pinus dengan system penyadapan kopral (Rill)
Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai teknik, cara, dan perbandingan pengaruh asam sulfat terhadap getah pinus
dengan menggunakan sistem sadap kopral (Rill), khususnya di Kawasan KPHL munit
Provinsi Sumatera Utara. Serta bisa di jadikan sebagai database dan referensi bagi
peneliti lainnya dalam melakukan penelitian dan kajian tentang produktivitas getah
pinus.
Kerangka pemikir ini adalah hutan produksi yang ada di wilayah Kecamatan
hutan bukan kayu (HHBK). Masyarakat di desa Sipirok rata-rata pendapatannya dari
hasil getah pinus, jika getah pinusnya semakin baik maka pendapatannya pun semakin
3
bagus juga, maka dari itu perlu dilakukan penelitian terhadap produktivitas getah pinus
dengan menggunakan asam sulfat agar getahnya semakin baik, berikut gambar
4
Hutan
Hutan Produksi
pinus
getah
Sistem penyadapan
Kopral (Rill)
Stimulan H2SO4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pinus (P, merkussii) secara umum di sebut juga sebagai jenis tumbuhan asli
Indonesia dengan sebaran alam di daerah Sumatera. Menurut Butarbutar dkk. (1998)
didaerah Sumatera tegakan pinus alam di bagi menjadi 3 strata, yaitu strata Aceh, Tapanuli
dan Kerinci. Pinus tidak menurut syarat yang tinggi terhadap tanah, dapat tumbuh pada
daerah yang kurang subur dan ketinggian tempat 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut.
Hutan tanaman pinus sudah sejak lama di kembangkan di Indonesia terutama di Jawa oleh
perum perhutani saat ini pinus merupakan jenis tanaman hutan terluas ke dua setelah Jati
Menurut Hardwino, dkk (1994) bahwa seresah daun pinus mempunyai kandungan
lignin dan selulosa yang tinggi sehingga proses dekomposisinya berjalan sangat lambat di
bandingkan dengan seresah daun jenis lain. Seresah daun pinus yang melimpah dapat
menutup lantai hutan dan meningkatkan kemasaman tanah sehingga tidak mudah bagi jenis
lain untuk dapat tumbuh dan berkembang di dalam tegakan pinus. Daun pinus merupakan
hutan bahan organik yang mempunyai potensi untuk di manfaatkan sebagai media
pertumbuhan semai.
6
Klasifikasi Pinus merkusii adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Phinophyta
Kelas : pinopsida
Ordo : Pinales
Family : Pinaceae
Genus : Pinus
salah satunya tumbuh di Sumatera Utara dan sebaran alaminya sampai di Asia Tenggara
antara lain Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan di Filipina. P. merkusii termasuk suku
Pinaceae nama daerah pinus (Jawa), tusam (Sumatera) (Siregar,2005). Hidayat dan Hatnen,
(2001) menjelaskan bahwa ”Pohon pinus pertama kali di temukan di daerah Sipirok,
Tapanuli Selatan Sumatera Utara seorang ahli botani dari Jerman oleh Dr.F.R. Junghuhn
pada tahun 1841. Tumbuhan ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan
persyaratan yang khusus. ”Deskripsi botani pinus pada umumnya batang berkayu, bulat,
keras, bercabang horizontal, kulit retak-retak seperti saluran dan berwarna cokelat, daunnya
majemuk dan bentuk jarum memiliki buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang,
7
2.4 Sistem penyadapan getah pinus
Menurut Idris dan Soenarno (1983) secara garis besar ada tiga sistem penyadapan
getah pinus berdasarkan bekas luka sadapan, yaitu sistem koakan, kopral, dan bor, berikut
A. Sistem koakan
Gambar 2 koakan
Cara penyadapan yang di lakukan di Indonesia pada era 1975-an adalah cara koakan
(quare) bentuk huruf U terbalik (Sutjipto,1975). Koakan dibuat sejajar panjang batang
yang di sebut kedukul/petel atau alat semi mekanis yaitu mesin mujitech
(Sukardayanti,2014). Saluran getah yang dilukai akan cepat menutup jika tidak diberi
memperpanjang waktu mengalirnya getah, sehingga frekuensi pembuatan luka baru dapat
di kurangi pohon pinus dapat di sadap lebih lama. Dengan demikian luka sadapan
Lama sadapaan yang dilaksanakan untuk satu unit pengelolaan terkecil (petak) adalah tiga
tahun dengan tinggi luka sadapan (koakan) maksimal 190 cm. Namun penyadapan dengan
sistem ini tidak lebih dari dua tahun dengan tinggi koakan maksiml 130 cm (Idris dan
dan kualitas kayu pinus yang cukup besar, disamping menghindari robohnya pohon oleh
8
angin. Untuk memperbanyak jumlah koakan per pohon sebaiknya ukuran lebar koakan di
perkecil menjadi 6 cm. Sistem koakan di nilai sangat mudah, praktis, tidak memerlukan
banyak peralatan, dan kebutuhan alat (kedukul,/patel dan mangkuk getah dari batok kelapa)
sangat sederhana. Namun menurut Sutjipto (1975) sistem ini masih memiliki kelemahan
yakni berkurangnya hasil kayu yang relatif banyak, mempunyai kecenderungan pohon
pinus roboh pada tiupan angin yang keras bila tinggi koakan telah melebihi satu meter,
terlebih lagi bila pada satu pohon terdapat lebih dari satu koakan.
B.Sistem kopral
Gambar 3 kopral
Penerapan sistem kopral (rill) atau sistem india merupakan sistem penyadapan
getah pinus yang di anggap paling aman untuk kelestarian pohon pinus karena
menyebabkan kerusakan batang yang relatif kecil. Penyadapan getah pinus dengan sistem
ini di lakukan dari bagian pangkal batang ke arah atas dengan menggunakan pisau sadap,
luka sadap berbentuk huruf V (pola India), lebar 15 cm, kedalaman 1 cm (bagian kayu
yang terluka sekitar 0,2 cm) dan jarak antara setiap luka sadapan 2 cm. Hasil getah dan
9
C.Sistem bor
Gambar 4 Bor
Sistem penyadapan getah pinus dengan cara membor batang pohon menggunakan
bor manual telah di lakukan di Indonesia khususnya Sumatera Utara dan KPH Bumiayu di
Jawa pada tahun 1966. Namun sistem ini dinilai praktis, dan tidak ekonomis serta
menyusahkan para pekerja dalam pelaksanaanya, karena relatif butuh banyak tenaga yang
dikeluarkan untuk membuat satu luka bor, sehingga menyebabkan kapasitas kerja rendah
(Idris dan Soemnarno, 1983). Sistem bor menggunakan bor listrik yang di lengkapi dengan
jenset telah di uji coba dalam penelitian penyadapan getah pinus di Kabupaten Tana Toraja
pada tahun 2006. Pembuatan luka sadap di mulai dari bagian pangkal batang ke arah atas,
luka sadap berbentuk lubang diameter 2,2cm dengan kedalaman 4-8cm. Untuk
memudahkan getah mengalir dari dalam batang pohon ke dalam wadah penampung getah
(kantong plastik) melalui saluran getah (pipa paralon atau selang plastik diameter 1,9 cm
atau 2,2 cm dan panjang 6cm), maka lubang bor tersebut dibuat miring dari luar (kulit
batang) ke arah atas menuju pusat batang (empelur) dengan sudut kemiringan kurang lebih
25º.
10
2.4 Stimulan H2SO4
Asam sulfat merupakan zat pengering yang baik. Asam sulfat digunakan dalam
pengelolaan kebanyakan buah-buah kering. Di atmosfer, asam sulfat merupakan salah satu
bahan kimia yang menyebabkan hujan asam. Tak mudah membayangkan bahan kimia yang
sangat aktif seperti asam sulfat ini adalah bahan kimia yang banyak di pakai dan merupakan
asam, hal yang perlu diperhatikan adalah tentang konsentrasi asam. Jika konsentrasinya
terlalu rendah, upaya ini kurang efektif. Sebaliknya jika konsentrasinya terlalu tinggi, dapat
mengakibatkan kayu pohon pinus menjadi kering. Faktor lain yang dapat meningkatkan
getah pinus adalah jangka waktu pelukaan. Jika waktu pelukaan terlalu lama dapat
kerusakan kepada pohon pinus. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
11
BAB III
geografis terletak 99°20'0" sampai dengan 99°55'0" Bujur Timur dan 01°15'0" sampai
dengan 01°55’0" Lintang Utara. Secara administrasi KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-
Padang Lawas Utara terbagi dalam dua Kabupaten yaitu Tapanuli Selatan (50.173 Ha) dan
Padang Lawas Utara (122.973 Ha). Adapun Batas-batas wilayah KPHL Unit XXVI
SK. 579/ Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 memliki luas 173.411,87 Ha. Berdasarkan
wilayah cakupan KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara yang cukup luas
maka diperlukan adanya 10 (sepuluh) Resort Pengelolaan Hutan (RPH) yang nantinya
3.2 Topografi
KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara memiliki kondisi
bentang alam yang sangat variatif yang dimulai dari daerah dataran rendah sampai daerah
bergunung-gunung pada rentang ketinggian antara 100 – 1.966 meter di atas permukaan
laut. Kabupaten Tapanuli Selatan berada pada ketinggian antara 200 – 1966 meter di atas
12
permukaan laut sedangkan Kab. Padang Lawas Utara berada pada ketinggian 100 – 800
Pada umumnya areal lokasi wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang
Lawas Utara Provinsi Sumatera Utara merupakan dataran tanah kering dengan ketinggian
tempat bervariasi dari lebih kurang 100 - 1.966 diatas permukaan laut (mdpl) dan fisiografi
Kemiringan lereng, diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas yaitu datar (0-8 %),
landai (8-15 %), agak curam (15-25 %), curam (25-45 %) dan sangat curam (≥ 45 %).
Berdasarkan data BPKH (2015), topografi di wilayah KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-
Padang Lawas Utara cukup beragam, dari kondisi datar sampai curam, namun demikian
persentase lahan dengan topografi sangat curam paling banyak dijumpai diwilayah ini
(87.30%). Adapun rincian topografi di KPHL ini adalah sebagai berikut: datar (2.26%),
landai (0.69%) agak curam (3.72%), curam (6.04%), sangat curam (87.30%) (KPH IV
Sipirok).
3.3 Iklim
Lawas Utara dataran tinggi dan rendah, sehingga berpengaruh pada suhu udara yang
tergolong daerah beriklim tropis. Dalam periode bulan Januari-Desember suhu udara
maksimum bisa mencapai ± 33,80 ºC dan suhu minimum mencapai ± 21,20 ºC. Rata-rata
suhu udara di Kab. Tapanuli Selatan dan Kab. Padang Lawas Utara selama tahun 2016
Tapanuli Selatan dan Kab. Padang Lawas Utara tergolong pada tipe iklim A (sangat basah).
Jumlah hari hujan di Tapanuli Selatan pada tahun 2016 adalah sebanyak 267 hari, dan rata-
rata kelembaban udara sebesar 82,58%. Jumlah hari hujan terendah yaitu pada bulan Juni
13
yaitu sebanyak 17 hari, dan jumlah hari hujan tertinggi pada bulan Mei dan Desember yaitu
3.4 Tanah
Jenis tanah yang terdapat di KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas
Utara cukup beragam yang didominasi oleh Podsolik Coklat dan Podsolik Merah Kuning
(PMK). Tipe tanah seperti ini membuat lahan di wilayah ini sebagian besar hanya cocok
Penduduk desa Barnang Koling berjumlah 187 kk atau jiwa yang terdiri dari 94
14
10 Dolok Sordang 250 238 488
11 Dolok Sordang Julu 326 337 663
D Kecamatan Saipar Dolok Hole
1 Pintu Padang Mandalasena 455 428 883
2 Silangkitang Tambiski 218 219 437
3 Parau Sorat Sitabo Tabo 524 448 972
4 Sunge Sigiring-giring 520 498 1018
5 Ulu Mamis Situnggaling 369 381 750
6 Batang Parsuluman 185 197 382
penduduk yang bersekolah adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS). Penyediaan sarana
fisik yang memadai serta tenaga guru yang mencukupi dan berkualitas sangat
kawasan hutan KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-Padang Lawas Utara khususnya di desa
barnang koling yaitu seklah dasar( SD) Negri 1, Sekolah menengah pertama ( SMP) Negri
Desa, masyarakat sudah tidak lagi hidup dalam format kerajaan. Pengaturan mengenai
hubungan masyarakat dengan tanah juga sudah ditata melalui Undang-Undang Pokok
Agraria No.5 Tahun 1960 dan aturan lain yang kemudian lahir sebagai turunannya.
Selanjutnya dengan corak pemerintahan Orde Baru juga semakin menempatkan komunitas
desa sebagai objek dari pada subjek dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
penataan kehidupan mereka sebagai warga kolektif. Dalam suasana yang demikian itulah
komunitas desa-desa termasuk yang hidup di sekitar KPHL Unit XXVI Tapanuli Selatan-
Padang Lawas Utara, menata kehidupan sosial dan kelembagaan mereka. Tidak
15
mengherankan bahwa gejala yang mengemuka adalah adanya suasana yang ambigu dimana
disatu sisi terdapat sistem pemerintahan desa yang formal, sedangkan disisi lain masih
banyak aspek kehidupan masyarakat yang diatur dalam tatanan lama berdasarkan adat
16
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini di rencanakan pada bulan Juli sampai agustus 2022. Lokasi
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kamera sebagai alat
dokumentasi, alat tulis sebagai pencatat hasil dari penelitian, alat penyadap getah pinus
(kedukul, dan pisau sadap) penggunaan larutan asam sulfat, tempurung sebagai penampung
getah pinus dan timbangan sebagai alat ukur getah pinus, lempengan seng sebagai media
aliran getah pinus pada koakan, alat hitung, dan alat lain sebagai penunjang berlangsungnya
17
4.3 Prosedur penelitian
2) System penyadapan yang akan dilakukan yaitu dengan metode kopral (Rill).
atau 1 liter, dan larutan H2SO4 akan disemprotkan ke getah pinus yang sudah di
sadap.
18
4.4 Analisis data
dengan dua faktor setiap perlakuan terdiri dari 1 metode dengan 1 kali ulangan.
Jendral Pengelolaan Hutan Produksi Lestari tentang sistem evaluasi Penyadapan Getah
Maka dari itu penulis menyesuaikan ketinggian lokasi penelitian dengan peraturan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dimana tinggi lokasi penelitian sekitar 100
-1966 mdpl maka asam sulfat yang digunakan yaitu maksimal 20%.
Bobot getah pinus yang di peroleh dari hasil penyadapan, menurut Soenarno (1999).
19
Y=V
I
Dimana:
Y=Produksi getah (g/pohon/hari)
V=Bobot getah yang di pungut(g)
I=Intensitas pemungutan (hari)
b. Kualitas getah pinus
Menurut Hanan dan Harianto (2017), kualitas getah pinus di bedakan atas dua kelas
yaitu:
a. Mutu I/A
20
Daftar Pustaka
Dahlian, E. dan hartoyo. Komponen Kimia Terpentin dari Getah Pinus merkusi
(Tusam) 1997.
Hardwinoto,S, Haryono, S, Fasis, M dan Sambas S. 1994 Pengaruh sifat kimia
terhadap tingkat dekomposisi beberapa jenis daun tanaman hutan manusia dan
lingKungan,jurnal pusat penelitian lingkungan hidup Universitas Gadjah Mada
no4(2): 25-36.
Hani A.(2009) Pengembangan tanaman penghasil hutan bukan kayu melalui perbanyaKan
vegetatif teknik hutan tanaman 2(2) 83-92.
Hidayat, J. dan Hatsen,CP. (2001) Informasi singkat benih:pinus merkusi jungh.et De
Vriese Indonesia Forest Saeed Project No. 12, Oktober 2001 Bandung.
Idris,M.M & Soenarno (1983). Aspek teknis eksploitasi Hutan pinus di pulau Jawa
Proceding simposium pengusahaan hutan pinus (Jakarta,23-28 Juli 1983). Pusat
penelitian dan pengembangan hasil hutan, Bogor.
Kasdmojo 1992 Usaha Stimulan pada penyadapan getah pinu. Data Rimba (XVII)15-20
KPH 1V Wilayah Sipirok Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.
Lempang (2017) Studi penyadapan getah cara bor dengan Stimulan H 2SO4. Jurnal
Penelitian hasil hutan 35 (3): 221-230.
Muliani dkk.2014. pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan
pengungkapan corporate sosial responsibiliti dan good e-jurnal siak Universitas
Pendidikan Ganesha, 2014
Muhtaria charles., D.supriyatdi dan M.Rafiq. 2015 Pengaruh Konsentrasi Stimulant dan
Intensitas Sadap pada Produksi Lateks Tanaman Karet Seedling. 3(1):59-68.
Monica selfie & R.Zainul Karakteristik dan Interaksi Molekular Asam Sulfat, 18, 2021.
Santoso,(2010) Pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) Diakses
http://MembresMultimania. Co uk pada tanggal 17 Februari 2011.
Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, h17
Shmulsky. R, & Jones P.D (2011). Forest products and wood sclene:nan introduktion
Siregar (2005) intlasi pengelolaan air limbah Yogyakarta Kanisius.
Soenarno 1999. Metode riset :UNS pres.
Sujipto (1975) penyadapan pinus dengan stimulan asam sulfat. Jakarta duta rimba No5, hal
12-15
Sukardayanti (2004) pemanenan getah pinus menggunakan tiga cara sadapan
jurnalPenelitian hasil hutan 32 (1) : 62-70
21
Suharisno (2009). Grand Strategi pengembangan hasil hutan bukan kayu nasional.
Makalah pada workshop pengembangan HHBK Yogyakarta 13 Januari
2009Diakses dari http://www. Dephut 90 id pada tanggal 23 Aagustus 2016.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan
22
Lampiran 1: Anggaran biaya penelitian tentang pengaruh asam sulfat terhadap
produktivitas getah pinus merkusii dengan metode penyadapan berbeda
Provinsi : Sumatera Utara
Kabupaten : Tapanuli Selatan
Kecamatan : Sipirok
Desa : Barnang Koling
23
Lampiran 2 : Skedjul Penelitian tentang penelitian pengaruh asam sulfat terhadap
Produktivitas getah pinus dengan metode yang berbeda
24