Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENAHANAN

Dosen Pengampu

Dr. Vidya Prahassacitta, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Chelsea Vallentio 2602152225

Jeane Natalia De Chantal 2602150005

Nur Azka Zahira K. 2602112266

Raisa Aziza Rumiangga 2602137256

Sains Ilham Radhillah 2602128711

Tjandra Gaotama 2602171092

BUSINESS LAW

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

JAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam hukum acara pidana, terdapat serangkaian prosedur atau tata cara pelaksanaan
yang harus diikuti baik sebelum dimulainya persidangan maupun pada saat persidangan
dimulai. Pada serangkaian proses tersebut, terdapat salah satu tahap yang disebut dengan
penahanan. Kewenangan untuk melakukan penahanan biasanya diberikan kepada penyidik
sebagai aparat penegak hukum untuk meyakinkan perbuatan terdakwa/tersangka. Penahanan
terhadap seorang tersangka/terdakwa harus didasari dengan adanya pemenuhan syarat
obyektif dan syarat subyektif. Sehingga penahanan bukanlah merupakan tahapan wajib untuk
semua pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana. Penyelenggaraan penahanan
bertujuan untuk mendapatkan proses dari pengadilan yang akan mengadilinya mengenai
apakah perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan untuk dapat
dikatakan sebagai suatu tindak pidana. Sejak di Undangkan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara pidana (KUHAP) sebagai dasar praktik pemeriksaan acara pidana Nasional lebih
membuat pemaknaan “Penahanan” lebih tepat dibandingkan pemaknaan “Penahanan” yang
sangat berbeda dalam Herzein Inlandsch Reglement (H.I.R.). Didalam pemahaman Bahasa
Belanda menyebutkan de verdachte aan te houden yang tertulis dalam H.I.R pada Pasal 60
ayat (1) yang diartikan dalam bahasa Indonesia ialah menangkap tersangka. Dan Juga dalam
bahasa Belanda makna dari penahanan ialah menahan sementara (voorlopige aan houding)
yang tertulis didalam Pasal 62 ayat (1) H.I.R. Begitu juga dalam pemaknaan Penahan dalam
bahasa Belanda zijn gevangen houding bevelen yang artinya ialah perintah penahanan.1

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang terdapat dalam topik ini, maka rumusan masalah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaturan KUHAP mengenai pelaksanaan penahanan dalam hukum acara
pidana?

1
Boby Daniel Simatupang, “Proses Sah dan Tidaknya Penahanan Menurut Aturan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Studi Field Riset Perputakaan)”, Jurnal Lex Justitia, Vol. 2(2), 2020, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f91061b34af4/tergugat-di-luar-negeri/.

2
2. Apa sajakah syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi agar penahanan dapat
dilaksanakan?
3. Bagaimanakah perkembangan Undang-Undang yang mengatur tentang penahanan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Hukum


 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
 Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2.2 Definisi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, penahanan berarti perbuatan (cara, hal, dsb),
menahan, penolakan, penghambatan, penghambatan, dsb.2Dan menurut Kamus Hukum,
3
penahanan berarti cara, proses, perbuatan menahan, penyitaan, dan penangguhan. Hakikat
dari penahanan itu ialah penghambatan atas kebebasan seseorang. 4
Penahanan itu merupakan salah satu dari bentuk yang aparat penegak hukum lakukan
untuk upaya penegakkan hukum dalam membatasi perbuatan dari seorang pelaku tindak

2
W.J.S. Poerwadarminta, 2009, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet, 4, Ed, 3, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1179.
3
Soesilo Prajogo, 2007, Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Cet, 1, Wipress, h. 347.
4
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Cet, 2,Ed, 2, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 117.

3
pidana. Dan upaya inilah yang digunakan, untuk mempermudah penyidik dalam memproses
tersangka menurut prosedur yang diatur didalam KUHAP.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 Butir
21 jo Pasal 20 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.5
Menurut masa berlakunya Het Herzien Islands Reglement tidak memberi pengertian
mengenai penahanan secara singkatm tetapi dijelaskan didalam Pasal 75 ayat HIR bahwa:
i. Kalau keterangan-keterangan cukup memberikan menunjukan bahwa si tertuduh itu
bersalah dan ia perlu sekali ditahan untuk kepentingan pemeriksaan atau menjaga
supaya melakukan perbuatan jangan di ulanginya lagi atau menjaga untuk ia jangan
lari, maka dalam hal yang di tentukan pada ayat 2 pasal 62 pegawai penuntut umum
atau pembantu jaksa yang melakukan pemeriksaan itu dapat mengeluarkan perintah
untuk menahan sementara.
ii. Peraturan dalam Pasal 62, 71 ayat 2 dan72 berlaku untuk perintah ini.
Kemudian, menurut Sutomo Surtiatmojo dalam Het Herziene Inlandsh Reglement
(HIR), dijelaskan bahwa terdapat dua bentuk penahanan yaitu penahanan sementara dan
penahanan saja. Penahanan sementara adalah penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum
atau pembantu jaksa selama dua puluh hari. Dan penahanan yang sudah lewat dua puluh hari
beserta perpanjangan-perpanjangan dari hakim atau ketua pengadilan negeri, selama tiga
puluh hari dan seterusnya sudah merupakan penahanan saja tanpa kata sementara (Pasal 75
(1) jo Pasal 72 (1) jo 62 (1) jo Pasal 83 c (4) HIR). “Penahanan saja tanpa ada kata
sementara adalah penahanan yang dapat berjalan seterusnya tanpa ada batas yang
konkret”.

2.3 Fungsi dan Tujuan Penahanan


a. Fungsi Penahanan
Fungsi dari penahanan itu sendiri tidak tertulis secara langsung dalam kitab KUHAP
namun dituliskan secara tersirat pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang dimana disebutkan
bahwa “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa

5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4
akan malrikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana”.
Dalam pasal yang telah disebutkan, tertulis tentang mengapa tindakan penahanan dan
penahanan lanjutan dilakukan dan hal tersebut merupakan fungsi dari penahanan itu sendiri
yaitu, untuk mencegah terjadinya pelarian diri, perusakan atau kehilangannya barang bukti
dan/atau mengulangi tindak pidana yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa
pidana.

b. Tujuan Penahanan
Penahanan dilakukan untuk mencegah tersangka/terdakwa melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbutanan pidana. Dan menurut pasal
31 KUHAP penangguhan penahanan adalah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari
penhanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir, dan penangguhan penahanan terjadi
karena permintaan tersangka atau terdakwa, permintaan itu disetujui oleh instansi yang
menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan
jaminan ditetapkan, serta adanya persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang
ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan.
Penetapaan syarat oleh instansi yang memberi penangguhan adalah faktor yang
menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan, tanpa adanya syarat yang
ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan. Dalam pasal 20
KUHAP dijelaskan bahwa tujuan penahanan antara lain adalah:
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik berwenang melakukan penahanan;
2. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan
atau penahanan lanjut;
3. Untuk kepentingan pemerikasaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.

2.4 Penahanan Sebagai Upaya Paksa


Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti, penyidik memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk mempercepat dan melengkapi berkas-berkas
yang diperlukan dalam tahap penyidikan agar siap untuk diserahkan kepada Penuntut Umum.

5
Kewenangan penyidik untuk melakukan tindakan tertentu mencakup tindakan untuk
melakukan upaya-upaya yang bersifat memaksa (dwang middelen).6
Salah satu upaya paksa yang dimaksud dalam hal ini adalah tindakan penahanan yang
diatur dalam Pasal 21 ayat 2 KUHAP bahwa penyelenggaraan penahanan terhadap tersangka
atau terdakwa merupakan kewenangan dari penyidik atau penuntut umum dengan adanya
surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang berisi identitas tersangka atau terdakwa
serta menyebutkan alasan penahanan dan uraian singkat kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan.
Dalam hal dilakukan penahanan, penyidik harus menyertakan surat perintah
penahanan atau penetapan hakim yang diatur berdasarkan Pasal 21 ayat (2) KUHAP. Serupa
dengan penangkapan, tembusan surat penahanan atau penetapan hakim harus diberikan
kepada keluarga dari orang yang ditahan (Pasal 21 ayat (3) KUHAP).7 Adapun pengaturan
dalam KUHAP yang menyatakan bahwa surat perintah yang baru diberikan 1 (satu) hari
setelah penahanan bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Terhadap hal ini,
tersangka atau terdakwa dapat mengajukan Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan.
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 168-169) mengatakan bahwa surat
perintah penahanan atau surat penetapan penahanan harus memuat hal-hal sebagai berikut: 8
1. Identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, dan tempat
tinggal;
2. Menyebutkan alasan penahanan;
3. Uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan;
4. Menyebutkan dengan jelas di tempat mana ia ditahan, untuk memberi kepastian
hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.

2.5 Syarat Penahanan

6
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978) dalam Wempi Jh. Kumendong, “Kemungkinan
Penyidikan Delik Aduan Tanpa Pengaduan” Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 23, No. 9, 2017, hlm. 1.19.
7
Dicki Nelson, S.H., M.H., 2023, Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-praperadilan-cl7035/
8
M. Yahya Harahap, S.H., 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan. Sinar Grafika.

6
Menurut H.M.A Kuffal, dengan berdasar kepada Pasal 1 angka (21) jo. Pasal 20 jo.
Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (4) KUHAP, ada 2 (dua) dasar untuk melakukan
penahanan, yaitu:9

a) Dasar hukum/dasar obyektif, yang terdiri dari:


1) Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
2) Tindak-tindak pidana sebagaimana disebutkan didalam Pasal 21 ayat (4) huruf
b.
b) Dasar kepentingan/dasar subyektif, yang terdiri dari:
1) Kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan;
2) Adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri,
merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
Dasar hukum yang mengatur tentang syarat penahanan terdapat dalam Pasal 21
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan
lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”
Syarat penahanan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
dikenal dengan syarat penahanan subjektif yang artinya penahanan dapat dilakukan
terhadap terdakwa apabila penyidik khawatir tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Dengan kata
lain jika penyidik menilai bahwa tersangka/terdakwa tidak akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana maka penahanan terhadap si
tersangka/terdakwa tidak dilakukan.
Lebih lanjut, Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan, “Penahanan tersebut hanya
dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335
ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-
9
HMA Kuffal, 2008, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, edisi kesepuluh, UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah, Malang, hlm. 68.

7
undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor
8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).”
Syarat penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP ini dikenal dengan
syarat penahanan objektif, yang artinya penahanan terhadap terdakwa dilakukan atas dasar
perintah dari undang-undang. Berdasarkan uraian di atas, bisa dipahami bahwa yang namanya
tersangka/terdakwa tidak wajib ditahan. Penahanan dilakukan jika memenuhi syarat
penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP (syarat objektif) dan
memenuhi keadaan-keadaan sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP (syarat
subjektif).10

2.6 Jangka Waktu


Penahanan dalam UU No. 1 Tahun 1981 tentang KUHAP pada dasarnya telah
ditentukan pembatasan jangka waktu masa penahanan bagi seorang tersangka/terdakwa di
setiap instansi penegak hukum seperti penyidik di Kepolisian, penuntut umum di Kejaksaan
dan Hakim di Pengadilan. Ketentuan yang mengatur tentang pembatasan jangka waktu
penahanan tersebut bisa dimintakan perpanjangan masa penahanan yaitu sekali saja pada tiap-
tiap instansi.
KUHAP mengatur secara tegas jangka waktu penahanan tersangka. Untuk waktu
penahanan tersangka diatur pada Pasal 24 dan Pasal 25. Menurut Pasal 24 ayat (1) dan ayat
(2) KUHAP, pada tingkat penyidikan di kepolisian, perintah penahanan yang diberikan oleh
penyidik yaitu jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka dapat diperpanjang oleh penuntut umum
paling lama 40 hari. Sedangkan, pada tingkat penuntutan di kejaksaan, lama penahanan
tersangka yaitu 20 hari, dan dapat diperpanjang maksimal 30 hari.
Ketentuan penahanan ini tidak menutup kemungkinan dikelurkan tersangka dari
tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan apabila kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi. Penahanan terhadap tersangka dapat diperpanjang lebih dari ketentuan Pasal 24 dan

10
Boris Tampubolon, 2016, Syarat Penahanan Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), diakses dari
https://konsultanhukum.web.id/syarat-penahanan-menurut-hukum-acara-pidana-kuhap/.

8
25 KUHAP apabila berdasarkan alasan yang patut dan tidak bisa dihindari, seperti tersangka
menderita gangguan mental yang berat atau gangguan fisik, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama
sembilan tahun atau lebih.
Adapun rincian masa penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia, adalah sebagai
berikut:11

N INSTANSI UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP


O
1 Kepolisian 20 hari + 40 hari perpanjangan
2 Kejaksaan 20 hari + 30 hari perpanjangan
3 Pengadilan Negeri 30 hari + 60 hari perpanjangan
4 Pengadilan Tinggi 30 hari + 60 hari perpanjangan
5 Mahkamah Agung 50 hari + 60 hari perpanjangan
TOTAL 400 hari

2.7 Kasus Menarik


Dalam masa penegakan hukum Indonesia telah terjadi sekian banyaknya penahanan,
tidak semua barangkali dilaksanakan sesuai dengan harapan masyarakat, namun malah
merusak kepercayaannya. Contoh dari kasus penahanan yang menarik banyak perhatian
masyarakat adalah kasus penangkapan dan penahanan yang tidak bertanggungjawab terhadap
tiga pemuda Maluku.

Kronologi kasus ini dilansir dari, https://www.amnesty.id/penangkapan-dan-


penahanan-sewenang-wenang-terhadap-tiga-pemuda-maluku/ .
Kasus diawali pada tanggal 7 April 2021, 20 personel militer (TNI) melakukan
penggerebekan di rumah Alexander Workala dan menemukan buku serta bendera Republik
Maluku Selatan (RMS) yang disebut "Benang Raja." Mereka membawa Alexander ke Kantor
Polisi Seram Bagian Barat (SBB), di mana dia diperiksa setelah mengalami pemukulan pada
bagian kepala. Alexander mengaku sebagai aktivis RMS dan mengklaim bendera itu
diterimanya dari Pieter Likumahua. Meskipun dituduh tindak pidana makar, Alexander

11
Andi Setiawan, 2020, Upaya Paksa Tindakan Penahanan Terhadap Tersangka Menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, diakses dari http://eprints.uniska-
bjm.ac.id/339/1/artikel%20andi%20setiawan.pdf

9
dengan tegas membantah dan menyatakan tujuannya adalah mempromosikan kemerdekaan
RMS dari Indonesia secara damai.
Keesokan harinya, polisi mendatangi rumah Pieter dan setelah investigasi semalam,
Pieter dan pendampingnya, Benjamin Naene, juga dijadikan tersangka. Pada 30 Juni, pihak
berwajib mengumumkan penahanan Pieter diperpanjang hingga 6 Agustus untuk
penyelidikan. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan, terutama di tengah pandemi Covid-
19, dan masyarakat berharap agar polisi segera membebaskan Pieter, Alexander, dan
Benjamin.
Penyelidikan menunjukkan pasal-pasal makar dalam KUHP sering diterapkan dengan
definisi yang tidak jelas sehingga tujuannya menjadi tidak lagi relevan. Contohnya pada Juni
2007, aktivis RMS, termasuk Johan Teterissa, ditangkap dan dipenjara setelah demonstrasi
damai di Ambon. Mereka didakwa tindak pidana makar dan dipindahkan ke Pulau Jawa,
mengalami perlakuan kasar dan kekurangan perawatan medis. Pihak berwenang sering
menggunakan KUHP, khususnya Pasal 106 dan 110, untuk mengadili aktivis yang
mendukung kemerdekaan RMS dan Papua secara damai.

2.8 Perbandingan Peraturan

Perihal UU Nomor 8 Tahun 1981 Rancangan KUHAP 2012


1. Syarat Penahanan Pasal 21 ayat (1): Pasal 59 ayat (5):
Perintah penahanan atau Penahanan sebagaimana
penahanan lanjutan dimaksud dalam Pasal 58,
dilakukan terhadap seorang dilakukan terhadap
tersangka atau terdakwa tersangka atau terdakwa
yang diduga keras yang diduga keras
melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya cukup dan ada kekhawatiran
keadaan yang menimbulkan tersangka atau terdakwa
kekhawatiran bahwa akan:
tersangka atau terdakwa a. melarikan diri;
akan melarikan diri, merusak b. merusak dan
atau menghilangkan barang menghilangkan alat bukti
bukti dan atau mengulangi dan/atau barang bukti;

10
tindak pidana. c. mempengaruhi saksi;
d. melakukan ulang tindak
pidana;
e. terancam keselamatannya
atas persetujuan atau
permintaan tersangka atau
terdakwa.
2. Tata Cara Penahanan Pasal 21 ayat (3): Pasal 59 ayat (4):
Tembusan surat perintah Dalam waktu paling lama 1
penahanan atau penahanan (satu) hari terhitung sejak
lanjutan atau penetapan penahanan, tembusan surat
hakim sebagaimana perintah penahanan atau
dimaksud dalam ayat (2) penetapan hakim
harus diberikan kepada sebagaimana dimaksud pada
keluarganya. ayat (2) harus diberikan
kepada:
a. keluarga atau wali
tersangka atau terdakwa;
b. lurah atau kepala desa
atau nama lainnya tempat
tersangka atau terdakwa
ditangkap;
c. orang yang ditunjuk oleh
tersangka atau terdakwa;
dan/atau
d. komandan kesatuan
tersangka atau terdakwa,
dalam hal tersangka atau
terdakwa yang ditahan
adalah anggota Tentara
Nasional Indonesia karena
melakukan tindak pidana
umum.
3. Bantuan hukum Pasal 93 ayat 3: Tidak diatur

11
kepada terdakwa atau
tersangka Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku jika tersangka atau
terdakwa menyatakan
menolak didampingi
penasihat hukum yang
dibuktikan dengan berita
acara yang dibuat oleh
penyidik atau penuntut
umum dan ditandatangani
oleh penyidik atau penuntut
umum, tersangka atau
terdakwa.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Saran dan Solusi

Setiap manusia mempunyai Hak Asasi Manusia yang sudah ada sejak dari ia lahir,
yang artinya setiap orang bebas mendapatkan hak dan kewajibannya tanpa terkecuali,
termasuk dalam menjalankan proses untuk suatu tindak pidana.
Dalam proses tindak pidana, terdapat dilakukan penahanan atas seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan bukti permulaan yang
cukup itu dijadikan dasar untuk menduga adanya perbuatan tindak pidana. Dan perintah
penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dan dilakukan terhadap orang
yang benarbenar melakukan perbuatan tindak pidana. Tetapi,
Dan dalam melakukan penahanan tersebut sering terjadi penyimpangan mengenai tata
cara penahanan dan prosedur penahanan yang sesuai dengan Undang-Undang tanpa alasan
yang jelas dan merugikan hak-hak dari pihak yang sedang dalam proses penahanan.
Penahanan menjadi sangat membatasi kebebasan seseorang untuk melakukan sesuatu
diluar dari kebiasaannya, yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum yang dapat
enyebabkan seseorang tersebut merasa tidak bebas karena diduga telah melakukan tindak
pidana yang disangkakan terhadap dirinya.
Penahanan dilakukan oleh aparat hukum itu harus sesuai dengan ketentuan KUHAP,
dan demi menghindari kesalahan dalam proses penahanan yang mungkin dapat merugikan
tersangka atau terdakwa, maka penahanan wajib memberikan perlindungan atas harkat dan
martabat dengan tetap memberikan hak-hak yang tersangka punya yang dilindungi oleh
negara sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2012 entang Hukum
Acara Pidana.

Buku

 Eddyono, Supriyadi Widodo. (2014). Penahanan Pra Persidangan dalam Rancangan


KUHAP. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.
 Kuffal, HMA. (2008). Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Edisi Kesepuluh.
Malang: Universitas Muhammadiyah.
 Harahap, M. Yahya. (2007). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan. Cetakan Kedua. Jakarta: Ghalia.
 Prajogo, Susilo. (2007). Kamus Hukum Internasional & Indonesia. Cetakan 1.
Wipress, h. 347.
 Poerwadarminta, W.J.S. (2009). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan 4, Edisi 3.
Jakarta: Balai Pustaka.

Internet
 Tampubolon, Boris. (2016). Syarat Penahanan Menurut Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Diakses dari https://konsultanhukum.web.id/syarat-penahanan-menurut-
hukum-acara-pidana-kuhap/ (15 Oktober 2023).
 Lama Waktu Penahanan - Klinik Hukumonline. hukumonline.com. (n.d.).
https://www.hukumonline.com/klinik/a/lama-waktu-penahanan-cl2743/
 Nelson, Dicki. (2023). Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya
Hukumnya. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-
praperadilan-cl7035/
 Harruma, I. (2023, January 4). Lama masa penahanan tersangka. KOMPAS.com.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/05/02000071/lama-masa-penahanan-

14
tersangka#:~:text=KUHAP%20mengatur%20secara%20tegas%20lama,diperpanjang
%20paling%20lama%2040%20hari (15 Oktober 2023).
 Pramesti, T. J. A. (2014, March 27). Fungsi Penangkapan Dan Penahanan Dalam
proses penyidikan - Klinik Hukumonline. hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/fungsi-penangkapan-dan-penahanan-dalam-
proses-penyidikan-lt5330f5c311966/ (15 Oktober 2023).
 Penangkapan Dan Penahanan Sewenang-Wenang Terhadap Tiga Pemuda Maluku
https://www.amnesty.id/penangkapan-dan-penahanan-sewenang-wenang-terhadap-
tiga-pemuda-maluku/ . (15 Oktober 2023)
 Setiawan, Andi. (2020). Upaya Paksa Tindakan Penahanan Terhadap Tersangka
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. Diakses dari http://eprints.uniska-bjm.ac.id/339/1/artikel
%20andi%20setiawan.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai