Anda di halaman 1dari 16

Nama : Sevia Etika Ambarsari

Npm : 2010070160008
Prodi : Administrasi Rumah Sakit
Mata Kuliah : Manajemen Risiko

MANAJEMEN RISIKO DALAM PERSPEKTIF AKREDITASI RUMAH SAKIT

1. IDENTITAS JURNAL
a. Nama Jurnal : Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-jurnal)
b. Volume :7
c. Nomor :1
d. Tahun Penerbit : ISSN: 2356-3346
e. Judul Jurnal : Analisis Pelaksanaan Manajemen Risiko di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang Tahun 2016
f. Nama Penulis : Khansa Maghfira Djatnika, Septo Pawelas Arso, Sutopo
Patria Jati
(Djatnika et al., 2019)
Pendahuluan
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa satu dari 10 pasien rawat
inap di negara berpenghasilan tinggi dirugikan saat menerima layanan rumah sakit. Kerugian
dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa atau kecelakaan (KTD). Ini adalah salah satu faktor
yang dipengaruhi oleh kompleksitas organisasi perawatan kesehatan lebih dari industri lain,
sehingga meningkatkan kemungkinan kesalahan dan kompleksitas organisasi untuk
menghindarinya. Dalam Pasal 43 UU RI No. 44 Tahun 2009, pemerintah mewajibkan rumah
sakit menerapkan standar keselamatan pasien. Hal ini dicapai dengan menyelenggarakan
program manajemen risiko. Selain mengedepankan keselamatan pasien, manajemen risiko
merupakan bentuk penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)
mendefinisikan manajemen risiko sebagai proaktif mengidentifikasi, menilai, dan
memprioritaskan risiko untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya. Tujuan
manajemen risiko yang diterapkan oleh badan akreditasi rumah sakit seperti Dewan
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan Joint Commission International (JCI) dituangkan dalam
standar akreditasi yang diterbitkan, Standar Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
(PMKP) dan Standar Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP). Patient Safety
(QPS), yang menyatakan bahwa rencana manajemen risiko digunakan untuk mengidentifikasi
risiko guna mengurangi kejadian yang merugikan dan risiko lain yang mengancam
keselamatan pasien dan staf.
Permenkes No. 72 Tahun 2016 menyatakan bahwa setiap pemangku kepentingan di
rumah sakit wajib mendukung penerapan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
Berdasarkan standar tersebut apoteker harus mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi
pada saat melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian yang disebut dengan manajemen risiko.
Sementara itu, manajemen risiko institusi farmasi dikelola dalam bentuk pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, serta kegiatan pelayanan farmasi klinik.

Hasil dan Pembahasan dari Jurnal ini :


1. Penentuan konteks
a. Manajemen risiko lingkungan eksternal dalam instalasi
Apotek telah beroperasi sesuai dengan unsur Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 dan
Standar Akreditasi KARS pada Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien khususnya
Fasilitas Kefarmasian yang telah diatur dalam Permenkes No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian.
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian sangat beragam
dan luas, tergantung pada pelayanan yang diberikan. Misalnya, apotek rawat jalan
mengoordinasikan layanan farmasi untuk pasien rawat jalan, IGD, dan IBS, sedangkan
apotek rawat inap mengoordinasikan layanan farmasi untuk kamar pasien. Logistik farmasi
adalah tim yang berkoordinasi dengan pemangku kepentingan yang lebih luas seperti
Layanan Pembelian (ULP), distributor, dll. Variasi dan kompleksitas pelayanan kefarmasian
membuat instalasi farmasi menjadi pelayanan yang berisiko tinggi.
b. Kontrks Internal
Menurut hasil wawancara dengan narasumber, ditemukan bahwa penunjukan
penanggung jawab manajemen risiko di unit tersebut merupakan perpanjangan dari PJ
manajemen risiko rumah sakit, dan kegiatan manajemen risiko dilakukan di unit terkecil
dalam lingkupnya. rumah sakit. Menurut hasil wawancara, penanggung jawab instalasi
farmasi merupakan stakeholder di instalasinya. Kepala Apotek berkoordinasi dengan 3
koordinator dalam menjalankan tugasnya yaitu Koordinator Rawat Jalan, Koordinator Rawat
Inap dan Koordinator Logistik.
c. Konteks Manajemen Risiko
Manajemen risiko di fasilitas farmasi diawali dengan penyusunan daftar risiko. Dalam
menyusun daftar risiko ini terdapat “Pedoman Manajemen Risiko” yang dikeluarkan oleh
rumah sakit, dan setiap unit menyusun daftar risiko tersebut sesuai dengan pedoman yang
diberikan. Namun ada kendala karena panduan tersebut direvisi tahun ini, sehingga terjadi
revisi daftar risiko yang dikumpulkan dari tempat kerja ke KMKK. Daftar risiko yang direvisi
mengalami pewarnaan pita yang salah, yang mengakibatkan kesalahan interpretasi data
karena tingkat keparahan risiko yang tidak sesuai.
d. Konteks kriteria Risiko
Pedoman risiko yang digunakan oleh Instalasi Farmasi mengacu pada pedoman
manajemen risiko yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Pedoman risiko yang ada sudah dapat
menggambarkan dan Mengidentifikasi risiko yang ada.

2. Asesmen Risiko
a. Identifikasi Risiko
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber diketahui bahwa identifikasi risiko
kefarmasian dilakukan dengan memetakan risiko pada seluruh proses pelayanan kefarmasian
dengan mengacu pada jenis pelayanan kefarmasian yang tertuang dalam Permenkes No 72
Tahun 2016 tentang Pelayanan Kefarmasian. identifikasi risiko, sarana farmasi
memanfaatkan laporan internal seperti laporan indikator mutu, catatan kesehatan, laporan
insiden keselamatan pasien, dan mengindahkan masukan pemangku kepentingan sarana
farmasi seperti dokter, pasien, dan pimpinan rumah sakit. Adapun teknologi yang diterapkan
pada perangkat obat selama ini berhasil mengidentifikasi seluruh risiko yang ada di Instalasi
Farmasi.
b. Analisis Risiko
Analisis risiko di fasilitas farmasi menggunakan bantuan alat matriks pemeringkatan
risiko, dimana dampak dan probabilitas risiko diberi skor untuk mendapatkan tingkat
keparahan risiko. Instalasi Farmasi menggunakan review laporan tahun lalu, seperti laporan
insiden keselamatan pasien, saat melakukan analisis dampak dan probabilitas. Namun pada
tahap scoring, kepala pabrik farmasi tidak melibatkan koordinator. Penyusunan daftar risiko
pada tahap ini umumnya hanya membutuhkan satu orang untuk melengkapinya. Faktanya,
risk rating matrix merupakan alat subjektif yang dapat membiaskan hasil analisis jika tidak
melibatkan pemangku kepentingan yang benar-benar memahami profil risiko situs tersebut.
c. Evaluasi risiko
Melakukan penilaian risiko untuk menentukan prioritas risiko yang akan ditangani. Di
Instalasi Farmasi, pemilihan risiko didasarkan pada hasil analisis tahap sebelumnya. Untuk
risiko yang paling serius dan dapat dikendalikan, risiko tersebut dinaikkan ke indikator
kualitas instalasi, dan dilaporkan dan dipantau secara rutin setiap bulan.Risiko lainnya
dianggap dapat ditoleransi dan akan dimasukkan dalam tinjauan akhir tahun setelah tata
kelola. Dinilai oleh manajemen.
3. Perlakuan risiko
Pada umumnya, perlakuan risiko yang dicantumkan pada daftar risiko instalasi dibagi
menjadi penganalisisan risiko berdasarkan SOP sebagai perlakuan awal dan dilakukan
supervisi dan sosialisasi sebagai bentuk rencana perlakuan lanjutan. Berdasarkan Standar ISO
31000, dalam melakukan pilihan opsi perlakuan risiko, penting untuk memerhatikan persepsi
dan nilai- nilai yang dianut oleh pemangku kepentingan, untuk itu harus dilakukan
komunikasi yang memadai. Sedangkan dalam analisis perlakuan risiko ini, terdapat
koordinator yang merasa bahwa rencana perlakuan yang dicantumkan kurang tepat
dikarenakan kurang sesuai dengan kondisi aktual lapangan. Perbedaan pendapat ini timbul
dikarenakan kurangnya komunikasi antara Kepala Instalasi Farmasi dengan para koordinator
terutama dalam penyusunan daftar risiko Instalasi Farmasi yang memengaruhi pelaksanaan
perlakuan risiko.
4. Monitoring dan Review
a. Monitoring
Berdasarkan hasil wawancara, monitoring yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi
sudah menghasilkan proses pembelajaran dan masukan untuk keberlangsungan manajemen
risiko, serta ditemukannya risiko baru untuk dicantumkan pada daftar risiko selanjutnya.
Monitoring dilakukan oleh Kepala Instalasi dengan menggelar rapat dan juga dengan
observasi lapangan. Namun, monitoring yang dilakukan PJ manajemen risiko rumah sakit
terhadap keberjalanan manajemen risiko di Instalasi masih dalam bentuk penelaahan laporan,
tidak dengan melakukan pengecekan lapangan dikarenakan ada faktor beban kerja. Selain itu
monitoring masih terfokus pada tahapan perlakuan risiko, dan tidak dilakukan pada thapan-
tahapan lain dalam proses manajemen risiko. Padahal hal ini penting untuk dilakukan agar
dapat mendeteksi permasalahan yang mungkin muncul pada tiap tahapan dan melihat
perubahan status risiko.
b. Review
Instalasi Farmasi melakukan review tahunan pada risiko-risiko yang sudah
dicantumkan di daftar risiko di awal tahun. Adapun kelemahan dari kegiatan review yang ada
adalah tidak terdapatnya feedback dari KMKK terkait laporan- laporan yang telah dibuat
Instalasi Farmasi belum pernah mendapat feedback dari KMKK sehingga pada tahapan
review, komunikasi hanya berjalan satu arah, yaitu dari Kepala Instalasi kepada KMKK.
5. Komunikasi dan Konsultasi
a. Komunikasi
Komunikasi internal seperti yang telah berjalan dalam keseluruhan proses manajemen
risiko sebelumnya dilakukan antara Kepala Instalasi Farmasi dan ketiga koordinator. Adapun
bentuk komunikasi ini formal yaitu dengan mengadakan rapat bulanan yang terkadang tidak
dilakukan rutin. Berdasarkan hasil wawancara, komunikasi internal di Instalasi Farmasi
masih kurang dikarenakan Koordinator kurang ikut dilibatkan dalam tahap asesmen risiko
seperti dalam penentuan skoring dan grading, lalu pada tahap perlakuan risiko. Kurang
baiknya komunikasi juga dapat menimbulkan mispersepsi antar pihak bahwa manajemen
risiko hanyalah tanggung jawab satu pihak, padahal manajemen risiko merupakan urusan
semua pihak dalam organisasi.
b. Konsultasi
Dalam manajemen risiko, konsultasi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi sejauh ini
dilakukan saat adanya rapat evaluasi akhir tahun. Konsultasi yang dilakukan berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi oleh Instalasi Farmasi dalam menjalankan manajemen
risiko. Dalam forum rapat tersebut, Kepala Instalasi menyatakan sudah mendapat solusi yang
diharapkan dari konsultasi yang dilakukan, seperti pengambilan keputusan mengenai
perlakuan pada risiko yang sifatnya kompleks dan lintas bidang.
2. IDENTITAS JURNAL
a. Nama Jurnal : Komisi Akreditasi Rumah Sakit
b. Volume : 01
c. Nomor :2
d. Tanggal Publikasi : 31 Juli 2019
e. Judul Jurnal : Praktik Peningkatan Mutu Modifikasi Manajemen Risiko
Jatuh Pada Pasien Rawat Inap Psikogeriatri RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat
Laawang
f. Nama Penulis : Yuniar, Muhammad Zamroni, Diah Ayu Kusumawardani,
Jennyla Puspitaning Ayu, Mariani Indahri, Etha Risika Amalia
(Sunarko et al., 2019)
Abstrak
Jatuh adalah insiden keselamatan pasien yang sangat menonjol pada populasi pasien
berusia lanjut dengan masalah psikogeriatrik di rumah sakit, sehingga manajemen risikonya
tidak dapat disamakan dengan populasi umum. Berbagai karakteristik yang melekat pada
populasi ini menyebabkan para Profesi Pemberi Asuhan (PPA) harus melakukan pengamatan
yang seksama, merencanakan, implementasi, hingga mengevaluasi secara terus menerus.
Pedoman Manajemen Risiko Jatuh yang ada di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
(RSJRW) belum dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan di atas.
Masalah Mutu
Jatuh bukanlah penyakit, melainkan suatu gejala dari sejumlah faktor risiko yang
saling berinteraksi. Ketika seorang pasien jatuh, maka intervensi yang dibutuhkan bisa jadi
bukan hanya untuk menangani akibat jatuhnya atau mencegah kejadian jatuh berikutnya saja,
melainkan juga mengurangi morbiditas dan mortalitas dari kondisi dasar penyebab jatuh
tersebut. Di Inggris lebih dari 1,5 juta warga usia lanjut jatuh di rumahnya sendiri setiap
tahunnya, serta menyebabkan 75.000 fraktur panggul. Risiko ini meningkat seiring
bertambahnya usia: sepertiga orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko jatuh setiap
tahunnya, sebagaimana risiko jatuh pada setengah dari orang berusia 85 tahun
Gangguan mobilitas, sensori, kapasitas kognitif, obat- obatan tertentu, dan faktor
lingkungan adalah beberapa faktor risiko jatuh pada usia lanjut. Depresi dapat menjadi faktor
risiko, namun juga dapat menjadi akibat kejadian jatuh pada populasi ini. Obat psikotropik
meningkatkan risiko jatuh akibat efek sedasinya, sehingga menjadi mediator potensial antara
gangguan psikiatrik dan jatuh (Williams et al., 2015). Semua ini adalah hal yang lazim
dijumpai di rawat inap psikogeriatri RSJRW, sehingga dapat dipahami bahwa manajemen
risiko jatuh pada populasi ini adalah hal yang sangat kritikal dan sekaligus menantang.
Peningkatan mutu berkelanjutan dan patient-centered care yang menjadi roh Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit adalah pendekatan yang tepat untuk upaya ini.
Implementasi
Siklus Plan-Do-Study-Action (PDSA) dilaksanakan sebagai langkah pelaksanaan
peningkatan mutu berkelanjutan dalam hal manajemen risiko jatuh di Instalasi Psikogeriatri
RSJRW. Hambatan yang dijumpai dalam implementasi program dicatat sebagai bahan
diskusi dalam pertemuan rutin tim pemberi asuhan, untuk kemudian dirancang solusinya.
Ketika dalam implementasi dan evaluasi selanjutnya didapatkan hasil yang positif, maka hal
ini diajukan kepada pihak Manajemen sebagai masukan untuk merevisi regulasi yang ada.
Selanjutnya siklus PDSA akan bergulir kembali melalui implementasi regulasi yang baru.
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien yang dilakukan sesuai regulasi lalu
ditindaklanjuti dengan root cause analysis dapat menjadi sumber perbaikan dalam
pencegahan kejadian jatuh yang berikutnya. Sebagai contoh, temuan akar masalah ketika
salah satu pasien jatuh akibat duduk di handrail yang terpasang di wandering path,
menghasilkan tindak lanjut berupa perbaikan ketinggian handrail tersebut.
Edukasi tentang risiko jatuh dan cara pencegahannya bukan hal yang mudah dipahami
dan diingat oleh pasien karena keterbatasan kemampuannya. Untuk itu manipulasi
lingkungan menjadi pilihan utama dalam mencegah risiko jatuh pada populasi ini. Penilaian
terhadap environmental hazard yang berkontribusi terhadap kejadian jatuh belum dilakukan
secara sistematis di RSJRW karena belum ada instrumen khusus yang dibuat untuk keperluan
ini. Instalasi Kesehatan Lingkungan melakukan asesmen secara umum, dan memberikan
rekomendasi kepada Manajemen untuk melakukan perbaikan apabila ada hal-hal yang
dianggap berisiko, misalnya lantai yang licin, got yang tidak bertutup, tangga yang mencolok
mata, dan sebagainya. Banyak penelitian yang membahas tentang efektivitas manipulasi
lingkungan dalam program pencegahan jatuh
3. IDENTITAS JURNAL
a. Nama Jurnal : Jurnal Komunitas Kesehatan Masyarakat
b. Volume :2
c. Nomor :1
d. Tanggal Publikasi : Desember 2019
e. Judul Jurnal : Implementasi Manajemen Risiko Klinis dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi pada Rumah Sakit di Kota Makassar
f. Nama Penulis : Marsella Wahyuni Olii, Fridawaty Rivai, Sukri Palutturi
(Olii et al., 2019)
Abstrak
Keselamatan pasien masih menjadi fokus perhatian utama dalam pelayanan kesehatan
karena risiko yang terkait dengan pemberian pelayanan tersebut tidak akan dapat dihilangkan
secara total dan insiden terkait pelayanan kesehatan masih sangat tinggi. Penelitian ini ingin
melihat sejauh mana tingkat implementasi MRK pada rumah sakit di Kota Makassar dan
faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi tersebut. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian kombinasi dengan desain sequential explanatory
(urutan pembuktian). Data diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mendalam. Pada
tahap pertama dilakukan analisa dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif untuk
menentukan tingkat kemapanan implementasi MRK di rumah sakit dan pada tahap kedua
digunakan metode kualitatif untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
implementasi tersebut. Dari 9 rumah sakit sakit yang dilakukan penelitian, 7 diantaranya
memiliki tingkat kemapanan implementasi MRK yang tinggi (77,78%). Beberapa
karakteristik struktural organisasi menunjukkan kecenderungan positif terhadap implementasi
MRK, yaitu kelas dan status kepemilikan rumah sakit, sedangkan jenis rumah sakit tidak
menunjukkan kecenderungan adanya hubungan. Terdapat 5 faktor yang berhasil diidentifikasi
dan memiliki kecenderungan positif terhadap implementasi MRK yaitu kepemimpinan,
pengetahuan staf, kordinator dan kebijakan rumah sakit, dan akreditasi.
Pendahuluan
Manajemen risiko memainkan peran yang sangat penting dalam mencegah dan
menangani kesalahan medis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menciptakan
pemahaman yang luas dan mendalam tentang manajemen kesalahan medis dapat
meningkatkan pelayanan kepada pasien yang berhubungan dengan pelaporan insiden, dan
bahwa penerapan manajemen risiko telah terbukti mampu menurunkan angka kesalahan pada
unit gawat darurat. Pendekatan yang berdasar pada manajemen risiko prospektif dapat secara
efektif meningkatkan keselamatan di rumah sakit. Neale Graham dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa 20% insiden terjadi di dalam kamar operasi dan bahwa penerapan
manajemen risiko dapat mengurangi angka kejadian tersebut. Demikian juga dengan Handel
yang menyatakan bahwa penerapan program manajemen risiko dapat secara efektif
mengurangi angka kesalahan medis.
Pembahasan
Dalam penelitian ini bahwa sebagian besar Rumah Sakit Umum memiliki tingkat
implementasi Manajemen Risiko Klinis yang tinggi, dan demikian pula dengan Rumah Sakit
Khusus yang semuanya terkategorikan memiliki implementasi Manajemen Risiko Klinis
yang tinggi, sehingga tidak jelas terlihat pengaruh faktor jenis pelayanan rumah sakit
terhadap tingkat kemapanan implementasi Manajemen Risiko Klinis.
Rumah sakit yang memiliki tingkat kemapanan MRK yang rendah adalah rumah sakit
yang belum terakreditasi, sedangkan untuk rumah sakit yang memiliki tingkat kemapanan
MRK tinggi, diantaranya adalah rumah sakit yang belum terakreditasi, namun rumah sakit ini
sedang dalam proses mempersiapkan akreditasi dan telah melakukan upaya-upaya
pemenuhan terhadap standar akreditasi KARS. Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa
status akreditasi memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pelayanan rumah
sakit secara umum dan termasuk juga terhadap implementasi MRK. Akreditasi memberikan
panduan bagi rumah sakit tentang persyaratan dan elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam
pencapaian standar mutu yang dipersyaratkan, termasuk keharusan suatu rumah sakit untuk
memiliki Komite Mutu atau tim lain yang bertanggungjawab terhadap peningkatan mutu
(Kemenkes, 2011). Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa pegawai yang bekerja di
rumah sakit yang telah terakreditasi memiliki persepsi yang lebih positif tentang keselamatan
pasien, dan menjadikan akreditasi sebagai salah satu prediktor major untuk budaya
keselamatan pasien. Meskipun dalam penelitian ini terdapat satu rumah sakit dengan tingkat
implementasi MRK yang tinggi namun belum terakreditasi tapi rumah sakit tersebut sedang
dalam proses persiapan akreditasi, yang berarti bahwa mereka telah melakukan berbagai
upaya untuk memenuhi standar-standar yang dipersyaratkan dalam elemen penilaian.
4. IDENTITAS JURNAL
a. Nama Jurnal : Higeia Journal Of Public Health Research and Development
b. Volume :3
c. Nomor :3
d. Tanggal Publikasi : 31 Juli 2019
e. Judul Jurnal : Tinjauan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada Akreditasi Rumah Sakit
f. Nama Penulis : Ratih Berliana, Evi Widowati
(Berliana & Widowati, 2019)
Pendahuluan
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian
yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera
yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian
Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan Kejadian Potensial Cedera (KPC).
Keselamatan pada dasarnya menjadi naluri setiap makhluk hidup dan merupakan kebutuhan
setiap manusia. Budaya keselamatan pasien sangat terkait dengan kejadian insiden
keselamatan pasien dan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
penerapan budaya keselamatan pasien untuk meminimalkan insiden keselamatan pasien
adalah dengan melakukan pelaporan insiden keselamatan pasien baik KNC, KPC, KTC
apalagi KTD namun banyak praktisi keperawatan yang mengabaikan pelaporan insiden
karena menganggap insiden tersebut masih bisa ditangani dengan sendiri atau mereka tidak
melaporkan jika tidak terjadi cedera.
Kementerian Kesehatan melalui lembaga independen KARS mengakui prestasi rumah
sakit dalam bentuk sertifikasi akreditasi. Pada penentuan kelulusan akreditasi rumah sakit,
keputusan final didasarkan pada kepatuhan rumah sakit terhadap standar akreditasi sesuai
dengan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 tahun 2017. Penelitian
oleh Mandawati (2018) tentang dampak akreditasi rumah sakit studi kualitatif terhadap
perawat di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo memperoleh hasil bahwa responden
menyatakan akreditasi penting dilaksanakan dan dampak positif akreditasi adalah
peningkatan kepedulian perawat pada indikator keselamatan pasien yaitu perbaikan pada alur
pelaporan masalah, kepatuhan terhadap SOP, komunikasi antarpetugas kesehatan,
pendokumentasian, fasilitas pelayanan, pendidikan kesehatan, lingkungan kerja dan adanya
pendidikan berkelanjutan.
Dari keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia, sebanyak 1.481 rumah sakit telah
terakreditasi (53,35%) dan sebanyak 1.295 rumah sakit di seluruh Indonesia belum
terakreditasi (46,65%). Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI pada
tahun 2018, Provinsi Jawa Tengah memiliki jumlah keseluruhan rumah sakit yang ada adalah
sebanyak 296 rumah sakit yaitu sebanyak 167 rumah sakit telah terakreditasi (56,42%) dan
sebanyak 129 rumah sakit belum terakreditasi (43,58%) dari keseluruhan rumah sakit
pemerintah dan rumah sakit swasta yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Menurut website
resmi milik KARS dalam pencapaian akreditasi di Kota Semarang, terdapat 19 rumah sakit
telah terakreditasi secara nasional (73,07%). Selanjutnya, sebanyak 5 rumah sakit belum
terakreditasi secara nasional (23,07%) dan sebanyak 1 rumah sakit (3,84%) masa berlaku
akreditasi sudah habis. Data rumah sakit yang belum akreditasi secara nasional menunjukkan
bahwa dari 5 rumah sakit sebanyak 4 rumah sakit merupakan Rumah Sakit Khusus Ibu dan
Anak (80%)
Dalam mendukung pencapaian akreditasi rumah sakit, sesuai dengan standar
Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) dalam SNARS Edisi 1, rumah sakit dalam
kegiatannya harus menyediakan fasilitas yang aman, berfungsi, dan suportif bagi pasien,
keluarga, staf, dan pengunjung. Pada standar MFK SNARS Edisi 1, terdapat 11 standar yang
dinilai dan mencakup 9 hal diantaranya kepemimpinan dan perencanaan, keselamatan dan
keamanan, bahan berbahaya, kesiapan penanggulangan bencana, proteksi kebakaran,
peralatan medis, sistem penunjang, monitoring program manajemen fasilitas dan
keselamatan, serta pendidikan staf.
5. IDENTITAS JURNAL
a. Nama Jurnal : SOSPOLI
b. Volume :2
c. Nomor :5
d. Tanggal Publikasi : 279-88
e. Judul Jurnal : Praktik Kepemimpinan di Bagian Pelayanan Penerimaan
Pasien Dalam Manajemen Risiko di Rumah Sakit Dr. Muhammad Saleh
Probolinggo
f. Nama Penulis : Deki Hariyanto, Siti Marwiyah, Diky Istiawan
(Hariyanto et al., 2022)
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan aspek yang paling dekat dengan masyarakat. Dalam
keluarga, kita mengenal kepemimpinan dari kepala keluarga. Pada aspek lebih luas dari
keluarga, seperti komunitas, juga terdapat kepemimpinan dan perannya terhadap organisasi
non-pemerintah terhadap bidang tertentu.
Tanggung jawab adalah salah satu variabel yang ada pada seorang pemimpin.
Meskipun terdapat variabel lainnya seperti jabatan, amanah; tanggung jawab menjadi
variabel yang bisa membantu mengenali seorang pemimpin atau bukan. Dengan demikian,
untuk menjelaskan bagaimana praktik kepemimpinan diketahui dan dikenali dalam bidang
pelayanan penerimaan pasien di Rumah Sakit dr Muhammad Saleh melalui tanggung jawab
yang diemban oleh individu yang menjadi pemimpinnya.
Hasil dan Pembahasan
Memahami prosedur pelaksanaan penerimaan pasien
Pelaksanaan penerimaan pasien harus mematuhi prosedur pelayanan yang telah
ditetapkan oleh manajemen rumah sakit. Penetapan prosedur pelayanan dilakukan dengan
mengacu pelayanan pada standar nasional akreditasi rumah sakit (SNARS). Instrumen
akreditasi SNARS merupakan instrumen yang dipergunakan KARS (Komite Akreditasi
Rumah Sakit) untuk menilai kepatuhan rumah sakit terhadap SNARS I yaitu standar
pelayanan berfokus pada pasien untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan
pendekatan manajemen risiko di Rumah Sakit. Setiap tahun rumah sakit diaudit untuk
menjamin kepatuhan terhadap semua prosedur tersebut. Dengan demikian, mutu pelayanan
rumah sakit dapat dipelihara dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Memahami risiko dari misconduct (penyelewengan, pelanggaran) prosedur
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf
medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi
dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi
mengalami cedera. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit bertujuan
memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian
hukum kepada masyarakat dan rumah sakit.
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional, manajerial maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan
risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance
dan etik organisasi.
6. IDENTITAS BUKU
a. Judul Buku : Standar Akreditasi Rumah Sakit
b. Tanggal Publikasi : 2022
(Guanabara et al., n.d.)
Penerapan Manejemen Risiko
1. Standar PMKP 11
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan program manajemen risiko di
rumah sakit
2. Maksud dan Tujuan PMKP 11
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu membuat daftar risiko tingkat rumah sakit
berdasarkan daftar risiko yang dibuat tiap unit setiap tahun. Berdasarkan daftar risiko tersebut
ditentukan prioritas risiko yang dimasukkan dalam profil risiko rumah sakit. Profil risiko
tersebut akan menjadi bahan dalam penyusunan Program manajemen risiko rumah sakit dan
menjadi prioritas untuk dilakukan penanganan dan pemantauannya. Direktur rumah sakit juga
berperan dalam memilih selera risiko yaitu tingkat risiko yang bersedia diambil rumah sakit
dalam upayanya mewujudkan tujuan dan sasaran yang dikehendakinya.
Ada beberapa metode untuk melakukan analisis risiko secara proaktif yaitu failure
mode effect analysis (analisis modus kegagalan dan dampaknya /FMEA/ AMKD), analisis
kerentanan terhadap bahaya/hazard vulnerability analysis (HVA) dan infection control risk
assessment (pengkajian risiko pengendalian infeksi/ICRA). Rumah sakit mengintegrasikan
hasil analisis metode-metode tersebut dalam program manajemen risiko rumah sakit.
Pimpinan rumah sakit akan mendesain ulang proses berisiko tinggi yang telah di analisis
secara proaktif dengan melakukan tindakan untuk mengurangi risiko dalam proses tersebut.
Proses analisis risiko proaktif ini dilaksanakan minimal sekali dalam setahun dan
didokumentasikan pelaksanaannya.
Elemen penilaian PMKP 11
a. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan program manajemen
risiko yang di tetapkan oleh Direktur
b. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah membuat daftar risiko rumah sakit
berdasarkan daftar risiko unit-unit di rumah sakit
c. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah membuat profil risiko dan rencana
penanganan
d. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah membuat pemantauan terhadap rencana
penanganan dan melaporkan kepada direktur dan representatif pemilik/dewan
pengawas setiap 6 (enam) bulan
e. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah menyusun Program manajemen risiko
tingkat rumah sakit untuk ditetapkan Direktur
f. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah memandu pemilihan minimal satu analisis
secara proaktif proses berisiko tinggi yang diprioritaskan untuk dilakukan analisis
FMEA setiap tahun
DAFTAR PUSTAKA

Berliana, R., & Widowati, E. (2019). Tinjauan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada AkreditasiRumah Sakit. Higeia Journal of Public Health
Research and Development, 3(3), 495. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia
Djatnika, K. M., Arso, S. P., & Jati, S. P. (2019). Analisis Pelaksanaan Manajemen Risiko Di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang Tahun 2018. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip), 7(1), 84–92.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/22849
Guanabara, E., Ltda, K., Guanabara, E., & Ltda, K. (n.d.). No 主観的健康感を中心とした
在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title.
Hariyanto, D., Marwiyah, S., & Istiawan, D. (2022). Praktik Kepemimpinan di Bagian
Pelayanan Penerimaan Pasien dalam Manajemen Risiko di Rumah Sakit Dr.
Muhammad Saleh Probolinggo. Sospoli, 2(5), 279–288.
http://jisip.org/index.php/jsp/article/view/86
Olii, M. W., Rivai, F., & Palutturi, S. (2019). Implementasi Manajemen Risiko Klinis Dan
Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Pada Rumah Sakit Di Kota Makassar. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Maritim, 2(1), 106–120.
https://doi.org/10.30597/jkmm.v2i1.10063
Sunarko, Y., Zamroni, M., Kusumawardani, D. A., Ayu, J. P., Indahri, M., & Amalia, E. R.
(2019). Modifikasi Manajemen Risiko Jatuh Pada Pasien Rawat Inap Psikogeriatri RSJ
Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. The Journal of Hospital Accreditation, 1(2),
52–56. https://doi.org/10.35727/jha.v1i2.43

Anda mungkin juga menyukai