Anda di halaman 1dari 5

Aksara Bugis, lazim disebut huruf Lontara, terdiri atas 23 huruf dan pengucapannya berakhir

dengan bunyi /a/. Huruf Lontara tergolong tulisan silabik (suku kata) dan untuk menandai
vokalnya ialah dari diperlukan tanda-tanda kanan tertentu. Cara menuliskan huruf Lontara
bawah ini

Ke-23 huruf itu disebut ina sure yang artinya 'induk huruf. Apabila ina sure itu dibubuhi tanda-
tanda tertentu, akan timbul variasi bunyi bermacam-macam. Tanda-tanda itu disebut anak sure
'anak huruf yang ditempatkan pada berbagai posisi seperti contoh berikut.
a. tanda (ᨙ), tempatnya di depan ina sure, menghasilkan bunyi (‫;)ﻉ‬
b. tanda(ᨚ), tempatnya di belakang ina sure, menghasilkan bunyi / o/;
c. tanda(),tempat di atas ina sure, menghasilkan bunyi / a /;
d. tanda (.), tempatnya di atas ina sure, menghasilkan bunyi /i/; dan di bawah ina sure,
menghasilkan bunyi /u/.

Dengan membubuhkan anak sure pada ina sure, misalnya pada huruf (ka). akan dihasilkan
beberapa bunyi seperti
Untuk melambangkan bunyi konsonan, huruf Lontara jauh dari sempurna. Usaha
penyempurnaannya sudah pernah dirintis melalui Konferensi PGRI se-Sulawesi Selatan dan
Tenggara di Sengkang pada tanggal 25-30 November 1957. Konsep pembaruan huruf Lontara
yang disajikan dalam konferensi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam tabun 1985
Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang memprakarsai Pertemuan Kebabasaan dengan memilih
aksara Lontara sebagai pokok pembabasan. Tiga makalah yang disajikan dalam pertemuan satu
di antaranya dibawakan oleh Jalaluddin, membahas penyempurnaan aksara Lontara. Secara
ringkas, dapat disimpulkan bahwa penyempurnaan aksara Lontara dapat dilakukan dengan cara
(1) menciptakan tanda mati, (2) menciptakan tanda penyingkat, dan (3) menciptakan tanda
baca. Ketiga macam tanda itu adalah sebagai berikut.
a. Tanda mati dilambangkan dengan huruf v (ma) kecil yang diletakkan di atas huruf yang
dimatikan, misalnya

b. Tanda pengulangan suku kata tempatnya di depan tempatnya di belakang,


tempatnya di atas, tempatnya di bawah, tempatnya di atas.

c.Tanda baca, meliputi titik , tanda titik dua , tanda koma , tanda titik koma , tanda
tanya , tanda seru , tanda kutip , dan tanda kurung .
1) Sastra Lisan Bugis oleh Fachruddin A.E et al.
2) Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bugis oleh H.M. Ide Said D.M.et al.
3) Bahasa Bugis Soppeng Valensi Morfologi Dasar Kata Kerja oleh Sjah-
4) Sistem Perulangan Bahasa Bugis oleh Sjahruddin Kaseng et al.
5) "Kata Tugas dalam Bahasa Bugis"' oleh Sjahruddin Kascng et al.
6) "Morfologi Kata Benda Bahasa Bugis" oleh Muhammad Sikki et al.
7 'Morfologi Adjektiva Bahasa Bugis" oleh Muhammad Sikki et al.
8) "Kamus Bahasa Bugis-Indonesia" oleh M. Ide Said D.M.
9) "Tata Bahasa Bugis, Bidang Morfologi oleh Drs. Tamin Chairan

Berdasarkan naskah-naskah lama diketahui bahwa orang Bugis dan Makassar mengenal tiga
jenis aksara atau huruf, yaitu huruf lontara, jangang-jangang, dan serang. Di antara ketiga jenis
huruf ini, huruf lontaraq yang paling banyak digunakan, sedangkan huruf jangang-jangang dan
serang sangat sedikit. Lontara adalah lambang bunyi yang bentuk dasarnya menyerupai segi
empatbelah ketupat (sulapaq eppa walasuji) atau huruf segi empat dinyatakan dalam simbol
(sa) (Mattulada, 1985: 8). Huruf jangang-jangang biasa juga disebut ukiq manuq-manuq (tulisan
burung), memiliki karakter yang berbeda dengan huruf lontaraq. Huruf lontaraq lama ini adalah
sistem lambang bunyi yang menyerupai huruf Kawi, sedangkan huruf segi empat disebutnya
huruf Iontara baru yang karakternya menyerupai huruf Sumatra (Rejang) (Mills, 1975: 602).
Penggunaan huruf lontara lama dapat ditemukan pada teks Perjanjian Bongaya, sebuah
perjanjian yang ditanda tangani oleh kerajaan Makassar dan Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1667. Huruf ini tidak ditemukan penggunaannya pada teks yang berbahasa Bugis. Itulah
sebabnya huruf lontaraq lama sebagai huruf Makassar, dan sebaliknya, huruf lontara baru
adalah huruf Bugis (Enre,1999: 40). Merosotnya penggunaan huruf Iontaraq lama (iangang-
jangang) pada abad ke-17 disebabkan oleh faktor fluktuasi dalam dinamika sejarah (PaEni,
2003: 2). Huruf serang adalah huruf Arab, tetapi isinya menggunakan bahasa Bugis atau
Makassar. Aksara ini merupakan salah satu variasi aksara Arab yang digunakan untuk
menuliskan bahasa Bugis dan bahasa Makassar pada zaman pengaruh kebudayaan Islam di
Sulawesi Selatan (Young, 2012: 100). Huruf Latin tidak dimasukkan ke dalam kategori ini
karena tidak ditemukan naskah lama yang berbahasa Bugis yang ditulis dalam huruf Latin.
Huruf ini memang dibawa oleh orang Barat semenjak kedatangannya ke Nusantara pada abad
ke-16, namun pengenalan dan penggunaannya secara meluas baru terjadi pada permulaan abad
ke-20, yaitu semenjak sekolah-sekolah modern dibuka untuk masyarakat pribumi. Berdasarkan
fakta ini, Daeng Pamatte tidak menciptakan huruf Makassar, melainkan membukukan atau
menuliskan undang-undang dan peraturan perang. Ada kemungkinan Daeng Pamatte
melakukan perbaikan karena memang semua huruf tidak ada yang sekali jadi dan berlaku untuk
seterusnya tanpa perubahan. Jadi, kemungkinan yang dilakukan oleh Daeng Pamatte adalah
melakukan perubahan beberapa huruf saja, dan tidak terjadi perubahan dari huruf Iontaraq lama
ke lontaraq baru (Enre, 1999: 38).
Aksara Lontara diciptakan oleh Daeng Pamatte yang merupakan seorang syahbandar dan
menjabat sebagai Tumailalang (Menteri urusan istana luar dan dalam negeri) di kerajaan Gowa
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510 -
1546). Alasan aksara ini dibuat yakni pada saat itu pemerintah Kerajaan Gowa ingin
menuliskan apa yang mereka ucapkan. Selain itu agar mereka dapat menuliskan kejadian pada
masa itu, sebagai warisan bagi keturunannya sebagai bekal bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Aksara Lontara pada masa ini disebut sebagai aksara Lontara Toa atau Jangang-
Jangang (burung). Dalam perkembangannya aksara Lontara kemudian mengalami perubahan.
Huruf aksara Lontara berubah saat agama Islam masuk sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa.

Anda mungkin juga menyukai