Anda di halaman 1dari 11

Nama : Yesi Yunita Prihatini

NIM : 201320060

Kelas : IAT B Semester 6

Mata Kuliah : Tafsir Tahlili

Dosen Pengampu : Hikmatul Luthfi, M. A. Hum

KAJIAN TAFSIR TAHLILI SURAH ‘ABASA AYAT 1-14

‫يم‬
ِ ‫ٱلر ِح‬
‫ٱلرحْ َمـ ِٰن ه‬
‫ٱَّلل ه‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ‫ِب‬

ُ‫ فَأ َ ْنتَ لَه‬.‫ أَ َّما َم ِن ا ْستَ ْغنَى‬.‫الذ ْك َرى‬ ِ ُ‫ أَ ْو َيذَّ َّك ُر فَتَ ْنفَ َعه‬.‫ َو َما يُد ِْريْكَ لَ َعلَّهُ َي َّز َّكى‬.‫ أَ ْن َجا َءهُ ْاْل َ ْع َمى‬.‫س َو ت ََولَّى‬
َ ‫ع َب‬
َ
َ َ‫ فَأ َ ْنت‬.‫ َو ه َُو َي ْخشَى‬.‫ َو أَ َّما َم ْن َجا َءكَ َي ْس َعى‬.‫علَيْكَ أَ ََّّل َي َّز َّكى‬
‫ فَ َم ْن‬.‫ ك ََّّل ِإنَّ َها تَ ْذ ِك َرة‬.‫ع ْنهُ تَلَ َّهى‬ َ ‫ َو َما‬.‫صدَّى‬ َ َ‫ت‬
َ ‫ع ٍة ُّم‬
.ٍ‫ط َّه َرة‬ َ ‫ َّم ْرفُ ْو‬.ٍ‫ص ُحفٍ ُّمك ََّر َمة‬
ُ ‫ فِ ْي‬.ُ‫شَا َء ذَك ََره‬

Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang
kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia
ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang
memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-
pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak
ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada
Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh,
(ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki, tentulah dia akan
memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), yang ditinggikan (dan)
disucikan,

A. Penafsiran Ayat
Penafsiran dalam Tafsir Jalalain

.‫س َو ت ََولَّى‬
َ َ‫عب‬
َ
(‫س‬ َ ) “Dia telah bermuka masam” yakni Nabi Muḥammad telah bermuka masam (‫)و ت ََولَّى‬
َ ‫ع َب‬ َ
“dan berpaling” yaitu memalingkan mukanya karena,

.‫أ َ ْن َجا َءهُ ْاْل َ ْع َمى‬

(‫“ )أَ ْن َجا َءهُ ْاْل َ ْع َمى‬telah datang seorang buta kepadanya” yaitu ‘Abdullāh bin Ummi
Maktūm. Nabi saw. tidak melayaninya karena pada saat itu ia sedang sibuk menghadapi
orang-orang yang diharapkan untuk dapat masuk Islam, mereka terdiri dari orang-orang
terhormat kabilah Quraisy, dan ia sangat menginginkan mereka masuk Islam. Sedangkan
orang yang buta itu atau ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm tidak mengetahui kesibukan Nabi
saw. pada waktu itu, karena ia buta. Maka ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm langsung
menghadap dan berseru: “Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah ajarkan
kepadamu.” Akan tetapi Nabi saw. pergi berpaling darinya menuju ke rumah, maka
turunlah wahyu yang menegur sikapnya itu, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam
surat ini. Nabi saw. setelah itu, apabila datang ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm berkunjung
kepadanya, beliau selalu mengatakan, “Selamat datang orang yang menyebabkan Rabbku
menegurku karenanya,” lalu beliau menghamparkan kain serbannya sebagai tempat duduk
‘Abdullah bin Ummi Maktūm.

.‫َو َما يُد ِْريْكَ لَعَلَّهُ يَ َّز َّكى‬

َ “Tahukah kamu” artinya, mengertikah kamu (‫“ )لَ َعلَّهُ َي َّز َّكى‬barangkali ia ingin
( َ‫)و َما يُد ِْريْك‬
membersihkan dirinya” dari dosa-dosa setelah mendengar dari kamu; lafal Yazzakkā
bentuk asalnya adalah Yatazakkā, kemudian huruf Tā’ di-idgham-kan kepada huruf Zā’
sehingga jadilah Yazzakkā.

ِ ُ‫أ َ ْو َيذَّ َّك ُر فَت َ ْنفَ َعه‬


.‫الذ ْك َرى‬

(‫“ )أَ ْو يَذَّ َّك ُر‬Atau dia ingin mendapatkan pelajaran” lafal Yadzdzakkaru bentuk asalnya
adalah Yatadzakkaru, kemudian huruf Tā’ di-idgham-kan kepada huruf Dzāl sehingga
jadilah Yadzdzakkaru, artinya mengambil pelajaran dan nasihat (‫الذ ْك َرى‬
ِ ُ‫“ )فَت َ ْنفَعَه‬lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya” atau nasihat yang telah didengarnya dari
kamu bermanfaat bagi dirinya. Menurut suatu qira’at lafal Fatanfa‘ahu dibaca
Fatanfa‘uhu, yaitu dibaca Nashab karena menjadi Jawāb dari Tarajji atau lafal La‘allahū
tadi.
.‫أ َ َّما َم ِن ا ْست َ ْغنَى‬

(‫“ )أَ َّما َم ِن ا ْست َ ْغنَى‬Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup” karena memiliki harta.

َ َ‫فَأ َ ْنتَ لَهُ ت‬


.‫صدَّى‬

َ َ‫“ )فَأ َ ْنتَ لَهُ ت‬Maka kamu melayaninya” atau menerima dan mengajukan tawaranmu;
(‫صدَّى‬
menurut suatu qira’at lafal Tashaddā dibaca Tashshaddā yang bentuk asalnya adalah
Tatashaddā, kemudian huruf Tā’ kedua di-idgham-kan kepada huruf Shād, sehingga
jadilah Tashshaddā.

.‫علَيْكَ أ َ ََّّل يَ َّز َّكى‬


َ ‫َو َما‬

(‫علَيْكَ أَ ََّّل يَ َّز َّكى‬


َ ‫)و َما‬
َ “Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri”
yakni orang yang serba berkecukupan itu tidak beriman.

.‫َو أ َ َّما َم ْن َجا َءكَ يَ ْس َعى‬

(‫)و أَ َّما َم ْن َجا َءكَ يَ ْسعَى‬


َ “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera” lafal
Yas‘ā berkedudukan sebagai Ḥāl atau kata keterangan keadaan bagi Fā‘il atau subjek yang
terkandung di dalam lafal Jā’a.

.‫َو ه َُو يَ ْخشَى‬

(‫)و ه َُو َي ْخشَى‬


َ “Sedangkan ia takut” kepada Allah s.w.t.; lafal Yakhsyā menjadi Ḥāl dari fā‘il
yang terdapat di dalam lafal Yas‘ā, yang dimaksud adalah si orang buta itu atau ‘Abdullāh
bin Ummi Maktūm.

َ َ‫فَأ َ ْنت‬
.‫ع ْنهُ تَلَ َّهى‬

َ َ‫“ )فَأ َ ْنت‬Maka kamu mengabaikannya” artinya, tiada memperhatikannya sama


(‫ع ْنهُ تَلَ َّهى‬
sekali; lafal Talahhā asalnya Tatalahhā, kemudian salah satu dari kedua huruf Tā’ dibuang,
sehingga jadilah Talahhā.

.‫ك ََّّل ِإنَّ َها تَذْك َِرة‬


(‫“ )ك ََّّل‬Sekali-kali jangan” berbuat demikian, yakni janganlah kamu berbuat hal yang
serupa lagi. (‫“ ) ِإنَّ َها‬Sesungguhnya hal ini” maksudnya, surat ini atau ayat-ayat ini (‫)تَذْك َِرة‬
“adalah suatu peringatan” suatu pelajaran bagi makhluk semuanya.

.ُ‫فَ َم ْن شَا َء ذَك ََره‬

(ُ‫“ )فَ َم ْن شَا َء ذَك ََره‬Maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya”
atau tentu ia menghafalnya kemudian menjadikannya sebagai nasihat bagi dirinya.

.ٍ‫صحُفٍ ُّمك ََّر َمة‬


ُ ‫فِ ْي‬

( ٍ‫صحُف‬
ُ ‫“ )فِ ْي‬Di dalam kitab-kitab” menjadi Khabar yang kedua, karena sesungguhnya ia
dan yang sebelumnya berkedudukan sebagai jumlah Mu‘taridhah atau kalimat sisipan
(‫“ ) ُّمك ََّر َم ٍة‬yang dimuliakan” di sisi Allah.

َ ‫ع ٍة ُّم‬
.ٍ‫ط َّه َرة‬ َ ‫َّم ْرفُ ْو‬

َ ‫“ ) َّم ْرفُ ْو‬Yang ditinggikan” di langit (ٍ‫ط َّه َرة‬


(‫ع ٍة‬ َ ‫“ ) ُّم‬lagi disucikan” dari sentuhan syaithan.

B. Asbabun Nuzul Ayat


dalam Tafsir as-Sa’di
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menceritakan bahwa sebab turunnya ayat 1-
10 surah ini ialah dikarenakan ada seorang mukmin buta datang seraya bertanya kepada
Nabi dan belajar dari beliau, kemudian ada orang kaya juga datang. Nabi amat ingin
menunjukkan kemanusiaan diantara keduanya, hanya saja beliau lebih condong pada
orang kaya dan berpaling dari si buta lagi miskin demi mengharap agar si kaya mendapat
petunjuk dan demi agar si kaya menyucikan hatinya.
Lalu Allah menegurnya dengan teguran yang amat sangat lembut, seraya berfirman:
“dia (Muhammad) bermuka masam” di wajah beliau, “dan berpaling” dengan raganya
karena orang buta mendatanginya. Kemudian Allah menyebutkan manfaat menyambutnya
seraya berfirman, “Tahukah kamu barangkali ia,” yakni orang buta tersebut, “ingin
membersihkan dirinya (dari dosa),” yaitu membersihkan diri dari akhlak tercela dan ingin
berakhlak terpuji, “atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran yang dapat memberi manfaat
untuknya. Ini adalah manfaat besar dan itulah maksud diutusnya para rasul, maksud dari
petuah orang yang memberi nasihat dan maksud dari peringatan orang yang memberi
peringatan. Sambutanmu pada orang orang yang datang sendiri seraya memerlukanmu itu
lebih layak dan wajib, sedangkan berpalingnya engkau pada orang kaya yang tidak
memerlukanmu yang tidak mau bertanya dan meminta fatwa karena tidak memiliki
keinginan pada kebaikan dan engkau tinggalkan orang lebih utama itu tidak layak bagimu.
Tugasmu hanyalah memberi pengajaran, bila pun ia tidak mau mengambil pelajaran
dengan membersihkan diri, engkau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan buruk yang ia lakukan.
Hal ini menunjukkan pada kaidah masyhur; sesuatu yang telah diketahui tidak
ditinggalkan untuk sesuatu yang belum jelas. Dan menyambut murid yang memerlukan
dan penuh kemauan lebih layak dari yang lainnya.
dalam Tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir
Sedangkan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar mengatakan bahwa Sebab
turunnya surat ini adalah suatu saat kekelompok pemuka kaum Quraisy berada di hadapan
Rasulullah, dan beliau sangat ingin agar mereka mau beriman; tiba-tiba datanglah orang
buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang merupakan salah satu sahabat beliau
yang terbaik. Dan Rasulullah tidak suka jika kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum
membuatnya memotong perkataannya dengan para pemuka kaum Quraisy, maka beliau
berpaling darinya. Sehingga turunlah surat ini.
Penafsiran Kitab Tafsir ash-Shabuni
Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni juga mengatakan dengan mengutip dari sebuah
hadits yang menceritakan bahwa Nabi s.a.w. sedang sibuk berbicara dengan para
pemimpin Quraisy untuk mengajak mereka masuk Islam. Beliau memang sangat ingin
agar mereka masuk Islam, sehingga para pengikut mereka juga masuk Islam. Ketika Nabi
s.a.w. dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang
buta, lalu berkata: “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sebagian dari apa yang diajarkan
Allah kepadamu.” ‘Abdullāh berkali-kali berkata demikian karena tidak tahu Nabi s.a.w.
sedang berbicara dengan para petinggi tersebut. Nabi s.a.w. enggan memutuskan
pembicaraan dengan mereka dan muram serta berpaling. Dalam hati Nabi s.a.w. berkata:
“Orang-orang elit-elit kaum Quraisy akan berkata: “Pengikut Muḥammad hanyalah orang
buta, rakyat jelata dan budak.” Maka wajah beliau muram dan memilih berbicara kepada
para pembesar Quraisy itu. Lalu turunlah ayat: “Dia (Muḥammad) bermuka masam dan
berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya”.
C. Munasabah
Penafsiran Kitab Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa surah ini
masih ada kaitannya dengan surah sebelumnya (an-Naziat). Jika pada surah sebelumnya
Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang mundzir (pemberi peringatan),
sedangkan pada surah ini (‘Abasa) Allah menjelaskan tentang orang-orang yang
mengambil manfaat dari peringatan itu.

D. Irab dan Qira’at


Penafsiran pada Tafsir Jalalain
Ayat 3
.‫ َو َما يُد ِْريْكَ لَ َعلَّهُ َي َّز َّكى‬: Lafal Yazzakkaa bentuk asalnya adalah Yatazakkaa, kemudian huruf
Ta’ di-idgham-kan kepada huruf Za’ sehingga jadilah Yazzakkaa.
Ayat 4
ِ ُ‫ أَ ْو يَذَّ َّك ُر فَت َ ْنفَعَه‬: Lafal Yadzdzakkaru bentuk asalnya adalah Yatadzakkaru, kemudian
.‫الذ ْك َرى‬
huruf Ta’ di-idgham-kan kepada huruf Dzal sehingga jadilah Yadzdzakkaru, artinya
mengambil pelajaran dan nasihat. Menurut suatu qira’at lafal Fatanfa‘ahu dibaca
Fatanfa‘uhu, yaitu dibaca Nashab karena menjadi Jawab dari Tarajji atau lafal La‘allahū
tadi.
Ayat 6
َ َ‫ فَأ َ ْنتَ لَهُ ت‬: Menurut suatu qira’at lafal Tashaddaa dibaca Tashshaddaa yang bentuk
.‫صدَّى‬
asalnya adalah Tatashadda, kemudian huruf Ta’ kedua di-idgham-kan kepada huruf Shad,
sehingga jadilah Tashshaddaa.
Ayat 8
.‫ َو أ َ َّما َم ْن َجا َءكَ َي ْس َعى‬: Lafal Yas‘a berkedudukan sebagai Ḥal atau kata keterangan keadaan
bagi Fa‘il atau subjek yang terkandung di dalam lafal Ja’a.
Ayat 9
.‫ َو ه َُو يَ ْخشَى‬: Lafal Yakhsya menjadi Ḥal dari fa‘il yang terdapat di dalam lafal Yas‘a.
Ayat 10
َ َ‫ فَأ َ ْنت‬: Lafal Talahha asalnya Tatalahha, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta’
.‫ع ْنهُ تَلَ َّهى‬
dibuang, sehingga jadilah Talahha.
Ayat 13
.ٍ‫صحُفٍ ُّمك ََّر َمة‬
ُ ‫ فِ ْي‬: Lafal Shuhufin menjadi Khabar yang kedua, karena sesungguhnya ia dan
yang sebelumnya berkedudukan sebagai jumlah Mu‘taridhah atau kalimat sisipan.

E. Makna Kata dalam Ayat


dalam Tafsir Syaikh Fadhlallah
Ayat 3
‫ َي َّز َّكى‬: Yazzakka berasal dari kata kerja ‘membersihkan (menyucikan) diri. Sekaitan dengan
yazzakka adalah tazkiyah yang berarti pembersihan (penyucian), dan bermakna menambah
atau meningkatkan kualitas sesuatu.
Ayat 5
‫ ا ْستَ ْغنَى‬: Istaghna berasal dari ghaniya, yang berarti ‘kaya, bebas dari kekurangan’. Tidak
ada ketidakbergantungan, tapi yang ada hanyalah Yang Tidak Bergantung.
Ayat 6
َ َ‫ ت‬: Ashadda berasal dari kata kerja ‘menyibukkan diri dengan seseorang, beralih
‫صدَّى‬
kepada seseorang, menentang, melawan’.
Ayat 7
‫ يَ َّز َّكى‬: Yazzakka yang berasal dari akar kata zakat, adalah sebutan untuk 2,5% pajak yang
dikenakan atas beberapa jenis harta yang didistribusikan kepada kaum miskin.
Ayat 10
‫ تَلَ َّهى‬: Bentuk akar kata kerja talahha adalah laha, yang di sini berarti ‘tidak memperdulikan,
berpaling, atau terlupakan’. Makna lain termasuk: ‘menghibur diri, membuang-buang,
menghabiskan waktu, menikmati, mengecap, berusaha melupakan’.
Ayat 13
ٍ‫صحُف‬
ُ : Shuḥuf adalah jamak dari shaḥifah, yang berarti ‘halaman buku’. Shaḥifah dalam
bahasa Arab modern berarti ‘surat kabar’.

F. Makna Umum / Global


Penafsiran Buya Hamka (Tafsir al-Azhar)
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, yang
diterima dari Ibnu Abbas: “Rasulullah sedang menghadapi beberapa orang terkemuka
Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan
maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi
beriman, saat itu masuklah seorang laki-laki buta, yang dikenal dengan Abdullah bin
Ummi Maktum. Dia masuk ke dalam majlis dengan tangan meraba-raba. Sejenak sedang
Rasulullah terhenti bicara orang buta itu memohon kepada Nabi agar diajarkan kepadanya
beberapa ayat Al-Qur’an. Mungkin karena sedang menghadapi pemuka-pemuka itu,
kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum, sehingga
perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan dan beliau terus juga meladeni para
pemuka Quraisy tersebut. Setelah selesai semuanya itu dan beliau akan mulai kembali
kepada ahlinya turunlah ayat ini: “Dia bermuka masam dan berpaling.” Setelah ayat itu
turun, barulah Rasulullah sadar akan kekhilafannya. Lalu segera beliau menghadap Ibnu
Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang dia minta dan dia pun menjadi orang
yang sangat disayangi oleh Rasulullah SAW. Di mana saja bertemu dengan Ibnu Ummi
Maktum beliau menunjukkan muka yang jernih berseri kepadanya dan kadang-kadang
beliau katakan: “Hai orang yang telah menjadi sebab satu kumpulan ayat turun dari langit
kepadaku.”
Ibnu Katsir pun meriwayatkan bahwa bukan saja Ibnu jarir dan Ibnu Abi Hatim yang
membawakan riwayat ini, ada pula riwayat dari Urwah bin Zubair, Mujahid, Abu Malik
dan Qatadah, dan Adh-Dhaahak dan Ibnu Zaid dan lain-lain; bahwa yang bermuka masam
itu memang Rasulullah SAW sendiri dan orang buta itu memang Ibnu Ummi Maktum.
Ibnu Ummi Maktum adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal. Satu-satunya
orang buta yang turut hijrah dengan Nabi ke Madinah. Satu-satunya orang buta yang dua
tiga kali diangkat Rasulullah SAW menjadi wakilnya jadi Imam di Madinah kalau beliau
bepergian. Ibu dari Ibnu Ummi Maktum itu adalah saudara kandung dari ibu yang
melahirkan Siti Khadijah, isteri Rasulullah SAW. Dan setelah di Madinah, beliau pun
menjadi salah seorang tukang azan yang diangkat Rasulullah Saw di samping Bilal.
“Dia bermuka masam dan berpaling.” (ayat 1). “Lantaran datang kepadanya orang
buta itu.” (ayat 2). “Padahal adakah yang memberitahumu boleh jadi dia akan jadi orang
yang suci.” (ayat 3). Dalam ketiga ayat ini para ahli bahasa yang mendalami isi Al-Qur’an
merasakan benar-benar betapa mulia dan tinggi susunan bahasa wahyu itu dan Allah
terhadap Rasul-Nya. Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka
masam kepada orang yang datang bertanya; hendaklah bermuka manis terus, sehingga
orang-orang yang tengah terdidik itu merasa bahwa dirinya dihargai. Pada ayat 1 dan 2
kita melihat bahwa kepada Rasulullah tidaklah dipakai bahasa berhadapan, misalnya:
“Mengapa engkau bermuka masam, mentang-mentang yang datang itu orang buta?” Dan
tidak pula bersifat larangan: “Jangan engkau bermuka masam dan berpaling.” Karena
dengan susunan kata larangan, teguran itu menjadi lebih keras. Tidak layak dilakukan
kepada orang yang Allah sendiri menghormatinya! Tidak! Allah tidak memakai perkataan
yang demikian kepada Rasul-Nya. Melainkan dibahasakannya Rasul-Nya sebagai orang
ketiga menurut ilmu pemakaian bahasa. Allah tidak mengatakan engkau melainkan dia.
Dengan membahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus. Apalagi
di sini Rasulullah tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok
mata dan kebetulan Ibnu Ummi Maktum anak saudara perempuan beliau, bukan orang lain
bahkan terhitung anak beliau juga.
Di ayat 3 barulah Allah menghadapkan firman-Nya terhadap Rasul sebagai orang
kedua dengan ucapan engkau atau kamu: “Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh
jadi dia akan jadi orang yang suci?” di sini walaupun terhadap orang kedua susunannya
tetap halus. Memang belum ada orang yang memberitahu lebih dahulu bahwa Ibnu Ummi
Maktum akan menjadi orang yang sangat penting, yang benar telah dapat mensucikan
dirinya. Allah pun di dalam ayat ini memakai bahasa halus memberitahukan bahwa Ibnu
Ummi Maktum itu kelak akan jadi orang yang suci, dengan membayangkan dalam kata
halus bahwa terdahulu belum ada agaknya orang yang mengatakan itu kepada Nabi SAW.
Apakah perbuatan Nabi SAW bermuka masam itu satu kesalahan yang besar, atau
satu dosa? Tidak! Ini adalah satu ijtihad dan menurut ijtihad beliau orang-orang penting
pemuka Quraisy itu hendaklah diseru kepada Islam dengan sungguh-sungguh. Kalau
orang-orang semacam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam dan Abbas bin Abdul
Muthalib masuk Islam, berpuluh di belakang mereka yang akan mengikut. Payah-payah
sedikit menghadapi mereka tidak mengapa. Masuknya Ibnu Ummi Maktum ke dalam
majlis itu beliau rasa agak mengganggu yang sedang asyik mengadakan da’wah. Sedang
Ibnu Ummi Maktum itu orang yang sudah Islam juga.
“Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci?”
(ayat 3). “Atau dia akan ingat, lalu memberi manfaat kepada ingatnya itu? (ayat 4). Dengan
kedua ayat ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Ibnu Ummi Maktum itu
lebih besar harapan akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih
hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih, kebutaan
tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang. Bayangan yang sehalus itu dari
Allah terhadap seorang yang cacat pada jasmani dalam keadaan buta, tetapi dapat lebih
maju dalam iman, adalah satu pujian bagi Ibnu Ummi Maktum pada khususnya dan
sekalian orang buta pada umumnya. Dan orang pun melihat sejarah gemilang Ibnu Ummi
Maktum itu, sehingga tersebut di dalam sebuah riwayat dari Qatadah, yang diterimanya
dari Anas bin Malik, bahwa di zaman pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatab,
Anas melihat dengan matanya sendiri Ibnu Ummi Maktum turut dalam peperangan hebat
di Qadisiyah, ketika penaklukan negeri Persia, di bawah pimpinan Sa’ad bin Abu Waqqash.
“Adapun (terhadap) orang yang merasa diri cukup.” (ayat 5). Yaitu orang yang merasa
dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi, atau yang merasa dirinya kaya sehingga
merasa rendah kalau menerima ajaran dari orang yang dianggapnya miskin, atau merasa
dirinya sedang berkuasa sehingga marah kalau mendengar kritik dari rakyat yang
dipandangnya rendah: “Maka engkau menghadapkan (perhatian) kepadanya.” (ayat 6).
Itulah suatu ijtihad yang salah, meskipun maksud baik! Orang-orang yang merasa dirinya
telah cukup itu memandang enteng segala nasihat. Pekerjaan besar, revolusi-revolusi besar,
perjuangan-perjuangan yang hebat tidaklah dimulai oleh orang-orang yang merasa cukup.
Biasanya orang yang seperti demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat
pekerjaan orang telah berhasil.
“Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci.” (ayat 7). Padahal sebaliknyalah
yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-orang seperti itu tempoh akan
banyak terbuang. Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan
memperkajikan, berapa keuntungan benda yang akan didapatnya. Di dalam ayat ini Tuhan
telah membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau
menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan
dalam penyembahan kepada berhala.
“Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat.” (ayat 8). Kadang-kadang
datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak mengetahui hakikat ajaran
agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak mempunyai kendaraan sendiri: “Dan dia
pun dalam rasa takut.” (ayat 9). Yaitu rasa takut kepada Allah, khasyyah! Karena iman
mulai tumbuh: “Maka engkau terhadapnya berlengah-lengah.” (ayat 10).
Sejak teguran ini Rasulullah SAW merobah taktiknya yang lama. Lebih-lebih
terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, yang disebut
orang Awali, atau orang Badwi atau orang yang disebut A’rab. Malahan sesampai di
Madinah pernah si orang kampung yang belum tahu peradaban itu memancarkan
kencingnya di dalam masjid, sehingga sahabat-sahabat Rasulullah SAW marah kepada
orang itu. Lalu dengan lemah-lembutnya Rasulullah bersabda: “Jangan dia dimarahi, cari
saja air, siram baik-baik.” Maka datanglah satu ukhuwah Islamiah dan satu penghormatan
yang baik di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah SAW itu, karena teguran halus yang
rupanya sudah disengaja Tuhan itu.
Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya: “Adalah Nabi SAW itu di dalam haribaan
didikan Tuhannya, karena dia adalah kekasih Tuhan. Tiap-tiap timbul dari dirinya suatu
sifat yang akan dapat menutupi cahaya kebenaran (Nurul Haqq), datanglah teguran halus
Tuhan. Tepatlah apa yang beliau sendiri pernah mengatakan: “Aku telah dididik oleh
Tuhanku sendiri, maka sangatlah baiknya didikan itu.” Sehingga budi akhlak beliau telah
diteladannya dari budi akhlak Tuhan sendiri. Dan cara Allah memberikan teguran itu,
demikian halusnya kepada Nabi yang dicintai-Nya, pun adalah suatu adab yang hendaklah
kita teladan pula.
“Tidak begitu!” (pangkal ayat 11). Artinya janganlah kamu salah sangka, atau salah
tafsir, sehingga kamu menyangka atau menafsirkan bahwa ayat-ayat yang turun ini hanya
semata-mata satu teguran karena Nabi bermuka masam seketika Ibnu Ummi Maktum
datang. Soalnya bukan itu! “Sesungguhnya dia itu,” yaitu ayat-ayat yang diturunkan Tuhan
itu, “adalah peringatan.” (ujung ayat 11). Artinya, bahwasanya ayat-ayat yang turun dari
langit, yang kemudiannya tersusun menjadi Surat-surat dan semua Surat-surat itu
terkumpul menjadi Al-Qur’anul Karim, semuanya adalah peringatan ummat manusia dan
jin, tidak pandang martabat dan pangkat, kaya dan miskin; semuanya hendaklah menerima
peringatan itu.
“Maka barangsiapa yang mau, ingatlah dia kepadanya.” (ayat 12). Baik yang mau itu
orang merdeka seperti Abu Bakar, atau hamba sahaya sebagai Bilal, atau orang kaya
sebagai Abu Sufyan, atau orang miskin dari desa, sebagai Abu Zar; namun martabat
mereka di sisi Allah adalah sama. Yaitu sama diterima jika beriman, sama disiksa jika
mendurhaka.
“(Dia) adalah di dalam kitab-kitab yang dimuliakan.” (ayat 13). Artinya, sudah lama
sebelum ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan ke dunia ini kepada Nabi Akhir Zaman
Muhammad SAW dia telah tertulis terlebih dahulu di dalam shuhuf yang di dalam tafsir
ini kita artikan kitab-kitab. Shuhuf adalah kata banyak dari shahifah. Di dalam sebuah
hadis yang dinyatakan bahwa keseratus empat belas Surat itu telah tertulis lengkap dan
tertahan di langit pertama, dan diturunkan ke dunia dengan teratur dalam masa 23 tahun.
Dia terletak di waktu itu di tempat yang mulia, dan tidak seorang pun dapat menyentuhnya
kecuali malaikat-malaikat yang suci-suci. Sebab itu dikatakan seterusnya: “Yang
ditinggikan, yang disucikan.” (ayat 14). Yang ditinggikan, yaitu ditinggikan
kehormatannya, tidak sama dengan sembarang kitab. Yang disucikan dan dibersihkan
daripada tambahan dan kekurangan, disuci-bersihkan pula daripada tambahan kata
manusia, khusus Kalam Allah semata-mata.

Anda mungkin juga menyukai