ََيا َب ِني آدَ َم ُخذُوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َو ََل تُس ِْرفُوا ۚ ِإنَّهُ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِين
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. Surat Al-A’raf Ayat 31
2.Menyampaikan bacaan
sholat Q 4:43
س ِبي ٍل َحت َّ ٰى ت َ ْغت َ ِسلُوا ۚ َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم َ َار ٰى َحت َّٰى ت َ ْع َل ُموا َما تَقُولُونَ َو ََل ُجنُبًا ِإ ََّل
َ عا ِب ِري َ سكُ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا الص َََّلةَ َوأ َ ْنت ُ ْم
ُس ُحوا بِ ُو ُجو ِهك ْم َ
َ صعِيدًا طيِبًا فَا ْم َ َ ِسف ٍَر أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ مِ ْن ُك ْم مِ نَ ْالغَائِطِ أ ْو ََل َم ْست ُم الن
َ سا َء فَل ْم ت َِجدُوا َما ًء فَت َيَ َّم ُموا ُ َ َ ض ٰى أ َ ْو
َ علَ ٰى َ َم ْر
ً ُغف
ورا َ عفُ ًّوا َّ َوأ َ ْيدِي ُك ْم ۗ ِإ َّن
َ ََّللاَ َكان
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Alfatikhah
4 ayat pertama pujian kepada Allah ayat ke 5 pernyataan kepada Allah sedang 6 dan 7 doa
A. Harus bersuar
1. Qs 17:110
َص ََلتِكَ َو ََل تُخَافِتْ بِ َها َوا ْبت َِغ بَيْنَ َٰذَلِك
َ ِالرحْ َٰ َمنَ ۖ أَيًّا َما ت َ ْدعُوا فَلَهُ ْاْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسن ََٰى ۚ َو ََل تَجْ َه ْر ب
َّللا أ َ ِو ا ْدعُوا ه
َ قُ ِل ا ْدعُوا ه
يَلً ِسب
َ
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu
2. Qs 7:35
َف َعلَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم يَحْ زَ نُون ْ َ صونَ َعلَ ْي ُك ْم آيَاتِي ۙ فَ َم ِن اتَّقَ ٰى َوأ
ٌ صلَ َح فَ ََل خ َْو ُ يَا بَنِي آدَ َم ِإ َّما يَأْتِيَ َّن ُك ْم ُر
ُّ ُس ٌل ِم ْن ُك ْم يَق
Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang
menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan
mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.
3. Qs 50:16
ُ سهُ ۖ َون َْح ُن أ َ ْق َر
ب إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ُ س بِ ِه نَ ْف
ُ سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِو ِ ْ َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا
َ اْل ْن
ْال َو ِري ِد
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
1. Qs 107:4
َ فَ َو ْي ٌل ل ِْل ُمMaka kecelakaanlah, bagi orang-orang yang shalat
َص ِلين
Qs 107:45
2. َسا ُهون
َ صَلتِ ِه ْم َ ( الَّذِينَ ُه ْمyaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
َ ع ْن
Qs 36:12
ين َ ش ْىءٍ أَ ْح
ٍ ص ْينَاهُ فِي ِإ َم ٍام ُّم ِب َ ار ُه ْم َو ُك َّل ُ ُ ِإنَّا ن َْح ُن نُ ْح ِى ْال َم ْوتَى َونَ ْكت
َ َ ب َماقَّد ُموا َو َءاث
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa
yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Qs 4:43
سبِي ٍل َحت َّ ٰى ت َ ْغت َ ِسلُوا ۚ َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َ َار ٰى َحت َّ ٰى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو ََل ُجنُبًا إِ ََّل
َ عابِ ِري َ سك ُ ص ََلة َ َوأ َ ْنت ُ ْم
َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا ال
س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َ صعِيدًا
َ ط ِيبًا فَا ْم َ ِسف ٍَر أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ مِ ْن ُك ْم مِ نَ ْالغَائِطِ أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم الن
َ سا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَت َ َي َّم ُموا َ ض ٰى أ َ ْو
َ علَ ٰى َ َم ْر
ورا
ً غف ُ ُ
َ عف ًّوا َّ َوأ َ ْيدِيك ْم ۗ إِن
َ ََّللاَ َكان َّ ُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
G. Tumakninah ( rukun )
Qs 59:21
ِ ََّّللاِ ۚ َوت ِْلكَ ْاَل َ ْمث َا ُل نَض ِْربُ َها لِلن
َاس لَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون َ َ لَ ْو أ َ ْنزَ ْلنَا ٰ َهذَا ْالقُ ْرآن٢١
َ َ علَ ٰى َجبَ ٍل لَ َرأ َ ْيتَهُ خَا ِشعًا ُمت
َّ ص ِدعًا مِ ْن َخ ْشيَ ِة
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir
Sabar
sholat
Ikhlas
tawakal
Bersukur
berprasangka baik
Dzikir perbuata
Jadi kalau orang sudah beriman harus bisa total menerima apapun kejadian dengan sabar dan sholat
.(keyakinan kita bisa mengalahkan logika kita.
Biasanya ada jebakan iman itu perlu proses padahal tidak ada ragu ragu pada allah.bila ada keraguan
berarti kita belum beriman.
Bila kita sudah sabar dan sholat dengan maksimal mari kita tumggu Allah menolong dengan kehendaknya.
Ikhlas
Cara melatih
1. Coba sekarang kasih sesuatu yang tidak memberatkan atau ganjalan dihati.
2. Misal buat masakan untuk suami niatkan hanya melaksanakan perintah allah
Tawakal
ْس كل َم ْحبُوب تقر بِ ِه ْالعين َوإِنَّ َما تقر ْالعين َ َوقُ َّرة ُ ْال َع ْين فَ ْوقَ ْالمحبَّة فَإِنَّهُ لَي
ْس ذَ ِلك إِ ََّل هللا الَّذِي ََل إِلَه إِ ََّل ُه َو وكل
َ بِأ َ ْعلَى المحبوبات الَّذِي يحب لذاته َولَي
َما سواهُ فَإ ِنَّ َما يحب تبعا لمحبته
“Qurratul ‘ain” itu melebihi sekedar cinta biasa (kesukaan biasa), karena
tidak setiap perkara yang dicintai pasti sebagai “Qurratul ‘ain” (paling
menyenangkan hati), dan semata-mata hati itu bisa mencapai puncak
kesenangannya, hanyalah dengan sesuatu yang paling dicintai, (yaitu) yang
dicintai karena dirinya (maksudnya: statusnya sebagai pokok cinta dan
bukan cinta cabang , pent). Dan tidak lain itu adalah Allah, yang tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Seluruh selain-Nya semata-
mata dicintai karena mengikuti kecintaan kepada-Nya” (Risaalah Ibnil
Qoyyim ila ahadi ikhwaanihi (PDF), hal. 36).
ص ََلة قُ َّرة عُيُون المحبين فِي َهذِه الد ُّ ْنيَا لما فِي َها من ُمنَا َجاة من ََل تقر ْالعُيُون َو ََل َّ فَال
ذكر ِه والتذلل والخضوع لَه ُ والقرب ِ ِتطمئِن ْالقُلُوب َو ََل تسكن النُّفُوس إِ ََّل إِلَ ْي ِه والتنعم ب
س ُجود َوتلك ْال َحال أقرب َما يكون العَبْد من ربه فِي َها ُّ ِم ْنه ُ َو ََل ِسي َما فِي َحال ال
“Maka shalat dikatakan “Qurratul ‘ain” bagi orang-orang yang mencintai
(Allah) di dalam kehidupan dunia ini karena di dalam shalat terdapat
aktifitas bermunajat (berkomunikasi lirih) dengan Dzat, yang tidaklah
senang dan tenang suatu hati dan tidaklah jiwa menjadi sakinah kecuali
dengan berkomunikasi dengan-Nya dan bernikmat-nikmat dengan
mengingat-Nya, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya serta
mendekatkan diri kepada-Nya. Terlebih lagi dalam keadaan sujud, keadaan
tersebut adalah keadaan hamba yang terdekat dengan Rabb nya di dalam
shalat” (Risaalah Ibnil Qoyyim ila ahadi ikhwaanihi (PDF), hal. 37).
.إذا لم تجد للعمل حَلوة في قلبك وانشرا ًحا فاتَّه ْمه فإن الربَّ تعالى شكور
“Jika Anda tidak mendapatkan kemanisan (iman/ibadah) dan kelapangan
dalam hatimu ketika beramal (beribadah), maka curigailah amalan Anda
tersebut, karena Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Mensyukuri”
يعني أنه َل بد أن يثيب العامل على عمله في الدنيا من حَلوة يجدها في قلبه
فحيث لم يجد ذلك فعمله مدخول،وقوة انشراح وقرة عين
“Maksudnya, bahwa Allah pasti memberi pahala pelaku amal shaleh
(ibadah) di Dunia, berupa kemanisan (iman/ibadah) yang ia dapatkan
dalam hatinya, demikian pula kelapangan dan kesenangan hati , maka jika
ia tidak mendapatkan hal itu, maka amalnya terkontaminasi (terkotori
kotoran)” (Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim: 2/68).
Pahala shalat
ُ ُخ ُم،سها
، ُربُعُها،سها ُ ُ سد ُ ، ث ُ ُمنُها،سعُها
ُ ،سبُعُها ُ ُ ت،ش ُر صَلتِ ِه
ُ ع َ ِرف؛ َو َما ُكت
ُ ب إَِل ُ صَ الر ُج َل لَيَ ْن
َّ إِ َّن
صفها ْ ِ ن،ثلُثُها
Siapa yang mau shalatnya seperti badan tanpa ruh (shalat hanya gerakan
badan tanpa hadirnya hati/khusyu’)? Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala
memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka,
َ(قَدْ أ َ ْفلَ َح ْال ُمؤْ ِمنُون1) ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,”
Dan khusyu’ dalam shalat meliputi khusyu’ lahir dan batin (hati),
sebagaimana penafsiran Syaikh As-Sa’di rahimahullah terhadap ayat di atas,
، فيسكن لذلك قلبه، مستحضرا لقربه، هو حضور القلب بين يدي هللا تعالى:والخشوع في الصَلة
مستحضرا جميع ما يقوله ويفعله، متأدبا بين يدي ربه، ويق ل التفاته، وتسكن حركاته،وتطمئن نفسه
وهذا روح، فتنتفي بذلك الوساوس واَلفكار الردية، من أول صَلته إلى آخرها،في صَلته
وإن، فالصَلة التي َل خشوع فيها وَل حضور قلب، وهو الذي يكتب للعبد، والمقصود منها،الصَلة
فإن الثواب على حسب ما يعقل القلب منها،كانت مجزئة مثابا عليها.
Lafadz yang pertama kali diucapkan dalam shalat adalah lafadz takbiratul
ihram, yaitu “Allahu Akbar”. Sebuah lafadz pembuka shalat yang tidaklah
sah sebuah shalat kecuali dengannya, karena kedudukannya sebagai rukun
shalat.
فجعل. وتح ليلها بابها الذي يخرج به منها،تحريمها هنا هو بابها الذي يدخل منه إليها
، والتسليم باب الخروج لحكمة بديعة بالغة يفهمها من عقل عن هللا،التكبير باب الدخول
وسافر فكره في استخراج حكمه وأسراره،وألزم نفسه بتأمل محاسن هذا الدين العظيم
،وبدائعه
“Yang dimaksud tahrim shalat di sini adalah pintu masuk shalat itu dimulai
dari mengucapkan takbiratul ihram, sedangkan tahlil shalat adalah pintu
keluar dari shalat dengan mengucapkan salam. Maka dijadikan takbiratul
ihram sebagai pintu masuk dan mengucapkan salam sebagai pintu keluar,
untuk suatu hikmah yang indah yang sangat mendalam,hikmah ini barulah
bisa dipahami oleh orang yang mengenal Allah dan menuntun dirinya untuk
merenungkan keindahan Agama yang agung ini, sedangkan fikirannya
mengembara di dalam mengeluarkan mutiara hikmah, rahasia dan
keindahan-keindahan Agama ini” (Badai’ul Fawaid, Ibnul Qoyyim 2/695
[PDF]).
Lafadz takbiratul ihram ini tidak sah jika diganti dengan lafadz yang
lainnya. Berkata Syaikh Muhammad Shalih Al-
‘Utsaimin rahimahullah, “(Lafadz Allahu Akbar) tidaklah sah diganti dengan
lafadz lain walaupun maknanya bisa menggantikannya, misalnya seseorang
(yang sedang shalat) mengucapkan “Allahul Ajallu atau Allahu Ajallu atau
Allahu A’dhamu atau yang semisalnya (maka ini tidak sah- pent)” (Syarhul
Mumti‘ : 3/26).
Jadi, lafadz takbiratul ihram itu bukanlah “Allahu Akbar minas Samawat
(Allah lebih besar dari langit) ”misalnya. Pada kalimat ini, disebutkanlah
“sesuatu yang lain”, sebagai pembanding, yang kebesarannya berada di
bawah kebesaran Allah ”, yaitu langit.
َّ كل شيء
عز وج َّل ِ أكبر ِمن،و ُحذف المفضَّل عليه ليتناول ك َّل شيء
“(Dalam ucapan Takbir ) Sesuatu yang lain -yang kebesarannya berada di
bawah kebesaran Allah- tidaklah disebutkan, guna mencakup segala sesuatu
(selain Allah), (dengan demikian, kesimpulannya) Allah ‘Azza wa Jalla lebih
besar dari segala sesuatu (baca: Allah Maha Besar)” (Syarhul Mumti‘ : 3/29).
Jika seseorang melakukan kesalahan yang tidak sampai merubah makna ini,
maka shalatnya tetap sah.
فإنه إذا انتصب قائما بين يدي الرب تبارك وتعالى شاهد بقلبه قيوميته وإذا قال هللا اكبر
شاهد كبرياءه وإذا قال سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك وَل إله غيرك
شاهد بقلبه ربا منزها عن كل عيب سالما من كل نقص محمودا بكل حمد فحمده
يتضمن وصفه بكل كمال.
“Maka jika seorang hamba berdiri tegak di hadapan Ar-Rabb Tabaraka wa
Ta’ala, (berarti) ia menyaksikan dengan hatinya (menghayati)
kemahamandirian-Nya. Jika ia mengucapkan “ Allahu Akbar”, maka ia
menghayati kesombongan (Kemahabesaran)-Nya. Dan jika ia mengucapkan
“Subhanakallahumma wa bihamdika Tabaarakasmuka wa Ta’ala Jadduka, wa
la ilaha ghairuka”, maka ia pun menyaksikan dengan hatinya (menghayati)
Tuhan yang disucikan dari seluruh aib, senantiasa selamat dari seluruh
kekurangan, terpuji dengan segala pujian. Pujian terhadap-Nya tersebut
mengandung pensifatan bagi-Nya dengan setiap sifat-sifat sempurna”
(Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim, hal. 171).
لينسلخ، و يستقبل هللا عز و جل بقلبه، و أُمر بأن يستقبل القبل ة ـ بيته الحرام ـ بوجهه
ثم قام بين يديه مقام المتذلل الخاضع المسكين، مما كان فيه من التولي و اْلعراض
خاشع القلب، و ألقى بيديه مسلما ً مستسلما ً ناكس الرأس، المستعطف لسيِده عليه
خاشع قد توجه، َل يمنة و َل يسرة، و طرف ة عين، ُمطرق الطرف َل يلتفت قلبه عنه
كله إليه
ِ بقلبه.
“Seseorang yang hendak menunaikan shalat diperintahkan untuk
menghadap kiblat dengan wajahnya (ke Baitullah), dan ia menghadap
Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya, agar sirna pelarian dan
keberpalingannya (dari mengingat Allah) yang telah menimpanya, lalu ia
menghadap-Nya dalam keadaan merendahkan diri, tunduk, merasa butuh,
dan mengharap kasih sayang Rabb nya kepadanya, dan “mengangkat kedua
tangannya” pasrah menyerahkan (dirinya), menundukkan kepalanya,
khusyu’ hatinya, kosentrasi mengingat-Nya, tidak lalai dari-Nya, dan
gerakan bola matanya pun tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri, khusyu’
telah menghadapkan hatinya kepada-Nya dengan totalitas”
ثم كبَّره بالتعظيم و اْلجَلل و واطأ قلبه لسانه في التكبير فكان هللا، و أقبل بكليته عليه
و صد َّق هذا التكبير بأنه لم يكن في قلبه شيء أكبر من، كل شيء ِ أكبر في قلبه من
هللا تعالى يشغله عنه فإنه إذا كان في قلبه شيء يشتغل به عن هللا دل على أن ذلك
كان ما اشتغل به هو أهم عنده، الشيء أكبر عنده من هللا فإنه إذا اشتغل عن هللا بغيره
، و كان قوله ” هللا أكبر ” بلسانه دون قلبه ؛ َلن قلبه مقبل على غير هللا، من هللا
ً مجَل، معظما له
فالتكبير:
“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan
bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397)
Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal yang
membuat shalat menjadi sah, diantaranya takbiratul ihram.
ُ َ َّللا ُ أ
كبر َّ اس حتَّى يتوضَّأ َ فيض َع الوضو َء مواضعَه ُ ث َّم يقو ُل
ِ َّإنَّه ُ َل تت ُّم صَلة ٌ َلح ٍد منَ الن
Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan
takbir, sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf
membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama
seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur
baginya kewajiban takbiratul ihram.
Takbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan lisan, tidak boleh hanya
diucapkan di dalam hati. Lalu para ulama berselisih pendapat apakah
dipersyaratkan suara takbir minimal dapat didengar oleh diri sendiri atau
tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah mempersyaratkan demikian,
yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau minimal dapat
didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul Mumthi’, 3/20). Namun yang
rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Yang
benar, tidak dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya.
Karena terdengarnya takbir itu zaaid (objek eksternal) dari pengucapan.
Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini diwajibkan, wajib
mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’, 3/20).
Orang bisu atau orang yang memiliki gangguan fisik sehingga tidak bisa
berkata-kata, maka ia cukup bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Karena perkataan Allahu Akbar itu
mencakup ucapan lisan dan ucapan hati. Tidaklah lisan seseorang
mengucapkan Allahu Akbar kecuali pasti hatinya mengucapkan dan
memaksudkannya dalam hati. Sehingga jika seseorang terhalang untuk
mengucapkannya, yang wajib baginya adalah cukup dengan
mengucapkan dengan hatinya” (Syarhul Mumthi’, 3/20)
وإذا رفع،للركوع
ُّ وإذا كب ََّر،َ صَلة
َّ حذو َمنكبيه؛ إذا افتتح ال
َ ي صلى هللا عليه وسلم كان يرف ُع يديه َّ
َّ أن النب
الركوع
ُّ رأسه من
Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat yang
beliau selalu lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy, berdoa
istiftah, dll namun tidak wajib hukumnya. Bahkan ini semua tidak dinilai
wajib oleh ulama yang mewajibkan mengangkat tangan ketika takbiratul
ihram. Sehingga ada idthirad (kegoncangan) dalam pendapat ini. Yang
benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin
Nabi, 63-67).
َ وليستقبل بباطنِهما ال ِقبلة، إذا استفتح أحد ُكم الصَلة َ فليرفع يد ْي ِه
Dan ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih.
Adapun hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
َلنظرن الى صَلة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال فلما افتتح الصَلة كبر ورفع يديه فرأيت
إبهاميه قريبا من أذنيه
bukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun memang
terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
ْ ضاهَا فَ َو ِل َو ْج َه َك ش
َط َر َ اء فَلَنُ َو ِليَنَّ َك قِ ْبلَةً ت َ ْر
ِ س َم
َّ ب َو ْج ِه َك فِي الَ ُّقَ ْد ن ََرى تَقَل
ْ ْث َما ُك ْنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم ش
َُط َره ُ ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َو َحي
“Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika mati”
(HR. Abu Daud 2875)
Ukuran Tinggi
حذو
َ وسلم إذا قام إلى الصَلةِ يرف ُع يديه حتى إذا كانتا
َ كان رسو ُل هللاِ صلَّى هللا ُ علي ِه
ِمن َكبيه
Juga hadits:
كانَ رسو ُل هللاِ صلهى هللاُ عليه وسلهم إذا افتت َح الصَلة َ رفع َي َدي ِه حتى تكونا َ َح ْذ َو أُذُنَي ِه
سلَّ َم إذا قام إلى الصَلة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ ُ َّللا َ كان رسول هللا
منكبيه ثم كبَّر
ثم،سلَّ َم إذا قام إلى الصَلة؛ يرفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ كان رسول هللا
يكبر
وإذا رفع رأسه، وإذا أراد أن يركع، يرفع يديه حين يكبر حيال أذنيه، أن رسول هللا كان إذا صلى
من الركوع
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika shalat beliau
mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi
kedua telinganya. Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak
mengangkat kepada dari ruku’” (HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Nasa-i)
وإذا أراد أن يركع رفع يديه. ثم رفع يديه. إذا صلى كبر، أنه رأى مالك بن الحويرث
وحدث ؛ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم. وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه.
كان يفعل هكذا
Para ulama bersepakat bahwa bersedekap ketika shalat adalah hal yang
disyariatkan, berdasarkan hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhu:
Sebagian orang ada yang menukil pendapat Imam Malik bahwa beliau
menganggap makruh bersedekap dalam shalat dan beliau menganjurkan
irsal, yaitu membiarkan tangan terjulai disamping. Namun yang shahih
adalah bahwa beliau juga berpendapat disyari’atkannya bersedekap.
Buktinya dalam kitab Al Muwatha, beliau membuat judul bab:
Bentuk Sedekap
Para ulama bersepakat bahwa tangan kanan berada di atas tangan kiri,
namun mereka berbeda pendapat mengenai rincian bentuk sedekap, yang
merupakan khilaf tanawwu’ (perbedaan dalam variasi). Walaupun demikian,
cara yang bersedekap yang benar dibagi menjadi dua cara:
Adapun di luar dua cara ini, seperti meletakkan tangan kanan di siku kiri,
atau di lengan atas, adalah kekeliruan dan tidak ada satupun ulama yang
membolehkannya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
“Kita pernah melihat orang yang bersedekap dengan memegang sikunya,
apakah ini ada dasarnya? Jawabnya, ini tidak ada dasarnya sama sekali”
(Syarhul Mumthi’, 3/36).
Letak Sedekap
Para ulama berbeda pendapat mengenai letak sedekap. Madzhab Hanafi dan
Hambali berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar.
Berdasarkan hadits:
َ ص ََلةِ ت َ ْح
ت ِ علَى ْال َك
َّ ف فِي ال ِ ض ُع ْال َك
َ ف ُّ ِمنَ ال: قَا َل، ُ ع ْنه
ْ سنَّ ِة َو َّ ي
َ ُ َّللا َ ض َ أ َ َّن
ِ ع ِليًّا َر
ِس َّرة
ُّ ال
“Ali radhiallahu’anhu berkata: Termasuk sunnah, meletakkan telapak tangan
di atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar” (HR. Abu Daud 758, Al
Baihaqi, 2/31)
Namun hadits ini sangat lemah karena ada perawinya yang bernama Ziad
bin Zaid Al Kufi statusnya majhul ‘ain, dan Abdurrahman bin Ishaq yang
berstatus dhaiful hadits.
Syafi’iyyah dan Malikiyyah memaknai bahwa maksud lafadz صد ِْر ِهَ ع ل َى
َ adalah
bagian akhir dari dada. Namun keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh
para ulama. Yang tepat insya Allah, hadits ini lemah. Letak kelemahannya
pada perawi Mu’ammal bin Isma’il, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Terdapat jalan lain yang diriwayatkan secara mursal dari Thawus bin Kaisan
dengan sanad yang shahih. Dengan demikian hadits tentang letak sedekap di
atas dada lebih tepat kita katakan hadits mursal.
Juga dinukil sebagai salah satu pendapat imam Ahmad bahwasanya letak
sedekap adalah persis di atas dada, sesuai zhahir hadits. Ini juga yang
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan juga Syaikh Al
Albani rahimahumallah. Namun karena tidak ada hadits yang shahih dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang ini maka yang tepat tidak ada
batasan letak sedekap. Dalam hal ini perkaranya luas. Sedekap boleh di atas
dada, di bawah dada, di perut, di atas pusar maupun di bawah pusar (lihat
Sifat Shalat Nabi Lit Tharifi, 90).
Adapun bersedekap di dada kiri atau di rusuk kiri, dan orang yang
melakukannya sering beralasan bahwa itu adalah tempatnya jantung, ini
adalah alasan yang dibuat-buat yang tidak ada asalnya. Selain itu ada hadits
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:
Lafadz ِصَلة
َّ (إذا كانَ قائ ًما في الketika beliau berdiri dalam shalat) dipahami
bahwa sedekap itu dilakukan dalam setiap kondisi berdiri dalam shalat
kapan pun itu, baik sebelum rukuk maupun sesudah rukuk. Namun ini
adalah pendalilan yang tidak sharih. Karena tidak ada dalil yang shahih dan
sharih mengenai hal ini, maka khilaf ulama dalam hal ini adalah khilaf
ijtihadiyyah,
Rincian Makna :
سلَ َمةَ قَا َل َ يز ْبنُ أَبِي ِ الرحْ َم ِن ْبنُ َم ْهدِي ٍ قَا َل َحدَّثَنَا َع ْبدُ ْالعَ ِزَّ ُ أ َ ْخبَ َرنَا َع ْم ُرو ْبنُ َع ِلي ٍ قَا َل َحدَّثَنَا َع ْبد:٨٨٧ سنن النسائي
َُّللاُ َع ْنه
َّ ي َ ض ِ ع ِلي ٍ َر َ
َ َّللاِ ب ِْن أبِي َرافِعٍ َع ْن ُ الرحْ َم ِن ْاَلَع َْرجِ َع ْن
َّ عبَ ْي ِد َّ سلَ َمةَ َع ْن َع ْب ِد َ اجشُونُ ْبنُ أَبِي ِ َحدَّثَنِي َع ِمي ْال َم
ض َ ت َو ْاَل َ ْر ِ س َم َوا
َّ ط َر الَ َي ِللَّذِي ف َّ سلَّ َم َكانَ ِإذَا ا ْستَ ْفت َ َح ال
َ ص ََلةَ َكب ََّر ث ُ َّم قَا َل َو َّج ْهتُ َوجْ ِه َّ صلَّى
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو ُ أَ َّن َر
َّ سو َل
َ َِّللا
َ ُ
ب العَالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ لَهُ َوبِذَلِكَ أ ِم ْرتُ َوأنَا ِم ْن ْ ِ اي َو َم َماتِي ِ َّلِلِ َر َ َس ِكي َو َمحْ ي ُ ُص ََلتِي َون ْ َ
َ َحنِيفًا َو َما أنَا ِم ْن ال ُم ْش ِركِينَ إِ َّن
ْال ُم ْس ِل ِمينَ ال َّل ُهمَّ َأ ْنتَ ا ْل َم ِلكُ ََل إ ِ َلهَ إ ِ ََّل َأ ْنتَ َأنَا عَ ْبدُكَ َظ َل ْمتُ نَ ْفسِي َوا ْعتَ َر ْفتُ ب ِ َذ ْنبِي َفا ْغ ِف ْر ِلي ُذ ُنوبِي َج ِميعًا ََل يَ ْغ ِف ُر
ف عَنِي سَيِئَهَا إ ِ ََّل ْ َف عَنِي سَيِئَهَا ََل ي
ُ ص ِر ْ ص ِر ْ َل ْحسَنِهَا إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا َ ِ ق ََل يَ ْهدِي َ ْ َل ْحسَ ِن
ِ اَل ْخ ََل َ ِ وب إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا ْه ِدنِي
َ ال ُّذ ُن
َْس إ ِ َليْكَ َأنَا بِكَ َوإ ِ َليْكَ تَبَا َر ْكتَ َوتَعَا َليْتَ َأ ْستَ ْغ ِف ُركَ َو َأ ُتوبُ إ ِ َليْكَ سعْدَيْكَ َوا ْل َخي ُْر ُك ُّلهُ فِي يَدَيْكَ َوال َّش ُّر َلي
َ َأ ْنتَ َلبَّيْكَ َو
Sunan Nasa'i 887: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Ali dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dia berkata: telah menceritakan
kepada kami Abdul 'Aziz bin Abu Salamah dia berkata: pamanku Al Majisyun bin Abu
Salamah telah menceritakan kepadaku, dari Abdurrahman Al A'raj dari 'Ubaidullah bin
Abu Rafi' dari 'Ali bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila memulai shalat
beliau bertakbir kemudian mengucapkan -doa yang artinya-: "Aku hadapkan wajahku
kepada Dzat yang telah menciptakan lagit dan bumi dengan lurus, dan aku bukan
termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanya bagi Allah Rabb semesta alam. yang tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku
diperintahkan dan aku termasuk kaum muslimin. Ya Allah, Engkau adalah penguasa yang
tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Engkau, dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah
menzhalimi diriku sendiri dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah semua dosaku,
karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Tunjukkanlah aku kepada
akhlak yang terbaik, karena tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang baik
kecuali Engkau. Dan palingkanlah aku dari kejelekannya (Akhlaq), karena tidak ada yang
bisa memalingkannya aku dari kejelekannya kecuali Engkau. Aku siap untuk
menjalankan perintah-Mu dan taat kepada-Mu. Semua kebaikan ada di tangan-Mu dan
kejelekan tidak kembali kepada-Mu. Aku bergantung dan berlindung kepada-Mu.
Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi, maka aku meminta ampun dan bertaubat kepada-
Mu.'"
Empat
ش َعيْبُ ْبنُ أَ ِبي َح ْمزَ ةَ َع ْن ُ ي قَا َل َحدَّثَنَا ا ْبنُ ِح ْم َي ٍر قَا َل َحدَّثَنَا ُّ ص ِ عثْ َمانَ ْال ِح ْم ُ ُ أ َ ْخ َب َرنَا َيحْ َيى ْبن:٨٨٨ سنن النسائي
َالرحْ َم ِن ب ِْن ه ُْر ُمزَ ْاَلَع َْرجِ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َم ْسلَ َمة َّ ُم َح َّم ِد ب ِْن ْال ُم ْن َكد ِِر َوذَك ََر آخ ََر قَ ْبلَهُ َع ْن َع ْب ِد
ت
ِ س َم َوا َ َي ِللَّذِي ف
َّ ط َر ال َ َّللاُ أ َ ْك َب ُر َو َّج ْهتُ َوجْ ِه َّ ط ُّوعًا قَا َل َ َ ص ِلي ت َ ُام يَ َسلَّ َم َكانَ ِإذَا ق َّ صلَّى
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َ َِّللاَّ سو َل ُ أ َ َّن َر
َُب ْالعَالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ له ِ اي َو َم َماتِي ِ َّلِلِ َر ُ ُص ََلتِي َون
َ َس ِكي َو َمحْ ي ْ َ
َ ض َحنِيفا ُم ْس ِل ًما َو َما أنَا ِم ْن ال ُم ْش ِركِينَ إِ َّن ً َ َو ْاَل َ ْر
ُ س ْب َحانَكَ َو ِب َح ْم ِدكَ ث ُ َّم َي ْق َرأ
ُ ََو ِبذَلِكَ أ ُ ِم ْرتُ َوأَنَا أ َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِمينَ اللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ْال َم ِلكُ ََل ِإلَهَ ِإ ََّل أ َ ْنت
Sunan Nasa'i 888: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin 'Usman Al
Himshi dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Hamir dia berkata:
telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Abu Hamzah dari Muhammad bin
Al Munkadir dan menyebutkan sebelumnya dari Abdurrahman bin Hurmuz Al
A'raj dari Muhammad bin Maslamah bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bangkit untuk mengerjakan shalat sunnah maka beliau mengucapkan:
"Allahu Akbar Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathoros Samawaati Wal Ardlo Haniifan
Musliman Wamaa Anaa Minal Musyrikiin, Inna Sholatiy Wanusukiy
Wamahyaaya Wamamaatiy Lillahirabbil 'Aalamiin La Syariikalahu Wa Bidzalika
Umirtu Wa Anaa Awwalul Muslimiin, Allahumma Antal Maliku Laa Ilaha Illa Anta
Subhaanaka Wabihamdika (Allah Maha Besar aku hadapkan wajahku
(tujuanku) kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan lurus
dan pasrah. Aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku (Kurbanku). hidupkun dan matiku hanya bagi Allah, Rabb semesta
alam, yang tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan, dan aku
termasuk kaum muslim. Ya Allah, Engkau adalah penguasa yang tiada Dzat
yang berhak disembah selain Engkau. Engkau Maha Suci dan dengan memuji-
Mu)." Kemudian beliau membaca surat (al-Fatihah.)
Lima
Tuju
: قَا َل،َ أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو َخ ْيث َ َمة: قَا َل، أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو يَ ْعلَى:١٧٨٠ صحيح ابن حبان
َع ْن،َ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن ُم َّرة،ُش ْع َبة ُ َحدَّثَنَا: قَا َل،ٍالر ْح َم ِن ب ُْن َم ْهدِي َّ ُأ َ ْخ َب َرنَا َع ْبد
صلَّى
َ ِسو ُل هللا ُ َكانَ َر: قَا َل،ع ْن أ َ ِبي ِه َ ،ط ِع ٍم ْ ع ِن اب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُمَ ،ِاص ٍم ْال َعن َِزي ِ َع
- ثََلَثًا-يرا ً ِ َو ْال َح ْمدُ ِ َّلِلِ َكث،يرا ً َِّللاُ أ َ ْكبَ ُر َكب
َّ :صَلَة َ قَا َل َّ سلَّ َم إِذَا دَ َخ َل ال َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو
َّ
، ِم ْن نَ ْف ِخ ِه،الر ِج ِيم َّ ان ِ ط َ ش ْي
َّ الِلِ ِمنَ الَّ عوذُ ِب ُ َ أ- ثََلَثًا-ًصيَل ِ َ س ْب َحانَ هللاِ َب ْك َرة ً َوأ ُ
ِ :ُ َونَ ْفثُه،ُ ْال ُموتَة:ُ َوه َْم ُزه، ْال ِكب ُْر:ُ نَ ْف ُخه:قَا َل َع ْم ٌرو. َونَ ْفثِ ِه،َوه َْم ِز ِه
.الش ْع ُر
Shahih Ibnu Hibban 1780: Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu
Khaitsamah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdurrahman bin Mahdi
mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syu’bah menceritakan kepada kami dari Amr
bin Murrah, dari Ashim Al Anazi93, dari Ibnu Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menunaikan shalat, membaca
”Allahu akbar kabiiran walhamdu lillaahi katsiiran -tsalatsan- subhaanallaahi bukratan
ashiila -tsalatsan- a’uudzubillaahi minasy syaithaanir rajiim: min nafkhihi wa hamzihi wa
naftsih." (Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak —tiga kali.
Maha Suci Allah pada waktu pagi dan sore —tiga kali—. Aku berlindung kepada Allah
dari syetan yang terkutuk, dari tiupannya, godaannya, dan bisikannya).”
أ َ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َم ِعي ُل ب ُْن َم ْسعُو ٍد قَا َل َحدَّثَنَا خَا ِلدٌ قَا َل:١٠٥٤ سنن النسائي
َُّللاِ أَنَّه َّ ع ْب ِد َ طانَ ب ِْن َّ ع ْن ِح َ س ب ِْن ُجبَي ٍْر َ ُع ْن يُون َ َ ع ْن قَتَادَة َ ٌس ِعيد َ َحدَّثَنَا
طبَنَا َ سلَّ َم َخ َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ ي َّ ِسى قَا َل إِ َّن نَب َ س ِم َع أَبَا ُمو َ َُحدَّثَهُ أَنَّه
صفُوفَ ُك ْم ث ُ َّم ُ صلَّ ْيت ُ ْم فَأ َ ِقي ُموا َ ص ََلتَنَا فَقَا َل ِإذَا َ علَّ َمنَا َ سنَّتَنَا َو ُ َوبَيَّنَ لَنَا
ب
ِ ضو ُ غي ِْر ْال َم ْغ َ َ اْل َما ُم فَ َك ِب ُروا َو ِإذَا قَ َرأ ِ ْ ِليَ ُؤ َّم ُك ْم أ َ َحدُ ُك ْم فَإِذَا َكب ََّر
َّللاُ َو ِإذَا َكب ََّر َو َر َك َع فَ َك ِب ُروا َّ علَ ْي ِه ْم َو ََل الض َِّالينَ فَقُولُوا ِآمينَ يُ ِج ْب ُك ْم َ
َّ صلَّى
َُّللا َ َِّللا َّ ي ُّ ام يَ ْر َك ُع قَ ْبلَ ُك ْم َويَ ْرفَ ُع قَ ْبلَ ُك ْم قَا َل نَ ِب ِ ْ ار َكعُوا فَإِ َّن
َ اْل َم ْ َو
َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَقُولُوا اللَّ ُه َّم َربَّنَا َّ س ِم َع َ سلَّ َم فَتِ ْل َك ِبتِ ْل َك َو ِإذَا قَا َل َ علَ ْي ِه َو َ
علَ ْي ِه َ َُّللا َّ صلَّى َ ان نَبِ ِي ِه ِ س َ علَى ِل َ َّللاَ قَا َل َّ َولَ َك ْال َح ْمدُ يَ ْس َم ْع
َّ َّللاُ لَ ُك ْم فَإِ َّن
س َجدَ فَ َك ِب ُروا َوا ْس ُجد ُوا فَإِ َّن َ َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَإِذَا َكب ََّر َو َّ س ِم َع َ سلَّ َم َ َو
سلَّ َمَ علَ ْي ِه َو َ َُّللا َّ صلَّى َ َِّللا َّ ي ُّ ِام يَ ْس ُجدُ قَ ْبلَ ُك ْم َويَ ْرفَ ُع قَ ْبلَ ُك ْم قَا َل نَب َ اْل َم ِْ
ُفَتِ ْل َك بِتِ ْل َك فَإِذَا َكانَ ِع ْندَ ْالقَ ْعدَةِ فَ ْليَ ُك ْن ِم ْن أ َ َّو ِل قَ ْو ِل أ َ َح ِد ُك ْم الت َّ ِحيَّات
َُّللاِ َوبَ َر َكات ُه َّ ُي َو َر ْح َمة ُّ ِعلَي َْك أَيُّ َها النَّب َ ِصلَ َواتُ ِ َّلِل
َ س ََل ٌم َّ الطيِبَاتُ ال َّ
َُّللاُ َوأ َ ْش َهد َّ صا ِل ِحينَ أ َ ْش َهدُ أ َ ْن ََل ِإلَهَ ِإ ََّل َّ علَى ِعبَا ِد
َّ َّللاِ ال َ علَ ْينَا َو َ س ََل ٌم َ
ِص ََلة َّ ي ت َ ِحيَّةُ ال َ ت َو ِه ٍ س ْب ُع َك ِل َماَ ُسولُه ُ ع ْبدُهُ َو َر َ أ َ َّن ُم َح َّمدًا
Sunan Nasa'i 1054: Telah mengabarkan kepada kami Isma'il bin Mas'ud dia
berkata: telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Sa'id dari Qatadah dari Yunus bin Jubair dari
Hiththan bin 'Abdullah bahwasanya ia mendengar Abu Musa berkata:
ٍ َحدَّثَنِي َح ْر َملَةُ ب ُْن يَ ْحيَى أ َ ْخبَ َرنِي اب ُْن َو ْه:١٥٠٠ صحيح مسلم
ب
ُّ سلَ َمةَ ْال ُم َرا ِد
ي َ الطا ِه ِر َو ُم َح َّمدُ ْب ُن َّ س ح و َحدَّث َ ِني أَبُو ُ ُأ َ ْخبَ َرنِي يُون
ُ ع ْر َوة ُ ب قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي ٍ ع ْن اب ِْن ِش َها َ س َ ُع ْن يُون َ ب ٍ قَ َاَل َحدَّثَنَا اب ُْن َو ْه
ت ْ َسلَّ َم قَالَ علَ ْي ِه َو َ َُّللاَّ صلَّى َ ِ ج النَّ ِبي ِ شةَ زَ ْو َ ِعائ َ ع ْن َ الزبَي ِْرُّ ب ُْن
سلَّ َم فَخ ََر َج َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ِل ُ س فِي َحيَاةِ َر ُ ش ْم َّ ت ال ْ َ سف
َ َخ
اسُ َّف الن َّ صَ ام َو َكب ََّر َو َ َسلَّ َم ِإلَى ْال َم ْس ِج ِد فَق َ علَ ْي ِه َو َ َُّللا َّ صلَّى َ َِّللاَّ سو ُل ُ َر
ط ِويلَةً ث ُ َّم َكب ََّر َ ً سلَّ َم قِ َرا َءة َ علَ ْي ِه َو
َ َُّللاَّ صلَّى َ َِّللاَّ سو ُل ُ َو َرا َءهُ فَا ْقت َ َرأ َ َر
َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا َّ س ِم َع َ سهُ فَقَا َل َ ْيَل ث ُ َّم َرفَ َع َرأ ً ط ِو َ عا ً فَ َر َك َع ُر ُكو
ي أ َ ْدنَى ِم ْن ْال ِق َرا َءةِ ْاَلُولَى َ ط ِويلَةً ِه َ ً ام فَا ْقت َ َرأ َ قِ َرا َءة َ ََولَ َك ْال َح ْمدُ ث ُ َّم ق
س ِم َع َ الر ُكوعِ ْاَل َ َّو ِل ث ُ َّم قَا َل ُّ يَل ُه َو أ َ ْدنَى ِم ْن ً ط ِو
َ عا ً ث ُ َّم َكب ََّر فَ َر َك َع ُر ُكو
َس َجد َ الطا ِه ِر ث ُ َّم َّ س َجدَ َولَ ْم يَ ْذ ُك ْر أَبُو َ َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا َولَ َك ْال َح ْمدُ ث ُ َّم َّ
ٍ الر ْكعَ ِة ْاَل ُ ْخ َرى ِمثْ َل ذَ ِل َك َحتَّى ا ْست َ ْك َم َل أ َ ْربَ َع َر َكعَا
ت َّ ث ُ َّم فَعَ َل ِفي
ب َ ط َ ام فَ َخ َ َف ث ُ َّم قَ ص ِر َ س قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْن ُ ش ْم َّ ت ال ْ َت َوا ْن َجل ٍ س َجدَا َ َوأ َ ْربَ َع
انِ َ س َو ْالقَ َم َر آيَت َ ش ْم َّ َّللاِ ِب َما ُه َو أ َ ْهلُهُ ث ُ َّم قَا َل ِإ َّن ال َّ علَى َ اس فَأَثْنَى َ َّالن
ت أ َ َح ٍد َو ََل ِل َحيَاتِ ِه فَإِذَا َرأ َ ْيت ُ ُموهَا ِ ان ِل َم ْو ِ ََّللاِ ََل يَ ْخ ِسف َّ ت ِ ِم ْن آيَا
ع ْن ُك ْم َوقَا َل َّ صلُّوا َحتَّى يُفَ ِر َج
َ َُّللا َ َضا ف ً ص ََل ِة َوقَا َل أ َ ْي َّ عوا ِلل ُ َفَا ْفز
ٍش ْيء َ امي َهذَا ُك َّل ِ َسلَّ َم َرأَيْتُ فِي َمق َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ُل ُ َر
طفًا ِم ْن ْال َجنَّ ِة ِحينَ َرأ َ ْيت ُ ُمونِي ْ ُِو ِع ْدت ُ ْم َحتَّى لَقَ ْد َرأ َ ْيتُنِي أ ُ ِريدُ أ َ ْن آ ُخذَ ق
َجعَ ْلتُ أُقَ ِد ُم
َضا ِحين ً ض َها بَ ْع ُ ي أَتَقَدَّ ُم َولَقَ ْد َرأَيْتُ َج َهنَّ َم يَ ْح ِط ُم بَ ْع ُّ و قَا َل ْال ُم َرا ِد
ب
َ ِس َوائ َّ َّب الَ سيَ َرأ َ ْيت ُ ُمونِي تَأ َ َّخ ْرتُ َو َرأَيْتُ فِي َها ابْنَ لُ َحي ٍ َو ُه َو الَّذِي
ص ََلةِ َولَ ْم يَ ْذ ُك ْر َما
َّ عوا ِلل ُ َالطا ِه ِر ِع ْندَ قَ ْو ِل ِه فَا ْفزَّ ِيث أَبِي ُ َوا ْنت َ َهى َحد
ُبَ ْعدَه
Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku
Yunus -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Muhammad bin
Salamah Al Muradi keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus
dari Ibnu Syihab ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah isteri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun keluar menuju
masjid dan berdiri lantas bertakbir (menunaikan shalat), sehingga orang-orang pun ikut
membentuk shaf di belakangnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca dengan
bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dengan ruku' yang panjang.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH
RABBANAA WA LAKALHAMDU (Allah Maha Mendengar siapa saja yang memuji-Nya)." Kemudian
beliau berdiri dan membaca dengan bacaan yang panjang, namun lebih pendek dari bacaan
yang pertama. Setelah itu, beliau bertakbir lalu ruku' dengan ruku' yang panjang, namun lebih
pendek dari ruku' yang pertama. Setelah itu, beliau membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH
RABBANAA WA LAKALHAMDU." Kemudian beliau sujud. -Abu Thahir tidak menyebutkan lafadz:
kemudian beliau sujud.- Kemudian pada raka'at berikutnya, beliau berbuat seperti itu hingga
sempurnalah shalatnya terdiri dari empat ruku' dan empat sujud. Sesudah itu, matahari pun
kembali bersinar sebelum beliau beranjak bubar. Beliau kemudian berdiri dan menyampaikan
khutbah kepada orang banyak. Beliau memuji Allah dengan pujian yang hak atas-Nya, kemudian
beliau bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) dari ayat-ayat
Allah. Tidaklah terjadi gerhana pada keduanya karena kematian atau pun kelahiran seseorang.
Maka apabila kalian melihatnya, bersegeralah untuk menunaikan shalat." dan beliau juga
bersabda: "Maka shalatlah kalian hingga Allah menampakkannya kembali pada kalian." Dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Aku telah melihat di tempatku berdiri ini,
yaitu segala sesuatu yang dijanjikan kepada kalian. Bahkan aku melihat diriku ingin memetik
buah dari Jannah, yakni saat kalian melihatku maju." Dan Al Muradi berkata: Ataqaddam (maju
ke depan)."Dan aku juga telah melihat neraka Jahannam yang saling menghancurkan satu sama
lain, yaitu saat kalian melihatku mundur. Kemudian aku juga melihat di dalamnya ada Ibnu
Luhay, yang telah mengirimkan As Sawa`ib (binatang yang dipersembahkan untuk berhala)."
Hadits Abu Thahir berakhir pada ungkapannya: "Maka bersegeralah kalian untuk menunaikan
shalat." dan ia tidak menyebutkan sesudahnya.
ع ْن َ ير ٌ يم قَا َل أ َ ْنبَأَنَا َج ِر َ أ َ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َح ُق ب ُْن ِإب َْرا ِه:١١٢١ سنن النسائي
صلَةَ ب ِْن ِ ع ْن َ َف ِ ع ْن ْال ُم ْست َ ْو ِر ِد ب ِْن ْاَل َ ْحن َ َ عبَ ْيدَةُ س ْع ِد ب ِْن َ ع ْن َ ْاَل َ ْع َم ِش
ع ْن ُحذَ ْيفَةَ قَا َل َ ُزفَ َر
ِورة َ س ُ ات لَ ْيلَ ٍة فَا ْست َ ْفت َ َح ِب َ َسلَّ َم ذَ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ِل ُ صلَّيْتُ َم َع َر َ
الر ْكعَتَي ِْنَّ ضى قُ ْلتُ يَ ْختِ ُم َها فِي َ ْالبَقَ َرةِ فَقَ َرأ َ ِب ِمائ َ ِة آيَ ٍة لَ ْم يَ ْر َك ْع فَ َم
َ اء ث ُ َّم قَ َرأِ س َ ِورة َ الن َ س ُ َ ضى َحتَّى قَ َرأ َ ضى قُ ْلتُ يَ ْختِ ُم َها ث ُ َّم يَ ْر َك ُع فَ َم َ فَ َم
َس ْب َحان ُ ام ِه يَقُو ُل فِي ُر ُكو ِع ِه ِ َورة َ آ ِل ِع ْم َرانَ ث ُ َّم َر َك َع ن َْح ًوا ِم ْن قِي َ س ُ
ُسه َ ْي ْالعَ ِظ ِيم ث ُ َّم َرفَ َع َرأ َ ِس ْب َحانَ َرب ُ ي ْالعَ ِظ ِيم َ ِس ْب َحانَ َرب ُ ي ْالعَ ِظ ِيم َ َِرب
طا َل َ َ س َجدَ فَأ َ ام ث ُ َّم َ َطا َل ْال ِقيَ َ َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا لَ َك ْال َح ْمد ُ َوأ َّ س ِم َع َ فَقَا َل
ي ْاَل َ ْعلَى َ س ْب َحانَ َر ِب ُ ي ْاَل َ ْعلَى َ ِس ْب َحانَ َرب ُ س ُجو ِد ِه ُ س ُجودَ يَقُو ُل ِفي ُّ ال
ع َّز َو َج َّل ِإ ََّل َ ِي ْاَل َ ْعلَى ََل يَ ُم ُّر ِبآيَ ِة ت َ ْخ ِويفٍ أ َ ْو ت َ ْع ِظ ٍيم ِ َّلِل َ ِس ْب َحانَ َرب ُ
ُذَ َك َره
Sunan Nasa'i 1121: Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata: telah
memberitakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Sa'ad bin 'Ubaidah dari Al Mustaurid bin Al
Ahnaf dari Shilah bin Zufar dari Hudzaifah dia berkata:
"Pada suatu malam aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau mulai dengan membaca surat Al Baqarah. Beliau telah membaca seratus ayat dan belum
ruku lalu tetap membacanya." Hudzaifah berkata: "Beliau menyelesaikannya pada dua rakaat,
lantas berlalu." Hudzaifah berkata lagi: "Beliau menyelesaikannya kemudian ruku' dan terus
berlalu hinggga beliau membaca surat An Nisaa', kemudian membaca surat Ali 'Imraan, lalu
ruku' yang lamanya seperti berdiri. Saat ruku' beliau mengucapkan, 'Subhana rabbiyal 'adzimi,
subhana rabbiyal 'adzimi, subhana rabbiyal 'adzimi (Maha suci Tuhan-ku yang Maha Agung)'.
Lalu beliau mengangkat kepala sambil mengucapkan, 'Sami'Allahu liman hamidah rabbana lakal
hamdu (Allah Maha mendengar orang yang memuji-Nya, segala puji untuk-Mu)'. Beliau
memperpanjang berdirinya kemudian sujud, dan beliau memperlama sujudnya sambil
mengucapkan, 'Subhana rabbiyal a'laa, subhana rabbiyal a'laa, subhana rabbiyal a'laa (Maha
Suci Tuhanku yang Maha Tinggi)'. Beliau tidak melalui ayat ancaman atau pengagungan Allah
Azza wa Jalla kecuali Beliau berdzikir kepada-Nya."
َع ْن أَبِي إِ ْس َحاق َ َحدَّثَنَا أ َ ْس َود ُ أ َ ْخبَ َرنَا إِ ْس َرائِي ُل:٣٧٣٣ مسند أحمد
ع ْلقَ َمةَ َو ْاَل َ ْس َو ِدَ ع ْن َ ع ِن اب ِْن ْاَل َ ْس َو ِد َ
ُع ْلقَ َمةُ َو ْاَل َ ْس َود َ ص ََلة ُ فَتَأ َ َّخ َرَّ ت ال ْ ض َر َ أَنَّ ُه َما َكانَا َم َع اب ِْن َم ْسعُو ٍد فَ َح
ار ِه
ِ س َ َع ْن ي َ ع ْن يَ ِمينِ ِه َو ْاْلخ ََر َ ام أ َ َحدَ ُه َما َ َفَأ َ َخذَ ا ْب ُن َم ْسعُو ٍد ِبأ َ ْيدِي ِه َما فَأَق
َطبَّقَ بَيْن َ ب أ َ ْي ِديَ ُه َما ث ُ َّم َ علَى ُر َك ِب ِه َما َو
َ ض َر َ ضعَا أ َ ْي ِديَ ُه َماَ ث ُ َّم َر َكعَا فَ َو
علَ ْي ِه َّ صلَّى
َ َُّللا َ ي َّ شب ََّك َو َجعَلَ ُه َما بَيْنَ فَ ِخذَ ْي ِه َوقَا َل َرأَيْتُ النَّ ِب َ يَدَ ْي ِه َو
ُسلَّ َم فَعَلَه
َ َو
الر ْح َم ِن ب ِْن َّ ع ْب ِد َ ع ْن َ َع ْن أَبِي إِ ْس َحاق َ سي ٌْن َحدَّثَنَا ِإ ْس َرائِي ُل َ َحدَّثَنَاه ُح
ُع ْلقَ َمةَ ب ِْن قَي ٍْس فَذَ َك َره َ ع ِن ْاَل َ ْس َو ِد ب ِْن يَ ِزيدَ َو َ ْاَل َ ْس َو ِد
Musnad Ahmad 3733: Telah menceritakan kepada kami Aswad telah
mengabarkan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Ibnu Al Aswad dari
'Alqamah dan Al Aswad bahwa keduanya pernah bersama Ibnu Mas'ud lalu
shalat telah didirikan, maka terlambatlah 'Alqamah dan Al Aswad sehingga Ibnu
Mas'ud meraih tangan mereka serta memberdirikan salah satunya di sebelah
kanan dan yang lain di sebelah kirinya, kemudian keduanya ruku dan
meletakkan tangan di atas lututnya dan menjadikannya di antara kedua pahanya
dan berkata: AKu melihar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan itu.
Telah menceritakannya kepada kami Husain telah mengabarkan kepada kami
Isra`il dari Abu Ishaq dari Abdurrahman bin Al Aswad dari Al Aswad bin Yazid
dari 'Alqamah bin Qais lalu ia menyebutkan itu.
ع ْن
َ ب ٍ وب َحدَّثَنَا اب ُْن أ َ ِخي اب ِْن ِش َها ُ ُ َحدَّثَنَا يَ ْعق:٥٨٩٩ مسند أحمد
َّللاِ قَا َل
َّ َع ْبدَ َّللاِ أ َ َّن
َّ ع ْب ِدَ سا ِل ُم ب ُْنَ ع ِم ِه َحدَّثَنِي َ
ص ََلةِ يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه َّ ام ِإلَى ال َ َسلَّ َم ِإذَا ق َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ُل ُ َكانَ َر
َحتَّى ِإذَا َكانَتَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر ث ُ َّم ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْر َك َع َرفَعَ ُه َما َحتَّى يَ ُكونَا
ص ْلبَهُ َرفَعَ ُه َما ُ َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر َوهُ َما َكذَ ِل َك َر َك َع ث ُ َّم إِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْرفَ َع
َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ ث ُ َّم يَ ْس ُجد ُ َو ََل يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه
َّ س ِم َع َ َحت َّى يَ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه قَا َل
الر ُكوعِ َحتَّى ُّ يرةٍ َكب ََّرهَا قَ ْب َل َ س ُجو ِد َويَ ْرفَعُ ُه َما فِي ُك ِل َر ْكعَ ٍة َوت َ ْك ِب ُّ فِي ال
ُص ََلتُه َ ي َ ض ِ َت َ ْنق
Musnad Ahmad 5899: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami putera saudaraku Ibnu Syihab dari pamannya, telah
menceritakan kepadaku Salim bin Abdillah bahwa Abdullah berkata: Adalah
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, jika beliau beranjak hendak menunaikan
shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua
bahunya lalu beliau bertakbir. Kemudian jika beliau hendak ruku' beliau
mengangkat kedua tangannya lagi hingga sejajar dengan kedua bahunya lalu
takbir dan dengan posisi kedua tangan seperti itu beliau ruku'. Kemudian jika
beliau hendak mengangkat punggungnya maka beliau mengangkat lagi kedua
tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya lalu membaca" ,SAMI'ALLAHU
LIMAN HAMIDAH" lalu beliau sujud. Dan beliau tidak mengangkat kedua
tangannya dalam sujud dan mengangkat keduanya pada setiap ruku' dan takbir
yang beliau baca sebelum ruku hingga shalatnya selesai.
,ي ُّ َحدَّثَنَا أ َ ْح َمدُ ْب ُن ُم َح َّم ِد ب ِْن أ َ ِبي بَ ْك ٍر ْال َوا ِس ِط:١١٠٤ سنن الدارقطني
ع ِم ِهَ ع ْن َ , ِ الز ْه ِري ُّ ثنا اب ُْن أ َ ِخي, ع ِمي َ َحدَّثَنِي, س ْع ٍد َ َّللاِ ْب ُن
َّ ُعبَ ْيد
ُ ثنا
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللا َ َِّللاَّ سو ُل ُ َكانَ َر:َّللاِ قَا َلَّ َع ْبد َ أ َ َّن, سا ِل ٌم
َ أ َ ْخبَ َرنِي,
ث ُ َّم ِإذَا, ص ََل ِة َرفَ َع يَدَ ْي ِه َحتَّى ِإذَا َكانَتَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر
َّ ام ِإلَى ال َ َِإذَا ق
َو ُه َما َكذَ ِل َك ث ُ َّم, أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْر َك َع َرفَعَ ُه َما َحتَّى يَ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َو َكب ََّر
: ث ُ َّم قَا َل, ص ْلبَهُ َرفَعَ ُه َما َحتَّى ت َ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه ُ إِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْرفَ َع
س ُجو ِد ُّ ش ْيءٍ ِمنَ ال َ ث ُ َّم يَ ْس ُجدُ فَ ََل يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه فِي, »َُّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه
َّ س ِم َع َ «
ي
َ ض ِ َالر ُكوعِ َحتَّى ت َ ْنق َ َويَ ْرفَعُ ُه َما ِفي ُك ِل َر ْكعَ ٍة َوت َ ْك ِب
ُّ يرةٍ يُ َكبِ ُرهَا قَ ْب َل
ُص ََلتُهَ
Sunan Daruquthni 1104: Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar Al Wasithi menceritakan kepada
kami, Ubaidullah bin Sa'd menceritakan kepada kami, pamanku menceritakan kepadaku, putra
saudaranya Az-Zuhri menceritakan kepada kami, dari pamannya, Salim mengabarkan kepadaku,
bahwa Abdullah mengatakan, "Adalah Rasulullah SAW, apabila berdiri untuk shalat, beliau
mengangkat kedua tangannya hingga ketika sejajar dengan bahunya beliau bertakbir. Kemudian
ketika hendak ruku beliau juga mengangkatnya hingga keduanya sejajar dengan bahunya lalu
bertakbir ketika kedua tangannya seperti itu lalu ruku. Kemudian ketika hendak mengangkat
tulang punggungnya beliau juga mengangkat (kedua tangan)nya hingga sejajar dengan bahunya
lalu mengucapkan, 'Sami'alaahu liman hamidah" lalu sujud. Kemudian beliau tidak mengangkat
tangannya ketika sujud, namun beliau mengangkatnya pada setiap raka'at dan setiap takbimya
sebelum ruku, hingga beliau menyelesaikan shalatnya."
, َارونَ ِإ ْم ََل ًء ُ ام ٍد ُم َح َّمدُ ب ُْن هِ َحدَّثَنَا أَبُو َح:١٣٠٠ سنن الدارقطني
ِ َو َو ِكي ُع ب ُْن ْال َج َّر, يس
, اح َ َّللاِ ْب ُن ِإ ْد ِر
َّ ُع ْبدَ ثنا, ٍ ع ِلي َ ع ْم ُرو ب ُْن َ َحدَّثَنَا
ع ْنَ ,ش ُ َحدَّثَنَا ْاَل َ ْع َم: قَالُوا, ي ِ س ِعي ٍد ْال َم
ُّ ِازن َ َو َح َّمادُ ب ُْن, ََوأَبُو ُمعَا ِويَة
صلَّى
َ َِّللا َّ سو ُل ُ قَا َل َر: قَا َل, ع ْن أَبِي َم ْسعُو ٍد َ , ع ْن أَبِي َم ْع َم ٍر َ , َ ارة َ ع َم
ُ
.»س ُجو ِد ُّ الر ُكوعِ َوال ُّ ص ْلبَهُ فِي ُ ص ََلة َ ِل َر ُج ٍل ََل يُ ِقي ُم َ « ََل:سلَّ َم َ علَ ْي ِه َو
َ ُهللا
ص ِحي ٌحَ ت ٌ َِهذَا إِ ْسنَادٌ ثَاب
Sunan Daruquthni 1300: Abu Hamid Muhammad bin Harun Al Hadhrami
menceritakan kepada kami secara dikte, Amr bin Ali menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Idris, Waki' bin Al Jarrah, Abu Mu'awiyah dan Hammad bin Sa'id Al
Mazini menceritakan kepada kami, mereka mengatakan: Al A'masy
menceritakan kepada kami, dari Umarah, dan Abu Ma'mar, dan Ibnu Mas'ud, ia
mengatakan, "Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak ada shalat bagi seseorang yang
tidak menegakkan tulang punggungnya di dalam ruku dan sujud. Isnad ini valid
lagi shahih.
Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshori disebutkan,
َ ْب َرأ
ًسهُ َوَلَ يُ ْق ِن ُع ُم ْعتَ ِدَل ُ َلَ َي
ُّ ص
“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu
menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang
beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,
ى ْال َع ِظ ِيم
َ س ْب َحانَ َر ِب
ُ
“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR.
Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
اجعَلُوهَا فِى
ْ « -صلى هللا عليه وسلم- َّللا ُ سبِ ْح بِاس ِْم َر ِب َك ْالعَ ِظ ِيم) قَا َل َر
ِ َّ سو ُل ْ َلَ َّما نَزَ ل
َ َت (ف
» س ُجو ِد ُك ْم ْ « سبِحِ اس َْم َربِ َك اَل َ ْعلَى) قَا َل
ُ اجعَلُوهَا فِى َ (ت ْ َ فَلَ َّما نَزَ ل.» ُر ُكو ِع ُك ْم
“Ketika turun ayat “fasabbih bismirobbikal ‘azhim”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Jadikan bacaan tersebut pada ruku’ kalian.” Lalu ketika turun ayat
“sabbihisma robbikal a’laa”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan,
“Jadikanlah pada sujud kalian.” (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku’ dan sujud lainnya yang bisa dibaca,
َ فَإِنَّهُ َم ْن َوافَق. ُ فَقُولُوا اللَّ ُه َّم َربَّنَا لَ َك ْال َح ْمد. َُّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه َّ س ِم َعَ اْل َما ُمِ إِذَا قَا َل
غ ِف َر لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِهُ قَ ْولُهُ قَ ْو َل ْال َمَلَئِ َك ِة
“Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka hendaklah kalian
mengucapkan ‘robbana wa lakal hamdu’. Karena siapa saja yang ucapannya tadi
berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.”
(HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,
ار ًكا فِي ِه
َ َطيِبًا ُمب ً ِ َح ْمدًا َكث، َُربَّنَا َولَ َك ْال َح ْمد
َ يرا
“Robbana walakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih (artinya: wahai
Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik
dan penuh dengan berkah).” Disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rofi’, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,
أَيُّ ُه ْم يَ ْكتُبُ َها أ َ َّو ُل، ض َعةً َوثََلَثِينَ َملَ ًكا يَ ْبتَد ُِرونَ َها
ْ َرأ َ ْيتُ ِب
“Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang
lebih duluan mencatat amalannya.” (HR. Bukhari no. 799)
ف َه َّما ٌم َ صَ َو، صَلَ ِة َكب ََّر َّ سلَّ َم َرفَ َع َيدَ ْي ِه ِحينَ دَ َخ َل ِفي ال َ علَ ْي ِه َو َ َُّللاَّ صلَّى َ ي َّ أَنَّهُ َرأَى النَّ ِب
فَلَ َّما أ َ َرادَ أ َ ْن َي ْر َك َع، علَى ْاليُس َْرى َ ض َع َيدَهُ ْالي ُْمنَى َ ث ُ َّم َو، ف ِبثَ ْو ِب ِه َ ث ُ َّم ْالتَ َح، ِح َيا َل أُذُنَ ْي ِه
َرفَ َع َيدَ ْي ِه، َُّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه َ : فَلَ َّما قَا َل، فَ َكب ََّر فَ َر َك َع، ب ث ُ َّم َرفَ َع ُه َما
َّ س ِم َع ِ أ َ ْخ َر َج َيدَ ْي ِه ِمنَ الث َّ ْو
.س َجدَ َبيْنَ َكفَّ ْي ِه َ َس َجد َ فَلَ َّما،
Wail bin Hujr pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya ketika ia masuk dalam shalat dan beliau bertakbir (mengucapkan Allahu
Akbar). Hammam mengatakan bahwa beliau mengangkat tangannya sejajar dengan
kedua telinganya. Kemudian beliau menutupi tangannya dengan pakaiannya, kemudian
beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya. Ketika ingin ruku’, kedua
tangannya dikeluarkan dari pakaian, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya.
Beliau bertakbir lalu ruku’. Ketika mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau
mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di antara kedua tangannya.
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud disebutkan,
الر ُج ُل ْاليَدَ ْاليُ ْمنَى َعلَى ذ َِرا ِع ِه ْاليُ ْس َرى ِفى َ َاس يُؤْ َم ُرونَ أ َ ْن ي
َّ ض َع ُ ََّكانَ الن
صَلَ ِة
َّ ال
“Orang-orang saat itu diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya saat shalat.” Abu Hazim berkata, “Hadits ini disandarkan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Hadits terakhir ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari.
Dan tidak ada satu pun hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
bahwa beliau melakukan sadl yaitu tangannya diletakan di samping saat berdiri dalam
shalat.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 6: 365-366).
Juga bisa berdalil dengan hadits musii’ sholatuhu (orang yang jelek shalatnya), di mana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
َض ٍو َمأ ْ َخذَهُ ث ُ َّم َرفَ َع َحتَّى أ َ َخذ ُ ض َع يَدَ ْي ِه َعلَى ُر ْك َبت َ ْي ِه َحتَّى أ َ َخذَ ُك ُّل
ْ ع َ ُث َّم َر َك َع فَ َو
ُض ٍو َمأ ْ َخذَه
ْ عُ ُك ُّل
“Kemudian ruku’ lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh
mengambil posisinya. Kemudia bangkit dari ruku’ dan setiap anggota tubuh mengambil
posisinya.” (HR. Ahmad 3: 407. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih).
Makna hadits “sampai anggota tubuh mengambil posisinya” diterangkan dalam riwayat,
Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?
Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih
afdhol di antara keduanya.
أما الصَلة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل
يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصَلته صحيحة فى الحالتين بإتفاق
العلماء ولكن تنازعوا فى اَلفضل
“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan
ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan
kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya
sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka
berselisih pendapat tentang yang afdhal.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 449).
Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak katakan
yang paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang
membicarakannya hanyalah mengatakan,
ُ س َجدَ أ َ َحد ُ ُك ْم فََلَ َيب ُْر ْك َك َما َيب ُْركُ ْال َب ِع
ير َ ِإذَا
“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta
ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Namun ada tambahan,
َ َو ْل َي
ض ْع َيدَ ْي ِه قَ ْب َل ُر ْك َبت َ ْي ِه
“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”
Versi lain mengatakan,
َ ََو ْلي
ض ْع ُر ْكبَت َ ْي ِه قَ ْب َل يَدَ ْي ِه
“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.”
Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.
Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang,
tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [baca: lemah]. Sehingga
riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, “Janganlah salah satu
kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum”.
Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat
dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum.
Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa
terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita
mendahulukan lutut dari pada tangan. Sehingga makna sabda Nabi, “janganlah salah
satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak
menderum” adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak dibuat merunduk
sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih dalam
posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini
berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat
Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama.
Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah
lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah
baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan.
Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh
Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 129).
Cara Sujud
Turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat tangan. Sujud yang dilakukan adalah
bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
، س َجدَ َكب ََّرَ َف َكانَ ِإذَا، صي ٍْنَ ان ب ُْن ُح ُ ب – رضى هللا عنه – أَنَا َو ِع ْم َر َ ع ِل ِى ب ِْن أَبِى
ٍ طا ِل َ ف َ صلَّيْتُ خ َْل
َ
َ ان ب ُْن ُح
صي ٍْن ُ صَلَة َ أ َ َخذَ ِب َيدِى ِع ْم َر
َّ ضى ال َ َ فَلَ َّما ق، الر ْك َعتَي ِْن َكب ََّر َ َو ِإذَا نَ َه، سهُ َكب ََّر
َّ َض ِمن ْ
َ َو ِإذَا َرفَ َع َرأ
صَلَة َ ُم َح َّم ٍد – صلى َ صلَّى بِنَا َ أ َ ْو قَا َل لَقَ ْد. – صَلَة َ ُم َح َّم ٍد – صلى هللا عليه وسلم َ فَقَا َل قَ ْد ذَ َّك َرنِى َهذَا
– هللا عليه وسلم
“Aku dan Imron bin Hushain pernah shalat di belakang ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu
‘anhu. Jika turun sujud, beliau bertakbir. Ketika bangkit dari sujud, beliau pun bertakbir.
Jika bangkit setelah dua raka’at, beliau bertakbir. Ketika selesai shalat, Imron bin
Hushain memegang tanganku lantas berkata, “Cara shalat Ali ini mengingatkanku
dengan tata cara shalat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau ia mengatakan,
“Sungguh Ali telah shalat bersama kita dengan shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Bukhari no. 786 dan Muslim no. 393). Hadits ini menunjukkan bahwa
takbir intiqol (berpindah rukun) itu dikeraskan. Dan itu juga jadi dalil adanya takbir
setelah bangkit dari sujud.
Dalam hadits Abu Hurairah juga disebutkan,
علَى ِش ِق ِه َ َص ََلة ُ أ َ َّخ َر ِر ْجلَهُ ْاليُس َْرى َوقَعَد ِ َالر ْك َعتَي ِْن اللَّتَي ِْن تَ ْنق
َّ ضي فِي ِه َما ال َّ إِذَا َكانَ فِي
سلَّ َم
َ ُمتَ َو ِر ًكا ث ُ َّم
“Jika telah pada dua raka’at yang merupakan raka’at terakhir (terdapat salam), Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk di lantai secara
tawarruk, kemudian beliau salam.” (HR. An Nasai no. 1262. Shahih menurut Syaikh Al
Albani).
Yang beliau baca saat duduk antara dua sujud adalah “Robbighfirlii warhamnii,
wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan do’a duduk antara dua sujud yang dibaca oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُض َع يَدَه َ َّ َكانَ إِذَا قَعَدَ ِفى الت-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا
َ ش ُّه ِد َو َّ سو َل ُ ع َم َر أ َ َّن َر ُ ع ِن اب ِْن
َ
َعقَدَ ثََلَثَةً َوخ َْمسِين َ ض َع يَدَهُ ْالي ُْمنَى َعلَى ُر ْكبَتِ ِه ْالي ُْمنَى َو
َ علَى ُر ْكبَ ِت ِه ْاليُس َْرى َو َو َ ْاليُس َْرى
سبَّابَ ِة َ َوأَش
َّ َار بِال
Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud,
tangan kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di lutut kanan.
Lalu ia berisyarat dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan berisyarat dengan
jari telunjuk (maksudnya: jari kelingking, jari manis dan jari tengah digenggam, lalu jari
telunjuk memberi isyarat, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk). (HR.
Muslim no. 580).
Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh
Imam Nawawi:
1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan
jempol tidak digenggam (dilepas begitu saja).
2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut
membentuk lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian ruas
jari dari jari jempol.
Cara Tasyahud: Ujung jari jempol dan tengah membentuk lingkaran
3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu’, 3: 301)
Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:
Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan hadits
dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani
menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama Syafi’iyah
lainnya. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari seorang
sahabat radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ketika
menyebut kalimat tauhid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu saat berisyarat
ikhlas.
Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena yang
dianjurkan, tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.
Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari jadi
gugur dan tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.
Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari
Abdullah bin Zubair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan
kanannya dan berisyarat dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat
tersebut. Dalam hadits disebutkan,
Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’i dan tidak terjadi perselisihan
kuat dalam madzhab itu sendiri, pendapat ini pun menjadi pendapat mayoritas
ulama, isyarat jari tersebut tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerakkan,
hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat karena gerakannya sedikit.
يحتمل أن يكون المراد بالتحريك اَلشارة بها َل تكرير تحريكها فيكون موافقا
لرواية ابن الزبير
Disebutkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnuz Zubair radhiyallahu
‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berisyarat dengan jarinya
ketika berdoa namun beliau tidak menggerakkan jarinya. Riwayat tersebut
disebutkan dalam sunan Abi Daud dengan sanad shahih.
Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa menggerak-gerakkan jari dapat mengusir setan, hadits
tersebut tidaklah shahih. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Waqidi bersendirian
dan ia adalah perawi yang dhaif (lemah). (Al Majmu’, 3: 301-302).
Dua pendapat di atas disebutkan oleh Asy Syairozi, lihat Al Majmu’, 3: 306.
Bagaimanakah bentuk duduk iftirosy dan duduk tawarruk. Kita dapat melihat
dalam hadits Abu Humaid berikut.
“Jika duduk di raka’at kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di raka’at terakhir, beliau
mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu
(baca: duduk tawarruk).” (HR. Bukhari no. 828).
PENDAPAT LEBIH KUAT, DUDUKNYA MAKMUM MASBUK KETIKA IMAM TASYAHUD AKHIR
ADALAH DUDUK IFTIROSY. INILAH PENDAPAT YANG DIANUT MAYORITAS ULAMA SYAFI’IYAH.
Yang dimaksud hadits di atas adalah dalam gerakan umum, bukan gerakan
secara detail. Kalau gerakan yang lebih mendalam, tidaklah mengapa makmum
berbeda dengan imam seperti ketika imam tasyahud akhir, imam melakukan
duduk tawarruk dan makmum masbuk tetap duduk iftirosy.
Untuk memahami secara utuh artikel di atas, alangkah baiknya membaca pula:
3- Sifat Shalat Nabi (13): Cara Duduk Tasyahud Awwal dan Akhir.
Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa
amalan tersebut hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa
mengamalkan semuanya. Para sahabat ketika bersafar saja masih mengucapkan
assalamu’alaika ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak beralih mengganti menjadi
assalamu ‘alan nabi. Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Demikianlah yang diajarkan kepada kami dan demikian yang kami ajarkan.”
Maksudnya adalah kami mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan tanpa ada penambahan ataukah
pengurangan. Siapa yang mengamalkan seperti yang Ibnu Mas’ud amalkan,
maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa yang mengamalkan seperti yang
diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga yang diceritakan oleh ‘Atho dari beberapa
sahabat, tidaklah masalah.” (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi,
hal. 143).
Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, “Yang lebih tepat,
seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika
ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar
yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan
tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika
memang itu benar riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad dari Ibnu
Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
Ada dua bacaan tasyahud awal dari beberapa bacaan tasyahud yang kami
utarakan kali ini.
علَى
َ علَ ْينَا َو َّ ُى َو َرحْ َمة
َّ ال، َُّللاِ َو َب َر َكاتُه
َ سَلَ ُم ُّ ِعلَيْكَ أَيُّ َها النَّب
َ سَلَ ُمَّ ال، ُالطيِ َباتَّ صلَ َواتُ َو َّ الت َّ ِحيَّاتُ ِ َّلِلِ َوال
ُسولُه َ َّللاُ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا
ُ ع ْبدُهُ َو َر َّ َّ أ َ ْش َهدُ أَ ْن َلَ إِلَهَ إَِل، َصا ِل ِحين َّ ِعبَا ِد
َّ َّللاِ ال
Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud
awal di atas,
َ ع َلى آ ِل ِإب َْراه
ٌ ِإنَّكَ َح ِميدٌ َم ِجيد، ِيم َ ِيم َو َ َصلَّيْت
َ علَى ِإب َْراه َ َك َما، علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َ َو، علَى ُم َح َّم ٍد َ اللَّ ُه َّم
َ ص ِل
َ علَى آ ِل إِب َْراه
ٌ إِنَّكَ َح ِميد، ِيم َ علَى إِب َْراه
َ َو، ِيم َ َار ْكت
َ َ َك َما ب، علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد
َ َو، علَى ُم َح َّم ٍد ِ َ اللَّ ُه َّم ب،
َ ار ْك
ٌَم ِجيد
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala
Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali
Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797
dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
ع َل ُم َح َّم ٍد
َ ص ِل
َ الل ُه َّم
Bangkit ke rakaat ketiga dengan bertumpu pada tangan sambil bertakbir “Allahu
Akbar”.
Menurut madzhab Syafi’i, berdiri ke rakaat ketiga adalah dengan bertumpu pada
tangan di tanah. (Al Majmu’, 3: 307). Sebagaimana hal ini diterangkan
sebelumnya pada point 29 ketika membahas cara bangkit ke rakaat kedua.
Abu Bakr Al Hishniy berkata, “Tidak dianjurkan untuk membaca surat lain selain
Al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang lebih kuat.
Kecuali jika sebagai makmum masbuk, maka surat selain Al Fatihah masih
dibaca pada rakaat ketiga atau keempat. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i.”
(Kifayatul Akhyar, hal. 160).
Namun sebenarnya sesekali membaca surat lain setelah Al Fatihah pada rakaat
ketiga dan keempat itu dibolehkan. Berdasarkan hadits berikut,
Padahal surat Al Fatihah berjumlah 7 ayat. Berarti di rakaat ketiga dan keempat
bisa dibaca lebih dari surat Al Fatihah.
“Jika engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua
sikumu.” (HR. Muslim no. 494).
َ َ ض َّم أ
» ُصابِعَه َ سلَّ َم َكانَ « إِذَا
َ َس َجد َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َّ ِأ َ َّن النَّب
َ ي
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dua adab awal ketika sujud ini dengan
mengatakan, “Hendaknya yang sujud meletakkan kedua telapak tangannya ke
lantai dan mengangkat sikunya dari lantai. Hendaklah lengannya dijauhkan dari
sisi tubuhnya sehingga nampak bagian dalam ketiaknya ketika ia tidak
berpakaian tertutup (seperti memakai kain selendang saja ketika berihram saat
haji atau umrah, -pen). Inilah cara sujud yang disepakati oleh para ulama. Jika
ada yang tidak melakukannya, maka dapat dihukumi shalatnya itu jelek, namun
shalatnya itu sah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187).
ِ ط ْال َك ْل
ب َ سا ْ س
َ ط أ َ َحدُ ُك ْم ذ َِرا َع ْي ِه ا ْن ِب ُّ ا ْعت َ ِدلُوا فِى ال
ُ َوَلَ يَ ْب، س ُجو ِد
“Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian
menempelkan lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan
lengannya saat duduk.” (HR. Bukhari no. 822 dan Muslim no. 493).
Apa hikmah mengangkat siku atau lengan tangan ketika sujud? Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Hikmah melakukan cara seperti itu adalah untuk
mendekatkan pada sifat tawadhu’. Cara seperti itu pula akan membuat anggota
sujud yang mesti menempel benar-benar menempel ke lantai yaitu dahi dan
hidung. Cara sujud seperti itu pula akan menjauhkan dari sifat malas. Perlu
diketahui bahwa cara sujud dengan lengan menempel ke tanah menyerupai
anjing yang membentangkan lengannya. Keadaan lengan seperti itu pula
pertanda orang tersebut meremehkan shalat dan kurang perhatian terhadap
shalatnya. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187)
Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga
duduk tasyahud akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk,
baik shalat tersebut terdapat dua kali tasyahud, atau shalat tersebut dua raka’at
atau lebih. Hal ini sudah diterangkan sebelumnya pada
َّ ُى َو َر ْح َمة
َُّللاِ َوبَ َر َكاتُه ُّ ِعلَي َْك أَيُّ َها النَّب
َ سَلَ ُم َّ ُصلَ َوات
َّ الط ِيبَاتُ ِ َّلِلِ ال َّ اركَاتُ ال َ َالت َّ ِحيَّاتُ ْال ُمب
َّ سو ُل
َِّللا ُ َّللاُ َوأ َ ْش َهد ُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا َر
َّ َّصا ِل ِحينَ أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن َلَ ِإلَهَ ِإَل َّ علَى ِع َبا ِد
َّ َّللاِ ال َ علَ ْينَا َو
َ سَلَ ُم َّ ال
، يم َ علَى آ ِل ِإب َْرا ِه َ يم َو َ علَى ِإب َْرا ِه َ ْت َ صلَّي
َ َك َما، علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َ َو، علَى ُم َح َّم ٍد َ ص ِل َ اللَّ ُه َّم
َ ع َلى ِإب َْرا ِه
، يم َ ت َ ار ْك َ َك َما َب، علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َ َو، علَى ُم َح َّم ٍد َ ار ْك ِ اللَّ ُه َّم َب، ٌِإنَّ َك َح ِميدٌ َم ِجيد
ٌ ِإنَّ َك َح ِميد ٌ َم ِجيد، يم َ علَى آ ِل ِإب َْرا ِه َ َو
ب ْالقَب ِْر
ِ عذَا ِ عذَا
َ ب َج َهنَّ َم َو ِم ْن َّ اْلخ ِر فَ ْل َيتَ َع َّو ْذ ِب
َ الِلِ ِم ْن أ َ ْر َبعٍ ِم ْن َ َّ غ أ َ َحد ُ ُك ْم ِمنَ الت
ِ ش ُّه ِد َ ِإذَا فَ َر
ِ ت َو ِم ْن ش َِر ْال َمس
ِيح الدَّ َّجا ِل ِ َو ِم ْن فِتْنَ ِة ْال َم ْحيَا َو ْال َم َما
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam),
mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam,
(2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih
Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).
Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam
riwayat lain,
“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil
mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta
perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika
hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)
Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah
dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al
Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama
Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,
ع دُ َعا ًء أ َ ْو ْ ور بِأ َ ْن
َ اخت َ َر ِ ُ أ َ َّما َغي ُْر ْال َمأْث. ورِ ُ ور َم َحلُّهُ فِي ْال َمأْثَ ف ْال َم ْذ ُكَ فَإ ِ َّن ْال ِخ ََل
ص ِري ًحا فِي ْ َ اْل َم ِام ت ِ ْ ي َع ْن َّ ُوز َك َما نَقَلَه
ُّ الرافِ ِع ُ ص ََلةِ فَ ََل يَ ُج َّ ِذ ْك ًرا بِ ْالعَ َج ِميَّ ِة فِي ال
. ُص ََلتُه َ ط ُل ِب ِه ُ َوت َ ْب، ارا فِي الثَّانِيَ ِة ً ض ِة َو ِإ ْش َعَ الر ْو َّ ص َر َعلَ ْي َها فِي َ َ َوا ْقت، ْاَلُولَى
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang
tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh
doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di
dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i
dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab
Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan
selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Dari ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Aisyah mengabarkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalatnya,
“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa a’udzu bika min fitnatil
masiihid dajjal, wa a’udzu bika min fitnatil mahyaa wa fitnatil mamaat.
Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku
meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan
pada-Mu dari cobaan Al Masih Ad Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu
dari musibah ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-
Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).” (HR. Bukhari no. 832 dan
Muslim no. 589).
IMAM BUKHARI MEMBAWAKAN HADITS DI ATAS DALAM BAB “DOA SEBELUM SALAM”. NAMUN
YANG LEBIH TEPAT, DOA DI ATAS BUKAN DIBACA KHUSUS KETIKA TASYAHUD AKHIR,
NAMUN BISA KETIKA SUJUD PULA, YANG PENTING DI DALAM SHALAT. DEMIKIAN PENEGASAN
فَقَا َل لَهُ قَائِ ٌل َما. » عوذ ُ ِب َك ِمنَ ْال َمأْث َ ِم َو ْال َم ْغ َر ِم
ُ َ صَلَةِ َويَقُو ُل « اللَّ ُه َّم إِ ِنى أ
َّ عو فِى ال ُ َكانَ يَ ْد
َ عد
َ ب َو َو َ ََّث فَ َكذ
َ الر ُج َل ِإذَا غ َِر َم َحد َّ َّللاِ ِمنَ ْال َم ْغ َر ِم قَا َل « ِإ َّن
َّ سو َل ُ أ َ ْكث َ َر َما ت َ ْست َ ِعيذ ُ َيا َر
ف َ َفَأ َ ْخل
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni
a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu
dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari
hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang
yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan
mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).
Maksud do’a di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindung
pada Allah dari dosa dan utang. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim, 5: 79.
Doa tersebut berisi kandungan bahwa kita meminta perlindungan dari utang
yang sebenarnya tidak ada sebab untuk kita berutang dan yang ada sebabnya,
lalu kita tidak mampu melunasi utang tersebut. Namun yang dimaksud bisa jadi
lebih umum dari itu. Bisa juga yang dimaksud adalah meminta perlindungan dari
terlilitnya utang. Demikian kata Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 2:
319. Beliau katakan juga bahwa hadits tersebut menunjukkan bahayanya
berutang dan nasib jeleknya di akhirat kelak.
Ibnu Hajar Al Asqolani menerangkan pula, “Yang dimaksud dengan meminta
perlindungan dari utang yaitu jangan sampai hidup sulit gara-gara terlilit utang.
Atau maksudnya pula, meminta perlindungan pada Allah dari keadaan tidak
mampu melunasi utang.”
Kata Ibnu Hajar pula, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits
meminta perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang
membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan
meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang
berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari
kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat
Fathul Bari, 5: 61.
Jadi, jangan lupa dalam tasyahud akhir kita atau dalam shalat kita untuk
menambahkan doa ini,
“Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (artinya: Ya Allah,
aku meminta pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).”
Salah satu doa lagi yang diajarkan setelah tasyahud akhir adalah doa memohon
ampunan. Doa ini yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.
– َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم َّ سو ِل ُ أَنَّهُ قَا َل ِل َر. – ق – رضى هللا عنه ِ ع ْن أَبِى َب ْك ٍر
ِ الصدِي َ
يرا َوَلَ َي ْغ ِف ُرً ظ ْل ًما َك ِث
ُ ظلَ ْمتُ نَ ْفسِى َ قَا َل « قُ ِل اللَّ ُه َّم ِإ ِنى. صَلَ ِتى َ عو ِب ِه ِفى ُ عا ًء أ َ ْد َ ُ ع ِل ْم ِنى د َ
» الر ِحي ُم
َّ ور ْ
ُ ُت الغَف َ
َ ار َح ْمنِى ِإنَّ َك أ ْنْ َو، ِك َ فَا ْغ ِف ْر ِلى َم ْغ ِف َرة ً ِم ْن ِع ْند، ت َ َّ
َ وب ِإَل أ ْن َ ُالذنُّ
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah padaku suatu doa yang aku baca dalam
shalatku.” Beliau menjawab, ucapkanlah, “Allahumma inni zholamtu nafsii
zhulman katsiroo wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta. Faghfir lii maghfiratan
min ‘indik, warhamnii innaka antal ghofurur rohiim (artinya: Ya Allah,
sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang
besar. Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Ampunilah aku
dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang).” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)
Maksud dari “maghfiratan min ‘indik”, yaitu ampunan dari sisi-Mu adalah
permintaan ampunan yang besar dari Allah. Ibnu Hajar mengatakan seperti ini
dalam Fathul Bari, 2: 320.
Sedangkan sifat yang disebutkan di akhir doa “al ghofur ar rohim” yaitu dua sifat
yang senantiasa bergandengan. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
al ghofur berarti Allah mengampuni maksiat yang telah dilakukan dan
disesalkan. Sedangkan ar rohim berarti Allah mengasihi hamba ketika ia lalai
dari melakukan kewajiban dan ketaatan. Ini yang disebutkan oleh beliau dalam
Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 277.
Adapun ampunan Allah (maghfirah) ada dua makna, yaitu Allah menutup dosa
dan tidak memberikan hukuman. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 271.
Doa di atas juga dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Bab “Doa Sebelum
Salam”. Kalau dikatakan sebelumnya, doa semacam itu bukan khusus berada di
akhir shalat sebelum salam setelah tasyahud akhir, namun boleh juga di tempat
lainnya di dalam shalat.
Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa Abu Bakr itu bertanya mengenai
tasyahud, lalu beliau diajarkan tentang hal itu dan dikatakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam setelahnya, “Kemudian pilihlah doa yang disukai.”
Dari sini, dapat kita tahu alasan kenapa Imam Bukhari mengatakan bahwa doa
di atas terletak sebelum salam, maksudnya setelah tasyahud akhir. (Fathul Bari,
2: 320).
Di tasyahud akhir, di antara doa yang dipanjatkan Nabi adalah doa agar terus
semangat dalam ibadah, maksudnya dijauhkan dari sifat “juben”.
Sa’ad bin ‘Abi Waqqash biasa mengajarkan anaknya beberapa kalimat doa
berikut. Ia mengajarkan doa tersebut sebagaimana para pengajar mengajarkan
menulis. Ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca doa ini di dubur shalat (akhir tasyahud sebelum salam),
“Allahumma inni a’udzu bika minal jubni, wa a’udzu bika an arudda ilaa ardzalil
‘umur, wa a’udzu bika min fitnatid dunyaa, wa a’udzu bika min ‘adzabil qodbri
(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemah melakukan
ibadah yang mulia, aku meminta perlindungan pada-Mu dari keadaan tua yang
jelek, aku meminta perlindungan pada-Mu dari tergoda syahwat dunia (sehingga
lalai dari kewajiban), aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur).”
(HR. Bukhari no. 2822).
Perhatian kita pada meminta perlindungan dari juben. Apa yang dimaksud
dengan sifat juben tersebut? Kenapa sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri di akhir tasyahud memanjatkan doa itu?
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6: 35) dan As Suyuthi dalam Hasyiyah Sunan An
Nasai (7: 143) berkata bahwa juben adalah antonim dari kata syaja’ah yang
berarti berani. Berarti juben adalah pengecut atau tidak berani.
Al Muhallab sebagaimana dinukil dalam Syarh Bukhari karya Ibnu Batthol
menyatakan bahwa juben adalah sifat pengecut dengan lari dari medan
pertempuran. (Syarh Bukhari, 9: 45)
Dalam ‘Aunul Ma’bud (4: 316, penjelasan hadits no. 1539) disebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan dari sifat juben karena
sifat tersebut dapat membuat seseorang tidak bisa memenuhi panggilan jihad
yang wajib, tidak berani mengemukakan kebenaran, tidak bisa mengingkari
kemungkaran, juga akan luput dari kewajiban lainnya.
Intinya, sifat juben ini menghalangi dari melakukan kewajiban dan amalan yang
mulia. Dalam tasyahud akhir sebelum akhir, hendaklah kita bisa mengamalkan
doa ini sehingga kita bisa terus dimudahkan oleh Allah dalam ibadah.
Semoga doa ini bisa dihafalkan dan dipraktekkan oleh para pembaca
Rumaysho.Com. Moga bermanfaat. Ingatlah, hanya dengan taufik dan
pertolongan Allah-lah kita bisa mudah dan semangat dalam ibadah. Jangan
bosan untuk berdoa agar terus semangat dalam ketaatan.
Di tasyahud akhir, ada doa yang dituntunkan yang bisa kita baca dan semestinya
dihafalkan, yaitu doa meminta pada Allah untuk rajin berdzikir, bersyukur dan
bagus dalam ibadah.
َّ ى أَبَا َع ْب ِد
.الر ْح َم ِن ُّ صنَا ِب ِح َ ى َوأ َ ْو
ُّ صى ِب ِه ال َّ صنَا ِب ِح َ َوأ َ ْو
ُّ صى ِبذَ ِل َك ُم َعاذٌ ال
“Mu’adz mewasiatkan seperti itu pada Ash Sunabihi. Lalu Ash Shunabihi
mewasiatkannya lagi pada Abu ‘Abdirrahman.” (HR. Abu Daud no. 1522 dan An
Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih).
Pertama, meminta pada Allah agar dimudahkan berdzikir. Di sini bisa berupa
membaca Al Quran, memuji Allah, menyibukkan diri dengan ilmu yang
bermanfaat, dan semacam itu. Lantas kenapa dzikir didahulukan dari syukur?
Karena jika seseorang tidak berdzikir berarti ia tidak bersyukur pada Allah. Allah
Ta’ala berfirman,
Kedua, meminta pada Allah untuk rajin bersyukur. Syukur adalah menampakkan
bekas nikmat Allah pada lisan hamba-Nya sebagai bentuk pujian, juga ada
bentuk pengakuan dalam hati dan diwujudkan dengan ketundukkan pada
anggota badan. Disebut syukur tentu saja dengan memanfaatkan nikmat
tersebut untuk ketaatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, serta menjauhkan
diri dari maksiat pada-Nya.
Ketiga, meminta pada Allah supaya bisa beribadah dengan baik. Yang dimaksud
ibadah yang baik adalah ibadah yang ikhlas dan ibadah yang sesuai tuntunan.
Dalam hadits disebutkan bahwa doa tersebut dibaca di dubur shalat. Dubur
shalat itu bisa berarti sebelum salam, bisa pula sesudah salam. Namun yang
lebih tepat di sini adalah sebelum salam karena dua alasan:
Dubur shalat itu adalah ujungnya sesuatu dan masih merupakan bagian
dari sesuatu tersebut, sehingga lebih tepat dimaknakan dubur shalat di
sini adalah di akhir shalat sebelum salam.
Sebelum salam itu adalah tempatnya doa. Namun kalau lupa dilakukan
sebelum salam, maka bisa memilih sesudah salam karena sama-sama
disebut dubur shalat.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), “Berisyarat dengan jari
telunjuk dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan
dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau
sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan
kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar
pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang
disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat
tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid
dan ikhlas.”
Dalam Al Majmu’ (3: 301), Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua
ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa disunnahkan
mengisyaratkan jari telunjuk tangan kanan, lalu mengangkatnya ketika sampai
huruf hamzah dari ucapannya (laa ilaaha illalllahu) …”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam
kalimat tasyahud, yaitu pada kata “laa”. Ketika sampai pada kalimat penetapan
(itsbat) yaitu “Allah”, maka jari tersebut diletakkan kembali.
Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah “Allah”. (Lihat Shifat
Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 141).
Pada hadits Ibnu ‘Umar di atas pada lafazh hadits “lalu beliau mengangkat jari di
samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa
dengannya”, berdasarkan hal itu mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a
dalam tasyahud. Adapun lafazh doa dimulai dari dua kalimat syahadat. Karena di
dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah. Hal itu
penyebab suatu doa lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti
do’anya “allahumma shalli ‘ala Muhammad …” hingga akhir tasyahuddan sampai
akhir salam. Adapun awal tasyahud “attahiyyatulillah …” sampai ucapan “wa ‘ala
‘ibadillahish shalihin” bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji
Allah dan do’a keselamatan bagi hamba-Nya.
Imam Ar Ramli Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “ Jari telunjuk diangkat saat
ucapan “illallah”, yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah untuk
mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak jelas
menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai sesaat sebelum berdiri
ke raka’at ketiga, pada tasyahud awal atau sampai salam pada tasyahud akhir.
Adapun yang dibahas sekolompok orang zaman sekarang tentang
mengembalikannya, maka ini menyelisihi riwayat yang ada.” (Lihat Nihayatul
Muhtaj, 1: 522).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak
syahadatain (pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bagkit ke raka’at
ketiga untuk tasyahud awal atau sampai salam untuk tasyahud akhir.
“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat
adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR.
Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini
hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Cara salam adalah dengan memalingkan wajah ke kanan sampai orang di belakang
melihat pipi, begitu pula salam ke kiri sampai orang di belakang melihat pipi.
Disebutkan dalam hadits,
صلى هللا عليه- َِّللاَّ سو َلُ ع ْن أَ ِبي ِه قَا َل ُك ْنتُ أ َ َرى َر
َ س ْع ٍد
َ ام ِر ب ِْن
ِ عَ ع ْن
َ
اض خ َِد ِهَ َار ِه َحتَّى أَ َرى بَيِ سَ َع ْن ي
َ ع ْن يَ ِمينِ ِه َو
َ س ِل ُم
َ ُ ي-وسلم
Dari ‘Amir bin Sa’ad dari bapaknya, ia berkata, “Aku pernah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
hingga aku melihat pipinya yang putih.” (HR. Muslim no. 582).
ع ْن يَ ِمينِ ِه َو َع ْن ِش َما ِل ِه َحتَّى يُ َرى َ ُ َكانَ ي-صلى هللا عليه وسلم- ى
َ س ِل ُم َّ ِأ َ َّن النَّب
َّ ُسَلَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمة
» َِّللا َّ ُسَلَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمة
َّ َّللاِ ال َّ اض خ َِد ِه « ال ُ َبَي
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
sampai terlihat pipinya yang putih, lalu beliau mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’ ” (HR. Abu Daud no. 996 dan
Tirmidzi no. 295. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Salam yang termasuk bagian dari rukun adalah salam pertama, sedangkan salam
kedua tidaklah wajib.
Adapun ucapan salam adalah tanpa kalimat ‘wa baraakatuh’. Tambahan tersebut tak
ada dasarnya. Riwayat yang menyebutkan tambahan tersebut adalah riwayat
yang syadz, yaitu menyelisihi riwayat yang lebih kuat. Jadi yang lebih tepat ucapan
salam adalah ‘assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’.
Rukun Shalat
Rukun shalat adalah bagian penting dari shalat. Jika rukun shalat tidak ada, shalat
tidaklah sah dan tak bisa tergantikan dengan sujud sahwi.
Setelah kita mempelajari sifat shalat nabi sampai serial ke-29, saat ini dan serial
berikutnya akan diulas mengenai shalat dari tinjauan fikih. Kita akan pelajari rukun
shalat terlebih dahulu.
1- Niat di dalam hati. Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam hadits
disebutkan,
2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh
dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.
Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan berdiri
lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ف أَ ْج ِر القَائِ ِم َو َم ْن ْ ِصلَّى قَا ِعدًا فَلَهُ ن
ُ ص َ ض ُل َو َم ْن َ صلَّى قَائِ ًما فَ ُه َو أَ ْف
َ َم ْن
ف أَ ْج ِر القَا ِع ِدُ ص ْ ِصلَّى نَائِ ًما فَلَهُ ن
َ
“Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang
shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri.
Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat
sambil duduk.” (HR. Bukhari no. 1065)
Dalil yang menunjukkan perintah untuk thuma’ninah dapat dilihat pada hadits musii’
sholatuhu (orang yang jelek shalatnya).
صلَّى ث ُ َّمَ َى – صلى هللا عليه وسلم – دَ َخ َل ْال َمس ِْجدَ فَدَ َخ َل َر ُج ٌل ف َّ ع ْن أ َ ِبى ُه َري َْرة َ أ َ َّن النَّ ِب َ
عل ْي ِه َ َ – ى – صلى هللا عليه وسلم َّ
ُّ ِعلى النبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم – فَ َردَّ النب َّ َ َّ
َ سل َم َ ََجا َء ف
علَى النَّ ِب ِى – صلى هللا َ سلَّ َم
َ َ ث ُ َّم َجا َء ف، صلَّى َ َص ِل » ف َ ُ ص ِل فَإِنَّ َك لَ ْم تَ َار ِج ْع ف ْ « سَلَ َم فَقَا َل َّ ال
ق فَ َما ِ فَقَا َل َوالَّذِى َب َعث َ َك ِب ْال َح. ثََلَثًا. » ص ِل َ ُ ص ِل فَإِنَّ َك لَ ْم تَ َار ِج ْع ف ْ « عليه وسلم – فَقَا َل
، س َر َم َع َك ِمنَ ْالقُ ْرآ ِن ْ
َّ َ ث ُ َّم ا ْق َرأ َما تَي، صَلَةِ فَ َكبِ ْر َّ ت إِلَى ال َ قَا َل إِذَا قُ ْم. غي َْرهُ َفعَ ِل ْم ِنى َ ِن ُ أ ُ ْحس
، اجدًا ِ سَ ط َمئِ َّن ْ َ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت، ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما ْ ث ُ َّم، ط َمئِ َّن َرا ِكعًا ْ َار َك ْع َحتَّى ت ْ ث ُ َّم
صَلَتِ َك ُك ِل َها َ ث ُ َّم ا ْف َع ْل ذَ ِل َك ِفى، اجدًا ِ س ْ َ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت، سا
َ ط َم ِئ َّن ً ط َمئِ َّن َجا ِل ْ َارفَ ْع َحتَّى ت ْ ث ُ َّم
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka
masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi
salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau
berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia
pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena
sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang
jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran,
aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika
engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang
mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah
dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud.
Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian
sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam
setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).
ار َك ْع َحتَّى ْ ث ُ َّم، آن ِ س َر َمعَ َك ِمنَ ْالقُ ْر َّ َ ث ُ َّم ا ْق َرأْ َما تَي، صَلَةِ فَ َكبِ ْرَّ ت إِلَى ال َ إِذَا قُ ْم
ث ُ َّم، اجدًا
ِ س َ ط َمئِ َّن ْ َ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت، ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما ْ ث ُ َّم، ط َمئِ َّن َرا ِكعًا ْ َت
ث ُ َّم ا ْف َع ْل ذَ ِل َك فِى، اجدًا
ِ سَ ط َمئِ َّن ْ َ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت، سا ْ َ ارفَ ْع َحتَّى ت
ً ط َمئِ َّن َجا ِل ْ
صَلَتِ َك ُك ِل َها
َ
“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an
yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu
bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah
sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud
sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika
sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim
no. 397).
Sunnah Ab’adh
Dalam madzhab Syafi’i, ada dua macam perkara sunnah dalam shalat yaitu sunnah
ab’adh dan sunnah hay’ah.
Sekarang yang kita kaji lebih dahulu adalah sunnah ab’adh. Sunnah ab’adh adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat.
Ada tiga sunnah ab’adh yang bisa kami sebutkan setelah penjabaran sifat shalat
Nabi secara lengkap.
Dalil bahwa tasyahud awal termasuk sunnah adalah hadits dari ‘Abdullah bin
Buhainah, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur. Lalu ketika raka’at kedua, beliau
berdiri dan tidak duduk tasyahud awal. Para jama’ah pun turut mengikuti beliau.
Ketika di akhir shalat, saat jama’ah menunggu beliau salam, ternyata beliau
bertakbir dalam keadaan duduk dan melakukan dua kali sujud sahwi. Sujud sahwi
tersebut dilakukan sebelum salam. Kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829
dan Muslim no. 570).
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat
dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ada
dalam tasyahud awal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’I dan
pendapat terbaru dari Imam Syafi’i. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah
wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafi’i berkata, “Setelah tasyahud tidak
wajib menambahkan shalawat.” Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga
menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.
Sunnah Hay’ah
Sunnah yang lain selain sunnah ab’adh adalah sunnah hay’ah. Sunnah hay’ah adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat, jika ditinggalkan, tak perlu kembali
melakukannya dan tidak ada sujud sahwi.
1- Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ketika turun ruku’, ketika
bangkit dari ruku’, juga ketika bangkit dari tasyahud awal.
2- Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri ketika berdiri dalam
shalat.
10- Bertasbih ketika ruku’ dan sujud. Saat ruku’ membaca ‘subhana robbiyal
‘azhim’ (3 kali), sedangkan ketika sujud membaca ‘subhana robbiyal a’laa’ (3 kali).
11- Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk saat tasyahud awal dan tasyahud
akhir. Tangan kiri dibentangkan, sedangkan tangan kanan dalam keadaan seluruh
jari digenggam kecuali jari telunjuk memberikan isyarat.
12- Duduk dengan cara duduk tawarruk pada duduk tasyahud akhir dan duduk
selainnya dengan duduk iftirosy.
15- Khusyu’ dalam seluruh gerakan shalat. Yang dimaksud khusyu’ adalah hati
merenung apa yang diucapkan oleh lisan, baik bacaan surat, dzikir atau do’a yang
dibaca. Semuanya direnungkan dengan memahami artinya dan ketika itu merasa
sedang bermunajat dengan Allah Ta’ala.
Harus ada khusyu’ dalam bagian shalat. Jika tidak ada khusyu’ sama sekali sejak
awal hingga akhir, maka shalatnya batal.
Ada lagi perkara sunnah yang dilakukan sesudah shalat yang bisa diamalkan.
“Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian
adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731).
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jama’ah wanita
kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum
beranjak. Kami melihat –wallahu a’lam- hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih
dahulu sebelum berpapasan dengan para pria.” (HR. Bukhari no. 870)