Anda di halaman 1dari 95

Sholat khusuk

1.Mampu menghadap allah

َ‫َيا َب ِني آدَ َم ُخذُوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َو ََل تُس ِْرفُوا ۚ ِإنَّهُ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِين‬
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. Surat Al-A’raf Ayat 31

2.Menyampaikan bacaan

sholat Q 4:43

‫س ِبي ٍل َحت َّ ٰى ت َ ْغت َ ِسلُوا ۚ َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ َ ‫َار ٰى َحت َّٰى ت َ ْع َل ُموا َما تَقُولُونَ َو ََل ُجنُبًا ِإ ََّل‬
َ ‫عا ِب ِري‬ َ ‫سك‬ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا الص َََّلةَ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
ُ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِهك ْم‬ َ
َ ‫صعِيدًا طيِبًا فَا ْم‬ َ َ ِ‫سف ٍَر أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ مِ ْن ُك ْم مِ نَ ْالغَائِطِ أ ْو ََل َم ْست ُم الن‬
َ ‫سا َء فَل ْم ت َِجدُوا َما ًء فَت َيَ َّم ُموا‬ ُ َ َ ‫ض ٰى أ َ ْو‬
َ ‫علَ ٰى‬ َ ‫َم ْر‬
ً ُ‫غف‬
‫ورا‬ َ ‫عفُ ًّوا‬ َّ ‫َوأ َ ْيدِي ُك ْم ۗ ِإ َّن‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Alfatikhah

4 ayat pertama pujian kepada Allah ayat ke 5 pernyataan kepada Allah sedang 6 dan 7 doa

Doa diantara sujud

‫ َوا ْه ِدنِي‬، ‫ار ُز ْقنِي‬


ْ ‫ َو‬، ‫ارفَ ْعنِي‬ ْ ‫ َو‬، ‫ب ا ْغف ِْر لِي‬
ْ ‫ َو‬، ‫ َواجْ ب ُْرنِي‬، ‫ار َح ْمنِي‬ ِ ِّ ‫َر‬
Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah
rezeki dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad, 1:371).

Tumkninah berhenti sejenk

Tumakninah gerakan setiap gerakan harus ada tempat pemberhentian

Tumakninah ucapansetiap ucapan harus ada jedanya.

Syarat sholat khusuk

A. Harus bersuar
1. Qs 17:110

َ‫ص ََلتِكَ َو ََل تُخَافِتْ بِ َها َوا ْبت َِغ بَيْنَ َٰذَلِك‬
َ ِ‫الرحْ َٰ َمنَ ۖ أَيًّا َما ت َ ْدعُوا فَلَهُ ْاْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسن ََٰى ۚ َو ََل تَجْ َه ْر ب‬
‫َّللا أ َ ِو ا ْدعُوا ه‬
َ ‫قُ ِل ا ْدعُوا ه‬
‫يَل‬ً ِ‫سب‬
َ
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu
2. Qs 7:35
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم يَحْ زَ نُون‬ ْ َ ‫صونَ َعلَ ْي ُك ْم آيَاتِي ۙ فَ َم ِن اتَّقَ ٰى َوأ‬
ٌ ‫صلَ َح فَ ََل خ َْو‬ ُ ‫يَا بَنِي آدَ َم ِإ َّما يَأْتِيَ َّن ُك ْم ُر‬
ُّ ُ‫س ٌل ِم ْن ُك ْم يَق‬
Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang
menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan
mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.
3. Qs 50:16
ُ ‫سهُ ۖ َون َْح ُن أ َ ْق َر‬
‫ب إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل‬ ُ ‫س بِ ِه نَ ْف‬
ُ ‫سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِو‬ ِ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
‫ْال َو ِري ِد‬
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,

(RENDAH HATI ,LEMBUT & PELAN)

B. Dalam keadaan sadar

1. Qs 107:4
َ ‫ فَ َو ْي ٌل ل ِْل ُم‬Maka kecelakaanlah, bagi orang-orang yang shalat
َ‫ص ِلين‬

Qs 107:45
2. َ‫سا ُهون‬
َ ‫صَلتِ ِه ْم‬ َ ‫( الَّذِينَ ُه ْم‬yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
َ ‫ع ْن‬

C. Tidak boleh mengunakan nafsu ( jangan tergesa gesa)


Qs 12:53
َ ‫وء إِ ََّل َما َر ِح َم َربِي ۚ إِ َّن َربِي‬
ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ِ ‫س‬ َ ‫س ََل َ َّم‬
ُّ ‫ارة ٌ بِال‬ ُ ‫َو َما أُبَ ِر‬
َ ‫ئ نَ ْفسِي ۚ إِ َّن النَّ ْف‬
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

D. Anggota tubuh sebagai saksi (perbuatan kita terekam)


Qs 24:24
َ‫علَ ْي ِه ْم أ َ ْل ِسنَت ُ ُه ْم َوأ َ ْيدِي ِه ْم َوأ َ ْر ُجلُ ُه ْم ِب َما َكانُوا َي ْع َملُون‬
َ ُ‫َي ْو َم ت َ ْش َهد‬
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap
apa yang dahulu mereka kerjakan.

Qs 36:12
‫ين‬ َ ‫ش ْىءٍ أَ ْح‬
ٍ ‫ص ْينَاهُ فِي ِإ َم ٍام ُّم ِب‬ َ ‫ار ُه ْم َو ُك َّل‬ ُ ُ ‫ِإنَّا ن َْح ُن نُ ْح ِى ْال َم ْوتَى َونَ ْكت‬
َ َ ‫ب َماقَّد ُموا َو َءاث‬
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa
yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).

E. Allah sangat dekat ( Allah mengawasi kita)


Qs 50:16
‫ب ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِري ِد‬
ُ ‫سهُ ۖ َونَحْ ُن أ َ ْق َر‬
ُ ‫س ِب ِه نَ ْف‬
ُ ‫سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِو‬ ِ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,

F. Mengerti apa yang diucapkan

Qs 4:43
‫سبِي ٍل َحت َّ ٰى ت َ ْغت َ ِسلُوا ۚ َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ َ ‫َار ٰى َحت َّ ٰى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو ََل ُجنُبًا إِ ََّل‬
َ ‫عابِ ِري‬ َ ‫سك‬ ُ ‫ص ََلة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا ال‬
‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم‬ َ ‫صعِيدًا‬
َ ‫ط ِيبًا فَا ْم‬ َ ِ‫سف ٍَر أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ مِ ْن ُك ْم مِ نَ ْالغَائِطِ أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم الن‬
َ ‫سا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَت َ َي َّم ُموا‬ َ ‫ض ٰى أ َ ْو‬
َ ‫علَ ٰى‬ َ ‫َم ْر‬
‫ورا‬
ً ‫غف‬ ُ ُ
َ ‫عف ًّوا‬ َّ ‫َوأ َ ْيدِيك ْم ۗ إِن‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬ َّ ُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

G. Tumakninah ( rukun )

Qs 59:21
ِ َّ‫َّللاِ ۚ َوت ِْلكَ ْاَل َ ْمث َا ُل نَض ِْربُ َها لِلن‬
َ‫اس لَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ َ َ‫ لَ ْو أ َ ْنزَ ْلنَا ٰ َهذَا ْالقُ ْرآن‬٢١
َ َ ‫علَ ٰى َجبَ ٍل لَ َرأ َ ْيتَهُ خَا ِشعًا ُمت‬
َّ ‫ص ِدعًا مِ ْن َخ ْشيَ ِة‬

Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir

Hadis orang harus fatonah/cerdas (berhenti sejenak )

Ridho allah bisa dipelajari dengan :

Sabar
sholat

Ikhlas

tawakal

Bersukur

berprasangka baik

Dzikir perbuata

Iman dalam QS 2:153

َ‫صا ِب ِرين‬ َّ ‫ص ََلةِ ۚ ِإ َّن‬


َّ ‫َّللاَ َم َع ال‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا ْست َ ِعينُوا ِبال‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.

Jadi kalau orang sudah beriman harus bisa total menerima apapun kejadian dengan sabar dan sholat
.(keyakinan kita bisa mengalahkan logika kita.

Biasanya ada jebakan iman itu perlu proses padahal tidak ada ragu ragu pada allah.bila ada keraguan
berarti kita belum beriman.

Bila kita sudah sabar dan sholat dengan maksimal mari kita tumggu Allah menolong dengan kehendaknya.

Ikhlas

Melakukan segala sesuatu hanya menjalankan perintah Allah

1. Orang ikhlas itu doanya langsung dikabulkan


2. Hatinya tidak ada ganjalan dan selalu bahagia.
3. Terhidar dari godaan iblis.
Qs 51:56
ِ ‫س إِ ََّل ِليَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS.
Adz-Dzariyat : 56)

Jadi ikhlas itu wajib

Memang kita melakukan segala sesuatu itu wajar.

Cara melatih

1. Coba sekarang kasih sesuatu yang tidak memberatkan atau ganjalan dihati.
2. Misal buat masakan untuk suami niatkan hanya melaksanakan perintah allah

Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan diakherat nanti.


Jadi apapun perbuatan yang kita lakukan harus menghasilkan pahala sebagai bekal di akhirat.apabila kita
melakukan segala sesuatu yang tidak menghasilkan pahala maka itu adalah kehidupan yang main main.

Tawakal

َّ ‫َّللاَ بَا ِل ُغ أ َ ْم ِر ِه ۚ قَ ْد َجعَ َل‬


ْ ‫َّللاُ ِل ُك ِل ش‬
ٍ‫َيء‬ َّ ‫علَى‬
َّ ‫َّللاِ فَ ُه َو َح ْسبُهُ ۚ إِ َّن‬ َ ‫ِب ۚ َو َم ْن يَت ََو َّك ْل‬ ُ ‫َويَ ْر ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬
ُ ‫ْث ََل يَحْ تَس‬
‫قَد ًْرا‬
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

087883311926 oki swtiawan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص ََلة‬ َ ‫جعلت قُ َّرة‬


َّ ‫عيْني فِي ال‬
“Dijadikan sesuatu yang paling menyenangkan hatiku ada pada saat
mengerjakan shalat” (HR. An-Nasaa`i dan Ahmad dan selain keduanya.
Hadits Shahih)

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan:

‫ْس كل َم ْحبُوب تقر بِ ِه ْالعين َوإِنَّ َما تقر ْالعين‬ َ ‫َوقُ َّرة ُ ْال َع ْين فَ ْوقَ ْالمحبَّة فَإِنَّهُ لَي‬
‫ْس ذَ ِلك إِ ََّل هللا الَّذِي ََل إِلَه إِ ََّل ُه َو وكل‬
َ ‫بِأ َ ْعلَى المحبوبات الَّذِي يحب لذاته َولَي‬
‫َما سواهُ فَإ ِنَّ َما يحب تبعا لمحبته‬
“Qurratul ‘ain” itu melebihi sekedar cinta biasa (kesukaan biasa), karena
tidak setiap perkara yang dicintai pasti sebagai “Qurratul ‘ain” (paling
menyenangkan hati), dan semata-mata hati itu bisa mencapai puncak
kesenangannya, hanyalah dengan sesuatu yang paling dicintai, (yaitu) yang
dicintai karena dirinya (maksudnya: statusnya sebagai pokok cinta dan
bukan cinta cabang , pent). Dan tidak lain itu adalah Allah, yang tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Seluruh selain-Nya semata-
mata dicintai karena mengikuti kecintaan kepada-Nya” (Risaalah Ibnil
Qoyyim ila ahadi ikhwaanihi (PDF), hal. 36).

Pada petikan yang lain beliau juga berkata:

‫ص ََلة قُ َّرة عُيُون المحبين فِي َهذِه الد ُّ ْنيَا لما فِي َها من ُمنَا َجاة من ََل تقر ْالعُيُون َو ََل‬ َّ ‫فَال‬
‫ذكر ِه والتذلل والخضوع لَه ُ والقرب‬ ِ ِ‫تطمئِن ْالقُلُوب َو ََل تسكن النُّفُوس إِ ََّل إِلَ ْي ِه والتنعم ب‬
‫س ُجود َوتلك ْال َحال أقرب َما يكون العَبْد من ربه فِي َها‬ ُّ ‫ِم ْنه ُ َو ََل ِسي َما فِي َحال ال‬
“Maka shalat dikatakan “Qurratul ‘ain” bagi orang-orang yang mencintai
(Allah) di dalam kehidupan dunia ini karena di dalam shalat terdapat
aktifitas bermunajat (berkomunikasi lirih) dengan Dzat, yang tidaklah
senang dan tenang suatu hati dan tidaklah jiwa menjadi sakinah kecuali
dengan berkomunikasi dengan-Nya dan bernikmat-nikmat dengan
mengingat-Nya, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya serta
mendekatkan diri kepada-Nya. Terlebih lagi dalam keadaan sujud, keadaan
tersebut adalah keadaan hamba yang terdekat dengan Rabb nya di dalam
shalat” (Risaalah Ibnil Qoyyim ila ahadi ikhwaanihi (PDF), hal. 37).

Apa yang dirasakan dalam shalat?

Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan perkataan gurunya, (yaitu Syaikhul


Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah):

.‫إذا لم تجد للعمل حَلوة في قلبك وانشرا ًحا فاتَّه ْمه فإن الربَّ تعالى شكور‬
“Jika Anda tidak mendapatkan kemanisan (iman/ibadah) dan kelapangan
dalam hatimu ketika beramal (beribadah), maka curigailah amalan Anda
tersebut, karena Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Mensyukuri”

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan maksud perkataan gurunya di atas:

‫يعني أنه َل بد أن يثيب العامل على عمله في الدنيا من حَلوة يجدها في قلبه‬
‫ فحيث لم يجد ذلك فعمله مدخول‬،‫وقوة انشراح وقرة عين‬
“Maksudnya, bahwa Allah pasti memberi pahala pelaku amal shaleh
(ibadah) di Dunia, berupa kemanisan (iman/ibadah) yang ia dapatkan
dalam hatinya, demikian pula kelapangan dan kesenangan hati , maka jika
ia tidak mendapatkan hal itu, maka amalnya terkontaminasi (terkotori
kotoran)” (Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim: 2/68).

Pahala shalat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ ُخ ُم‬،‫سها‬
،‫ ُربُعُها‬،‫سها‬ ُ ُ ‫سد‬ ُ ،‫ ث ُ ُمنُها‬،‫سعُها‬
ُ ،‫سبُعُها‬ ُ ُ ‫ ت‬،‫ش ُر صَلتِ ِه‬
ُ ‫ع‬ َ ِ‫رف؛ َو َما ُكت‬
ُ ‫ب إَِل‬ ُ ‫ص‬َ ‫الر ُج َل لَيَ ْن‬
َّ ‫إِ َّن‬
‫صفها‬ ْ ِ‫ ن‬،‫ثلُثُها‬

“Sesungguhnya seseorang selesai dari sholatnya dan tidaklah dicatat baginya


dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya,
seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya,
seperempatnya, sepertiganya, setengahnya” (HR Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Al-Munaawi rahimahullah berkata:

‫ضي ْال َك َما َل‬ ُ ‫ب ْال ُخ‬


ِ َ ‫ش ْوعِ َوالتَّدَب ُِّر َونَ ْح ِو ِه ِم َّما يَ ْقت‬ َ ‫ف اَل َ ْشخَاص بِ َح‬
ِ ‫س‬ ُ ‫أ َ َّن ذَ ِل َك يَ ْخت َ ِل‬
ِ َ‫ف بِا ْختَِل‬
“Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan orang-orang
yang sholat berdasarkan kekhusyu’an dan penghayatan makna bacaan
sholat dan yang semisalnya dari perkara-perkara yang menyebabkan
kesempurnaan sholat“ (Faidhul Qodiir: 2/333, Hadits no. 1978)

Standar penilaian shalat

Ada satu riwayat yang shahih sanadnya, bahwa Sufyan Ats-Tsauri


rahimahullah mengatakan:

‫يكتب للرجل من صَلته ما عقل منها‬

“Pahala shalat seseorang ditulis berdasarkan apa yang ia pahami dari


shalatnya (berdasarkan kehadiran hati)” (Al-Qaulul Mubiin, Syaikh
Masyhuur Salaman, hal. 454).
Jadi, yang mempengaruhi bobot shalat seseorang, selain ikhlas dan tata cara
shalatnya yang sesuai dengan sunnah, juga apakah hatinya hadir dalam
shalatnya, menghayati ucapan dan perbuatan shalat yang ia lakukan?

Siapa yang mau shalatnya seperti badan tanpa ruh (shalat hanya gerakan
badan tanpa hadirnya hati/khusyu’)? Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala
memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka,

َ‫(قَدْ أ َ ْفلَ َح ْال ُمؤْ ِمنُون‬1) ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,”

َ ‫(الَّذِينَ هُ ْم فِي‬2) “(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam


َ‫ص ََلتِ ِه ْم خَا ِشعُون‬
shalatnya” (Al-Mu`minuun: 1-2).

Dan khusyu’ dalam shalat meliputi khusyu’ lahir dan batin (hati),
sebagaimana penafsiran Syaikh As-Sa’di rahimahullah terhadap ayat di atas,

،‫ فيسكن لذلك قلبه‬،‫ مستحضرا لقربه‬،‫ هو حضور القلب بين يدي هللا تعالى‬:‫والخشوع في الصَلة‬
‫ مستحضرا جميع ما يقوله ويفعله‬،‫ متأدبا بين يدي ربه‬،‫ ويق ل التفاته‬،‫ وتسكن حركاته‬،‫وتطمئن نفسه‬
‫ وهذا روح‬،‫ فتنتفي بذلك الوساوس واَلفكار الردية‬،‫ من أول صَلته إلى آخرها‬،‫في صَلته‬
‫ وإن‬،‫ فالصَلة التي َل خشوع فيها وَل حضور قلب‬،‫ وهو الذي يكتب للعبد‬،‫ والمقصود منها‬،‫الصَلة‬
‫ فإن الثواب على حسب ما يعقل القلب منها‬،‫كانت مجزئة مثابا عليها‬.

“Khusyu’ dalam shalat adalah hadirnya hati (seorang hamba) di hadapan


Allah Ta’ala, menghayati kedekatan dengan-Nya, hingga tentram hati
karenanya, tenang jiwa dan gerakannya, tidak banyak mengingat sesuatu di
luar urusan shalat, beradab di hadapan Rabb-nya, menghayati seluruh apa
yang ia ucapkan dan lakukan dalam shalatnya, dari awal hingga selesai
shalatnya, sehingga hilang was-was (bisikan syaitan) dan berbagai pikiran
yang jelek. Inilah ruh dan maksud shalat. Shalat yang seperti inilah yang
ditulis pahalanya bagi seorang hamba. Jadi shalat yang tidak ada
kekhusyu’an dan tidak ada pula kehadiran hati -walaupun shalat seperti itu
sah dan diberi pahala (pelakunya)- namun sesungguhnya pahala shalat itu
sesuai dengan kehadiran hati di dalam mengerjakannya” (Tafsir As-Sa’di, hal.
637).

Takbiratul Ihram adalah rukun shalat

Lafadz yang pertama kali diucapkan dalam shalat adalah lafadz takbiratul
ihram, yaitu “Allahu Akbar”. Sebuah lafadz pembuka shalat yang tidaklah
sah sebuah shalat kecuali dengannya, karena kedudukannya sebagai rukun
shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ير َوت َ ْح ِليلُ َها الت َّ ْس ِلي ُم‬


ُ ِ‫ور َوت َ ْح ِري ُم َها الت َّ ْكب‬ ُّ ِ‫صَلَة‬
ُ ‫الط ُه‬ ُ ‫ِم ْفتَا‬
َّ ‫ح ال‬
“Pembuka sahnya shalat adalah bersuci, sesuatu yang menyebabkan
haramnya hal-hal yang bertentangan dengan shalat adalah ucapan takbir
dan yang menyebabkan halalnya hal-hal itu kembali adalah ucapan salam”
(HR. Abu Daud no. 61, Tirmidzi no. 3, Al-Irwa`: 301).

Dalam kitab Badai’ul Fawaid, Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat


kedudukan takbiratul ihram sebagai tahrimush shalah (sesuatu yang
menyebabkan haramnya hal-hal yang bertentangan dengan shalat)
sebagaimana yang ada dalam hadits di atas, dengan mengatakan,

‫ فجعل‬.‫ وتح ليلها بابها الذي يخرج به منها‬،‫تحريمها هنا هو بابها الذي يدخل منه إليها‬
،‫ والتسليم باب الخروج لحكمة بديعة بالغة يفهمها من عقل عن هللا‬،‫التكبير باب الدخول‬
‫ وسافر فكره في استخراج حكمه وأسراره‬،‫وألزم نفسه بتأمل محاسن هذا الدين العظيم‬
،‫وبدائعه‬
“Yang dimaksud tahrim shalat di sini adalah pintu masuk shalat itu dimulai
dari mengucapkan takbiratul ihram, sedangkan tahlil shalat adalah pintu
keluar dari shalat dengan mengucapkan salam. Maka dijadikan takbiratul
ihram sebagai pintu masuk dan mengucapkan salam sebagai pintu keluar,
untuk suatu hikmah yang indah yang sangat mendalam,hikmah ini barulah
bisa dipahami oleh orang yang mengenal Allah dan menuntun dirinya untuk
merenungkan keindahan Agama yang agung ini, sedangkan fikirannya
mengembara di dalam mengeluarkan mutiara hikmah, rahasia dan
keindahan-keindahan Agama ini” (Badai’ul Fawaid, Ibnul Qoyyim 2/695
[PDF]).

Lafadz takbiratul ihram ini tidak sah jika diganti dengan lafadz yang
lainnya. Berkata Syaikh Muhammad Shalih Al-
‘Utsaimin rahimahullah, “(Lafadz Allahu Akbar) tidaklah sah diganti dengan
lafadz lain walaupun maknanya bisa menggantikannya, misalnya seseorang
(yang sedang shalat) mengucapkan “Allahul Ajallu atau Allahu Ajallu atau
Allahu A’dhamu atau yang semisalnya (maka ini tidak sah- pent)” (Syarhul
Mumti‘ : 3/26).

Makna Allahu Akbar


Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna
Lafadz “Allahu Akbar”, bahwa kata “Akbar” mengandung makna melebihi,
namun di dalam lafadz “Allahu Akbar” tidak disebutkan “sesuatu yang lain”
sebagai pembanding, yang kebesarannya berada di bawah kebesaran Allah .

Jadi, lafadz takbiratul ihram itu bukanlah “Allahu Akbar minas Samawat
(Allah lebih besar dari langit) ”misalnya. Pada kalimat ini, disebutkanlah
“sesuatu yang lain”, sebagai pembanding, yang kebesarannya berada di
bawah kebesaran Allah ”, yaitu langit.

Nah, apakah rahasia tidak disebutkannya “sesuatu yang lain, yang


kebesarannya berada di bawah kebesaran Allah ” ? Syaikh Muhammad
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengungkap rahasia tersebut, beliau
berkata:

َّ ‫كل شيء‬
‫عز وج َّل‬ ِ ‫ أكبر ِمن‬،‫و ُحذف المفضَّل عليه ليتناول ك َّل شيء‬
“(Dalam ucapan Takbir ) Sesuatu yang lain -yang kebesarannya berada di
bawah kebesaran Allah- tidaklah disebutkan, guna mencakup segala sesuatu
(selain Allah), (dengan demikian, kesimpulannya) Allah ‘Azza wa Jalla lebih
besar dari segala sesuatu (baca: Allah Maha Besar)” (Syarhul Mumti‘ : 3/29).

Adapun Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan


makna lafadz “Allahu Akbar” ,

‫ أن هللا تعالى أكبر من كل شيء في ذاته و أسمائه و صفاته و كل ما تحتمله هذه‬:‫معناها‬


‫الكلمة من معنى‬
“Maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dalam
Dzat, nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta seluruh makna yang tercakup di
dalam lafadz ini” (Syarhul Mumti‘ : 3/28).

Kesalahan pengucapan takbir

Kesalahan yang terjadi dalam pengucapan lafadz “ ‫(هللا أكبر‬Allaahu Akbar)”


ada dua macam, yaitu:

1. Kesalahan yang merubah makna lafadz takbir. Contoh:


memanjangkan huruf “ ‫ ” ا‬, yaitu: ‫( آهلل أكبر‬Aallaahu Akbar), yang
artinya “Apakah Allah Maha Besar?” atau memanjangkan huruf
“‫”ب‬, yaitu: ‫( هللا أ َ ْكبَار‬Allaahu Akbaar), yang artinya “Allah adalah
genderang” -Maha Suci Allah dari ucapan tersebut, karena
kata ‫أ َ ْكبَار‬adalah bentuk jamak (majemuk) dari ‫ َكبَ ُر‬artinya genderang.
Demikianlah keterangan yang disampaikan oleh An-
Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu‘: 3/253. Kesalahan yang
merubah makna ini menyebabkan tidak sahnya shalat seseorang.
2. Kesalahan yang tidak sampai merubah makna lafadz takbir. Contoh,
membaca fathah huruf “‫( ه‬ha`)”, yaitu: ‫( هللاَ أكبر‬Allaaha
Akbar), sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-
‘Utsaimin rahimahullah.

Jika seseorang melakukan kesalahan yang tidak sampai merubah makna ini,
maka shalatnya tetap sah.

Rahasia Indahnya Takbir

Dalam Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bentuk


penghayatan yang selayaknya ada dalam hati seorang hamba ketika
mengucapkan takbiratul ihram “Allahu Akbar”,

‫فإنه إذا انتصب قائما بين يدي الرب تبارك وتعالى شاهد بقلبه قيوميته وإذا قال هللا اكبر‬
‫شاهد كبرياءه وإذا قال سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك وَل إله غيرك‬
‫شاهد بقلبه ربا منزها عن كل عيب سالما من كل نقص محمودا بكل حمد فحمده‬
‫يتضمن وصفه بكل كمال‬.
“Maka jika seorang hamba berdiri tegak di hadapan Ar-Rabb Tabaraka wa
Ta’ala, (berarti) ia menyaksikan dengan hatinya (menghayati)
kemahamandirian-Nya. Jika ia mengucapkan “ Allahu Akbar”, maka ia
menghayati kesombongan (Kemahabesaran)-Nya. Dan jika ia mengucapkan
“Subhanakallahumma wa bihamdika Tabaarakasmuka wa Ta’ala Jadduka, wa
la ilaha ghairuka”, maka ia pun menyaksikan dengan hatinya (menghayati)
Tuhan yang disucikan dari seluruh aib, senantiasa selamat dari seluruh
kekurangan, terpuji dengan segala pujian. Pujian terhadap-Nya tersebut
mengandung pensifatan bagi-Nya dengan setiap sifat-sifat sempurna”
(Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim, hal. 171).

Dalam Badai’ul Fawaid, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang


adab batin seorang hamba yang hendak menunaikan shalat. Ketika ia sudah
mempersiapkan lahir dan batinnya untuk segera memulai shalat, maka
ketika itu ia tertuntut untuk menghadirkan di dalam hatinya pengagungan
dan pemuliaan terhadap Allah dengan puncak pengagungan dan pemuliaan,
melebihi pemuliaan seorang budak terhadap rajanya, saat masuk menemui
rajanya, beliau menuturkan,
‫ وأخذ زينته‬،‫ وقطع جميل العَلئق وتطهر‬،‫لما كان المصلي قد تخلى عن الشواغل‬
،‫ شرع له أن يدخل عليه دخول العبيد على الملوك‬،‫وتهيأ للدخول على هللا ومناجاته‬
‫ هللا أكبر‬:‫ فشرع له أبلغ لفظ يدل على هذا المعنى وهو قول‬،‫فيدخل بالتعظيم واْلجَلل‬
“Ketika seorang yang hendak menunaikan shalat telah kosong hatinya dari
kesibukan-kesibukan (dunia), telah memutuskan ketertarikan hatinya
dengan perkara yang disukainya, dan ia pun telah bersuci, berhias serta
bersiap-siap untuk menghadap kepada Allah dan bermunajat dengan-Nya
(untuk shalat), maka disyari’atkan baginya untuk masuk memulai shalatnya
seperti keadaan masuknya seorang budak menghadap raja-raja, maka ia
masuk memulai shalatnya dengan (puncak) pengagungan dan
pemuliaan, sehingga disyari’atkanlah baginya (ketika itu) lafadz yang
paling menunjukkan makna puncak pengagungan dan pemuliaan ini, yaitu
ucapan “Allahu Akbar”. (Badai’ul Fawaid, Ibnul Qoyyim 2/695).

Di dalam perkataannya yang lain, beliau mengungkapkan mutiara-mutiara


rahasia keindahan peribadatan takbiratul ihram,

‫ لينسلخ‬، ‫ و يستقبل هللا عز و جل بقلبه‬، ‫و أُمر بأن يستقبل القبل ة ـ بيته الحرام ـ بوجهه‬
‫ ثم قام بين يديه مقام المتذلل الخاضع المسكين‬، ‫مما كان فيه من التولي و اْلعراض‬
‫ خاشع القلب‬، ‫ و ألقى بيديه مسلما ً مستسلما ً ناكس الرأس‬، ‫المستعطف لسيِده عليه‬
‫ خاشع قد توجه‬، ‫ َل يمنة و َل يسرة‬، ‫ و طرف ة عين‬، ‫ُمطرق الطرف َل يلتفت قلبه عنه‬
‫كله إليه‬
ِ ‫بقلبه‬.
“Seseorang yang hendak menunaikan shalat diperintahkan untuk
menghadap kiblat dengan wajahnya (ke Baitullah), dan ia menghadap
Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya, agar sirna pelarian dan
keberpalingannya (dari mengingat Allah) yang telah menimpanya, lalu ia
menghadap-Nya dalam keadaan merendahkan diri, tunduk, merasa butuh,
dan mengharap kasih sayang Rabb nya kepadanya, dan “mengangkat kedua
tangannya” pasrah menyerahkan (dirinya), menundukkan kepalanya,
khusyu’ hatinya, kosentrasi mengingat-Nya, tidak lalai dari-Nya, dan
gerakan bola matanya pun tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri, khusyu’
telah menghadapkan hatinya kepada-Nya dengan totalitas”

‫ ثم كبَّره بالتعظيم و اْلجَلل و واطأ قلبه لسانه في التكبير فكان هللا‬، ‫و أقبل بكليته عليه‬
‫ و صد َّق هذا التكبير بأنه لم يكن في قلبه شيء أكبر من‬، ‫كل شيء‬ ِ ‫أكبر في قلبه من‬
‫هللا تعالى يشغله عنه فإنه إذا كان في قلبه شيء يشتغل به عن هللا دل على أن ذلك‬
‫ كان ما اشتغل به هو أهم عنده‬، ‫الشيء أكبر عنده من هللا فإنه إذا اشتغل عن هللا بغيره‬
، ‫ و كان قوله ” هللا أكبر ” بلسانه دون قلبه ؛ َلن قلبه مقبل على غير هللا‬، ‫من هللا‬
ً ‫ مجَل‬، ‫معظما له‬

“Dan ia menghadap kepada-Nya secara totalitas, kemudian ia mengucapkan


takbir dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya, hatinya selaras dengan
lisannya dalam bertakbir, sehingga Allah lebih besar dari segala sesuatu
dalam hatinya, dan ia pun membenarkan takbir itu, bahwa tidak ada dalam
hatinya sesuatu apapun yang lebih besar dari Allah Ta’ala, yang
menyibukkannya dari (mengingat)-Nya. Karena sesungguhnya jika di dalam
hatinya ada sesuatu yang menyibukkan dirinya dari mengingat Allah, berarti
ini menunjukkan bahwa sesuatu tersebut lebih besar dari dari Allah (lebih
menarik untuk diingat), karena jika hatinya sibuk dengan mengingat selain
Allah, lalai dari mengingat Allah, berarti perkara yang menyibukkkan
hatinya tersebut hakikatnya lebih penting (untuk diingat dalam shalatnya)
dari Allah dan hakikatnya, ucapannya “Allahu Akbar” hanya dengan lisannya
tanpa disertai hatinya, sebab hatinya mengarah kepada selain-Nya,
mengagungkannya, dan memuliakannya” (Asraarush Shalah, Ibnul Qoyyim,
hal.12).

Faidah ucapan takbiratul ihram

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,

‫فالتكبير‬:

1- ‫يخرجه من لبس رداء التكبر المنافي للعبودية‬.

2- ‫ويمنعه من التفات قلبه إلى غير هللا‬.

Ucapan takbir (mengandung faedah):

1. Mengeluarkan seseorang dari mengenakan pakaian kesombongan


yang bertentangan dengan peribadatan.
2. Dan mencegah hatinya dari berpaling kepada selain-Nya (baca:
mengingat selain-Nya).

(Dzauqush shalah: 18).

Dua bencana besar berupa kesombongan dan berpaling kepada selain-Nya


(mengingat selain-Nya) itu, beliau sebut sebagai salah satu tabir penghalang
terbesar antara diri seseorang dengan Rabb nya.
Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, shalat tidak sah tanpanya. Dalil
bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal
sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang
belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda
kepadanya:

‫ص ِِّل فإنك لم تُص ِِّل‬


َ َ‫ارج ْع ف‬
ِ

“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap


sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:

‫ ثم اسْتقبل ال ِقبْلةَ فكبِر‬،‫ضو َء‬


ُ ‫الو‬
ُ ‫صَلةِ فأ ْسبِغ‬ َ ُ‫…إذا ق‬
َّ ‫مت إلى ال‬

“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan
bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397)

Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal yang
membuat shalat menjadi sah, diantaranya takbiratul ihram.

Para ulama mengatakan, dinamakan dengan takbiratul ihram karena


dengan melakukannya, seseorang diharamkan melakukan hal-hal yang
sebelumnya halal, hingga shalat selesai. Sebagaimana hadits,

‫مفتاح الصَلة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم‬

“Pembuka shalat adalah bersuci (wudhu), yang mengharamkan adalah


takbir dan yang menghalalkan adalah salam” (HR. Abu Daud 618,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Sebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita diharamkan
berbicara, makan, minum dan lain-lain hingga shalat selesai.

Bolehkah mengganti ucapan Allahu Akbar?

Mengganti ucapan takbiratul ihram, misalnya dengan ‫ هللا أجل‬/Allahu Ajall/


atau ‫ هللا أعظ ُم‬/Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram,
walaupun masih berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah.
Karena lafadz takbir itu tauqifiyyah, ditetapkan oleh dalil. Menggantinya
dengan lafadz lain adalah perbuatan bid’ah.

Namun para ulama berselisih pendapat jika lafadz takbir menggunakan


ucapan ‫اْلكبر‬
ُ ‫ هللا‬/Allahul Akbar/. Sebagian ulama, semisal Imam Abu
Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, menganggapnya sah. Imam Syafi’i
menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut hanya tambahan tidak
mengubah lafadz dan makna (Shifatu Shalatin Nabi, 58). Demikian juga
perihal mengganti lafadz Allahu Akbar dengan bahasa selain arab.

Yang benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi


Wasallam. Tidak boleh mengganti lafadz takbir dengan selain ‫أكبر‬
ُ ‫هللا‬.
Karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang lafadz takbir dalam
shalat, disebutkan hanya lafadz ‫أكبر‬
ُ ‫هللا‬. Misalnya hadits:

ُ َ ‫َّللا ُ أ‬
‫كبر‬ َّ ‫اس حتَّى يتوضَّأ َ فيض َع الوضو َء مواضعَه ُ ث َّم يقو ُل‬
ِ َّ‫إنَّه ُ َل تت ُّم صَلة ٌ َلح ٍد منَ الن‬

“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh


air wudhu pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’” (HR Abu
Daud 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬


“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR. Bukhari 631, 5615,
6008)

Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan
takbir, sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf
membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama
seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur
baginya kewajiban takbiratul ihram.

Ukuran suara takbir

Takbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan lisan, tidak boleh hanya
diucapkan di dalam hati. Lalu para ulama berselisih pendapat apakah
dipersyaratkan suara takbir minimal dapat didengar oleh diri sendiri atau
tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah mempersyaratkan demikian,
yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau minimal dapat
didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul Mumthi’, 3/20). Namun yang
rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Yang
benar, tidak dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya.
Karena terdengarnya takbir itu zaaid (objek eksternal) dari pengucapan.
Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini diwajibkan, wajib
mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’, 3/20).

Bagaimana takbirnya orang bisu?

Orang bisu atau orang yang memiliki gangguan fisik sehingga tidak bisa
berkata-kata, maka ia cukup bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Karena perkataan Allahu Akbar itu
mencakup ucapan lisan dan ucapan hati. Tidaklah lisan seseorang
mengucapkan Allahu Akbar kecuali pasti hatinya mengucapkan dan
memaksudkannya dalam hati. Sehingga jika seseorang terhalang untuk
mengucapkannya, yang wajib baginya adalah cukup dengan
mengucapkan dengan hatinya” (Syarhul Mumthi’, 3/20)

Namun para ulama berbeda pendapat apakah orang tersebut harus


menggerakan bibirnya sambil mengucapkan di dalam hati? Sebagian
ulama seperti Syafi’iyyah tetap mewajibkan menggerakkan bibir, karena
yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu disertai dengan gerakan
bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara sempurna,
maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk
menggerakkan bibir. Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan
Hanafiyyah tidak mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan
namun sarana atau wasilah untuk mengucapkan takbir. Sehingga ketika
seseorang terhalang untuk melakukan pengucapan, maka gugur pula
sarananya. Dan sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at
(Syarhul Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92).

Mengangkat Kedua Tangan

Para ulama bersepakat bahwa disyar’iatkan mengangkat kedua tangan


ketika takbiratul ihram. Dalilnya hadits:

‫ وإذا رفع‬،‫للركوع‬
ُّ ‫ وإذا كب ََّر‬،َ ‫صَلة‬
َّ ‫حذو َمنكبيه؛ إذا افتتح ال‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وسلم كان يرف ُع يديه‬ َّ
َّ ‫أن النب‬
‫الركوع‬
ُّ ‫رأسه من‬

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika


takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepada setelah ruku’, beliau
mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” (HR. Bukhari 735)

Namun mereka berselisih pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama


mengatakan hukumnya wajib, seperti Al Auza’i, Al Humaidi, Ibnu
Khuzaimah dan Al Hakim. Dalil mereka adalah karena hadits-hadits
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu mengangkat
kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sedangkan beliau bersabda:
‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬

“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat”

Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat yang
beliau selalu lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy, berdoa
istiftah, dll namun tidak wajib hukumnya. Bahkan ini semua tidak dinilai
wajib oleh ulama yang mewajibkan mengangkat tangan ketika takbiratul
ihram. Sehingga ada idthirad (kegoncangan) dalam pendapat ini. Yang
benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin
Nabi, 63-67).

Bentuk Jari-Jari Dan Telapak Tangan

Jari-jari direnggangkan, tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan.


Berdasarkan hadits:
‫كان إذا قام إلى الصَلة قال هكذا – وأشار أبو عامر بيده ولم يفرج بين أصابعه ولم يضمها‬
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau begini, Abu
Amir (perawi hadits) mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, beliau
tidak membuka jari-jarinya dan tidak merapatkannya” (HR. Ibnu
Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Khuzaimah)

Untuk telapak tangan, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim, At Thahawi,


Abu Yusuf dan sebagian besar Hanabilah menganjurkan mengarahkan
telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan,
berdalil dengan hadits :

َ‫ وليستقبل بباطنِهما ال ِقبلة‬، ‫إذا استفتح أحد ُكم الصَلة َ فليرفع يد ْي ِه‬

“Jika salah seorang kalian memulai shalat hendaklah mengangkat kedua


tangannya, lalu hadapkan kedua telapak tangannya ke arah kiblat” (HR. Al
Baihaqi dalan Sunan Al Kubra 2/27, dalam Silsilah Adh Dha’ifah (2338) Al
Albani berkata: “dhaif jiddan”)

Dan ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih.
Adapun hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:

‫َلنظرن الى صَلة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال فلما افتتح الصَلة كبر ورفع يديه فرأيت‬
‫إبهاميه قريبا من أذنيه‬

“Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat,


ketika beliau memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat kedua
tangannya sampai aku melihat kedua jempolnya dekat dengan kedua
telinganya” (HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al Albani dalam Sunan An
Nasa-i)

bukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun memang
terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:

‫انه كان اذا كبر استحب ان يستقبل بإبهامه القبلة‬

“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan


kedua ibu jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat
4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi, 63)

Sebagian ulama berdalil dengan keumuman keutamaan menghadap


kiblat di luar dan di dalam ibadah. Diantaranya seperti ayat:

ْ ‫ضاهَا فَ َو ِل َو ْج َه َك ش‬
‫َط َر‬ َ ‫اء فَلَنُ َو ِليَنَّ َك قِ ْبلَةً ت َ ْر‬
ِ ‫س َم‬
َّ ‫ب َو ْج ِه َك فِي ال‬َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬
ْ ‫ْث َما ُك ْنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم ش‬
ُ‫َط َره‬ ُ ‫ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka


sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)
Juga hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫الحرام قبلتِكم أحيا ًء وأمواتًا‬


ِ ‫ت‬
ِ ‫البي‬

“Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika mati”
(HR. Abu Daud 2875)

Hadits ini diperselisihkan keshahihannya dan secara umum ini adalah


pendalilan yang tidak sharih (tegas). Oleh karena itu, yang rajih insya
Allah, mengarahkan kedua telapak tangan ke kiblat ketika takbiratul ihram
itu boleh dilakukan sebagaimana perbuatan Ibnu Umar radhiallahu’anhu
namun tidak sampai disunnahkan (Shifatu Shalatin Nabi, 63-66).

Ukuran Tinggi

Kedua tangan diangkat setinggi pundak atau setinggi ujung telinga.


Berdasarkan hadits:

‫حذو‬
َ ‫وسلم إذا قام إلى الصَلةِ يرف ُع يديه حتى إذا كانتا‬
َ ‫كان رسو ُل هللاِ صلَّى هللا ُ علي ِه‬
‫ِمن َكبيه‬

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau


mengangkat kedua tangannya sampai setinggi pundaknya” (HR. Ahmad
9/28, Ahmad Syakir mengatakan: “sanad hadits ini shahih”)

Juga hadits:

‫كانَ رسو ُل هللاِ صلهى هللاُ عليه وسلهم إذا افتت َح الصَلة َ رفع َي َدي ِه حتى تكونا َ َح ْذ َو أُذُنَي ِه‬

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat


beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya”
(HR. Al Baihaqi 2/26)

Juga hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu


‫ حتى يحاذي بهما فروع أذنيه‬: ‫ وقال‬. ‫أنه رأى نبي هللا صلى هللا عليه وسلم‬
“Ia melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ia berkata (tangannya
diangkat) sampai setinggi pangkal telinganya” (HR. Muslim 391, Abu Daud
745)

Ini adalah khilaf tanawwu’ (perbedaan variasi), maka seseorang boleh


memilih salah satu dari cara yang ada. Bahkan yang lebih utama
terkadang mengamalkan yang satu dan terkadang mengamalkan yang
lain, sehingga masing-masing dari sunnah ini tetap lestari dan diamalkan
orang.

Sebagian ulama memperinci ukuran tersebut, yaitu bagian bawah telapak


tangan setinggi pundak, atau bagian atas telapak tangan setinggi pangkal
telinga. Namun yang tepat, dalam hal ini perkaranya luas, yang
mengangkat kedua telapaknya tangan sampai sekitar pundak atau sampai
sekitar telinga tanpa ada batasan tertentu itu sudah melakukan yang
disunnahkan oleh Nabi (lihat Syarhul Mumthi, 3/31). Adapun praktek
sebagian orang yang meyakini bahwa kedua telapak tangan harus
menyentuh daun telinga, ini tidak ada asalnya sama sekali (Shifatu
Shalatin Nabi, 63).

Takbir Dulu Atau Angkat Tangan Dulu?

Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, takbir berbarengan dengan


mengangkat tangan. Sedangkan Hanafiyyah dan salah satu pendapat
Syafi’iyyah, mengangkat tangan itu sebelum takbir. Sebagian ulama
Hanafiyah juga berpendapat mengangkat tangan itu setelah takbir. Yang
benar, perkara ini masih bisa ditolerir, artinya boleh mengangkat tangan
dahulu sebelum takbir, boleh setelah takbir dan dibolehkan juga
berbarengan dengan takbir. Karena semua ini pernah dipraktekkan oleh
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (Ashlu Sifati Shalatin Nabi, 193-199).

Dalil sebelum takbir


Hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:

‫سلَّ َم إذا قام إلى الصَلة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ ‫َّللا‬ َ ‫كان رسول هللا‬
‫منكبيه ثم كبَّر‬

“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau


mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu
bertakbir” (HR. Muslim 390)

Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:

‫ ثم‬،‫سلَّ َم إذا قام إلى الصَلة؛ يرفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫كان رسول هللا‬
‫يكبر‬

“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau


mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu
bertakbir” (HR. Abu Daud 729 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi
Daud)

Dalil bersamaan dengan takbir

Hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

‫ فرفع يديه حين يكبر حتى‬،‫سلَّ َم افتتح التكبير في الصَلة‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ ‫َّللا‬ َ ‫رأيت النبي‬
‫ وإذا كبَّر للركوع؛ فعل مثله‬،‫يجعلهماحذو منكبيه‬

“Aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan


takbir. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga
keduanya setinggi pundak. Jika beliau hendak ruku, beliau juga melakukan
demikian” (HR. Bukhari 738)

Hadits Malik Ibnul Huwairits radhiallahu’anhu:

‫ وإذا رفع رأسه‬، ‫ وإذا أراد أن يركع‬، ‫ يرفع يديه حين يكبر حيال أذنيه‬، ‫أن رسول هللا كان إذا صلى‬
‫من الركوع‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika shalat beliau
mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi
kedua telinganya. Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak
mengangkat kepada dari ruku’” (HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Nasa-i)

Dalil setelah takbir

Hadits dari Abu Qilabah,

‫ وإذا أراد أن يركع رفع يديه‬. ‫ ثم رفع يديه‬. ‫ إذا صلى كبر‬، ‫أنه رأى مالك بن الحويرث‬
‫ وحدث ؛ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬. ‫ وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه‬.
‫كان يفعل هكذا‬

“Ia melihat Malik bin Al Huwairits radhiallahu’anhu jika shalat ia bertakbir,


lalu mengangkat kedua tangannya. Jika ia ingin ruku, ia juga mengangkat
kedua tangannya. Jika ia mengangkat kepala dari ruku, juga mengangkat
kedua tangannya. Dan ia pernah mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melakukan seperti itu” (HR. Muslim 391)

Para ulama bersepakat bahwa bersedekap ketika shalat adalah hal yang
disyariatkan, berdasarkan hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhu:

‫ضع الرج ُل اليدَ اليُمنى على ذِرا ِعه اليُسرى في‬


َ ‫الناس يؤ َمرون أن ي‬
ُ ‫كان‬
ِ‫الصَلة‬
“Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas
lengan kirinya ketika shalat” (HR. Al Bukhari 740)

Sebagian orang ada yang menukil pendapat Imam Malik bahwa beliau
menganggap makruh bersedekap dalam shalat dan beliau menganjurkan
irsal, yaitu membiarkan tangan terjulai disamping. Namun yang shahih
adalah bahwa beliau juga berpendapat disyari’atkannya bersedekap.
Buktinya dalam kitab Al Muwatha, beliau membuat judul bab:

‫باب وضع اليدين إحداهما على اَلخرى في الصَلة‬


“Bab: Meletakkan kedua tangan, yang satu di atas yang lain, ketika shalat”

Walaupun dalam hadits Bukhari tadi terdapat ungkapan perintah untuk


bersedekap, namun tidak diketahui perkataan dari salaf, baik dari sahabat,
tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in atau pun para imam madzhab yang
menyatakan wajibnya bersedekap dalam shalat (lihat Sifat Shalat Nabi Lit
Tharifi, 84). Dengan demikian bersedekap dalam shalat hukumnya sunnah
tidak sampai wajib.

Bentuk Sedekap

Para ulama bersepakat bahwa tangan kanan berada di atas tangan kiri,
namun mereka berbeda pendapat mengenai rincian bentuk sedekap, yang
merupakan khilaf tanawwu’ (perbedaan dalam variasi). Walaupun demikian,
cara yang bersedekap yang benar dibagi menjadi dua cara:

1. Cara pertama yaitu al wadh’u (meletakkan kanan di atas kiri tanpa


melingkari atau menggenggam). Letak tangan kanan ada di tiga
tempat: di punggung tangan kiri, di pergelangan tangan kiri dan di
lengan bawah dari tangan kiri. Dalilnya, hadits dari Wa’il bin Hujr
tentang sifat shalat Nabi,

‫والرسغِ والساع ِد‬


ُّ ‫ظهر ك ِفه اليُسرى‬
ِ ‫ضع يدَه اليُمنى على‬
َ ‫ثم و‬
“..setelah itu beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung
tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan atau di atas lengan” (HR.
Abu Daud 727, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Dalam Madzhab Maliki dan Hambali, mereka menganjurkan
meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri. Sedangkan
dalam Madzhab Syafi’i, tangan kanan diletakkan di punggung tangan
kiri, di pergelangan tangan kiri dan di sebagian lengan (Mausu’ah
Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/87).

2. Cara kedua yaitu al qabdhu (jari-jari tangan kanan melingkari atau


menggenggam tangan kiri). Dalilnya, hadits dari Wa’il bin Hujr
radhiallahu’anhu:
‫قبض بيمينِ ِه على شما ِل ِه‬
َ ِ‫صَلة‬ َّ ‫رأيتُ رسو َل‬
َّ ‫َّللاِ إذا كانَ قائ ًما في ال‬
“Aku Melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri dalam shalat
beliau melingkari tangan kirinya dengan tangan kanannya” (HR. An
Nasa-i 886, Al Baihaqi 2/28, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An
Nasa-i).

Adapun di luar dua cara ini, seperti meletakkan tangan kanan di siku kiri,
atau di lengan atas, adalah kekeliruan dan tidak ada satupun ulama yang
membolehkannya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
“Kita pernah melihat orang yang bersedekap dengan memegang sikunya,
apakah ini ada dasarnya? Jawabnya, ini tidak ada dasarnya sama sekali”
(Syarhul Mumthi’, 3/36).

Sebagian ulama membedakan tata cara bersedekap laki-laki dengan wanita,


namun yang tepat tata cara bersedekap laki-laki dengan wanita adalah
sama. Karena pada asalnya tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Nabi itu
berlaku untuk laki-laki dengan wanita kecuali ada dalil yang
membedakannya.

Letak Sedekap

Para ulama berbeda pendapat mengenai letak sedekap. Madzhab Hanafi dan
Hambali berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar.
Berdasarkan hadits:

َ ‫ص ََلةِ ت َ ْح‬
‫ت‬ ِ ‫علَى ْال َك‬
َّ ‫ف فِي ال‬ ِ ‫ض ُع ْال َك‬
َ ‫ف‬ ُّ ‫ ِمنَ ال‬: ‫ قَا َل‬، ُ ‫ع ْنه‬
ْ ‫سنَّ ِة َو‬ َّ ‫ي‬
َ ُ ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ َ ‫أ َ َّن‬
ِ ‫ع ِليًّا َر‬
ِ‫س َّرة‬
ُّ ‫ال‬
“Ali radhiallahu’anhu berkata: Termasuk sunnah, meletakkan telapak tangan
di atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar” (HR. Abu Daud 758, Al
Baihaqi, 2/31)

Namun hadits ini sangat lemah karena ada perawinya yang bernama Ziad
bin Zaid Al Kufi statusnya majhul ‘ain, dan Abdurrahman bin Ishaq yang
berstatus dhaiful hadits.

Adapun Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat di bawah dada dan di atas


pusar. Dalilnya hadits Wail bin Hujr:
َ ‫ع لَى‬
‫صد ِْر ِه‬ ُ َ‫علَى يَ ِد ِه ْاليُس َْرى ث ُ َّم ي‬
َ ‫شد ُّ بَ ْينَ ُه َما‬ َ ‫ض ُع يَدَهُ ْاليُ ْمنَى‬
َ َ‫سلَّ َم ي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َ
ِ‫صَلة‬ َّ ‫َو ُه َو فِي ال‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meletakkan tangan kanannya di atas


tangan kirinya kemudian mengencangkan keduanya di atas dadanya ketika
beliau shalat” (HR,. Abu Daud 759, Al Baihaqi 4/38, Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir 3322)

Syafi’iyyah dan Malikiyyah memaknai bahwa maksud lafadz ‫صد ِْر ِه‬َ ‫ع ل َى‬
َ adalah
bagian akhir dari dada. Namun keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh
para ulama. Yang tepat insya Allah, hadits ini lemah. Letak kelemahannya
pada perawi Mu’ammal bin Isma’il, yang dapat dirinci sebagai berikut:

 Sebagian ulama men-tsiqah-kannya, bahkan termasuk Ishaq bin


Rahawaih dan Yahya bin Ma’in. Namun Adz Dzahabi menjelaskan:
“Abu Hatim berkata: ‘Ia shaduq, tegar dalam sunnah, namun sering
salah’. Sebagian ulama mengatakan bahwa kitab-kitabnya dikubur,
lalu ia menyampaikan hadits dengan hafalannya sehingga sering
salah”. Ibnu Hajar juga mengatakan: “Shaduq, buruk hafalannya”.
Sehingga yang tepat ia berstatus shaduq, wallahu’alam.
 Dengan statusnya yang shaduq, ia tafarrud dalam meriwayatkan
hadits ini.
 Periwayatan Mu’ammal dari Sufyan Ats Tsauri bermasalah.
 Periwayatan Mu’ammal menyelisihi para perawi lain yang tsiqah yang
meriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri dengan tanpa tambahan lafadz
َ ‫ع لَ ى‬
‫صد ِْر ِه‬ َ (di atas dadanya). Menunjukkan riwayat ini syadz.

Terdapat jalan lain yang diriwayatkan secara mursal dari Thawus bin Kaisan
dengan sanad yang shahih. Dengan demikian hadits tentang letak sedekap di
atas dada lebih tepat kita katakan hadits mursal.

Juga dinukil sebagai salah satu pendapat imam Ahmad bahwasanya letak
sedekap adalah persis di atas dada, sesuai zhahir hadits. Ini juga yang
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan juga Syaikh Al
Albani rahimahumallah. Namun karena tidak ada hadits yang shahih dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang ini maka yang tepat tidak ada
batasan letak sedekap. Dalam hal ini perkaranya luas. Sedekap boleh di atas
dada, di bawah dada, di perut, di atas pusar maupun di bawah pusar (lihat
Sifat Shalat Nabi Lit Tharifi, 90).

Adapun bersedekap di dada kiri atau di rusuk kiri, dan orang yang
melakukannya sering beralasan bahwa itu adalah tempatnya jantung, ini
adalah alasan yang dibuat-buat yang tidak ada asalnya. Selain itu ada hadits
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:

‫نهى أن يصلي الرجل مختصرا‬


“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang seseorang bertolak pinggang
ketika sedang shalat” (HR. Bukhari 1220, Muslim 545)

dan perbuatan demikian walaupun tidak sama dengan tolak pinggang,


namun itu mendekati tolak pinggang. Selain itu juga, perbuatan ini membuat
badan tidak seimbang (lihat Syarhul Mumthi’, 3/37-38).

Sedekap Setelah Ruku’

Sebagian ulama salaf menganjurkan bersedekap setelah bangun dari ruku,


diantaranya Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Hazm, dan Al Kasani. Mereka berdalil
dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:

‫قبض بيمينِ ِه على شما ِل ِه‬


َ ِ‫صَلة‬ َّ ‫رأيتُ رسو َل‬
َّ ‫َّللاِ إذا كانَ قائ ًما في ال‬
“Aku Melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri dalam shalat beliau
melingkari tangan kirinya dengan tangan kanannya” (HR. An Nasa-i 886, Al
Baihaqi 2/28, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

Lafadz ِ‫صَلة‬
َّ ‫(إذا كانَ قائ ًما في ال‬ketika beliau berdiri dalam shalat) dipahami
bahwa sedekap itu dilakukan dalam setiap kondisi berdiri dalam shalat
kapan pun itu, baik sebelum rukuk maupun sesudah rukuk. Namun ini
adalah pendalilan yang tidak sharih. Karena tidak ada dalil yang shahih dan
sharih mengenai hal ini, maka khilaf ulama dalam hal ini adalah khilaf
ijtihadiyyah,

ُّ ‫عثْ َمانَ َع ْن أ َ ِبي‬


‫الز َبي ِْر‬ ُ ‫علَيَّةَ أ َ ْخ َب َر ِني ْال َح َّجا ُج ْبنُ أَ ِبي‬ ُ ُ‫ب َحدَّثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل ا ْبن‬ ٍ ‫ َحدَّثَنَا ُز َهي ُْر ْبنُ َح ْر‬:٩٤٣ ‫صحيح مسلم‬
‫ع َم َر قَا َل‬ ُ ‫عتْبَةَ َع ْن اب ِْن‬ ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬َّ ‫َع ْن َع ْو ِن ب ِْن َع ْب ِد‬
َ‫سبْحَ ان‬ ‫و‬
ُ َ ً ‫ا‬ ‫ير‬ ‫ث‬
ِ َ
‫ك‬ ِ ‫ّلِل‬ ِ ‫د‬
ُ ‫َم‬
‫ح‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬
َّ ْ َ ً ِ ُ َ‫و‬ ‫ا‬ ‫ير‬‫ب‬‫ك‬َ ‫ر‬ ‫ب‬‫ك‬ْ َ ‫أ‬ ُ َّ
‫َّللا‬ ‫م‬ ‫و‬
ِ ْ َ ‫ق‬ ْ
‫ال‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ٌ
‫ل‬ ‫ج‬
ُ ‫ر‬ َ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ْ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫م‬ َّ
ِ َ َ َ َ ‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ُ َّ
‫َّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ ِ َّ
‫َّللا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬َ َ ‫ص ِلي َم‬
‫ع‬ َ ُ‫َب ْي َن َما نَحْ نُ ن‬
َّ ‫سو َل‬
ِ‫َّللا‬ َ ْ َ َ َ َ
ُ ‫سل َم َم ْن القَائِ ُل َك ِل َمة َكذا َو َكذا قا َل َر ُج ٌل ِم ْن القَ ْو ِم أنَا يَا َر‬ ْ َّ َ
َ ‫َّللاُ َعل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلى‬ َّ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫يَل فَقَا َل َر‬ ً ‫َّللاِ بُك َْرةً َوأَ ِص‬
َّ
‫اء‬
ِ ‫س َم‬ َّ ‫ت لَ َها أَب َْوابُ ال‬ ْ ‫قَا َل َع ِجبْتُ لَ َها فُتِ َح‬
َ‫سلَّ َم يَقُو ُل ذَلِك‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ُ ‫ع َم َر فَ َما ت ََر ْكت ُ ُه َّن ُم ْنذ‬
ُ ُ‫قَا َل ا ْبن‬
Shahih Muslim 943: Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah
menceritakan kepada kami Isma`il bin 'Ulayyah telah mengabarkan kepadaku Al Hajjaj
bin Abu Usman dari Abu Zubair dari 'Aun bin Abdullah bin 'Utbah dari Ibnu Umar dia
berkata: "Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba
seseorang mengucapkan ALLAHU AKBAR KABIRAW WAL HAMDU LILLAHI KATSIIRAW
WASUBHAANALLAAHI BUKRATAN WA ASHIILAN (Maha Besar Allah, dan segala puji bagi
Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang)." Lantas
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Siapakah yang mengucapkan kalimat
tadi?" Seorang sahabat menjawab: "Saya wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Sungguh
aku sangat kagum dengan ucapan tadi, sebab pintu-pintu langit dibuka karena kalimat
itu." Kata Ibnu Umar: "Maka aku tak pernah lagi meninggalkannya semenjak aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hal itu."
Keutamaan membaca doa ini :
Dalam hadits tersebut dikisahkan bahwa ketika salah seorang Sahabat membaca bacaan
tersebut dengan keras dalam sholat, dan ketika selesai sholat Rasulullah bersabda : “
Aku takjub dengan kalimat yang dibacanya, karena dengan kalimat itu dibukalah pintu-
pintu langit “. Sahabat Ibnu Umar-sang perawi hadits ini- mengatakan : “ Aku kemudian
tidak pernah meninggalkan membaca doa iftitah tersebut sejak aku mendengar
Rasulullah mengucapkan (ketakjuban) hal itu “

Rincian Makna :

‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر‬


Allah yang terbesar diatas segalanya َّ
Aku bertakbir mengagungkanNya ،‫يرا‬ ً ِ‫َكب‬
dan segala puji bagi Allah dengan pujian yang melimpah ‫يرا‬ ً ِ‫َو ْال َح ْمد ُ ِ َّلِلِ َكث‬
dan maha suci Allah َّ َ‫س ْب َحان‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫َو‬
diwaktu pagi dan sore ‫يَل‬ ً ‫ص‬ َ
ِ ‫بُ ْك َرةً َوأ‬

‫سلَ َمةَ قَا َل‬ َ ‫يز ْبنُ أَبِي‬ ِ ‫الرحْ َم ِن ْبنُ َم ْهدِي ٍ قَا َل َحدَّثَنَا َع ْبدُ ْالعَ ِز‬َّ ُ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا َع ْم ُرو ْبنُ َع ِلي ٍ قَا َل َحدَّثَنَا َع ْبد‬:٨٨٧ ‫سنن النسائي‬
ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ِلي ٍ َر‬ َ
َ ‫َّللاِ ب ِْن أبِي َرافِعٍ َع ْن‬ ُ ‫الرحْ َم ِن ْاَلَع َْرجِ َع ْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬ َّ ‫سلَ َمةَ َع ْن َع ْب ِد‬ َ ‫اجشُونُ ْبنُ أَبِي‬ ِ ‫َحدَّثَنِي َع ِمي ْال َم‬
‫ض‬ َ ‫ت َو ْاَل َ ْر‬ ِ ‫س َم َوا‬
َّ ‫ط َر ال‬َ َ‫ي ِللَّذِي ف‬ َّ ‫سلَّ َم َكانَ ِإذَا ا ْستَ ْفت َ َح ال‬
َ ‫ص ََلةَ َكب ََّر ث ُ َّم قَا َل َو َّج ْهتُ َوجْ ِه‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أَ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬
َ ُ
‫ب العَالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ لَهُ َوبِذَلِكَ أ ِم ْرتُ َوأنَا ِم ْن‬ ْ ِ ‫اي َو َم َماتِي ِ َّلِلِ َر‬ َ َ‫س ِكي َو َمحْ ي‬ ُ ُ‫ص ََلتِي َون‬ ْ َ
َ ‫َحنِيفًا َو َما أنَا ِم ْن ال ُم ْش ِركِينَ إِ َّن‬
‫ْال ُم ْس ِل ِمينَ ال َّل ُهمَّ َأ ْنتَ ا ْل َم ِلكُ ََل إ ِ َلهَ إ ِ ََّل َأ ْنتَ َأنَا عَ ْبدُكَ َظ َل ْمتُ نَ ْفسِي َوا ْعتَ َر ْفتُ ب ِ َذ ْنبِي َفا ْغ ِف ْر ِلي ُذ ُنوبِي َج ِميعًا ََل يَ ْغ ِف ُر‬
‫ف عَنِي سَيِئَهَا إ ِ ََّل‬ ْ َ‫ف عَنِي سَيِئَهَا ََل ي‬
ُ ‫ص ِر‬ ْ ‫ص ِر‬ ْ ‫َل ْحسَنِهَا إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا‬ َ ِ ‫ق ََل يَ ْهدِي‬ َ ْ ‫َل ْحسَ ِن‬
ِ ‫اَل ْخ ََل‬ َ ِ ‫وب إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا ْه ِدنِي‬
َ ‫ال ُّذ ُن‬
َ‫ْس إ ِ َليْكَ َأنَا بِكَ َوإ ِ َليْكَ تَبَا َر ْكتَ َوتَعَا َليْتَ َأ ْستَ ْغ ِف ُركَ َو َأ ُتوبُ إ ِ َليْك‬َ ‫سعْدَيْكَ َوا ْل َخي ُْر ُك ُّلهُ فِي يَدَيْكَ َوال َّش ُّر َلي‬
َ ‫َأ ْنتَ َلبَّيْكَ َو‬
Sunan Nasa'i 887: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Ali dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dia berkata: telah menceritakan
kepada kami Abdul 'Aziz bin Abu Salamah dia berkata: pamanku Al Majisyun bin Abu
Salamah telah menceritakan kepadaku, dari Abdurrahman Al A'raj dari 'Ubaidullah bin
Abu Rafi' dari 'Ali bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila memulai shalat
beliau bertakbir kemudian mengucapkan -doa yang artinya-: "Aku hadapkan wajahku
kepada Dzat yang telah menciptakan lagit dan bumi dengan lurus, dan aku bukan
termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanya bagi Allah Rabb semesta alam. yang tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku
diperintahkan dan aku termasuk kaum muslimin. Ya Allah, Engkau adalah penguasa yang
tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Engkau, dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah
menzhalimi diriku sendiri dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah semua dosaku,
karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Tunjukkanlah aku kepada
akhlak yang terbaik, karena tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang baik
kecuali Engkau. Dan palingkanlah aku dari kejelekannya (Akhlaq), karena tidak ada yang
bisa memalingkannya aku dari kejelekannya kecuali Engkau. Aku siap untuk
menjalankan perintah-Mu dan taat kepada-Mu. Semua kebaikan ada di tangan-Mu dan
kejelekan tidak kembali kepada-Mu. Aku bergantung dan berlindung kepada-Mu.
Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi, maka aku meminta ampun dan bertaubat kepada-
Mu.'"

َّ ‫اجشُونُ َحدَّثَنِي أَبِي َع ْن َع ْب ِد‬


‫الرحْ َم ِن‬ ِ ‫ف ْال َم‬
ُ ‫س‬ ُ ‫ي َحدَّثَنَا يُو‬ ُّ ‫ َحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ ْبنُ أَبِي بَ ْك ٍر ْال ُمقَد َِّم‬:١٢٩٠ ‫صحيح مسلم‬
‫ب‬
ٍ ‫طا ِل‬َ ‫َّللاِ ب ِْن أ َ ِبي َرافِعٍ َع ْن َع ِلي ِ ب ِْن أ َ ِبي‬ ُ ‫ْاَلَع َْرجِ َع ْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬
‫ض‬َ ‫ت َو ْاَل َ ْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َ َ‫ي ِللَّذِي ف‬
َّ ‫ط َر ال‬ َ ‫ص ََلةِ قَا َل َو َّج ْهتُ َوجْ ِه‬ َّ ‫ام إِلَى ال‬ َ َ‫سلَّ َم أَنَّهُ َكانَ إِذَا ق‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َع ْن َر‬
َ ُ
‫ب العَالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ لَهُ َوبِذَلِكَ أ ِم ْرتُ َوأنَا ِم ْن‬ ْ ِ ‫اي َو َم َماتِي ِ َّلِلِ َر‬َ َ‫س ِكي َو َمحْ ي‬ ُ ُ‫ص ََلتِي َون‬ ْ َ
َ ‫َحنِيفًا َو َما أنَا ِم ْن ال ُم ْش ِركِينَ إِ َّن‬
‫ْال ُم ْس ِل ِمينَ ال َّل ُهمَّ َأ ْنتَ ا ْل َم ِلكُ ََل إ ِ َلهَ إ ِ ََّل َأ ْنتَ َأ ْنتَ َربِي َو َأنَا عَ ْبدُكَ َظ َل ْمتُ نَ ْفسِي َوا ْعتَ َر ْفتُ ب ِ َذ ْنبِي َفا ْغ ِف ْر ِلي ُذ ُنوبِي َج ِميعًا‬
‫ف‬
ُ ‫ص ِر‬ ْ َ‫ف عَنِي سَي ِئَهَا ََل ي‬ ْ ‫ص ِر‬ ْ ‫سنِهَا إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا‬ َ ِ ‫ق ََل يَ ْهدِي‬
َ ‫َل ْح‬ َ ْ ‫َل ْحسَ ِن‬
ِ ‫اَل ْخ ََل‬ َ ِ ‫وب إ ِ ََّل َأ ْنتَ َوا ْه ِدنِي‬
َ ‫إ ِ َّنهُ ََل يَ ْغ ِف ُر ال ُّذ ُن‬
َ ‫عَنِي سَيِئَهَا إ ِ ََّل َأ ْنتَ َلبَّيْكَ َوسَعْدَيْكَ َوا ْل َخي ُْر ُك ُّلهُ فِي يَدَيْكَ َوال َّش ُّر َلي‬
َ‫ْس إ ِ َليْكَ َأنَا بِكَ َوإ ِ َليْكَ تَبَا َر ْكتَ َوتَعَا َليْتَ َأ ْستَ ْغ ِف ُرك‬
ْ
‫ص ِري َو ُم ِخي َو َعظ ِمي‬ َ َ‫س ْم ِعي َوب‬ َ
َ َ‫ش َع لك‬ َ ‫َو َأتُوبُ إ ِ َليْكَ َوإِذَا َر َك َع قَا َل اللَّ ُه َّم لَكَ َر َك ْعتُ َوبِكَ آ َم ْنتُ َولَكَ أ َ ْسلَ ْمتُ َخ‬
ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫ض َو ِم ْل َء َما َب ْي َن ُه َما َو ِم ْل َء َما ِشئْتَ ِم ْن‬ ِ ‫ت َو ِم ْل َء ْاَل َ ْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ص ِبي َو ِإذَا َرفَ َع قَا َل اللَّ ُه َّم َربَّنَا لَكَ ْال َح ْمد ُ ِم ْل َء ال‬ َ ‫َو َع‬
ُ‫ص َره‬ َ َ‫س ْمعَهُ َوب‬ َّ
َ ‫ص َّو َرهُ َوشَق‬ َ َ
َ ‫س َجدَ َوجْ ِهي ِللذِي َخلقهُ َو‬ َّ َ َ َ
َ ُ‫س َجدْتُ َوبِكَ آ َمنتُ َولكَ أ ْسل ْمت‬ ْ َ َّ
َ َ‫س َجدَ قا َل الل ُه َّم لك‬ َ َ
َ ‫بَ ْعد ُ َوإِذا‬
‫ش ُّه ِد َوالت َّ ْس ِل ِيم اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلي َما قَدَّ ْمتُ َو َما أَ َّخ ْرتُ َو َما‬ َ َّ ‫آخ ِر َما يَقُو ُل بَيْنَ الت‬ ِ ‫سنُ ْالخَا ِلقِينَ ث ُ َّم يَ ُكونُ ِم ْن‬ َ ْ‫َّللاُ أَح‬ َّ َ‫ارك‬ َ َ‫تَب‬
ْ َ َّ َ َ ْ ْ َ َ ْ
َ‫أَس َْر ْر َو َما أ ْعلن َو َما أس َْرف َو َما أنتَ أ ْعل ُم بِ ِه ِمنِي أنتَ ال ُمق ِد ُم َوأنتَ ال ُم َؤ ِخ ُر َل إِلهَ إَِل أنت‬
ْ َ َ َ ْ َ ُ‫ت‬ ْ َ ُ‫ت‬ ْ َ َ ُ‫ت‬
‫ِيم أَ ْخبَ َرنَا أَبُو النَّض ِْر قَ َاَل َحدَّثَنَا‬ َ ‫الرحْ َم ِن ْبنُ َم ْهدِي ٍ ح و َحدَّثَنَا ِإ ْس َح ُق ْبنُ ِإب َْراه‬ َّ ُ ‫ب َحدَّثَنَا َع ْبد‬ ٍ ‫و َحدَّثَنَاه ُز َهي ُْر ْبنُ َح ْر‬
‫سو ُل‬ ‫ر‬ َ
‫ك‬ ‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫و‬
ُ َ َ‫َ ِ ِ َ ِ ْ ِ َ َ ان‬ ‫د‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫س‬ ‫اْل‬ ْ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫ج‬ ‫ْر‬ ‫ع‬َ ْ
‫اَل‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ َ ‫ة‬ ‫م‬
َ َ َ ِ ِ ِ َ ‫ل‬‫س‬ ‫ي‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ون‬ ُ
‫ش‬ ‫اج‬ ْ
ِ َ ِ ِ َ َ َ َ ِ ِ ‫َّللاِ ب‬
‫م‬ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ع‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ َ ‫ة‬ ‫م‬َ ‫ل‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ْن‬ َّ ‫يز ْبنُ َع ْب ِد‬ ِ ‫َع ْبد ُ ْال َع ِز‬
ُ ‫سه‬ ْ ْ َ َ
َ ‫ص ََلة َ َكب ََّر ث َّم قَا َل َو َّج ْهتُ َوجْ ِهي َوقَا َل َوأنَا أ َّو ُل ال ُم ْس ِل ِمينَ َوقَا َل َوإِذَا َرفَ َع َرأ‬ ُ َّ ‫سل َم إِذَا ا ْست َ ْفت َ َح ال‬ َّ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ
َ ِ‫َّللا‬
‫سلَّ َم قَا َل اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلي‬ َ َِ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫و‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ه‬
َ ُ َ َُ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ص‬ َ‫ن‬ ‫س‬
َ ْ‫ح‬ َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ‫ه‬‫ر‬ ‫و‬ ‫ص‬
ُ َ َّ َ َ ‫و‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫و‬ َ َْ ُ ‫د‬ ‫م‬‫ح‬ ْ
‫ال‬ َ‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ب‬
َّ ‫ر‬
َ َ َُ ِ َ َِ ُ َ َِ ‫ه‬ ‫د‬ ‫م‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ‫ل‬ َّ
‫َّللا‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫س‬ ‫ل‬َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫وع‬ ُ
‫ك‬ ‫الر‬
ُّ ْ
‫ن‬ ‫ِم‬
ِ
َّ
‫ش ُّه ِد َوالت ْس ِل ِيم‬ َّ
َ ‫ث َول ْم يَق ْل بَيْنَ الت‬ ُ َ ِ ‫آخ ِر ال َحدِي‬ ْ َ
ِ ‫َما قَدَّ ْمتُ إِلى‬
Shahih Muslim 1290: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bukair
Al Muqaddami telah menceritakan kepada kami Yusuf Al Majisyun telah
menceritakan kepadaku bapakku dari Abdurrahman Al A'raj dari Ubaidullah bin
Abu Rafi' dari Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
Biasanya apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, beliau
membaca (do'a iftitah) sebagai berikut: (Aku hadapkan wajahku kepada Allah,
Maha pencipta langit dan bumi dengan keadaan ikhlas dan tidak
mempersekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, segala ibadahku, hidupku dan
matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu
bagiNya, dan karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan berserah diri
kepadaNya. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak
disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku
telah menzhalimi diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah
dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang berwenang untuk
mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Dan tunjukilah kepadaku akhlak
yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya
melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena
sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya
Engkau. Labbaik wa sa'daik (Aku patuhi segala perintahMu, dan aku tolong
agamaMu). Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan kejahatan tidak
datang daripadaMu. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Maha
Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampun dariMu dan aku bertobat
kepadaMu)." Dan jika beliau ruku' beliau membaca: "ALLAHUMMA LAKA
RAKA'TU WA BIKA AAMANTU WA LAKA ASLAMTU KHASYA'A LAKA SAM'II
WA BASHARII WA MUKHKHII WA 'AZHMII WA 'ASHABII (Ya Allah, kepadaMu
aku ruku', denganMu aku beriman, kepadaMu aku berserah diri, patuh dan
tunduk kepadau pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulang-tulangku dan
otot-ototku semuanya)." Kemudian bila beliau bangkit dari ruku' beliau
membaca: "ALLAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU MIL`AS SAMAAWAATI
WA MIL`AL ARDLI WA MIL`A MAA BAINAHUMAA WA MIL`A MAAS YI`TA MIN
SYAI`IN BA'DU (Ya Allah, Tuhan kami, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit
dan bumi, dan sepenuh ruang antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau
kehendaki setelah itu)." Kemudian apabila beliau sujud beliau membaca:
"ALLAHUMMA LAKA SAJADTU WA BIKA AAMANTU WA LAKA ASLAMTU
SAJADA WAJHIY LILLADZII KHALAQAHU WA SHAWWARAHU WA SYAQQA
SYAM'AHU WA BASHARAHU TABAARAKALLAHU AHSANUL KHALIQIIN (Ya
Allah, kepada Engkau aku sujud, dengan Engkau aku beriman, dan kepada
Engkau aku berserah diri. Mukaku sujud kepada Tuhan yang menciptakan dan
membentuknya, yang membukakan pendengaran dan penglihatannya. Maha
suci Allah sebaik-baik Maha pencipta)." Kemudian pada akhir tasyahud sebelum
memberi salam beliau membaca: "ALLAHUMMAGH FIRLII MAA QADDAMTU
WA MAA AKHKHARTU WAMAA ASRARTU WA MAA A'LANTU WA ASRAFTU
WA MAA ANTA A'LAMU BIHI MINNII ANTAL MUQADDiMU WA ANTAL
MU`AKHKHIRU LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku
yang lama dan yang baru yang tersembunyi dan nyata, yang aku lakukan
keterlaluan dan engkau lebih tahu daripadaku. Engkaulah yang memajukan dan
memundurkan. Tidak ada ilah selain Engkau)." Dan telah menceritakannya
kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin
Mahdi -dalam jalur periwayatan yang lain- Dan telah menceritakan kepada kami
Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abu An Nadlr keduanya
berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah bin Abu
Salamah dari pamannya Al Majisyuna bin Abu Salamah dari Al A'raj dengan
isnad ini, dan ia berkata: Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memulai shalat, beliau bertakbir dan membaca (do'a iftitah): "WAJJAHTU
WAJHIYA." Beliau juga membaca: "WA ANA AWWALUL MUSLIMIN." Dan
ketika beliau bangkit dari ruku', beliau membaca: "ALLAHUMMA RABBANAA
LAKAL HAMDU." Beliau juga melanjutkan: "WA SHAWWARAHU FAAHSANA
SHUWARAHU." Dan setelah setelah salam beliau membaca:
"ALLAHUMMAGHFIR LII MAA QADAMTU." hingga akhir hadits. Dan ia tidak
mengatakan: "Antara tasyahud dan salam".

Empat

‫ش َعيْبُ ْبنُ أَ ِبي َح ْمزَ ةَ َع ْن‬ ُ ‫ي قَا َل َحدَّثَنَا ا ْبنُ ِح ْم َي ٍر قَا َل َحدَّثَنَا‬ ُّ ‫ص‬ ِ ‫عثْ َمانَ ْال ِح ْم‬ ُ ُ‫ أ َ ْخ َب َرنَا َيحْ َيى ْبن‬:٨٨٨ ‫سنن النسائي‬
َ‫الرحْ َم ِن ب ِْن ه ُْر ُمزَ ْاَلَع َْرجِ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َم ْسلَ َمة‬ َّ ‫ُم َح َّم ِد ب ِْن ْال ُم ْن َكد ِِر َوذَك ََر آخ ََر قَ ْبلَهُ َع ْن َع ْب ِد‬
‫ت‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ َ‫ي ِللَّذِي ف‬
َّ ‫ط َر ال‬ َ ‫َّللاُ أ َ ْك َب ُر َو َّج ْهتُ َوجْ ِه‬ َّ ‫ط ُّوعًا قَا َل‬ َ َ ‫ص ِلي ت‬ َ ُ‫ام ي‬َ َ‫سلَّ َم َكانَ ِإذَا ق‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َُ‫ب ْالعَالَ ِمينَ ََل ش َِريكَ له‬ ِ ‫اي َو َم َماتِي ِ َّلِلِ َر‬ ُ ُ‫ص ََلتِي َون‬
َ َ‫س ِكي َو َمحْ ي‬ ْ َ
َ ‫ض َحنِيفا ُم ْس ِل ًما َو َما أنَا ِم ْن ال ُم ْش ِركِينَ إِ َّن‬ ً َ ‫َو ْاَل َ ْر‬
ُ ‫س ْب َحانَكَ َو ِب َح ْم ِدكَ ث ُ َّم َي ْق َرأ‬
ُ َ‫َو ِبذَلِكَ أ ُ ِم ْرتُ َوأَنَا أ َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِمينَ اللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ْال َم ِلكُ ََل ِإلَهَ ِإ ََّل أ َ ْنت‬
Sunan Nasa'i 888: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin 'Usman Al
Himshi dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Hamir dia berkata:
telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Abu Hamzah dari Muhammad bin
Al Munkadir dan menyebutkan sebelumnya dari Abdurrahman bin Hurmuz Al
A'raj dari Muhammad bin Maslamah bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bangkit untuk mengerjakan shalat sunnah maka beliau mengucapkan:
"Allahu Akbar Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathoros Samawaati Wal Ardlo Haniifan
Musliman Wamaa Anaa Minal Musyrikiin, Inna Sholatiy Wanusukiy
Wamahyaaya Wamamaatiy Lillahirabbil 'Aalamiin La Syariikalahu Wa Bidzalika
Umirtu Wa Anaa Awwalul Muslimiin, Allahumma Antal Maliku Laa Ilaha Illa Anta
Subhaanaka Wabihamdika (Allah Maha Besar aku hadapkan wajahku
(tujuanku) kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan lurus
dan pasrah. Aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku (Kurbanku). hidupkun dan matiku hanya bagi Allah, Rabb semesta
alam, yang tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan, dan aku
termasuk kaum muslim. Ya Allah, Engkau adalah penguasa yang tiada Dzat
yang berhak disembah selain Engkau. Engkau Maha Suci dan dengan memuji-
Mu)." Kemudian beliau membaca surat (al-Fatihah.)

Lima

َ َ‫ارة َ ب ِْن ْالقَ ْعقَاعِ َع ْن أَبِي ُز ْر َعة‬


‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرةَ قَا َل‬ ٌ ‫ب َحدَّثَنَا َج ِر‬
ُ ‫ير َع ْن‬
َ ‫ع َم‬ ٍ ‫ َحدَّثَنِي ُز َهي ُْر ْبنُ َح ْر‬:٩٤٠ ‫صحيح مسلم‬
‫َّللاِ ِبأ َ ِبي أ َ ْنتَ َوأ ُ ِمي‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س َكتَ ُهنَيَّةً قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْق َرأ َ فَقُ ْلتُ يَا َر‬
َ ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫سلَّ َم ِإذَا َكب ََّر فِي ال‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ْ ْ
ِ ‫اي َك َما بَا َعدْتَ َبيْنَ ال َمش ِر‬
‫ق‬ َ َّ ُ َ َ ُ
َ َ‫ير َوال ِق َرا َءةِ َما تَقو ُل قا َل أقو ُل الل ُه َّم بَا ِعدْ بَ ْينِي َوبَيْنَ َخطاي‬ ْ ْ َّ
ِ ‫سكوتَكَ بَيْنَ التك ِب‬ ُ ُ َ‫أ َ َرأَيْت‬
ْ
‫اء َوالبَ َر ِد‬ ْ ْ
ِ ‫اي ِبالثَّلجِ َوال َم‬ َ َ‫طاي‬ ْ
َ ‫ض ِم ْن الدَّن َِس اللَّ ُه َّم ا ْغسِلنِي ِم ْن َخ‬ ُ َ‫اي َك َما يُنَقَّى الث َّ ْوبُ ْاَل َ ْبي‬َ َ‫طاي‬ َ ‫ب اللَّ ُه َّم ن َِقنِي ِم ْن َخ‬ِ ‫َو ْال َم ْغ ِر‬
‫اح ِد يَ ْع ِني ابْنَ ِزيَا ٍد‬ِ ‫َام ٍل َحدَّثَنَا َع ْبدُ ْال َو‬
ِ ‫ض ْي ٍل ح و َحدَّثَنَا أَبُو ك‬ َ ُ‫ش ْيبَةَ َوا ْبنُ نُ َمي ٍْر قَ َاَل َحدَّثَنَا ا ْبنُ ف‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو َب ْك ِر ْبنُ أَبِي‬
‫ير‬
ٍ ‫ث َج ِر‬ِ ‫اْل ْسنَا ِد نَحْ َو َحدِي‬ ْ
ِ ْ ‫ارة َ ب ِْن القَ ْعقَاعِ ِب َهذَا‬
َ ‫ع َم‬ ُ ‫ِك ََل ُه َما َع ْن‬
Shahih Muslim 940: Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah
menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Qa'Qa dari Abu Zur'ah dari
Abu Hurairah dia berkata: Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bertakbir ketika shalat, maka beliau diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah,
lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau
baca saat engkau diam antara takbir dan membaca Al Fatihah?" beliau
menjawab" :ALLAAHUMMA BAA'ID BAINII WABAINA KHATHAYAAYA KAMAA
BAA'ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIB, ALLAAHUMMA NAQQINII
MIN KHOTHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD
DANASI, ALLAAHUMMAGH SIL NII MIN KHATHAAYAAYA BITSTSALJI
WALMAA'I WALBARAD( Ya Allah ,jauhkanlah antara aku dan kesalahanku
sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat, Ya Allah, bersihkanlah
aku dari kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran, Ya
Allah, cucilah aku dari kesalahanku dengan es, air dan embun)." Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair
keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail (Dan
diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada kami Abu Kamil telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid yaitu Ibn Ziyad, keduanya dari 'Umarah
bin Qa'qa' dengan isnad ini seperti hadis Jarir.
ْ َّ
Jauhkan ya Allah ‫الل ُه َّم َب ِاعد‬

dosaku antara diriku dan dosa ‫اي‬ َ ‫ي َخ َط َاي‬ َ‫َب ْي نن َو َب ْ ن‬


‫ِي‬
َ َْ َ َ َ
sebagaimana engkau jauhkan ‫اعدت‬ ‫كما ب‬
ْ ْ ْ ْ َ ْ َ‫َ ْ ن‬
antara timur dan barat ‫ش ِق َوال َمغ ِر ِب‬ِ ‫بي الم‬
ِّ َ َّ
Y Allah bersihkanlah aku ‫الل ُه َّم نق ِ ن ين‬

dosaku dari dosa ‫اي‬ َ ‫م ْن َخ َط َاي‬


ِ
َّّ َ ُ َ َ
sebagaimana terbersihkannya ‫كما ينق‬
َ ْ ُ ْ َّ
ُ ‫اْل ْب َي‬
pakaian putih ‫ض‬ ‫الثوب‬
َ َّ ْ
dari noda ‫س‬ ِ ‫ِمن الدن‬
ْ ْ َّ
ya Allah cucilah diriku ‫الل ُه َّم اغ ِسل ِ ن ين‬

dosaku dari dosa ‫اي‬ َ ‫م ْن َخ َط َاي‬


ِ
َْ َ َ َ ْ َ ْ َّ
dan embun,salju ,dengan air ‫ِبالثل ِج والم ِاء وال َب ِد‬
Enam
ُ‫ت َوقَتَادَةَ َو ُح َم ْي ٍد َع ْن أَن ٍَس أَنَّه‬ ٍ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا ُم َح َّمدُ ْبنُ ْال ُمثَنَّى قَا َل َحدَّثَنَا َح َّجا ٌج قَا َل َحدَّثَنَا َح َّماد ٌ َع ْن ثَا ِب‬:٨٩١ ‫سنن النسائي‬
‫قَا َل‬
ْ َ
ِ‫َّللاُ أ ْكبَ ُر ال َح ْمدُ ِ َّلِل‬
َّ ‫س فَقَا َل‬ ْ
ُ َ‫ص ِلي بِنَا ِإذ َجا َء َر ُج ٌل فَدَ َخ َل ال َمس ِْجدَ َوقَدْ َحفَزَ هُ النَّف‬ْ َّ
َ ُ‫سل َم ي‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلى‬ َّ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫ت فَأ َ َر َّم ْالقَ ْو ُم‬ٍ ‫ص ََلتَهُ قَا َل أ َ ُّي ُك ْم الَّذِي تَ َكلَّ َم ِب َك ِل َما‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ َ َ َ ِ َ ُ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ َّ
‫َّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ َّ
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬‫س‬ ‫ر‬
ُ َ َ ‫ى‬ ‫ض‬ َ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ا‬ ً
َّ ِ ِ َ َ ُ ِ ً ‫َح ْمدًا َك ِث‬
‫ك‬ ‫ار‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ًا‬ ‫ب‬‫ي‬ َ
‫ط‬ ‫ا‬ ‫ير‬
ْ َ
‫سل َم لَقَدْ َرأيْتُ اثنَ ْي‬ َّ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلى‬ َّ َ ‫ي‬ ْ
ُّ ِ‫س فَقُلت ُ َها قَا َل النَّب‬ُ َ‫َّللاِ ِجئْتُ َوقَدْ َحفَزَ نِي النَّف‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سا قَا َل أَنَا يَا َر‬ ً ْ ‫قَا َل إِنَّهُ لَ ْم يَقُ ْل بَأ‬
‫َعش ََر َملَ ًكا َي ْبتَد ُِرونَ َها أَيُّ ُه ْم َي ْرفَعُ َها‬
Sunan Nasa'i 891: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al
Mutsanna dia berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Qatadah dan Humaid dari
Anas dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama kami,
tiba-tiba ada seorang lelaki yang masuk ke dalam masjid, dan nafasnya masih
tersengal-sengal, kemudian ia mengucapkan: 'Allahu akbar, alhamdulillahi
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Allah Maha Besar ,segala puji bagi
Allah dengan pujian yang banyak serta pujian yang diberkahi)', Setelah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau berkata: 'Siapa di
anlara kalian yang mengucapkan kalimat tersebut?' Orang-orang terdiam,
lantas Beliau berkata lagi: 'Orang yang mengucapkan kalimat tadi tidak
mengucapkan hal yang salah.' Lelaki tersebut lalu berkata: 'Aku wahai
Rasulullah, Aku datang dalam keadaan nafasku yang tersengal-sengal, lalu aku
mengucapkannya.' Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Aku
melihat dua belas malaikat berebut untuk mengangkat kalimat tersebut"'.

Tuju

:‫ قَا َل‬،َ‫ أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو َخ ْيث َ َمة‬:‫ قَا َل‬،‫ أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو يَ ْعلَى‬:١٧٨٠ ‫صحيح ابن حبان‬
‫ َع ْن‬،َ ‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن ُم َّرة‬،ُ‫ش ْع َبة‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا‬:‫ قَا َل‬،ٍ‫الر ْح َم ِن ب ُْن َم ْهدِي‬ َّ ُ‫أ َ ْخ َب َرنَا َع ْبد‬
‫صلَّى‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ َكانَ َر‬:‫ قَا َل‬،‫ع ْن أ َ ِبي ِه‬ َ ،‫ط ِع ٍم‬ ْ ‫ع ِن اب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬َ ،ِ‫اص ٍم ْال َعن َِزي‬ ِ ‫َع‬
-‫ ثََلَثًا‬-‫يرا‬ ً ِ‫ َو ْال َح ْمدُ ِ َّلِلِ َكث‬،‫يرا‬ ً ِ‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر َكب‬
َّ :‫صَلَة َ قَا َل‬ َّ ‫سلَّ َم إِذَا دَ َخ َل ال‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ
،‫ ِم ْن نَ ْف ِخ ِه‬،‫الر ِج ِيم‬ َّ ‫ان‬ ِ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫الِلِ ِمنَ ال‬َّ ‫عوذُ ِب‬ ُ َ ‫ أ‬-‫ ثََلَثًا‬-ً‫صيَل‬ ِ َ ‫س ْب َحانَ هللاِ َب ْك َرة ً َوأ‬ ُ
ِ :ُ‫ َونَ ْفثُه‬،ُ‫ ْال ُموتَة‬:ُ‫ َوه َْم ُزه‬،‫ ْال ِكب ُْر‬:ُ‫ نَ ْف ُخه‬:‫قَا َل َع ْم ٌرو‬.‫ َونَ ْفثِ ِه‬،‫َوه َْم ِز ِه‬
.‫الش ْع ُر‬
Shahih Ibnu Hibban 1780: Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu
Khaitsamah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdurrahman bin Mahdi
mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syu’bah menceritakan kepada kami dari Amr
bin Murrah, dari Ashim Al Anazi93, dari Ibnu Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menunaikan shalat, membaca
”Allahu akbar kabiiran walhamdu lillaahi katsiiran -tsalatsan- subhaanallaahi bukratan
ashiila -tsalatsan- a’uudzubillaahi minasy syaithaanir rajiim: min nafkhihi wa hamzihi wa
naftsih." (Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak —tiga kali.
Maha Suci Allah pada waktu pagi dan sore —tiga kali—. Aku berlindung kepada Allah
dari syetan yang terkutuk, dari tiupannya, godaannya, dan bisikannya).”

‫ أ َ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َم ِعي ُل ب ُْن َم ْسعُو ٍد قَا َل َحدَّثَنَا خَا ِلدٌ قَا َل‬:١٠٥٤ ‫سنن النسائي‬
ُ‫َّللاِ أَنَّه‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫طانَ ب ِْن‬ َّ ‫ع ْن ِح‬ َ ‫س ب ِْن ُجبَي ٍْر‬ َ ُ‫ع ْن يُون‬ َ َ ‫ع ْن قَتَادَة‬ َ ٌ‫س ِعيد‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫طبَنَا‬ َ ‫سلَّ َم َخ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ َّ ِ‫سى قَا َل إِ َّن نَب‬ َ ‫س ِم َع أَبَا ُمو‬ َ ُ‫َحدَّثَهُ أَنَّه‬
‫صفُوفَ ُك ْم ث ُ َّم‬ ُ ‫صلَّ ْيت ُ ْم فَأ َ ِقي ُموا‬ َ ‫ص ََلتَنَا فَقَا َل ِإذَا‬ َ ‫علَّ َمنَا‬ َ ‫سنَّتَنَا َو‬ ُ ‫َوبَيَّنَ لَنَا‬
‫ب‬
ِ ‫ضو‬ ُ ‫غي ِْر ْال َم ْغ‬ َ َ ‫اْل َما ُم فَ َك ِب ُروا َو ِإذَا قَ َرأ‬ ِ ْ ‫ِليَ ُؤ َّم ُك ْم أ َ َحدُ ُك ْم فَإِذَا َكب ََّر‬
‫َّللاُ َو ِإذَا َكب ََّر َو َر َك َع فَ َك ِب ُروا‬ َّ ‫علَ ْي ِه ْم َو ََل الض َِّالينَ فَقُولُوا ِآمينَ يُ ِج ْب ُك ْم‬ َ
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ ُّ ‫ام يَ ْر َك ُع قَ ْبلَ ُك ْم َويَ ْرفَ ُع قَ ْبلَ ُك ْم قَا َل نَ ِب‬ ِ ْ ‫ار َكعُوا فَإِ َّن‬
َ ‫اْل َم‬ ْ ‫َو‬
‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَقُولُوا اللَّ ُه َّم َربَّنَا‬ َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫سلَّ َم فَتِ ْل َك ِبتِ ْل َك َو ِإذَا قَا َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
‫علَ ْي ِه‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ان نَبِ ِي ِه‬ ِ ‫س‬ َ ‫علَى ِل‬ َ ‫َّللاَ قَا َل‬ َّ ‫َولَ َك ْال َح ْمدُ يَ ْس َم ْع‬
َّ ‫َّللاُ لَ ُك ْم فَإِ َّن‬
‫س َجدَ فَ َك ِب ُروا َوا ْس ُجد ُوا فَإِ َّن‬ َ ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَإِذَا َكب ََّر َو‬ َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫َو‬
‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ ُّ ِ‫ام يَ ْس ُجدُ قَ ْبلَ ُك ْم َويَ ْرفَ ُع قَ ْبلَ ُك ْم قَا َل نَب‬ َ ‫اْل َم‬ ِْ
ُ‫فَتِ ْل َك بِتِ ْل َك فَإِذَا َكانَ ِع ْندَ ْالقَ ْعدَةِ فَ ْليَ ُك ْن ِم ْن أ َ َّو ِل قَ ْو ِل أ َ َح ِد ُك ْم الت َّ ِحيَّات‬
ُ‫َّللاِ َوبَ َر َكات ُه‬ َّ ُ‫ي َو َر ْح َمة‬ ُّ ِ‫علَي َْك أَيُّ َها النَّب‬ َ ِ‫صلَ َواتُ ِ َّلِل‬
َ ‫س ََل ٌم‬ َّ ‫الطيِبَاتُ ال‬ َّ
ُ‫َّللاُ َوأ َ ْش َهد‬ َّ ‫صا ِل ِحينَ أ َ ْش َهدُ أ َ ْن ََل ِإلَهَ ِإ ََّل‬ َّ ‫علَى ِعبَا ِد‬
َّ ‫َّللاِ ال‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َ ‫س ََل ٌم‬ َ
ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ي ت َ ِحيَّةُ ال‬ َ ‫ت َو ِه‬ ٍ ‫س ْب ُع َك ِل َما‬َ ُ‫سولُه‬ ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬ َ ‫أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬
Sunan Nasa'i 1054: Telah mengabarkan kepada kami Isma'il bin Mas'ud dia
berkata: telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Sa'id dari Qatadah dari Yunus bin Jubair dari
Hiththan bin 'Abdullah bahwasanya ia mendengar Abu Musa berkata:

"Sesungguhnya Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah di


hadapan kami, beliau menjelaskan sunnah dan mengajarkan kami cara shalat,
beliau berkata: 'Jika kalian shalat maka luruskan barisan kalian. Hendaklah
salah seorang dari kalian menjadi imam. Bila imam bertakbir maka bertakbirlah
kalian dan bila imam mengucapkan, "Ghairil maghdluubi 'alahim waladl-dlaalliin
(Bukan orang-orang yang dimurkai dan bukan orang-orang yang sesat) " maka
hendaklah kalian mengucapkan, "Aamiin (semoga Allah mengabulkan) niscaya
Allah akan mengabulkan kalian". Jika imam bertakbir dan ruku' maka
bertakbirlah dan ruku'lah, sesungguhnya imam ruku' dan mengangkat kepala
dari ruku' sebelum kalian'. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Hendaklah gerakan imam itu kalian ikuti sesudahnya'. Dan jika ia mengangkat
kepala dari ruku dengan mengucapkan, "Sami'allahu Ii man hamidah (Allah
mendengar orang yang memuji-Nya)" maka ucapkanlah, "Allahumma rabbanaa
wa lakal hamdu (Wahai Rabb kami, untuk-Mu segala pujian)" niscaya Allah
mendengar kalian. Sesungguhnya Allah berfirman melalui lisan Nabi-Nya,
"Sami'allahu liman hamidah". Bila imam bertakbir dan sujud maka ikutlah
bertakbir dan sujud, sesungguhnya imam bertakbir dan sujud sebelum kalian'.
Lalu Rasulullau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: -'Hendaklah gerakan
imam itu kalian ikuti sesudahnya- dan jika ia duduk maka yang pertama kali
diucapkan oleh salah seorang dari kalian adalah -doa yang artinya-: "Ucapan
selamat yang baik dan shalawat bagi Allah, semoga keselamatan, rahmat, dan
keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan semoga juga ada
pada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang
berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
-ini adalah tujuh kalimat sebagai tahiyyat shalat".-

ٍ ‫ َحدَّثَنِي َح ْر َملَةُ ب ُْن يَ ْحيَى أ َ ْخبَ َرنِي اب ُْن َو ْه‬:١٥٠٠ ‫صحيح مسلم‬
‫ب‬
ُّ ‫سلَ َمةَ ْال ُم َرا ِد‬
‫ي‬ َ ‫الطا ِه ِر َو ُم َح َّمدُ ْب ُن‬ َّ ‫س ح و َحدَّث َ ِني أَبُو‬ ُ ُ‫أ َ ْخبَ َرنِي يُون‬
ُ ‫ع ْر َوة‬ ُ ‫ب قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي‬ ٍ ‫ع ْن اب ِْن ِش َها‬ َ ‫س‬ َ ُ‫ع ْن يُون‬ َ ‫ب‬ ٍ ‫قَ َاَل َحدَّثَنَا اب ُْن َو ْه‬
‫ت‬ ْ َ‫سلَّ َم قَال‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ ‫ج النَّ ِبي‬ ِ ‫شةَ زَ ْو‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫الزبَي ِْر‬ُّ ‫ب ُْن‬
‫سلَّ َم فَخ ََر َج‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س فِي َحيَاةِ َر‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ْ َ ‫سف‬
َ ‫َخ‬
‫اس‬ُ َّ‫ف الن‬ َّ ‫ص‬َ ‫ام َو َكب ََّر َو‬ َ َ‫سلَّ َم ِإلَى ْال َم ْس ِج ِد فَق‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
‫ط ِويلَةً ث ُ َّم َكب ََّر‬ َ ً ‫سلَّ َم قِ َرا َءة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َو َرا َءهُ فَا ْقت َ َرأ َ َر‬
‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا‬ َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫سهُ فَقَا َل‬ َ ْ‫يَل ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬ ً ‫ط ِو‬ َ ‫عا‬ ً ‫فَ َر َك َع ُر ُكو‬
‫ي أ َ ْدنَى ِم ْن ْال ِق َرا َءةِ ْاَلُولَى‬ َ ‫ط ِويلَةً ِه‬ َ ً ‫ام فَا ْقت َ َرأ َ قِ َرا َءة‬ َ َ‫َولَ َك ْال َح ْمدُ ث ُ َّم ق‬
‫س ِم َع‬ َ ‫الر ُكوعِ ْاَل َ َّو ِل ث ُ َّم قَا َل‬ ُّ ‫يَل ُه َو أ َ ْدنَى ِم ْن‬ ً ‫ط ِو‬
َ ‫عا‬ ً ‫ث ُ َّم َكب ََّر فَ َر َك َع ُر ُكو‬
َ‫س َجد‬ َ ‫الطا ِه ِر ث ُ َّم‬ َّ ‫س َجدَ َولَ ْم يَ ْذ ُك ْر أَبُو‬ َ ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا َولَ َك ْال َح ْمدُ ث ُ َّم‬ َّ
ٍ ‫الر ْكعَ ِة ْاَل ُ ْخ َرى ِمثْ َل ذَ ِل َك َحتَّى ا ْست َ ْك َم َل أ َ ْربَ َع َر َكعَا‬
‫ت‬ َّ ‫ث ُ َّم فَعَ َل ِفي‬
‫ب‬ َ ‫ط‬ َ ‫ام فَ َخ‬ َ َ‫ف ث ُ َّم ق‬َ ‫ص ِر‬ َ ‫س قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْن‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ْ َ‫ت َوا ْن َجل‬ ٍ ‫س َجدَا‬ َ ‫َوأ َ ْربَ َع‬
‫ان‬ِ َ ‫س َو ْالقَ َم َر آيَت‬ َ ‫ش ْم‬ َّ ‫َّللاِ ِب َما ُه َو أ َ ْهلُهُ ث ُ َّم قَا َل ِإ َّن ال‬ َّ ‫علَى‬ َ ‫اس فَأَثْنَى‬ َ َّ‫الن‬
‫ت أ َ َح ٍد َو ََل ِل َحيَاتِ ِه فَإِذَا َرأ َ ْيت ُ ُموهَا‬ ِ ‫ان ِل َم ْو‬ ِ َ‫َّللاِ ََل يَ ْخ ِسف‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ِم ْن آيَا‬
‫ع ْن ُك ْم َوقَا َل‬ َّ ‫صلُّوا َحتَّى يُفَ ِر َج‬
َ ُ‫َّللا‬ َ َ‫ضا ف‬ ً ‫ص ََل ِة َوقَا َل أ َ ْي‬ َّ ‫عوا ِلل‬ ُ َ‫فَا ْفز‬
ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫امي َهذَا ُك َّل‬ ِ َ‫سلَّ َم َرأَيْتُ فِي َمق‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
‫طفًا ِم ْن ْال َجنَّ ِة ِحينَ َرأ َ ْيت ُ ُمونِي‬ ْ ِ‫ُو ِع ْدت ُ ْم َحتَّى لَقَ ْد َرأ َ ْيتُنِي أ ُ ِريدُ أ َ ْن آ ُخذَ ق‬
‫َجعَ ْلتُ أُقَ ِد ُم‬
َ‫ضا ِحين‬ ً ‫ض َها بَ ْع‬ ُ ‫ي أَتَقَدَّ ُم َولَقَ ْد َرأَيْتُ َج َهنَّ َم يَ ْح ِط ُم بَ ْع‬ ُّ ‫و قَا َل ْال ُم َرا ِد‬
‫ب‬
َ ِ‫س َوائ‬ َّ ‫َّب ال‬َ ‫سي‬َ ‫َرأ َ ْيت ُ ُمونِي تَأ َ َّخ ْرتُ َو َرأَيْتُ فِي َها ابْنَ لُ َحي ٍ َو ُه َو الَّذِي‬
‫ص ََلةِ َولَ ْم يَ ْذ ُك ْر َما‬
َّ ‫عوا ِلل‬ ُ َ‫الطا ِه ِر ِع ْندَ قَ ْو ِل ِه فَا ْفز‬َّ ‫ِيث أَبِي‬ ُ ‫َوا ْنت َ َهى َحد‬
ُ‫بَ ْعدَه‬
Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku
Yunus -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Muhammad bin
Salamah Al Muradi keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus
dari Ibnu Syihab ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah isteri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun keluar menuju
masjid dan berdiri lantas bertakbir (menunaikan shalat), sehingga orang-orang pun ikut
membentuk shaf di belakangnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca dengan
bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dengan ruku' yang panjang.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH
RABBANAA WA LAKALHAMDU (Allah Maha Mendengar siapa saja yang memuji-Nya)." Kemudian
beliau berdiri dan membaca dengan bacaan yang panjang, namun lebih pendek dari bacaan
yang pertama. Setelah itu, beliau bertakbir lalu ruku' dengan ruku' yang panjang, namun lebih
pendek dari ruku' yang pertama. Setelah itu, beliau membaca: "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH
RABBANAA WA LAKALHAMDU." Kemudian beliau sujud. -Abu Thahir tidak menyebutkan lafadz:
kemudian beliau sujud.- Kemudian pada raka'at berikutnya, beliau berbuat seperti itu hingga
sempurnalah shalatnya terdiri dari empat ruku' dan empat sujud. Sesudah itu, matahari pun
kembali bersinar sebelum beliau beranjak bubar. Beliau kemudian berdiri dan menyampaikan
khutbah kepada orang banyak. Beliau memuji Allah dengan pujian yang hak atas-Nya, kemudian
beliau bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) dari ayat-ayat
Allah. Tidaklah terjadi gerhana pada keduanya karena kematian atau pun kelahiran seseorang.
Maka apabila kalian melihatnya, bersegeralah untuk menunaikan shalat." dan beliau juga
bersabda: "Maka shalatlah kalian hingga Allah menampakkannya kembali pada kalian." Dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Aku telah melihat di tempatku berdiri ini,
yaitu segala sesuatu yang dijanjikan kepada kalian. Bahkan aku melihat diriku ingin memetik
buah dari Jannah, yakni saat kalian melihatku maju." Dan Al Muradi berkata: Ataqaddam (maju
ke depan)."Dan aku juga telah melihat neraka Jahannam yang saling menghancurkan satu sama
lain, yaitu saat kalian melihatku mundur. Kemudian aku juga melihat di dalamnya ada Ibnu
Luhay, yang telah mengirimkan As Sawa`ib (binatang yang dipersembahkan untuk berhala)."
Hadits Abu Thahir berakhir pada ungkapannya: "Maka bersegeralah kalian untuk menunaikan
shalat." dan ia tidak menyebutkan sesudahnya.
‫ع ْن‬ َ ‫ير‬ ٌ ‫يم قَا َل أ َ ْنبَأَنَا َج ِر‬ َ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َح ُق ب ُْن ِإب َْرا ِه‬:١١٢١ ‫سنن النسائي‬
‫صلَةَ ب ِْن‬ ِ ‫ع ْن‬ َ ‫َف‬ ِ ‫ع ْن ْال ُم ْست َ ْو ِر ِد ب ِْن ْاَل َ ْحن‬ َ َ ‫عبَ ْيدَة‬ُ ‫س ْع ِد ب ِْن‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ْاَل َ ْع َم ِش‬
‫ع ْن ُحذَ ْيفَةَ قَا َل‬ َ ‫ُزفَ َر‬
ِ‫ورة‬ َ ‫س‬ ُ ‫ات لَ ْيلَ ٍة فَا ْست َ ْفت َ َح ِب‬ َ َ‫سلَّ َم ذ‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫صلَّيْتُ َم َع َر‬ َ
‫الر ْكعَتَي ِْن‬َّ ‫ضى قُ ْلتُ يَ ْختِ ُم َها فِي‬ َ ‫ْالبَقَ َرةِ فَقَ َرأ َ ِب ِمائ َ ِة آيَ ٍة لَ ْم يَ ْر َك ْع فَ َم‬
َ ‫اء ث ُ َّم قَ َرأ‬ِ ‫س‬ َ ِ‫ورة َ الن‬ َ ‫س‬ ُ َ ‫ضى َحتَّى قَ َرأ‬ َ ‫ضى قُ ْلتُ يَ ْختِ ُم َها ث ُ َّم يَ ْر َك ُع فَ َم‬ َ ‫فَ َم‬
َ‫س ْب َحان‬ ُ ‫ام ِه يَقُو ُل فِي ُر ُكو ِع ِه‬ ِ َ‫ورة َ آ ِل ِع ْم َرانَ ث ُ َّم َر َك َع ن َْح ًوا ِم ْن قِي‬ َ ‫س‬ ُ
ُ‫سه‬ َ ْ‫ي ْالعَ ِظ ِيم ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫ي ْالعَ ِظ ِيم‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫ي ْالعَ ِظ ِيم‬ َ ِ‫َرب‬
‫طا َل‬ َ َ ‫س َجدَ فَأ‬ َ ‫ام ث ُ َّم‬ َ َ‫طا َل ْال ِقي‬َ َ ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ َربَّنَا لَ َك ْال َح ْمد ُ َوأ‬ َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫فَقَا َل‬
‫ي ْاَل َ ْعلَى‬ َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬ ُ ‫ي ْاَل َ ْعلَى‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫س ُجو ِد ِه‬ ُ ‫س ُجودَ يَقُو ُل ِفي‬ ُّ ‫ال‬
‫ع َّز َو َج َّل ِإ ََّل‬ َ ِ‫ي ْاَل َ ْعلَى ََل يَ ُم ُّر ِبآيَ ِة ت َ ْخ ِويفٍ أ َ ْو ت َ ْع ِظ ٍيم ِ َّلِل‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ
ُ‫ذَ َك َره‬
Sunan Nasa'i 1121: Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata: telah
memberitakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Sa'ad bin 'Ubaidah dari Al Mustaurid bin Al
Ahnaf dari Shilah bin Zufar dari Hudzaifah dia berkata:

"Pada suatu malam aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau mulai dengan membaca surat Al Baqarah. Beliau telah membaca seratus ayat dan belum
ruku lalu tetap membacanya." Hudzaifah berkata: "Beliau menyelesaikannya pada dua rakaat,
lantas berlalu." Hudzaifah berkata lagi: "Beliau menyelesaikannya kemudian ruku' dan terus
berlalu hinggga beliau membaca surat An Nisaa', kemudian membaca surat Ali 'Imraan, lalu
ruku' yang lamanya seperti berdiri. Saat ruku' beliau mengucapkan, 'Subhana rabbiyal 'adzimi,
subhana rabbiyal 'adzimi, subhana rabbiyal 'adzimi (Maha suci Tuhan-ku yang Maha Agung)'.
Lalu beliau mengangkat kepala sambil mengucapkan, 'Sami'Allahu liman hamidah rabbana lakal
hamdu (Allah Maha mendengar orang yang memuji-Nya, segala puji untuk-Mu)'. Beliau
memperpanjang berdirinya kemudian sujud, dan beliau memperlama sujudnya sambil
mengucapkan, 'Subhana rabbiyal a'laa, subhana rabbiyal a'laa, subhana rabbiyal a'laa (Maha
Suci Tuhanku yang Maha Tinggi)'. Beliau tidak melalui ayat ancaman atau pengagungan Allah
Azza wa Jalla kecuali Beliau berdzikir kepada-Nya."

١٠٥٤ ‫ سنن النسائي‬:١٥٠٠ ‫صحيح مسلم‬


Rukuk gerhana
َ‫علَيَّة‬ ُ ‫يم قَا َل َحدَّثَنَا اب ُْن‬ َ ‫وب ب ُْن ِإ ْب َرا ِه‬ ُ ُ‫ أ َ ْخبَ َرنَا يَ ْعق‬:١٤٥٣ ‫سنن النسائي‬
ُ ‫ع َمي ٍْر يُ َحد‬
‫ِث‬ ُ َ‫عبَ ْيدَ بْن‬ ُ ُ‫س ِم ْعت‬ َ ‫طاءٍ قَا َل‬ َ ‫ع‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ْج‬ ٍ ‫قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي اب ُْن ُج َري‬
‫ت‬ ْ َ‫شةَ أَنَّ َها قَال‬ َ ِ‫عائ‬َ ُ ‫ظنَ ْنتُ أَنَّهُ يُ ِريد‬ َ َ‫ِق ف‬ ُ ‫صد‬ َ ُ ‫قَا َل َحدَّثَنِي َم ْن أ‬
َ َ‫سلَّ َم فَق‬
‫ام‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ع ْه ِد َر‬ َ ‫علَى‬ َ ‫س‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ْ َ ‫سف‬
َ ‫َك‬
‫اس ث ُ َّم يَ ْر َك ُع ث ُ َّم يَقُو ُم ث ُ َّم يَ ْر َك ُع ث ُ َّم يَقُو ُم ث ُ َّم‬ ِ َّ‫شدِيدًا يَقُو ُم ِبالن‬ َ ‫اس قِيَا ًما‬ ِ َّ‫ِبالن‬
َ‫س َجد‬ َ ‫ت َر َك َع الثَّا ِلثَةَ ث ُ َّم‬ ٍ ‫ث َر َكعَا‬ َ ‫يَ ْر َك ُع فَ َر َك َع َر ْكعَتَي ِْن فِي ُك ِل َر ْكعَ ٍة ث َ ََل‬
‫ب‬ُّ ‫ص‬ َ ُ ‫اء لَت‬ ِ ‫علَ ْي ِه ْم َحتَّى إِ َّن ِس َجا َل ْال َم‬ َ ‫َحتَّى إِ َّن ِر َج ًاَل يَ ْو َمئِ ٍذ يُ ْغشَى‬
َّ ‫س ِم َع‬
ُ‫َّللا‬ َ ُ‫سه‬ َ ْ‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر َوإِذَا َرفَ َع َرأ‬ َّ ‫ام بِ ِه ْم يَقُو ُل إِذَا َر َك َع‬ َ َ‫علَ ْي ِه ْم ِم َّما ق‬ َ
‫َّللاَ َوأَثْنَى‬ َّ َ‫ام فَ َح ِمد‬ َ َ‫س فَق‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ْ َّ‫ف َحتَّى ت َ َجل‬ ْ ‫ص ِر‬ َ ‫ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَلَ ْم يَ ْن‬
‫ت أ َ َح ٍد َو ََل ِل َحيَا ِت ِه‬ ِ ‫ان ِل َم ْو‬ِ َ‫س َو ْالقَ َم َر ََل يَ ْن َك ِسف‬ َ ‫ش ْم‬َّ ‫علَ ْي ِه َوقَا َل ِإ َّن ال‬ َ
‫عوا ِإلَى ِذ ْك ِر‬ ُ َ‫سفَا فَا ْفز‬ َ ‫َّللاِ يُخ َِوفُ ُك ْم ِب ِه َما فَإِذَا َك‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ان ِم ْن آيَا‬ ِ َ ‫َولَ ِك ْن آيَت‬
‫ع َّز َو َج َّل َحتَّى يَ ْن َج ِليَا‬ َّ
َ ِ‫َّللا‬
Sunan Nasa'i 1453: Telah mengabarkan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim dia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ulayyah dia berkata: Telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij dari 'Atha dia berkata: Aku mendengar
'Ubaid bin 'Umair bercerita, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku orang
yang aku percayai, -aku mengira dia adalah Aisyah - dia berkata: "Pada masa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama orang-orang dengan berdiri
yang lama sekali, lalu beliau ruku', berdiri lagi ,ruku lagi, berdiri lagi lalu ruku
lagi. Beliau mengerjakan shalat dua raka'at dimana setiap rakaat tiga kali ruku'.
Beliau ruku pada ketiga kalinya, lalu sujud. Beberapa orang ketika itu jatuh tidak
sadarkan diri, karena lamanya beliau berdiri bersama mereka, sehingga
dituangkan air seember keatas tubuh mereka. Apabila beliau ruku' maka beliau
mengucapkan Allahu Akbar, dan apabila beliau bangkit dari ruku beliau
mengucapkan: 'Sami'allah huliman hamidah'. Beliau tidak bangkit sampai
matahari terang kembali. Lalu beliau berdiri, bertahmid dan memuji Allah
kemudian bersabda: 'Matahari dan bulan tidak terjadi gerhana karena kematian
atau kelahiran seseorang akan tetapi keduanya adalah dua tanda dari tanda-
tanda kebesaran Allah Ta'ala, yang dengannya Allah memberi peringatan
kepada kalian. Apabila keduanya mengalami gerhana maka segeralah kalian
mengingat Allah Azza Wa Jalla (Shalat) hingga terang kembali'.
١٤٥٥ ‫سنن النسائي‬
َّ ُ‫ع ْبد‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫ور قَا َل َحدَّثَنَا‬ ٍ ‫ص‬ ُ ‫سي ُْن ب ُْن َم ْن‬ َ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا ْال ُح‬:١٦٤٦ ‫سنن النسائي‬
‫ع ْن ْال ُم ْست َ ْو ِر ِد ب ِْن‬َ َ ‫عبَ ْيدَة‬
ُ ‫س ْع ِد ب ِْن‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ش‬ ُ ‫ب ُْن نُ َمي ٍْر قَا َل َحدَّثَنَا ْاَل َ ْع َم‬
‫ع ْن ُحذَ ْيفَةَ قَا َل‬ َ ‫صلَةَ ب ِْن ُزفَ َر‬ ِ ‫ع ْن‬ َ ‫َف‬ ِ ‫ْاَل َ ْحن‬
‫سلَّ َم لَ ْيلَةً فَا ْفتَت َ َح ْالبَقَ َرة َ فَقُ ْلتُ يَ ْر َك ُع‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫صلَّيْتُ َم َع النَّ ِبي‬ َ
‫ص ِلي ِب َها‬ َ ُ‫ضى فَقُ ْلتُ ي‬ َ ‫ضى فَقُ ْلتُ يَ ْر َك ُع ِع ْندَ ْال ِمائَتَي ِْن فَ َم‬ َ ‫ِع ْندَ ْال ِمائ َ ِة فَ َم‬
‫سا َء فَقَ َرأَهَا ث ُ َّم ا ْفتَت َ َح آ َل ِع ْم َرانَ فَقَ َرأَهَا‬ َ ِ‫ضى فَا ْفتَت َ َح الن‬ َ ‫فِي َر ْكعَ ٍة فَ َم‬
‫سأ َ َل َوإِذَا‬ َ ‫س َؤا ٍل‬ ُ ِ‫سبَّ َح َوإِذَا َم َّر ب‬ َ ‫يَ ْق َرأ ُ ُمت َ َر ِس ًَل إِذَا َم َّر بِآيَ ٍة فِي َها ت َ ْسبِي ٌح‬
‫عهُ ن َْح ًوا‬ ُ ‫ي ْالعَ ِظ ِيم فَ َكانَ ُر ُكو‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫َم َّر بِتَعَ ُّو ٍذ تَعَ َّوذَ ث ُ َّم َر َك َع فَقَا َل‬
‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ فَ َكانَ ِقيَا ُمهُ قَ ِريبًا‬ َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫سهُ فَقَا َل‬ َ ْ‫ام ِه ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬ِ َ‫ِم ْن ِقي‬
ُ‫س ُجودُه‬ ُ َ‫ي ْاَل َ ْعلَى فَ َكان‬ َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫س َجدَ فَ َجعَ َل يَقُو ُل‬ َ ‫ِم ْن ُر ُكو ِع ِه ث ُ َّم‬
‫قَ ِريبًا ِم ْن ُر ُكو ِع ِه‬
Sunan Nasa'i 1646: Telah mengabarkan kepada kami Al Husain bin Manshur
dia berkata: telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Numair dia berkata:
telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Sa'd bin 'Ubaidah dari Al
Mustaurid bin Al Ahnaf dari Shilah bin Zufar dari Hudzaifah dia berkata: "Aku
pernah shalat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu
malam, beliau memulainya dengan membaca surah Al Baqarah. Lalu aku
berkata dalam hatiku: -Mungkin- beliau akan ruku' pada ayat ke seratus. Namun
beliau malah meneruskannya'. Aku berkata dalam hatiku, '-Mungkin- beliau
akan ruku' saat dua ratus ayat, namun beliau malah meneruskannya'. Aku
berkata dalam hatiku, 'Beliau shalat dengan surat Al Baqarah dalam satu rakaat.
Kemudian beliau meneruskan (shalatnya), dan memulainya dengan membaca
surah An Nisaa'. Beliau membacanya (hingga selesai), kemudian memulai lagi
dengan surah Ali 'Imraan, dan beliau membacanya (hingga selesai) dengan
perlahan-perlahan. Jika beliau menjumpai ayat tasbih maka beliau bertasbih
(memuji Allah), jika beliau menjumpai ayat yang menganjurkan untuk meminta
maka beliau pun meminta (kepada Allah), dan jika beliau menjumpai ayat yang
berkenaan dengan memohon perlindungan maka beliau memohon
perlindungan. Kemudian beliau ruku dengan membaca subhana rabbiyal
'azhimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung), yang (karenanya) ruku beliau
sama dengan (lamanya) berdiri. Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu
mengucapkan Sami'allahu liman Hamidah (Allah Maha Mendengar orang yang
memuji-Nya). Dan (lamanya) berdiri beliau sama dengan (lamanya) beliau ruku'.
Kemudian beliau sujud dengan membaca subhana rabbiyal a'laa (Maha Suci
Tuhanku Yang Maha Tinggi). Sujud beliau sama dengan (lamanya) ruku'
beliau".
‫ع ِن‬
َ ‫ام ٍر‬ ِ ‫ع‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ْن ُم َجا ِل ٍد‬ َ ‫ َحدَّثَنَا اب ُْن نُ َمي ٍْر‬:٣٤٨٢ ‫مسند أحمد‬
‫ْاَل َ ْس َو ِد ب ِْن يَ ِزيدَ قَا َل‬
‫َّللاِ ب ِْن َم ْسعُو ٍد فَلَ َّما‬ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫ص ََلة ُ فِي ْال َم ْس ِج ِد فَ ِجئْنَا ن َْمشِي َم َع‬ َّ ‫ت ال‬ ْ ‫أُقِي َم‬
َ‫َّللاِ َو َر َك ْعنَا َمعَهُ َون َْح ُن ن َْمشِي فَ َم َّر َر ُج ٌل بَيْن‬ َّ ُ‫ع ْبد‬ َ ‫اس َر َك َع‬ ُ َّ‫َر َك َع الن‬
‫َّللاِ َوهُ َو َرا ِك ٌع‬َّ ُ ‫ع ْبد‬ َ ‫الر ْح َم ِن فَقَا َل‬
َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫علَي َْك يَا أَبَا‬ َ ‫س ََل ُم‬
َّ ‫يَدَ ْي ِه فَقَا َل ال‬
‫سلَّ َم‬َ َ‫ت ِحين‬ َ ‫ض ْالقَ ْو ِم ِل َم قُ ْل‬ُ ‫سأَلَهُ بَ ْع‬َ ‫ف‬ َ ‫ص َر‬ َ ‫سولُهُ فَلَ َّما ا ْن‬ َّ َ‫صدَق‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬ َ
‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫سولُهُ قَا َل إِنِي‬ َّ َ‫صدَق‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬ َ ‫الر ُج ُل‬ َّ ‫علَي َْك‬ َ
‫علَى‬ َ ُ‫َت الت َّ ِحيَّة‬ ْ ‫ع ِة إِذَا َكان‬ َ ‫سا‬َّ ‫اط ال‬ِ ‫سلَّ َم يَقُو ُل إِ َّن ِم ْن أ َ ْش َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬
‫ْال َم ْع ِرفَ ِة‬
Musnad Ahmad 3482: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Mujalid
dari Amir dari Al Aswad bin Yazid berkata: Shalat telah didirikan di masjid, lalu
kami datang bersama Abdullah bin Mas'ud, tatkala orang-orang ruku', Abdullah
pun ruku dan kami pun ruku' bersamanya, sementara kami sedang berjalan.
Seorang laki-laki lewat di depannya seraya berkata: (ASSALAMU 'ALAIKA)
wahai Abu Abdurrahman. Maka Abdullah pun menjawab, ketika itu ia sedang
ruku': (SHADAQALLAHU WA RASULUHU) (Maha Benar Allah dan RasulNya) ia
melanjutkan: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Sesungguhnya dari tanda-tanda kiamat adalah apabila
ucapan salam hanya kepada orang yang dikenal".

َ‫ع ْن أَبِي إِ ْس َحاق‬ َ ‫ َحدَّثَنَا أ َ ْس َود ُ أ َ ْخبَ َرنَا إِ ْس َرائِي ُل‬:٣٧٣٣ ‫مسند أحمد‬
‫ع ْلقَ َمةَ َو ْاَل َ ْس َو ِد‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ِن اب ِْن ْاَل َ ْس َو ِد‬ َ
ُ‫ع ْلقَ َمةُ َو ْاَل َ ْس َود‬ َ ‫ص ََلة ُ فَتَأ َ َّخ َر‬َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ض َر‬ َ ‫أَنَّ ُه َما َكانَا َم َع اب ِْن َم ْسعُو ٍد فَ َح‬
‫ار ِه‬
ِ ‫س‬ َ َ‫ع ْن ي‬ َ ‫ع ْن يَ ِمينِ ِه َو ْاْلخ ََر‬ َ ‫ام أ َ َحدَ ُه َما‬ َ َ‫فَأ َ َخذَ ا ْب ُن َم ْسعُو ٍد ِبأ َ ْيدِي ِه َما فَأَق‬
َ‫طبَّقَ بَيْن‬ َ ‫ب أ َ ْي ِديَ ُه َما ث ُ َّم‬ َ ‫علَى ُر َك ِب ِه َما َو‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ضعَا أ َ ْي ِديَ ُه َما‬َ ‫ث ُ َّم َر َكعَا فَ َو‬
‫علَ ْي ِه‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ َّ ‫شب ََّك َو َجعَلَ ُه َما بَيْنَ فَ ِخذَ ْي ِه َوقَا َل َرأَيْتُ النَّ ِب‬ َ ‫يَدَ ْي ِه َو‬
ُ‫سلَّ َم فَعَلَه‬
َ ‫َو‬
‫الر ْح َم ِن ب ِْن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع ْن‬ َ َ‫ع ْن أَبِي إِ ْس َحاق‬ َ ‫سي ٌْن َحدَّثَنَا ِإ ْس َرائِي ُل‬ َ ‫َحدَّثَنَاه ُح‬
ُ‫ع ْلقَ َمةَ ب ِْن قَي ٍْس فَذَ َك َره‬ َ ‫ع ِن ْاَل َ ْس َو ِد ب ِْن يَ ِزيدَ َو‬ َ ‫ْاَل َ ْس َو ِد‬
Musnad Ahmad 3733: Telah menceritakan kepada kami Aswad telah
mengabarkan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Ibnu Al Aswad dari
'Alqamah dan Al Aswad bahwa keduanya pernah bersama Ibnu Mas'ud lalu
shalat telah didirikan, maka terlambatlah 'Alqamah dan Al Aswad sehingga Ibnu
Mas'ud meraih tangan mereka serta memberdirikan salah satunya di sebelah
kanan dan yang lain di sebelah kirinya, kemudian keduanya ruku dan
meletakkan tangan di atas lututnya dan menjadikannya di antara kedua pahanya
dan berkata: AKu melihar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan itu.
Telah menceritakannya kepada kami Husain telah mengabarkan kepada kami
Isra`il dari Abu Ishaq dari Abdurrahman bin Al Aswad dari Al Aswad bin Yazid
dari 'Alqamah bin Qais lalu ia menyebutkan itu.

‫ع ْن‬
َ ‫ب‬ ٍ ‫وب َحدَّثَنَا اب ُْن أ َ ِخي اب ِْن ِش َها‬ ُ ُ‫ َحدَّثَنَا يَ ْعق‬:٥٨٩٩ ‫مسند أحمد‬
‫َّللاِ قَا َل‬
َّ َ‫ع ْبد‬َ ‫َّللاِ أ َ َّن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫سا ِل ُم ب ُْن‬َ ‫ع ِم ِه َحدَّثَنِي‬ َ
‫ص ََلةِ يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه‬ َّ ‫ام ِإلَى ال‬ َ َ‫سلَّ َم ِإذَا ق‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫َحتَّى ِإذَا َكانَتَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر ث ُ َّم ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْر َك َع َرفَعَ ُه َما َحتَّى يَ ُكونَا‬
‫ص ْلبَهُ َرفَعَ ُه َما‬ ُ ‫َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر َوهُ َما َكذَ ِل َك َر َك َع ث ُ َّم إِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْرفَ َع‬
‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَهُ ث ُ َّم يَ ْس ُجد ُ َو ََل يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه‬
َّ ‫س ِم َع‬ َ ‫َحت َّى يَ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه قَا َل‬
‫الر ُكوعِ َحتَّى‬ ُّ ‫يرةٍ َكب ََّرهَا قَ ْب َل‬ َ ‫س ُجو ِد َويَ ْرفَعُ ُه َما فِي ُك ِل َر ْكعَ ٍة َوت َ ْك ِب‬ ُّ ‫فِي ال‬
ُ‫ص ََلتُه‬ َ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ َ‫ت َ ْنق‬
Musnad Ahmad 5899: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami putera saudaraku Ibnu Syihab dari pamannya, telah
menceritakan kepadaku Salim bin Abdillah bahwa Abdullah berkata: Adalah
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, jika beliau beranjak hendak menunaikan
shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua
bahunya lalu beliau bertakbir. Kemudian jika beliau hendak ruku' beliau
mengangkat kedua tangannya lagi hingga sejajar dengan kedua bahunya lalu
takbir dan dengan posisi kedua tangan seperti itu beliau ruku'. Kemudian jika
beliau hendak mengangkat punggungnya maka beliau mengangkat lagi kedua
tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya lalu membaca" ,SAMI'ALLAHU
LIMAN HAMIDAH" lalu beliau sujud. Dan beliau tidak mengangkat kedua
tangannya dalam sujud dan mengangkat keduanya pada setiap ruku' dan takbir
yang beliau baca sebelum ruku hingga shalatnya selesai.

,‫ي‬ ُّ ‫ َحدَّثَنَا أ َ ْح َمدُ ْب ُن ُم َح َّم ِد ب ِْن أ َ ِبي بَ ْك ٍر ْال َوا ِس ِط‬:١١٠٤ ‫سنن الدارقطني‬
‫ع ِم ِه‬َ ‫ع ْن‬ َ , ِ ‫الز ْه ِري‬ ُّ ‫ ثنا اب ُْن أ َ ِخي‬, ‫ع ِمي‬ َ ‫ َحدَّثَنِي‬, ‫س ْع ٍد‬ َ ‫َّللاِ ْب ُن‬
َّ ُ‫عبَ ْيد‬
ُ ‫ثنا‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ َكانَ َر‬:‫َّللاِ قَا َل‬َّ َ‫ع ْبد‬ َ ‫ أ َ َّن‬, ‫سا ِل ٌم‬
َ ‫ أ َ ْخبَ َرنِي‬,
‫ ث ُ َّم ِإذَا‬, ‫ص ََل ِة َرفَ َع يَدَ ْي ِه َحتَّى ِإذَا َكانَتَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َكب ََّر‬
َّ ‫ام ِإلَى ال‬ َ َ‫ِإذَا ق‬
‫ َو ُه َما َكذَ ِل َك ث ُ َّم‬, ‫أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْر َك َع َرفَعَ ُه َما َحتَّى يَ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه َو َكب ََّر‬
:‫ ث ُ َّم قَا َل‬, ‫ص ْلبَهُ َرفَعَ ُه َما َحتَّى ت َ ُكونَا َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه‬ ُ ‫إِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْرفَ َع‬
‫س ُجو ِد‬ ُّ ‫ش ْيءٍ ِمنَ ال‬ َ ‫ ث ُ َّم يَ ْس ُجدُ فَ ََل يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه فِي‬, »ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬
َّ ‫س ِم َع‬ َ «
‫ي‬
َ ‫ض‬ ِ َ‫الر ُكوعِ َحتَّى ت َ ْنق‬ َ ‫َويَ ْرفَعُ ُه َما ِفي ُك ِل َر ْكعَ ٍة َوت َ ْك ِب‬
ُّ ‫يرةٍ يُ َكبِ ُرهَا قَ ْب َل‬
ُ‫ص ََلتُه‬َ
Sunan Daruquthni 1104: Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar Al Wasithi menceritakan kepada
kami, Ubaidullah bin Sa'd menceritakan kepada kami, pamanku menceritakan kepadaku, putra
saudaranya Az-Zuhri menceritakan kepada kami, dari pamannya, Salim mengabarkan kepadaku,
bahwa Abdullah mengatakan, "Adalah Rasulullah SAW, apabila berdiri untuk shalat, beliau
mengangkat kedua tangannya hingga ketika sejajar dengan bahunya beliau bertakbir. Kemudian
ketika hendak ruku beliau juga mengangkatnya hingga keduanya sejajar dengan bahunya lalu
bertakbir ketika kedua tangannya seperti itu lalu ruku. Kemudian ketika hendak mengangkat
tulang punggungnya beliau juga mengangkat (kedua tangan)nya hingga sejajar dengan bahunya
lalu mengucapkan, 'Sami'alaahu liman hamidah" lalu sujud. Kemudian beliau tidak mengangkat
tangannya ketika sujud, namun beliau mengangkatnya pada setiap raka'at dan setiap takbimya
sebelum ruku, hingga beliau menyelesaikan shalatnya."

‫َّللاِ ب ُْن‬ َ ‫ ثنا‬, ‫سي ُْن ب ُْن ِإ ْس َما ِعي َل‬


َّ ُ‫ع ْبد‬ َ ‫ َحدَّثَنَا ْال ُح‬:١٢٨٢ ‫سنن الدارقطني‬
‫ ثنا‬, ‫ي‬ ِ ‫ ثنا ُم َح َّمدُ ب ُْن َم ْسلَ َمةَ ب ِْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِهش ٍَام ْال َم ْخ ُز‬, ‫ب‬
ُّ ‫وم‬ ٍ ‫ش ِبي‬َ
:‫ قَا َل‬, ‫ع ْن أَبِي ِه‬َ , ‫َّللاِ ب ِْن أ َ ْق َر َم‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ ُ ‫ع ْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬
َ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ , َ‫س ْل َمان‬ َ ‫إِب َْرا ِهي ُم ْب ُن‬
ُ « :‫سلَّ َم يَقُو ُل فِي ُر ُكو ِع ِه‬
َ‫س ْب َحان‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
‫ي ْالعَ ِظ ِيم» ث َ ََلثًا‬َ ‫َر ِب‬
Sunan Daruquthni 1282: Al Husain bin Isma'il menceritakan kepada kami, Abu Bakar bin
Zanjawaih menceritakan kepada kami, Abu Al Yaman mengabarkan kepada kami, Isma'il bin
Ayyasy menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin Ubaidullah, dari Abdurrahman bin Nafi'
bin Jubair bin Muth'im, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan, "Adalah Rasulullah SAW,
apabila ruku beliau membaca: 'Subhaana rabbiyal azhiim' [Maha Suci Allah Yang Maha Agung]
tiga kali".

‫َّاس ب ُْن‬ُ ‫ ثنا ْالعَب‬, ‫ار‬ ُ َّ‫صف‬


َّ ‫ َحدَّثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل ال‬:١٢٩٣ ‫سنن الدارقطني‬
‫ع ْن‬
َ ,‫ث‬ ٍ ‫ص ب ُْن ِغيَا‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا َح ْف‬, ‫ار‬ ُ ‫ط‬ َّ َ‫ ثنا ْالعَ ََل ُء ب ُْن ِإ ْس َما ِعي َل ْالع‬, ‫ُم َح َّم ٍد‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َرأَيْتُ َر‬:‫ قَا َل‬, ‫ع ْن أَن ٍَس‬ َ , ‫اص ٍم ْاَل َ ْح َو ِل‬
ِ ‫ع‬ َ
‫ ث ُ َّم َر َك َع َحتَّى ا ْستَقَ َّر ُك ُّل‬, ‫سلَّ َم « َكب ََّر َحتَّى َحاذَى ِبإِ ْب َها َم ْي ِه أُذُنَ ْي ِه‬
َ ‫َو‬
ُ‫ص ٍل ِم ْنه‬ ِ ‫سهُ َحتَّى ا ْستَقَ َّر ُك ُّل َم ْف‬ َ ْ‫ ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬, ‫ض ِع ِه‬ ِ ‫ص ٍل ِم ْنهُ فِي َم ْو‬ ِ ‫َم ْف‬
‫ تَفَ َّردَ بِ ِه ْالعَ ََل ُء‬.»‫ت ُر ْكبَتَاهُ يَدَ ْي ِه‬ ْ َ‫سبَق‬ َ َ‫ير ف‬ َّ ‫ ث ُ َّم ا ْن َح‬, ‫ض ِع ِه‬
ِ ِ‫ط بِالت َّ ْكب‬ ِ ‫فِي َم ْو‬
‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم‬ ِ ْ ‫ص ِب َهذَا‬
َّ ‫اْل ْسنَا ِد َو‬ ٍ ‫ع ْن َح ْف‬ َ , ‫ب ُْن ِإ ْس َما ِعي َل‬
Sunan Daruquthni 1293: Isma'il bin Muhammad Ash-Shaffar menceritakan
kepada kami, Al Abbas bin Muhammad menceritakan kepada kami, Al 'Ala' bin
Isma'il Al Aththar menceritakan kepada kami, Hafsh bin Ghiyats menceritakan
kepada kami, dari Ashim Al Ahwal, dari Anas, ia mengatakan, "Aku melihat
Rasulullah SAW bertakbir, hingga kedua ibu jarinya sejajar dengan telinganya.
Kemudian ruku hingga setiap persendiannya mantap di tempatnya. Kemudian
mengangkat kepalanya hingga setiap persendian mantap di tempatnya.
Kemudian menyungkur disertai takbir yang mana kedua lututnya mendahului
kedua tangannya." Al 'Ala' bin Isma'il meriwayatkannya sendirian dari Hafsh
dengan isnad ini. Wallahu a‘lam.

َ ‫ َحدَّثَنَا ْال ُح‬:١٢٨٤ ‫سنن الدارقطني‬


‫ ثنا ِإب َْرا ِهي ُم ب ُْن‬, ‫سي ُْن ب ُْن ِإ ْس َما ِعي َل‬
‫ع ْو ِن ب ِْن‬َ ‫ع ْن‬ َ , َ‫اق ب ُْن يَ ِزيد‬ ُ ‫ ثنا إِ ْس َح‬, ‫ب‬ ٍ ْ‫ ثنا اب ُْن أ َ ِبي ِذئ‬, ‫ ثنا آدَ ُم‬, ‫هَانِ ٍئ‬
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬, ‫ع ِن اب ِْن َم ْسعُو ٍد‬ َ , َ‫عتْبَة‬
ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬َ
َ ‫ي ْالعَ ِظ ِيم ث َ ََل‬
‫ث‬ ُ :‫ " ِإذَا قَا َل أ َ َحدُ ُك ْم فِي ُر ُكو ِع ِه‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
" ُ‫عهُ َوذَ ِل َك أ َ ْدنَاه‬
ُ ‫ت فَقَ ْد ت َ َّم ُر ُكو‬ٍ ‫َم َّرا‬
Sunan Daruquthni 1284: Al Husain menceritakan kepada kami, Yusuf bin Musa
mengabarkan kepada kami, Ubaidullah bin Musa menceritakan kepada kami,
Ibrahim bin Al Fadhl menceritakan kepada kami, dari Sa'id Al Maqburi, dari Abu
Hurairah, ia mengatakan, "Rasulullah SAW bersabda, lApabila seseorang di
antara kalian ruku (lalu) hertasbih tiga kali, sesungguhnya telah bertasbih kepada
Allah dari jasadnya sebanyak tiga ratus tigapuluh tiga tulang dan tiga ratus tiga
puluh tiga urut".'

َ ‫ َحدَّثَنَا ْال ُح‬:١٢٨٦ ‫سنن الدارقطني‬


‫ ثنا ُم َح َّمدُ ب ُْن‬،‫سي ُْن ب ُْن إِ ْس َما ِعي َل‬
‫ع ْن‬َ ،َ‫ع ْن قَتَادَة‬ َ ،ُ‫ش ْعبَة‬ُ ‫ ثنا‬،‫ب‬ ٍ ‫ان ب ُْن َح ْر‬ ُ ‫سلَ ْي َم‬
ُ ‫ ثنا‬،‫ي‬ ُّ ‫ع ْب ِد ْال َم ِل ِك الدَّ ِقي ِق‬
َ
‫سلَّ َم َكانَ َيقُو ُل فِي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬َّ ‫ أَن النَّ ِب‬،َ‫شة‬
َ ِ‫عائ‬ َ ‫ع ْن‬ َ ، ٍ‫ط ِرف‬ َ ‫ُم‬
".ِ‫الروح‬ ُّ ‫ب ْال َمَلئِ َك ِة َو‬ ُّ ‫ُّوس َر‬ٌ ‫سبُّو ٌح قُد‬ ُ " :‫ُر ُكو ِع ِه‬
‫ع ْن‬َ ، ٍ‫ط ِرف‬ َ ‫ع ْن ُم‬َ ،َ‫ع ْن قَتَادَة‬ َ ،ِ‫ب الدَّ ْست ُ َوائِي‬ ُ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ َو َحدَّثَنِي ِهشَا ٌم‬:‫قَا َل‬
ُ‫ش ْع َبة‬
ُ :‫ب‬ ُ ‫قُ ْلتُ ِل‬.‫س ُجو ِد ِه‬
ٍ ‫سلَ ْي َمانَ ب ِْن َح ْر‬ ُ ‫شةَ أَنَّهُ َكانَ يَقُو ُل ِفي ُر ُكو ِع ِه َو‬
َ ‫عا ِئ‬
َ
‫ َكذَا قَا َل‬:‫ قَا َل‬،‫ َحدَّثَنِي ِهشَا ٌم‬:ُ‫يَقُول‬
Sunan Daruquthni 1286: Al Husain bin Isma'il menceritakan kepada kami,
Muhammad bin Abdul malik Ad-Daqiqi menceritakan kepada kami, Sulaiman bin
Harb menceritakan kepada kami, Syu'bah menceritakan kepada kami, dari
Qatadah, dari Mutharrif, dari Aisyah: Bahwa Nabi SAW di dalam rukunya
membaca: 'Subbuuhun quddusun rabbul malaaikati war ruuh [Maha Suci Engkau
(dari kekurangan dan hal yang tidak layak bagi kebesaran-Mu) Dzat Yang Maha
Suci, Rabb malaikat dan Jibril]." Ia mengatakan: Hisyam sahabatnya Ad-
Dastawa'i juga menceritakan kepadaku, dari Qatadah, dari Mutharrif, dari Aisyah,
bahwa ia mengatakan, "Beliau membaca di dalam ruku dan sujudnya" Aku
katakan kepada Sulaiman bin Harb, "Syu'bah mengatakan: Hisyam
menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Demikian yang dikemukakannya".

, ‫َارونَ ِإ ْم ََل ًء‬ ُ ‫ام ٍد ُم َح َّمدُ ب ُْن ه‬ِ ‫ َحدَّثَنَا أَبُو َح‬:١٣٠٠ ‫سنن الدارقطني‬
ِ ‫ َو َو ِكي ُع ب ُْن ْال َج َّر‬, ‫يس‬
, ‫اح‬ َ ‫َّللاِ ْب ُن ِإ ْد ِر‬
َّ ُ‫ع ْبد‬َ ‫ ثنا‬, ٍ ‫ع ِلي‬ َ ‫ع ْم ُرو ب ُْن‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫ع ْن‬َ ,‫ش‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا ْاَل َ ْع َم‬:‫ قَالُوا‬, ‫ي‬ ِ ‫س ِعي ٍد ْال َم‬
ُّ ِ‫ازن‬ َ ‫ َو َح َّمادُ ب ُْن‬, َ‫َوأَبُو ُمعَا ِويَة‬
‫صلَّى‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬, ‫ع ْن أَبِي َم ْسعُو ٍد‬ َ , ‫ع ْن أَبِي َم ْع َم ٍر‬ َ , َ ‫ارة‬ َ ‫ع َم‬
ُ
.»‫س ُجو ِد‬ ُّ ‫الر ُكوعِ َوال‬ ُّ ‫ص ْلبَهُ فِي‬ ُ ‫ص ََلة َ ِل َر ُج ٍل ََل يُ ِقي ُم‬ َ ‫ « ََل‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫هللا‬
‫ص ِحي ٌح‬َ ‫ت‬ ٌ ِ‫َهذَا إِ ْسنَادٌ ثَاب‬
Sunan Daruquthni 1300: Abu Hamid Muhammad bin Harun Al Hadhrami
menceritakan kepada kami secara dikte, Amr bin Ali menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Idris, Waki' bin Al Jarrah, Abu Mu'awiyah dan Hammad bin Sa'id Al
Mazini menceritakan kepada kami, mereka mengatakan: Al A'masy
menceritakan kepada kami, dari Umarah, dan Abu Ma'mar, dan Ibnu Mas'ud, ia
mengatakan, "Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak ada shalat bagi seseorang yang
tidak menegakkan tulang punggungnya di dalam ruku dan sujud. Isnad ini valid
lagi shahih.
Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshori disebutkan,

‫علَى ُر ْكبَتَ ْي ِه‬ َ ‫فَلَ َّما َر َك َع َو‬


َ ‫ض َع يَدَ ْي ِه‬
“Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya.” (HR. Abu Daud no. 863
dan An Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau berkata,

َ َ‫فَإِذَا َر َك َع أ َ ْم َكنَ َكفَّ ْي ِه ِم ْن ُر ْكبَتَ ْي ِه َوفَ َّر َج بَيْنَ أ‬


‫صابِ ِع ِه‬
“Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-
jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Dalam riwayat lainnya disebutkan,

‫علَ ْي ِه َما‬ ٌ ِ‫علَى ُر ْكبَتَ ْي ِه َكأَنَّهُ قَاب‬


َ ‫ض‬ َ ‫ث ُ َّم َر َك َع فَ َو‬
َ ‫ض َع يَدَ ْي ِه‬
“Kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan
beliau menggenggam kedua lututnya tersebut.” (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260
dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Saat ruku’, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.


Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

َ ْ‫ب َرأ‬
ً‫سهُ َوَلَ يُ ْق ِن ُع ُم ْعتَ ِدَل‬ ُ ‫َلَ َي‬
ُّ ‫ص‬
“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu
menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang
beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,

َّ‫صب‬ ُ ‫ظ ْه َرهُ َحتَّى لَ ْو‬ َ ‫س َّوى‬


َ ‫ص ِلى َف َكانَ ِإذَا َر َك َع‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ُ‫ ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫علَ ْي ِه ْال َما ُء َلَ ْستَقَ َّر‬
َ
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’,
punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan
tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al
Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).
Kemudian saat ruku’ membaca “subhana robbiyal ‘azhim”, dibaca berulang kali.
Ketika ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,

‫ى ْال َع ِظ ِيم‬
َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬
ُ
“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR.
Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud,

َ َ‫ى ْال َع ِظ ِيم ثََل‬


ٍ ‫ث َم َّرا‬
‫ت‬ ُ ‫ِإذَا َر َك َع أَ َحدُ ُك ْم فَقَا َل ِفى ُر ُكو ِع ِه‬
َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬
“Jika salah seorang di antara kalian ruku’, maka ia mengucapkan ketika ruku’nya
“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)”, dibaca
sebanyak tiga kali.” (HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali
seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca
dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)
Begitu pula boleh membaca dengan “subhana robbiyal ‘azhimi wa bihamdih”. Dalam
hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat ruku’,

‫ى ْال َع ِظ ِيم َو ِب َح ْم ِد ِه‬


َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬
ُ
“Subhanaa robbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha
Agung dan pujian untuk-Nya).” Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat
Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad
Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).
19- Saat ruku’ dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, “Subhanakallahumma
robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii”.
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
‫س ْب َحان ََك اللَّ ُه َّم‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ْكثِ ُر أ َ ْن يَقُو َل فِى ُر ُكو ِع ِه َو‬
ُ « ‫س ُجو ِد ِه‬ ُّ ‫َكانَ النَّ ِب‬
َ‫ اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلى » َيتَأ َ َّو ُل ْالقُ ْرآن‬، ‫ِك‬
َ ‫َربَّنَا َو ِب َح ْمد‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku’ dan sujud
bacaan, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya:
Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. Beliau
menerangkan maksud dari ayat Al Qur’an dengan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari no.
817 dan Muslim no. 484).
Yang dimaksud dengan ayat Al Qur’an dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits
‘Uqbah bin ‘Amir,

‫اجعَلُوهَا فِى‬
ْ « -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ُ ‫سبِ ْح بِاس ِْم َر ِب َك ْالعَ ِظ ِيم) قَا َل َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ْ َ‫لَ َّما نَزَ ل‬
َ َ‫ت (ف‬
» ‫س ُجو ِد ُك ْم‬ ْ « ‫سبِحِ اس َْم َربِ َك اَل َ ْعلَى) قَا َل‬
ُ ‫اجعَلُوهَا فِى‬ َ (‫ت‬ ْ َ‫ فَلَ َّما نَزَ ل‬.» ‫ُر ُكو ِع ُك ْم‬
“Ketika turun ayat “fasabbih bismirobbikal ‘azhim”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Jadikan bacaan tersebut pada ruku’ kalian.” Lalu ketika turun ayat
“sabbihisma robbikal a’laa”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan,
“Jadikanlah pada sujud kalian.” (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku’ dan sujud lainnya yang bisa dibaca,

‫وح‬ ُّ ‫ُّوس َربُّ ْال َمَلَ ِئ َك ِة َو‬


ِ ‫الر‬ ٌ ‫سبُّو ٌح قُد‬
ُ
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus,
Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487).
Semoga bermanfaat. Semoga Allah terus menganugerahkan ilmu yang bermanfaat.

i’tidal (Bangkit dari Ruku)


- Kemudian mengangkat kepala, bangkit dari ruku’ sembari mengangkat kedua
tangan.
- Ketika bangkit sambil mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”. Ini berlaku
bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,

‫ فَقُولُوا َربَّنَا َو َل َك‬. ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬ َ ‫ َو ِإذَا قَا َل‬، ‫ارفَعُوا‬


َّ ‫س ِم َع‬ ْ َ‫َو ِإذَا َرفَ َع ف‬
ُ‫ْال َح ْمد‬
“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah
‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)’.” (HR.
Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
- Setiap orang mengucapkan “robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban
mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du”.
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
a- Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
b- Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
c- Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
d- Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).

Bacaan yang lebih lengkap ketika i’tidal (bangkit dari ruku’


ُ ‫ش ْىءٍ َب ْعد‬ َ ‫ت ِم ْن‬ َ ْ‫ض َو ِم ْل َء َما ِشئ‬ ِ ‫ت َو ِم ْل َء اَل َ ْر‬ َّ ‫اللَّ ُه َّم َربَّنَا لَ َك ْال َح ْمدُ ِم ْل َء ال‬
ِ ‫س َم َوا‬
‫ت َوَلَ يَ ْنفَ ُع ذَا ْال َج ِد‬ َ ‫ْت َوَلَ ُم ْع ِط‬
َ ‫ى ِل َما َمنَ ْع‬ َ ‫طي‬َ ‫َاء َو ْال َم ْج ِد َلَ َمانِ َع ِل َما أ َ ْع‬
ِ ‫أ َ ْه َل الثَّن‬
ُّ‫ِم ْن َك ْال َجد‬
“Allahumma robbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa
syi’ta min syai-in ba’du, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa
mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah, Rabb
kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau
kehendaki setelah itu. Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan. Tidak ada yang
dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberi
apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan bagi orang yang memilikinya,
hanyalah dari-Mu kekayaan itu)” (HR. Muslim no. 471).
Keutamaan membaca robbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,

َ‫ فَإِنَّهُ َم ْن َوافَق‬. ُ ‫ فَقُولُوا اللَّ ُه َّم َربَّنَا لَ َك ْال َح ْمد‬. ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬ َّ ‫س ِم َع‬َ ‫اْل َما ُم‬ِ ‫إِذَا قَا َل‬
‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬ُ ‫قَ ْولُهُ قَ ْو َل ْال َمَلَئِ َك ِة‬
“Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka hendaklah kalian
mengucapkan ‘robbana wa lakal hamdu’. Karena siapa saja yang ucapannya tadi
berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.”
(HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,
‫ار ًكا فِي ِه‬
َ َ‫طيِبًا ُمب‬ ً ِ‫ َح ْمدًا َكث‬، ُ‫َربَّنَا َولَ َك ْال َح ْمد‬
َ ‫يرا‬
“Robbana walakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih (artinya: wahai
Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik
dan penuh dengan berkah).” Disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rofi’, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,

‫ أَيُّ ُه ْم يَ ْكتُبُ َها أ َ َّو ُل‬، ‫ض َعةً َوثََلَثِينَ َملَ ًكا يَ ْبتَد ُِرونَ َها‬
ْ ‫َرأ َ ْيتُ ِب‬
“Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang
lebih duluan mencatat amalannya.” (HR. Bukhari no. 799)

Posisi Tangan Setelah Ruku


Yang lebih baik bagi imam dan makmum bersedekap dengan meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri sebagaimana sedekap yang dilakukan sebelum ruku’ yaitu saat
membaca surat. Hal ini berdasarkan hadits Wail bin Hujr,

‫ض‬ َّ ‫سلَّ َم ِإذَا َكانَ قَا ِئ ًما ِفي ال‬


َ ‫ص ََل ِة قَ َب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬
‫علَى ِش َما ِل ِه‬ َ ‫بِيَ ِمينِ ِه‬
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat,
beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. An Nasai no. 888 dan
Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’) berkata, “Ada istilah ‘qobd fish sholah’ yaitu meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri (keadaan bersedekap). Ada juga istilah ‘sadl fish sholah’ yaitu menurunkan
atau melepaskan tangan di samping (tanpa sedekap). Meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dengan menggenggam ini ada petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat berdiri membaca surat atau saat berdiri bangkit dari ruku’ (i’tidal). Hadits yang
mendukungnya adalah hadits dari Wail bin Hujar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Muslim,

‫ف َه َّما ٌم‬ َ ‫ص‬َ ‫ َو‬، ‫صَلَ ِة َكب ََّر‬ َّ ‫سلَّ َم َرفَ َع َيدَ ْي ِه ِحينَ دَ َخ َل ِفي ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ي‬ َّ ‫أَنَّهُ َرأَى النَّ ِب‬
‫ فَلَ َّما أ َ َرادَ أ َ ْن َي ْر َك َع‬، ‫علَى ْاليُس َْرى‬ َ ‫ض َع َيدَهُ ْالي ُْمنَى‬ َ ‫ ث ُ َّم َو‬، ‫ف ِبثَ ْو ِب ِه‬ َ ‫ ث ُ َّم ْالتَ َح‬، ‫ِح َيا َل أُذُنَ ْي ِه‬
‫ َرفَ َع َيدَ ْي ِه‬، ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬ َ : ‫ فَلَ َّما قَا َل‬، ‫ فَ َكب ََّر فَ َر َك َع‬، ‫ب ث ُ َّم َرفَ َع ُه َما‬
َّ ‫س ِم َع‬ ِ ‫أ َ ْخ َر َج َيدَ ْي ِه ِمنَ الث َّ ْو‬
.‫س َجدَ َبيْنَ َكفَّ ْي ِه‬ َ َ‫س َجد‬ َ ‫ فَلَ َّما‬،
Wail bin Hujr pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya ketika ia masuk dalam shalat dan beliau bertakbir (mengucapkan Allahu
Akbar). Hammam mengatakan bahwa beliau mengangkat tangannya sejajar dengan
kedua telinganya. Kemudian beliau menutupi tangannya dengan pakaiannya, kemudian
beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya. Ketika ingin ruku’, kedua
tangannya dikeluarkan dari pakaian, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya.
Beliau bertakbir lalu ruku’. Ketika mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau
mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di antara kedua tangannya.
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud disebutkan,

‫سا ِع ِد‬ ُّ ‫ظ ْه ِر َك ِف ِه ْاليُ ْس َرى َو‬


َّ ‫الر ْسغِ َوال‬ َ ‫ض َع َيدَهُ ْاليُ ْمنَى َعلَى‬
َ ‫ث ُ َّم َو‬
“Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di
pergelangan tangan, atau di lengan tangan kirinya.” (HR. Ahmad 4: 318 dan Abu Daud
no. 727. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebagaimana pula diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idiy, ia berkata,

‫الر ُج ُل ْاليَدَ ْاليُ ْمنَى َعلَى ذ َِرا ِع ِه ْاليُ ْس َرى ِفى‬ َ َ‫اس يُؤْ َم ُرونَ أ َ ْن ي‬
َّ ‫ض َع‬ ُ َّ‫َكانَ الن‬
‫صَلَ ِة‬
َّ ‫ال‬
“Orang-orang saat itu diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya saat shalat.” Abu Hazim berkata, “Hadits ini disandarkan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Hadits terakhir ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari.
Dan tidak ada satu pun hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
bahwa beliau melakukan sadl yaitu tangannya diletakan di samping saat berdiri dalam
shalat.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 6: 365-366).
Juga bisa berdalil dengan hadits musii’ sholatuhu (orang yang jelek shalatnya), di mana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,

َ‫ض ٍو َمأ ْ َخذَهُ ث ُ َّم َرفَ َع َحتَّى أ َ َخذ‬ ُ ‫ض َع يَدَ ْي ِه َعلَى ُر ْك َبت َ ْي ِه َحتَّى أ َ َخذَ ُك ُّل‬
ْ ‫ع‬ َ ‫ُث َّم َر َك َع فَ َو‬
ُ‫ض ٍو َمأ ْ َخذَه‬
ْ ‫ع‬ُ ‫ُك ُّل‬
“Kemudian ruku’ lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh
mengambil posisinya. Kemudia bangkit dari ruku’ dan setiap anggota tubuh mengambil
posisinya.” (HR. Ahmad 3: 407. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih).
Makna hadits “sampai anggota tubuh mengambil posisinya” diterangkan dalam riwayat,

َ ‫ص ْلبَ َك َحتَّى ت َ ْر ِج َع ْال ِع‬


ِ َ‫ظا ُم ِإلَى َمف‬
‫اص ِل َها‬ َ ْ‫ت َرأ‬
ُ ‫س َك فَأ َ ِق ْم‬ َ ‫فَإِذَا َرفَ ْع‬
“Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka luruskanlah tulang
punggungmu hingga setiap tulang kembali pada posisinya.” (HR. Ahmad 4: 340. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dengan hadits
ini adalah posisi tangan ketika itu bersedekap seperti dilakukan sebelum ruku’ yaitu
pada saat berdiri saat membaca surat.
Guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi berkata, “Terdapat pula indikasi yang
menunjukkan tangan itu bersedekap setelah ruku’. Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau berdiri sampai-sampai orang-
orang mengira bahwa beliau lupa untuk sujud (karena saking lamanya berdiri kala itu, -
pen). Demikian dikatakan oleh Anas bin Malik sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Bukhari. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari ruku’,
tangannya dalam keadaan sedekap karena keadaan beliau begitu lama saat itu. Hal ini
lebih disangka sedekap daripada beliau melepas tangannya ke bawah. Sampai-sampai
dikira pula beliau berada dalam rakaat yang baru. Kalau tangan dalam keadaan sadl,
yaitu dilepas ke bawah tentu tidak disangka demikian.”
Juga Syaikh Ath Thorifi berkata, “Orang yang shalat jika sedang duduk keadaan
tangannya adalah di atas pahanya. Posisi tangan di sini sama seperti ketika duduk antara
dua sujud. Itu berarti keadaan duduk dalam shalat adalah satu karena tidak ada dalil
yang membedakan. Maka demikian pula keadaan berdiri dalam shalat juga satu yaitu
tangan dalam keadaan bersedekap.” (Lihat Sifat Shalat Nabi, hal. 86).
Intinya untuk masalah ini telah dikatakan oleh Imam Ahmad,

َ ‫إن شَا َء أ َ ْر‬


َ ‫ َوإِ ْن شَا َء َو‬، ‫س َل َيدَ ْي ِه‬
ُ‫ض َع َي ِمينَه‬ ْ : ِ‫الر ُكوع‬ َ ْ‫إذَا َرفَ َع َرأ‬
ُّ ‫سهُ ِم ْن‬
‫علَى ِش َما ِل ِه‬
َ
“Jika seseorang bangkit dari ruku’, maka jika ia mau, ia bisa melepaskan tanggannya
(tidak sedekap). Jika mau, ia pun bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya
(sedekap).” (Al Inshaf, 2: 412, Asy Syamilah).
Imam Ahmad mengatakan demikian karena tidak ada dalil tegas yang membicarakan
masalah sedekap setelah ruku’. Sehingga Imam Ahmad pun mengatakan,

‫أرجو أن َل يضيق ذلك‬


“Aku harap, jangan terlalu mempermasalahkan hal tersebut.” (Lihat Sifat Shalat Nabi
karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 86).

Tangan Dulu ataukah Lutut Saat Turun Sujud?

Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?
Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih
afdhol di antara keduanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫أما الصَلة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل‬
‫يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصَلته صحيحة فى الحالتين بإتفاق‬
‫العلماء ولكن تنازعوا فى اَلفضل‬
“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan
ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan
kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya
sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka
berselisih pendapat tentang yang afdhal.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 449).
Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak katakan
yang paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang
membicarakannya hanyalah mengatakan,

ُ ‫س َجدَ أ َ َحد ُ ُك ْم فََلَ َيب ُْر ْك َك َما َيب ُْركُ ْال َب ِع‬
‫ير‬ َ ‫ِإذَا‬
“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta
ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Namun ada tambahan,

َ ‫َو ْل َي‬
‫ض ْع َيدَ ْي ِه قَ ْب َل ُر ْك َبت َ ْي ِه‬
“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”
Versi lain mengatakan,

َ َ‫َو ْلي‬
‫ض ْع ُر ْكبَت َ ْي ِه قَ ْب َل يَدَ ْي ِه‬
“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.”
Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.
Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang,
tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [baca: lemah]. Sehingga
riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, “Janganlah salah satu
kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum”.
Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat
dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum.
Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa
terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita
mendahulukan lutut dari pada tangan. Sehingga makna sabda Nabi, “janganlah salah
satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak
menderum” adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak dibuat merunduk
sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih dalam
posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini
berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat
Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama.
Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah
lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah
baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan.
Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh
Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 129).

Cara Sujud
Turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat tangan. Sujud yang dilakukan adalah
bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اف‬ ْ َ ‫الر ْكبَتَي ِْن َوأ‬


ِ ‫ط َر‬ ُّ ‫ َو‬، ‫علَى أ َ ْن ِف ِه – َو ْاليَدَي ِْن‬ َ ‫علَى ْال َج ْب َه ِة – َوأَش‬
َ ‫َار بِيَ ِد ِه‬ ُ ‫س ْبعَ ِة أ َ ْع‬
َ ‫ظ ٍم‬ َ َ‫أ ُ ِم ْرتُ أ َ ْن أ َ ْس ُجد‬
َ ‫علَى‬
‫ْالقَدَ َمي ِْن‬
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk
juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan
kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari no. 812
dan Muslim no. 490)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh.
Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh
lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak
kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib
terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian.
Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.”
(Syarh Shahih Muslim, 4: 185)

ketika sujud membaca “subhana robbiyal a’laa.


Sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah, ia berkata bahwa
‫ى‬
َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ ُ ‫ َوفِى‬.» ‫ى ْالعَ ِظ ِيم‬
ُ « ‫س ُجو ِد ِه‬ ُ « ‫ فَ َكانَ يَقُو ُل فِى ُر ُكو ِع ِه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫صلَّى َم َع النَّبِ ِى‬
َ ِ‫س ْب َحانَ َرب‬ َ ُ‫أَنَّه‬
‫اَل َ ْعلَى‬
Ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau mengucapkan
ketika ruku’ ‘subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)’
dan ketika sujud, beliau mengucapkan ‘subhanaa robbiyal a’laa (artinya: Maha Suci
Rabbku Yang Maha Tinggi).(HR. Muslim no. 772 dan Abu Daud no. 871).
Begitu pula boleh mengucapkan,

‫ى اَل َ ْعلَى َو ِب َح ْم ِد ِه‬


َ ‫س ْب َحانَ َر ِب‬
ُ
“Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi
dan pujian untuk-Nya)”. Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870, shahih)
Begitu juga ketika sujud bisa memperbanyak membaca,

‫ اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلى‬، ‫ِك‬


َ ‫س ْب َحان ََك اللَّ ُه َّم َربَّنَا َو ِب َح ْمد‬
ُ
“Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci
Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)“. (HR. Bukhari no. 817
dan Muslim no. 484).
Bacaan sujud lainnya yang bisa dibaca,

ُّ ‫ُّوس َربُّ ْال َمَلَ ِئ َك ِة َو‬


ِ‫الروح‬ ٌ ‫سبُّو ٌح قُد‬
ُ
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus,
Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487)
25- Setelah itu bertakbir bangkit dari sujud tanpa mengangkat tangan.
Sebagaimana dalam hadits Muthorrif bin Abdullah, ia berkata,

، ‫س َجدَ َكب ََّر‬َ ‫ َف َكانَ ِإذَا‬، ‫صي ٍْن‬َ ‫ان ب ُْن ُح‬ ُ ‫ب – رضى هللا عنه – أَنَا َو ِع ْم َر‬ َ ‫ع ِل ِى ب ِْن أَبِى‬
ٍ ‫طا ِل‬ َ ‫ف‬ َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬
َ
َ ‫ان ب ُْن ُح‬
‫صي ٍْن‬ ُ ‫صَلَة َ أ َ َخذَ ِب َيدِى ِع ْم َر‬
َّ ‫ضى ال‬ َ َ‫ فَلَ َّما ق‬، ‫الر ْك َعتَي ِْن َكب ََّر‬ َ ‫ َو ِإذَا نَ َه‬، ‫سهُ َكب ََّر‬
َّ َ‫ض ِمن‬ ْ
َ ‫َو ِإذَا َرفَ َع َرأ‬
‫صَلَة َ ُم َح َّم ٍد – صلى‬ َ ‫صلَّى بِنَا‬ َ ‫ أ َ ْو قَا َل لَقَ ْد‬. – ‫صَلَة َ ُم َح َّم ٍد – صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫فَقَا َل قَ ْد ذَ َّك َرنِى َهذَا‬
– ‫هللا عليه وسلم‬
“Aku dan Imron bin Hushain pernah shalat di belakang ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu
‘anhu. Jika turun sujud, beliau bertakbir. Ketika bangkit dari sujud, beliau pun bertakbir.
Jika bangkit setelah dua raka’at, beliau bertakbir. Ketika selesai shalat, Imron bin
Hushain memegang tanganku lantas berkata, “Cara shalat Ali ini mengingatkanku
dengan tata cara shalat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau ia mengatakan,
“Sungguh Ali telah shalat bersama kita dengan shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Bukhari no. 786 dan Muslim no. 393). Hadits ini menunjukkan bahwa
takbir intiqol (berpindah rukun) itu dikeraskan. Dan itu juga jadi dalil adanya takbir
setelah bangkit dari sujud.
Dalam hadits Abu Hurairah juga disebutkan,

َ ْ‫ ث ُ َّم يُ َكبِ ُر ِحينَ يَ ْرفَ ُع َرأ‬، ُ ‫ث ُ َّم يُ َكبِ ُر ِحينَ يَ ْس ُجد‬


ُ ‫سه‬
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud. Lalu beliau
bertakbir ketika bangkit dari sujud.” (HR. Bukhari no. 789 dan Muslim no. 392).
Adapun tanpa mengangkat ketika turun sujud atau bangkit dari sujud adalah
berdasarkan hadits,

‫صَلَ ِت ِه َو ُه َو‬ َ ‫الر ُكوعِ َوَلَ َي ْرفَ ُع َيدَ ْي ِه ِفى‬


َ ‫ش ْىءٍ ِم ْن‬ ْ ‫َو ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن َي ْر َك َع َو َي‬
ُّ َ‫ص َنعُهُ ِإذَا َرفَ َع ِمن‬
ٌ ‫قَا ِعد‬
“Jika beliau ingin ruku’ dan bangkit dari ruku’ (beliau mengangkat tangan). Namun
beliau tidak mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya saat duduk.” (HR. Abu Daud
no. 761, Ibnu Majah no. 864 dan Tirmidzi no. 3423. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan).

Tentang Duduk Antara Dua Sujud


Setelah sujud pertama kemudian duduk antara dua sujud. Bentuk duduknya adalah
iftirosy, yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan.
Dalam hadits Abu Humaid As Sa’idiy disebutkan,

‫ض ِع ِه ُم ْعت َ ِدَلً ث ُ َّم‬ ْ ‫ع‬


ِ ‫ظ ٍم فِى َم ْو‬ َ َ‫ث ُ َّم ثَنَى ِر ْجلَهُ ْاليُس َْرى َو َق َعد‬
َ ‫علَ ْي َها ث ُ َّم ا ْعتَدَ َل َحتَّى َي ْر ِج َع ُك ُّل‬
‫اجدًا‬ ِ ‫س‬َ ‫أ َ ْه َوى‬
“Kemudian kaki kiri dibengkokkan dan diduduki. Kemudian kembali lurus hingga setiap
anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud.”(HR. Tirmidzi no. 304 dan
Abu Daud no. 963, 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).
Duduk saat shalat adalah duduk iftirosy kecuali pada tasyahud akhir, duduknya adalah
duduk tawarruk, yaitu dengan duduk di lantai, lantas kaki kiri dikeluarkan dari sisi kaki
kanan.
Juga hal ini disebutkan dalam hadits Abu Humaid As Sa’idiy,

َ ‫ َو ِإذَا َج َل‬، ‫ب ْاليُ ْمنَى‬


‫س‬ َ ‫ص‬ َ َ‫س َعلَى ِر ْج ِل ِه ْاليُ ْس َرى َون‬
َ َ‫الر ْك َعتَي ِْن َجل‬
َّ ‫س ِفى‬ َ َ‫فَإِذَا َجل‬
‫ب اَل ُ ْخ َرى َوقَ َعدَ َعلَى َم ْق َعدَتِ ِه‬
َ ‫ص‬َ َ‫اْلخ َرةِ قَد ََّم ِر ْجلَهُ ْاليُ ْس َرى َون‬
ِ ‫الر ْك َع ِة‬
َّ ‫فِى‬
“Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk setelah melakukan dua raka’at, kaki
kiri saat itu diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Adapun saat duduk di raka’at terakhir
(tasyahud akhir), kaki kiri dikeluarkan, kaki kanan ditegakkan, lalu duduk di lantai.” (HR.
Bukhari no. 828).
Dalam kitab sunan disebutkan hadits Abu Humaid As Sa’idiy,

‫علَى ِش ِق ِه‬ َ َ‫ص ََلة ُ أ َ َّخ َر ِر ْجلَهُ ْاليُس َْرى َوقَعَد‬ ِ َ‫الر ْك َعتَي ِْن اللَّتَي ِْن تَ ْنق‬
َّ ‫ضي فِي ِه َما ال‬ َّ ‫إِذَا َكانَ فِي‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫ُمتَ َو ِر ًكا ث ُ َّم‬
“Jika telah pada dua raka’at yang merupakan raka’at terakhir (terdapat salam), Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk di lantai secara
tawarruk, kemudian beliau salam.” (HR. An Nasai no. 1262. Shahih menurut Syaikh Al
Albani).
Yang beliau baca saat duduk antara dua sujud adalah “Robbighfirlii warhamnii,
wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan do’a duduk antara dua sujud yang dibaca oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.‫ َوا ْه ِد ِني‬، ‫ار ُز ْق ِني‬


ْ ‫ َو‬، ‫ارفَ ْع ِني‬
ْ ‫ َو‬، ‫اجب ُْر ِني‬ ْ ‫ َو‬، ‫ب ا ْغ ِف ْر ِلي‬
ْ ‫ َو‬، ‫ار َح ْم ِني‬ ِ ‫َر‬
“Robbighfirlii warhmanii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii (artinya: Ya Allah
ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki
dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad 1: 371. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa haditsnya hasan).

Sunnah Duduk Istirahat


Kemudian sujud kembali seperti sujud yang pertama.
Perintah untuk melakukan sujud kedua ini adalah berdasarkan berbagai hadits yang
shahih dan juga adanya ijma’ (kesepakatan para ulama). (Al Majmu’, 3: 290)
Kemudian bangkit dari sujud kedua sambil bertakbir.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketika bangkit ke raka’at kedua dilakukan
bertumpu pada tangan, begitu pula ketika bangkit dari tasyahud awwal. Hal ini
dilakukan oleh orang yang kondisinya kuat maupun lemah, begitu pula bagi laki-laki
maupun perempuan. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i. Hal ini disepakati oleh ulama
Syafi’iyah berdasarkan hadits dari Malik bin Al Huwairits dan tidak ada dalil dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya. Jika tangan jadi tumpuan, maka bagian
dalam telapak tangan dan jari jemarinya yang berada di lantai.” (Al Majmu’, 3: 292).
Mengerjakan raka’at kedua sama dengan raka’at pertama.
Dalil tentang disyari’atkannya duduk istirahat ketika bangkit ke raka’at kedua adalah
hadits dari Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid Al Jarmi Al Bashri, ia berkata, “Malik bin Al
Huwairits pernah mendatangi kami di masjid kami. Ia pun berkata, “Sesungguhnya aku
ingin mengerjakan shalat sebagai contoh untuk kalian meskipun aku tidak ingin
mengerjakan shalat. Aku akan mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah aku lihat.” Ayub kemudian bertanya kepada
Abu Qilabah, “Bagaimana Malik bin Al Huwairits mengerjakan shalat?” Abu Qilabah
menjawab,

‫الر ْكعَ ِة اَلُولَى‬ َ ‫س ُجو ِد قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْن َه‬


َّ ‫ض فِى‬ َ ْ‫س إِذَا َرفَ َع َرأ‬
ُّ ‫سهُ ِمنَ ال‬ َ ‫ِمثْ َل‬
َ َ‫ قَا َل َو َكان‬. ‫شي ِْخنَا َهذَا‬
ُ ‫ش ْي ًخا يَجْ ِل‬
“Seperti shalat syaikh kami ini. Beliau duduk ketika mengangkat kepalanya setelah sujud
sebelum beliau bangkit dari raka’at pertama.” (HR. Bukhari no. 677).
Di sini para ulama memiliki silang pendapat apakah duduk istirahat disunnahkan bagi
setiap orang ataukah tidak. Bahkan dalam madzhab Syafi’i Syafi’i sendiri terdapat beda
pendapat karena pemahaman terhadap dalil yang berbeda.
Pendapat pertama, jika yang shalat dalam keadaan lemah karena sakit, sudah tua atau
sebab lainnya, maka disunnahkan untuk melakukan duduk istirahat. Jika tidak demikian,
maka tidak dituntunkan. Inilah pendapat dari Abu Ishaq Al Maruzi.
Pendapat kedua, disunnahkan bagi setiap orang untuk melakukan duduk istirahat. Inilah
pendapat dari Imam Al Haromain dan Imam Al Ghozali. Al Ghozali berkata bahwa ulama
madzhab Syafi’i sepakat pada pendapat ini.
Pendapat yang terkuat dalam hal ini, duduk istirahat tetap disyari’atkan. Alasannya
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa hal itu disunnahkan.
Duduk istirahat adalah duduk yang ringan (bukan lama) ketika bangkit ke raka’at
berikut, bukan bangkit dari tasyahud. (Lihat Al Majmu’, 3: 291).
Cara duduk istirahat adalah duduk iftirosy atau seperti duduk saat duduk antara dua
sujud. (Syarh ‘Umdatul Ahkam karya guru kami, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 209).
Imam Nawawi berkata, “Duduk istirahat tidak ada pada sujud tilawah, tanpa ada khilaf
di antara para ulama.” (Al Majmu’, 3: 292).
Imam Nawawi juga berkata, “Jika imam tidak melakukan duduk istirahat, sedangkan
makmum melakukannya, itu dibolehkan karena duduknya hanyalah sesaat dan
ketertinggalan yang ada cumalah sebentar.” (Idem).
Imam Nawawi menasehatkan tentang masalah duduk istirahat ini, “Sudah sepantasnya
duduk istirahat ini dilakukan oleh setiap orang karena hadits yang membicarakan hal itu
adalah hadits yang shahih dan tidak ada bertentangan dengan hadits shahih yang lain.
Tak usahlah peduli dengan orang yang mudah-mudahan dalam meninggalkannya.
Allah Ta’ala berfirman,

‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم‬ َّ َ‫قُ ْل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬


َّ ‫َّللاَ فَات َّ ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم‬
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31).

ُ‫سو ُل فَ ُخذُوه‬ َّ ‫َو َما آَت َا ُك ُم‬


ُ ‫الر‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7).

Cara Duduk Tasyahud Awwal dan Akhir


Kali ini kita akan melanjutkan bahasan mengenai sifat shalat Nabi. Yang dibahas adalah
mengenai tasyahud awwal dan bagaimanakah bentuk duduknya. Juga dibahas mengenai
bentuk duduknya dibanding dengan tasyahud akhir.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa duduk pada tasyahud awwal yaitu dengan duduk
iftirosy. Sedangkan duduk pada tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk.
Termasuk pula duduk pada shalat yang hanya dua raka’at (seperti pada shalat Shubuh, -
pen), duduk tasyahud akhirnya adalah dengan tawarruk. (Al Majmu’, 3: 298)
Ulama Syafi’iyah mengemukakan alasan kenapa duduknya seperti itu berdasarkan
hadits dari Abu Humaid ketika menjelaskan tata cara shalat kepada sepuluh sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫الر ْكعَ ِة‬ َ ‫ َوإِذَا َج َل‬، ‫ب ْالي ُْمنَى‬


َّ ‫س فِى‬ َ ‫ص‬ َ َ‫علَى ِر ْج ِل ِه ْاليُس َْرى َون‬
َ ‫س‬ َ َ‫الر ْك َعتَي ِْن َجل‬
َّ ‫س فِى‬ َ َ‫فَإِذَا َجل‬
‫ب اَل ُ ْخ َرى َوقَعَدَ َعلَى َم ْقعَدَتِ ِه‬ َ ‫ص‬ َ َ‫اْلخ َرةِ قَد ََّم ِر ْجلَهُ ْاليُس َْرى َون‬
ِ
“Jika duduk di raka’at kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di raka’at terakhir, beliau
mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu (baca:
duduk tawarruk).” (HR. Bukhari no. 828). Dalam hadits ini untuk duduk raka’at terakhir,
tidak dijelaskan apakah untuk shalat yang hanya dua, tiga atau empat raka’at. Pokoknya,
di raka’at terakhir, duduknya adalah tawarruk.
Hikmahnya seperti apa? Kenapa sampai tasyahud awwal dengan iftirosy sedangkan
tasyahud akhir dengan tawarruk?
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat,
duduk iftirosy pada tasyahud awwal dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir agar tidak
ada kerancuan mengenai jumlah raka’at. Yang termasuk sunnah adalah memperingan
tasyahud awwal dan duduknya adalah dengan iftirosy karena setelah itu lebih mudah
untuk berdiri ke raka’at berikutnya. Sedangkan untuk tasyahud kedua (tasyahud akhir)
yang disunnahkan adalah diperlama. Sehingga duduknya ketika itu tawarruk. Duduk
tawarruk lebih memungkinkan untuk duduk lama, juga bisa memperbanyak do’a kala
itu. Makmum masbuk pun akan tahu jika melihat saat itu berada di tasyahud awwal
ataukah akhir. (Al Majmu’, 3: 299).
Bagaimana jika ada makmum masbuk dan mendapatkan imam berada pada raka’at
terakhir, apakah ia duduk tawarruk ataukah iftirosy?
Sebagaimana tertera dalam Al Umm dari pendapat Imam Syafi’i, juga jadi pendapat
yang dianut Imam Al Ghozali dan mayoritas ulama Syafi’iyah, makmum masbuk yang
telat tersebut melakukan duduk iftirosy karena ia bukan berada di akhir shalat.
Sedangkan ulama Syafi’iyah lainnya berpendapat, ia mengikuti duduknya imam yaitu
tawarruk.
Begitu pula jika ada makmum masbuk dari shalat Maghrib yang melakukan tasyahud
hingga empat kali, maka di tiga tasyahud pertama, ia lakukan duduk iftirosy. Sedangkan
tasyahud akhir (yang keempatnya), ia melakukan duduk tawarruk. Demikian pendapat
dari ulama Syafi’iyah. (Idem)
Bagaimana bisa lakukan tasyahud sampai empat kali?
Ini bisa terjadi jika makmum mendapati shalat imam setelah ruku’ pada raka’at kedua.
Maka ia tasyahud pertama kali ketika imam tasyahud awwal di raka’at kedua. Lalu ia
tasyahud kedua kalinya ketika imam tasyahud akhir. Kemudian ia melakukan lagi
tasyahud ketiga ketika berada pada raka’at kedua baginya. Lalu ia melakukan tasyahud
keempat ketika raka’at terakhir (raka’at ketiga) baginya.

Cara Menggenggam Jari Tangan Ketika Tasyahud


Imam Asy Syairozi berkata, “Disunnahkan membentangkan jari tangan kiri di paha kiri.
Sedangkan untuk tangan kanan ada tiga pendapat. Salah satunya, meletakkan tangan
kanan di paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Hal ini yang
masyhur sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di
lutut kiri. Beliau meletakkan tangan kanan di lutut kanan, lalu beliau menggenggam tiga
jari dan berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan jari jempol berada di samping jari
telunjuk.” (Al Majmu’, 3: 300)
Diterangkan oleh Imam Nawawi, yang dimaksud meletakkan jari di situ adalah
diletakkan di ujung lutut. Lihat Al Majmu’, 3: 301.
Adapun maksud Imam Asy Syairozi adalah hadits Ibnu ‘Umar berikut.

ُ‫ض َع يَدَه‬ َ َّ ‫ َكانَ إِذَا قَعَدَ ِفى الت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
َ ‫ش ُّه ِد َو‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬ ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
َ
َ‫عقَدَ ثََلَثَةً َوخ َْمسِين‬ َ ‫ض َع يَدَهُ ْالي ُْمنَى َعلَى ُر ْكبَتِ ِه ْالي ُْمنَى َو‬
َ ‫علَى ُر ْكبَ ِت ِه ْاليُس َْرى َو َو‬ َ ‫ْاليُس َْرى‬
‫سبَّابَ ِة‬ َ ‫َوأَش‬
َّ ‫َار بِال‬
Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud,
tangan kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di lutut kanan.
Lalu ia berisyarat dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan berisyarat dengan
jari telunjuk (maksudnya: jari kelingking, jari manis dan jari tengah digenggam, lalu jari
telunjuk memberi isyarat, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk). (HR.
Muslim no. 580).
Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh
Imam Nawawi:
1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan
jempol tidak digenggam (dilepas begitu saja).
2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut
membentuk lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian ruas
jari dari jari jempol.
Cara Tasyahud: Ujung jari jempol dan tengah membentuk lingkaran
3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu’, 3: 301)
Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:
Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan hadits
dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani
menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama Syafi’iyah
lainnya. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari seorang
sahabat radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ketika
menyebut kalimat tauhid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu saat berisyarat
ikhlas.
Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena yang
dianjurkan, tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.
Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari jadi
gugur dan tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.
Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari
Abdullah bin Zubair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan
kanannya dan berisyarat dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat
tersebut. Dalam hadits disebutkan,

ُ‫َارتَه‬ َ َ‫َلَ يُ َجا ِو ُز ب‬


َ ‫ص ُرهُ ِإش‬
“Janganlah pandangannya melebihi isyarat jarinya.” (HR. Abu Daud no. 990. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) (Al Majmu’, 3: 302).

Kapan Mulai Berisyarat dengan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud?


Kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk ketika tasyahud, baik tasyahud awal
maupun akhir?
Yang membicarakan isyarat jari telunjuk ketika tasyahud di antaranya adalah hadits dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di mana ia berkata,

َ ‫صا ِب َعهُ ُكلَّ َها َوأَش‬


‫َار‬ َ ‫علَى َف ِخ ِذ ِه ْالي ُْمنَى َوقَ َب‬
َ َ‫ض أ‬ َ ‫ض َع َكفَّهُ ْالي ُْمنَى‬
َ ‫صَلَةِ َو‬َّ ‫س فِى ال‬ َ َ‫َكانَ ِإذَا َجل‬
‫علَى فَ ِخ ِذ ِه ْاليُس َْرى‬ َ ‫ض َع َكفَّهُ ْاليُس َْرى‬ َ ‫ام َو َو‬ ِ ‫صبَ ِع ِه الَّ ِتى ت َ ِلى‬
َ ‫اْل ْب َه‬ ْ ِ ‫ِبإ‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat (duduk tasyahud), beliau
meletakkan telapak tangannya yang kanan di pahanya yang kanan. Beliau
menggenggam seluruh jarinya dan berisyarat dengan jari telunjuk yang berada di
samping jari jempol. Beliau meletakkan telapak tangan kiri di paha kirinya.” (HR. Muslim
no. 580).
Imam Syafi’i menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah
sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Al Majmu’, 3: 301).
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), “Berisyarat dengan jari telunjuk
dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dengan jari tangan kanan,
bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari
lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan atau pun jari tangan kiri.
Disunnahkan pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih
disebutkan dalam sunan Abi Daud yang menerangkan hal ini. Isyarat tersebut dengan
mengarah kiblat. Isyarat tersebut sebagai pertanda tauhid dan ikhlas.”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam kalimat
tasyahud, yaitu pada kata “laa”. Ketika sampai pada kalimat penetapan (itsbat) yaitu
“Allah”, maka jari tersebut diletakkan kembali.
Ulama Malikiyah berisyarat kanan dan kiri dari awal hingga akhir shalat.
Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah “Allah”. (Lihat Shifat Shalat
Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 141).

Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Tasyahud

Bagaimana hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud? Apakah


disunnahkan? Berikut tinjauan kami berdasarkan pendapat dalam madzhab
Syafi’i.

Dalam madzhab Syafi’i ada beberapa pendapat.

Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’i dan tidak terjadi perselisihan
kuat dalam madzhab itu sendiri, pendapat ini pun menjadi pendapat mayoritas
ulama, isyarat jari tersebut tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerakkan,
hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat karena gerakannya sedikit.

Pendapat kedua dalam madzhab Syafi’i lainnya, menggerakkan jari itu


diharamkan. Jika digerakkan shalatnya tidak batal karena gerakannya sedikit.

Sedangkan ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa haram digerak-


gerakkan, akibatnya membuat shalat batal. Namun pendapat terakhir ini adalah
pendapat yang syadz (nyleneh) dan lemah.
Pendapat ketiga dalam madzhab Syafi’i yang dikemukakan oleh Abu Hamid dan
Al Bandanijiy, juga Al Qodhi Abu Thoyyib, menggerakkan jari itu dihukumi
sunnah. Mereka berdalil dengan hadits Wail bin Hujr di mana ia menceritakan
mengenai tata cara (sifat) shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
meletakkan kedua tangannya ketika tasyahud, lalu Wail berkata,

‫ثم رفع أصبعه فرأيته يحركها يدعو بها‬

“Beliau mengangkat jarinya. Aku lihat beliau menggerak-gerakkan jarinya dan


berdoa dengannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad
shahih.

Imam Al Baihaqi berkata,

‫يحتمل أن يكون المراد بالتحريك اَلشارة بها َل تكرير تحريكها فيكون موافقا‬
‫لرواية ابن الزبير‬

“Boleh jadi yang dimaksud dengan “yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari)”


adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-
gerakkan jari berulang kali. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi
sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. ”

Disebutkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnuz Zubair radhiyallahu
‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berisyarat dengan jarinya
ketika berdoa namun beliau tidak menggerakkan jarinya. Riwayat tersebut
disebutkan dalam sunan Abi Daud dengan sanad shahih.

Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa menggerak-gerakkan jari dapat mengusir setan, hadits
tersebut tidaklah shahih. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Waqidi bersendirian
dan ia adalah perawi yang dhaif (lemah). (Al Majmu’, 3: 301-302).

Apakah Saat Tasyahud Awal Membaca Shalawat?


Pendapat pertama, pendapat Imam Syafi’i al qodim (pendapat Imam Syafi’i di
Irak), tidak membaca shalawat pada tasyahud awal karena seandainya
disyari’atkan, tentu akan disyari’atkan pula membaca shalawat pada keluarga
Muhammad seperti pada tasyahud akhir.

Pendapat kedua, sebagaimana disebutkan dalam Al Umm bahwa shalawat tetap


dibaca pada tasyahud awal karena ketika itu ada duduk untuk membaca
tasyahud, maka tetap membaca shalawat ketika itu sebagaimana pada tasyahud
akhir.

Dua pendapat di atas disebutkan oleh Asy Syairozi, lihat Al Majmu’, 3: 306.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa membaca shalawat menurut


pendapat al qodim tidak disyariatkan. Ini juga yang menjadi pendapat Abu
Hanifah, Imam Ahmad dan Ishaq. Begitu pula pendapat ini diceritakan dari
‘Atho’, Asy Sya’biy, dan Ats Tsauri.

Sedangkan menurut pendapat al jadid (pendapat Imam Syafi’i di Mesir),


membaca shalawat ketika tasyahud awal tetap disyariatkan. Inilah pendapat di
kalangan ulama Syafi’iyah yang lebih kuat, namun perselisihannya tidaklah kuat.
(Idem)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam adalah fardhu pada tasyahud akhir. Sedangkan di tasyahud awal
termasuk sunnah shalat, demikian pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’i dan
perselisihan untuk masalah ini amat kuat. Menurut pendapat terkuat pula
(perselisihannya tidak terlalu kuat dalam madzhab), tidak disunnahkan shalawat
pada keluarga nabi pada tasyahud awal.” (Minhajut Tholibin, hal. 179-180).

Syaikh Musthofa Al Bugho memasukkan shaawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam setelah tasyahud awal pada sunnah ab’adh, artinya bila ditinggalkan
mesti ada sujud sahwi. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 146.

Imam Tasyahud Akhir, Makmum Masbuk Duduk Iftirosy atau Tawarruk?


-Bagaimanakah yang dilakukan oleh makmum masbuk (makmum yang telat)
jika imam sedang tasyahud akhir, makmum melakukan duduk iftirosy ataukah
tawarruk?

Bagaimanakah bentuk duduk iftirosy dan duduk tawarruk. Kita dapat melihat
dalam hadits Abu Humaid berikut.

‫الر ْكعَ ِة‬ َ ‫ َوإِذَا َج َل‬، ‫ب ْالي ُْمنَى‬


َّ ‫س فِى‬ َ ‫ص‬ َ َ‫علَى ِر ْج ِل ِه ْاليُس َْرى َون‬
َ ‫س‬ َ َ‫الر ْك َعتَي ِْن َجل‬
َّ ‫س فِى‬ َ َ‫فَإِذَا َجل‬
‫ب اَل ُ ْخ َرى َوقَ َعدَ َعلَى َم ْق َعدَتِ ِه‬َ ‫ص‬ َ َ‫اْلخ َرةِ قَد ََّم ِر ْجلَهُ ْاليُس َْرى َون‬
ِ

“Jika duduk di raka’at kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di raka’at terakhir, beliau
mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu
(baca: duduk tawarruk).” (HR. Bukhari no. 828).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika makmum masbuk duduk di akhir


shalatnya imam (imam berada pada tasyahud akhir). Ada tiga pendapat ulama
Syafi’iyah dalam hal ini. Pendapat yang lebih tepat -dalam hal ini perselisihannya
tidak terlalu kuat-, mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa duduknya
makmum adalah duduk iftirosy.

Pendapat kedua -merupakan pendapat lainnya-, duduknya adalah tawarruk.


Pendapat ketiga dari ulama Syafi’iyah, ketika makmum masbuk berada pada
rakaat yang ada tasyahud (rakaat kedua), maka makmum melakukan duduk
iftirosy. Jika ia berada dalam duduk yang lain, ia melakukan duduk tawarruk
karena mengikuti imam.” (Roudhotuth Tholibin, 1: 185).

PENDAPAT LEBIH KUAT, DUDUKNYA MAKMUM MASBUK KETIKA IMAM TASYAHUD AKHIR

ADALAH DUDUK IFTIROSY. INILAH PENDAPAT YANG DIANUT MAYORITAS ULAMA SYAFI’IYAH.

Adapun pemahaman dari hadits berikut,

‫صلَّى‬ َ ‫ َو ِإذَا‬، ‫ار َكعُوا‬


َ ‫ َو ِإ ْن‬، ‫س َجدَ فَا ْس ُجدُوا‬ ْ َ‫ َو ِإذَا َر َك َع ف‬، ‫ فَإِذَا َكب ََّر فَ َك ِب ُروا‬، ‫اْل َما ُم ِليُؤْ ت َ َّم ِب ِه‬
ِ ‫ِإنَّ َما ُج ِع َل‬
‫صلُّوا قِيَا ًما‬
َ َ‫قَائِ ًما ف‬
“Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka
bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam sujud, maka sujudlah.
Jika imam shalat sambil berdiri, maka shalatlah demikian pula.” (Muttafaqun
‘alaih).

Yang dimaksud hadits di atas adalah dalam gerakan umum, bukan gerakan
secara detail. Kalau gerakan yang lebih mendalam, tidaklah mengapa makmum
berbeda dengan imam seperti ketika imam tasyahud akhir, imam melakukan
duduk tawarruk dan makmum masbuk tetap duduk iftirosy.

Untuk memahami secara utuh artikel di atas, alangkah baiknya membaca pula:

1- Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

2- Sifat Shalat Nabi (11): Cara Duduk antara Dua Sujud.

3- Sifat Shalat Nabi (13): Cara Duduk Tasyahud Awwal dan Akhir.

acaan Tasyahud, Perlukah Diganti Assalamu ‘alan Nabi?

Bacaan tasyahud di dalamnya disebutkan assalamu ‘alaika ayyuhan nabi,


artinya salam untukmu wahai Nabi. Ini menggunakan lafazh orang kedua,
seperti orang yang diajak bicara. Sedangkan dalam beberapa riwayat disebutkan
lafazh tersebut hendaknya diganti dengan kata ganti orang ketiga menjadi
‘assalamu ‘alan nabi’, artinya salam bagi nabi. Apakah perlu mengganti dengan
lafazh orang ketiga ataukah tetap seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ajarkan?

Perlu dipahami bahwa hadits-hadits yang membicarakan bacaan tasyahud, yang


lebih sempurna adalah bacaan dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pandangan dari ulama
Syafi’iyah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bacaan tasyahud yang paling sempurna


menurut kami adalah bacaan tasyahud dari Ibnu ‘Abbas, lalu bacaan dari Ibnu
Mas’ud, lalu bacaan dari Ibnu ‘Umar.” (Al Majmu’, 3: 304). Hal yang sama juga
dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Roudhotuth Tholibin, 1: 186.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

ِ ‫ورة َ ِمنَ ْالقُ ْر‬


‫آن‬ َ ‫س‬ َ َّ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َو َك ِفى بَيْنَ َكفَّ ْي ِه الت‬
ُّ ‫ َك َما يُعَ ِل ُمنِى ال‬، َ‫ش ُّهد‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫علَّ َمنِى َر‬ َ
‫علَى‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َّ ‫ ال‬، ُ‫َّللاِ َوبَ َر َكاتُه‬
َ ‫سَلَ ُم‬ ُ
َّ ‫ى َو َرحْ َمة‬ َ
ُّ ِ‫علَيْكَ أيُّ َها النَّب‬
َ ‫سَلَ ُم‬ َّ
َّ ‫ ال‬، ُ‫صلَ َواتُ َوالطيِبَات‬ َّ ‫الت َّ ِحيَّاتُ ِ َّلِلِ َوال‬
‫ فَلَ َّما‬، ‫ظ ْه َرانَ ْينَا‬ َ ُ‫سولُه‬
َ َ‫و ْه َو بَيْن‬. َ ‫َّللاُ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬
ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬ َّ َّ‫ أ َ ْش َهدُ أَ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬، َ‫صا ِل ِحين‬ َّ ‫ِعبَا ِد‬
َّ ‫َّللاِ ال‬
‫علَى النَّ ِب ِى – صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ يَ ْعنِى‬. ‫سَلَ ُم‬ ْ
َّ ‫ض قُلنَا ال‬ َ ‫قُ ِب‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak


tanganku berada di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau–
sebagaimana beliau mengajariku surat dalam Al Qur’an: ‘At tahiyyaatu lillaah,
wash shalawaatu wath thayyibaat, assalaamu’alaika ayyuhan-nabiyyu
warahmatullaahi wa barakaatuh, as-salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-
shaalihiin. Asyhadu al-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan
‘abduhu wa rasuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan
adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai
Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)’.
Bacaan itu kami ucapkan ketika beliau masih ada di antara kami. Adapun setelah
beliau meninggal, kami mengucapkan ‘as salaamu ‘alan Nabiy (shallallaahu
‘alaihi wa sallam)” ” (HR. Bukhari no. 6265).

Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa
amalan tersebut hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa
mengamalkan semuanya. Para sahabat ketika bersafar saja masih mengucapkan
assalamu’alaika ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak beralih mengganti menjadi
assalamu ‘alan nabi. Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Demikianlah yang diajarkan kepada kami dan demikian yang kami ajarkan.”
Maksudnya adalah kami mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan tanpa ada penambahan ataukah
pengurangan. Siapa yang mengamalkan seperti yang Ibnu Mas’ud amalkan,
maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa yang mengamalkan seperti yang
diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga yang diceritakan oleh ‘Atho dari beberapa
sahabat, tidaklah masalah.” (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi,
hal. 143).

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, “Dalam


tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”
atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan
bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau
wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.

Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, “Yang lebih tepat,
seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika
ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar
yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan
tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika
memang itu benar riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad dari Ibnu
Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 8571, pertanyaan pertama. Yang


menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua,
Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan
‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota)

Bacaan Tasyahud Awal

Ada dua bacaan tasyahud awal dari beberapa bacaan tasyahud yang kami
utarakan kali ini.

Pertama, bacaan tasyahud Ibnu ‘Abbas.


‫علَ ْينَا‬ َّ ُ‫ى َو َرحْ َمة‬
َّ ‫َّللاِ َوبَ َر َكاتُهُ ال‬
َ ‫سَلَ ُم‬ ُّ ‫علَيْكَ أَيُّ َها النَّ ِب‬
َ ‫سَلَ ُم‬ َّ ُ‫صلَ َوات‬
َّ ‫الط ِيبَاتُ ِ َّلِلِ ال‬ َّ ‫اركَاتُ ال‬ َ َ‫الت َّ ِحيَّاتُ ْال ُمب‬
ُ ‫َّللاُ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬
ِ‫َّللا‬ َّ َّ‫صا ِل ِحينَ أ َ ْش َهدُ أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬ َّ ‫علَى ِعبَا ِد‬
َّ ‫َّللاِ ال‬ َ ‫َو‬

“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu


‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa
‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna
Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat,
keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan
barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan
kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)” (HR. Muslim no. 403).

Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud.

‫علَى‬
َ ‫علَ ْينَا َو‬ َّ ُ‫ى َو َرحْ َمة‬
َّ ‫ ال‬، ُ‫َّللاِ َو َب َر َكاتُه‬
َ ‫سَلَ ُم‬ ُّ ِ‫علَيْكَ أَيُّ َها النَّب‬
َ ‫سَلَ ُم‬َّ ‫ ال‬، ُ‫الطيِ َبات‬َّ ‫صلَ َواتُ َو‬ َّ ‫الت َّ ِحيَّاتُ ِ َّلِلِ َوال‬
ُ‫سولُه‬ َ ‫َّللاُ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬
ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬ َّ َّ‫ أ َ ْش َهدُ أَ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬، َ‫صا ِل ِحين‬ َّ ‫ِعبَا ِد‬
َّ ‫َّللاِ ال‬

“At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika


ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa
‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna
Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat,
dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan
kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah
yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan
utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 6265).

Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal

Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud
awal di atas,
َ ‫ع َلى آ ِل ِإب َْراه‬
ٌ‫ ِإنَّكَ َح ِميدٌ َم ِجيد‬، ‫ِيم‬ َ ‫ِيم َو‬ َ َ‫صلَّيْت‬
َ ‫علَى ِإب َْراه‬ َ ‫ َك َما‬، ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ َو‬، ‫علَى ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِل‬
َ ‫علَى آ ِل إِب َْراه‬
ٌ‫ إِنَّكَ َح ِميد‬، ‫ِيم‬ َ ‫علَى إِب َْراه‬
َ ‫ َو‬، ‫ِيم‬ َ َ‫ار ْكت‬
َ َ‫ َك َما ب‬، ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫ َو‬، ‫علَى ُم َح َّم ٍد‬ ِ َ‫ اللَّ ُه َّم ب‬،
َ ‫ار ْك‬
ٌ‫َم ِجيد‬

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala
Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali
Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797
dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).

Minimal bacaan shalawat adalah,

‫ع َل ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫ص ِل‬
َ ‫الل ُه َّم‬

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah


pada Muhammad)”. (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).

Cara Bangkit ke Rakaat Ketiga Setelah Tasyahud Awal

Bangkit ke rakaat ketiga dengan bertumpu pada tangan sambil bertakbir “Allahu
Akbar”.

Menurut madzhab Syafi’i, berdiri ke rakaat ketiga adalah dengan bertumpu pada
tangan di tanah. (Al Majmu’, 3: 307). Sebagaimana hal ini diterangkan
sebelumnya pada point 29 ketika membahas cara bangkit ke rakaat kedua.

Bangkit ke rakaat ketiga setelah tasyahud awal dengan mengangkat


tangan.

Menurut ulama Syafi’iyah, disunnahkan mengangkat tangan ketika bangkit ke


rakaat ketiga. (Idem).
Dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi mengenai mengangkat tangan saat bangkit
dari tasyahud awwal, ia berkata,

َ َ‫الر ْكعَ ِة الثَّانِيَ ِة ِمثْ َل ذَلِكَ َحتَّى إِذَا ق‬


َ ‫ام ِمنَ السَّجْ دَتَي ِْن َكب ََّر َو َرفَ َع يَدَ ْي ِه َحتَّى يُ َحاذ‬
‫ِى‬ َ ‫ض ث ُ َّم‬
َّ ‫صنَ َع فِى‬ َ ‫ث ُ َّم نَ َه‬
َّ ‫صنَ َع ِحينَ ا ْفتَت َ َح ال‬
َ ‫صَلَة‬ َ ‫ِب ِه َما َم ْن ِكبَ ْي ِه َك َما‬

“Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan


raka’at kedua seperti raka’at pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua
raka’at, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar
dengan pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram
(ketika memulai shalat).” (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Membaca surat Al Fatihah dengan lirih di rakaat ketiga dan keempat.

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat,


rakaat ketiga dilakukan sama dengan rakaat kedua, yang berbeda hanyalah
bacaan yang tidak dijaherkan (tidak dikeraskan).

Abu Bakr Al Hishniy berkata, “Tidak dianjurkan untuk membaca surat lain selain
Al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang lebih kuat.
Kecuali jika sebagai makmum masbuk, maka surat selain Al Fatihah masih
dibaca pada rakaat ketiga atau keempat. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i.”
(Kifayatul Akhyar, hal. 160).

Namun sebenarnya sesekali membaca surat lain setelah Al Fatihah pada rakaat
ketiga dan keempat itu dibolehkan. Berdasarkan hadits berikut,

َ ‫ َكانَ يَ ْق َرأ ُ فِى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬


‫صَلَ ِة‬ َّ ِ‫ى أ َ َّن النَّب‬ِ ‫س ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
َ ‫َع ْن أَبِى‬
‫الر ْكعَتَي ِْن اَلُولَيَي ِْن فِى ُك ِل َر ْكعَ ٍة قَ ْد َر ثََلَثِينَ آيَةً َوفِى اَل ُ ْخ َريَي ِْن قَ ْد َر‬ َّ ‫الظ ْه ِر فِى‬ ُّ
‫الر ْك َعتَي ِْن اَلُولَيَي ِْن فِى ُك ِل‬
َّ ‫ص ِر فِى‬ ْ َ‫ف ذَ ِل َك َوفِى ْالع‬ َ ‫ص‬ ْ ِ‫س َعش ََرة َ آيَةً أ َ ْو قَا َل ن‬ َ ‫خ َْم‬
‫ف ذَ ِل َك‬ ْ ِ‫س َع ْش َرة َ آ َيةً َوفِى اَل ُ ْخ َر َيي ِْن قَ ْد َر ن‬
ِ ‫ص‬ َ ‫َر ْك َع ٍة قَ ْد َر قِ َرا َءةِ خ َْم‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca surat di shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua pada setiap
rakaat sekitar membaca 30 ayat. Pada rakaat ketiga dan keempat membaca 15
ayat. Sedangkan waktu Ashar membaca separuh dari waktu Zhuhur, yaitu
rakaat pertama dan kedua membaca 15 ayat di masing-masing rakaat.
Kemudian di rakaat ketiga dan keempat membaca separuh dari itu. (HR. Muslim
no. 452).

Padahal surat Al Fatihah berjumlah 7 ayat. Berarti di rakaat ketiga dan keempat
bisa dibaca lebih dari surat Al Fatihah.

Bagaimanakah keadaan tangan ketika sujud?

Dari Ibnu Buhainah, ia berkata,

‫صلَّى فَ َّر َج َبيْنَ َيدَ ْي ِه َحتَّى َي ْبد َُو‬


َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ِإذَا‬ َّ ‫أ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫اض ِإ ْب‬
‫ط ْي ِه‬ ُ ‫َب َي‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat, beliau merenggangkan lengan


tangannya (ketika sujud) hingga nampak putih ketiak beliau.” (HR. Bukhari no.
390 dan Muslim no. 495).

Dari Al Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ْ ‫ض ْع َكفَّي َْك َو‬


‫ارفَ ْع ِم ْرفَقَي َْك‬ َ َ‫ْت ف‬ َ ‫ِإذَا‬
َ ‫س َجد‬

“Jika engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua
sikumu.” (HR. Muslim no. 494).

Dari Wail bin Hujr, ia berkata,

َ َ ‫ض َّم أ‬
» ُ‫صابِعَه‬ َ ‫سلَّ َم َكانَ « إِذَا‬
َ َ‫س َجد‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Ketika sujud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merapatkan jari jemarinya.”


(HR. Hakim dalam Mustadroknya 1: 350. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini
shahih sesuai syarat Muslim dan disetujui pula oleh Imam Adz Dzahabi)
Ada empat tuntunan yang diajarkan dalam hadits-hadits di atas:

1- Meletakkan kedua telapak tangan di lantai, bahkan telapak tangan


tersebut merupakan anggota sujud yang mesti diletakkan
2- Saat sujud, jari-jemari tangan dirapatkan.
3- Disunnahkan menjauhkan dua lengan dari samping tubuh ketika sujud.
Namun perihal di atas dikecualikan jika berada dalam shalat jamaah.
Perlu dipahami bahwa membentangkan lengan seperti itu dihukumi
sunnah. Ketika cara sujud seperti itu dilakukan saat shalat jamaah berarti
mengganggu yang berada di kanan dan kiri. Syaikh Muhammad bin Shalih
bin Shalih Al ‘Utsaimin membawakan suatu kaedah dalam masalah ini,

ُّ ‫سنَّ ِة ِلدَ ْفعِ اَلَذَى أ َ ْولَى ِم ْن فِ ْع ِل ال‬


‫سنَّ ِة َم َع اَلَذَى‬ ُّ ‫أ َ َّن ت َ ْر َك ال‬

“Meninggalkan perkara yang hukumnya sunnah untuk menghindarkan diri dari


mengganggu orang lain lebih utama dari mengerjakan hal yang sunnah namun
mengganggu orang lain.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 264).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dua adab awal ketika sujud ini dengan
mengatakan, “Hendaknya yang sujud meletakkan kedua telapak tangannya ke
lantai dan mengangkat sikunya dari lantai. Hendaklah lengannya dijauhkan dari
sisi tubuhnya sehingga nampak bagian dalam ketiaknya ketika ia tidak
berpakaian tertutup (seperti memakai kain selendang saja ketika berihram saat
haji atau umrah, -pen). Inilah cara sujud yang disepakati oleh para ulama. Jika
ada yang tidak melakukannya, maka dapat dihukumi shalatnya itu jelek, namun
shalatnya itu sah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187).

4- Lengan mesti diangkat, tidak menempel pada lantai. Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengangkatnya dan tidak menempelkan
lengan atau siku ke lantai saat sujud. Dalam hadits disebutkan pula,

ِ ‫ط ْال َك ْل‬
‫ب‬ َ ‫سا‬ ْ ‫س‬
َ ‫ط أ َ َحدُ ُك ْم ذ َِرا َع ْي ِه ا ْن ِب‬ ُّ ‫ا ْعت َ ِدلُوا فِى ال‬
ُ ‫ َوَلَ يَ ْب‬، ‫س ُجو ِد‬
“Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian
menempelkan lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan
lengannya saat duduk.” (HR. Bukhari no. 822 dan Muslim no. 493).

Apa hikmah mengangkat siku atau lengan tangan ketika sujud? Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Hikmah melakukan cara seperti itu adalah untuk
mendekatkan pada sifat tawadhu’. Cara seperti itu pula akan membuat anggota
sujud yang mesti menempel benar-benar menempel ke lantai yaitu dahi dan
hidung. Cara sujud seperti itu pula akan menjauhkan dari sifat malas. Perlu
diketahui bahwa cara sujud dengan lengan menempel ke tanah menyerupai
anjing yang membentangkan lengannya. Keadaan lengan seperti itu pula
pertanda orang tersebut meremehkan shalat dan kurang perhatian terhadap
shalatnya. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 187)

Bacaan Tasyahud Akhir

Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga
duduk tasyahud akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk,
baik shalat tersebut terdapat dua kali tasyahud, atau shalat tersebut dua raka’at
atau lebih. Hal ini sudah diterangkan sebelumnya pada

Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal

َّ ُ‫ى َو َر ْح َمة‬
ُ‫َّللاِ َوبَ َر َكاتُه‬ ُّ ِ‫علَي َْك أَيُّ َها النَّب‬
َ ‫سَلَ ُم‬ َّ ُ‫صلَ َوات‬
َّ ‫الط ِيبَاتُ ِ َّلِلِ ال‬ َّ ‫اركَاتُ ال‬ َ َ‫الت َّ ِحيَّاتُ ْال ُمب‬
َّ ‫سو ُل‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ ْش َهد ُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ َّ‫صا ِل ِحينَ أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن َلَ ِإلَهَ ِإَل‬ َّ ‫علَى ِع َبا ِد‬
َّ ‫َّللاِ ال‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬
َ ‫سَلَ ُم‬ َّ ‫ال‬
، ‫يم‬ َ ‫علَى آ ِل ِإب َْرا ِه‬ َ ‫يم َو‬ َ ‫علَى ِإب َْرا ِه‬ َ ‫ْت‬ َ ‫صلَّي‬
َ ‫ َك َما‬، ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ َو‬، ‫علَى ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫ع َلى ِإب َْرا ِه‬
، ‫يم‬ َ ‫ت‬ َ ‫ار ْك‬ َ ‫ َك َما َب‬، ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ َو‬، ‫علَى ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ار ْك‬ ِ ‫ اللَّ ُه َّم َب‬، ٌ‫ِإنَّ َك َح ِميدٌ َم ِجيد‬
ٌ‫ ِإنَّ َك َح ِميد ٌ َم ِجيد‬، ‫يم‬ َ ‫علَى آ ِل ِإب َْرا ِه‬ َ ‫َو‬

Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ب ْالقَب ِْر‬
ِ ‫عذَا‬ ِ ‫عذَا‬
َ ‫ب َج َهنَّ َم َو ِم ْن‬ َّ ‫اْلخ ِر فَ ْل َيتَ َع َّو ْذ ِب‬
َ ‫الِلِ ِم ْن أ َ ْر َبعٍ ِم ْن‬ َ َّ ‫غ أ َ َحد ُ ُك ْم ِمنَ الت‬
ِ ‫ش ُّه ِد‬ َ ‫ِإذَا فَ َر‬
ِ ‫ت َو ِم ْن ش َِر ْال َمس‬
‫ِيح الدَّ َّجا ِل‬ ِ ‫َو ِم ْن فِتْنَ ِة ْال َم ْحيَا َو ْال َم َما‬
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam),
mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam,
(2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih
Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).

Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam
riwayat lain,

ِ ‫ار َوفِتْنَ ِة ْال َم ْحيَا َو ْال َم َما‬


‫ت َوش َِر‬ ِ ‫ب ْالقَب ِْر َو َعذَا‬
ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫عوذُ بِ َك ِم ْن َعذَا‬ ُ َ ‫اللَّ ُه َّم إِنِى أ‬
‫ْال َمسِيحِ الدَّ َّجا ِل‬

“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil
mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta
perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika
hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)

Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ب ْالقَب ِْر َو ِفتْنَ ِة‬


ِ ‫عذَا‬ َ ‫ب َج َهنَّ َم َو‬ ِ ‫عذَا‬ َّ ‫ش َّهدَ أ َ َحدُ ُك ْم فَ ْل َيت َ َع َّو ْذ ِب‬
َ ‫الِلِ ِم ْن أ َ ْر َبعٍ ِم ْن‬ َ َ ‫ِإذَا ت‬
ُ ‫ت َو ِم ْن ش َِر ْال َمسِيحِ الدَّ َّجا ِل ث ُ َّم يَ ْد‬
ُ‫عو ِلنَ ْف ِس ِه بِ َما بَدَا لَه‬ ِ ‫ْال َم ْحيَا َو ْال َم َما‬

“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan


pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari
fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah
ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An
Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah
dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al
Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.

Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama
Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,
‫ع دُ َعا ًء أ َ ْو‬ ْ ‫ور بِأ َ ْن‬
َ ‫اخت َ َر‬ ِ ُ ‫أ َ َّما َغي ُْر ْال َمأْث‬. ‫ور‬ِ ُ ‫ور َم َحلُّهُ فِي ْال َمأْث‬َ ‫ف ْال َم ْذ ُك‬َ ‫فَإ ِ َّن ْال ِخ ََل‬
‫ص ِري ًحا فِي‬ ْ َ ‫اْل َم ِام ت‬ ِ ْ ‫ي َع ْن‬ َّ ُ‫وز َك َما نَقَلَه‬
ُّ ‫الرافِ ِع‬ ُ ‫ص ََلةِ فَ ََل يَ ُج‬ َّ ‫ِذ ْك ًرا بِ ْالعَ َج ِميَّ ِة فِي ال‬
. ُ‫ص ََلتُه‬ َ ‫ط ُل ِب ِه‬ ُ ‫ َوت َ ْب‬، ‫ارا فِي الثَّانِيَ ِة‬ ً ‫ض ِة َو ِإ ْش َع‬َ ‫الر ْو‬ َّ ‫ص َر َعلَ ْي َها فِي‬ َ َ ‫ َوا ْقت‬، ‫ْاَلُولَى‬
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang
tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh
doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di
dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i
dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab
Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan
selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).

Semoga bermanfaat. Insya Allah masih berlanjut pada permasalahan Sifat


Shalat Nabi selanjutnya. Moga Allah mudahkan.

Di Tasyahud Akhir, Nabi Meminta Perlindungan dari Banyak


Utang

Setelah tasyahud akhir, lalu meminta perlindungan dari 4 hal, kemudian


diperkanankan meminta doa semau kita. Di antara doa yang diajarkan setelah
tasyahud akhir atau dalam shalat adalah meminta perlindungan dari perbuatan
dosa dan sulitnya berutang.

Dari ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Aisyah mengabarkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalatnya,

ُ َ ‫ َوأ‬، ‫عوذ ُ بِ َك ِم ْن فِتْنَ ِة ْال َمسِيحِ الدَّ َّجا ِل‬


ُ ‫عوذ‬ ُ َ ‫ب ْالقَب ِْر َوأ‬
ِ ‫عوذُ بِ َك ِم ْن َعذَا‬ ُ َ ‫اللَّ ُه َّم إِنِى أ‬
‫عوذُ بِ َك ِمنَ ْال َمأْث َ ِم َو ْال َم ْغ َر ِم‬
ُ َ ‫ اللَّ ُه َّم ِإنِى أ‬، ‫ت‬ ِ ‫بِ َك ِم ْن فِتْنَ ِة ْال َم ْحيَا َوفِتْنَ ِة ْال َم َما‬

“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa a’udzu bika min fitnatil
masiihid dajjal, wa a’udzu bika min fitnatil mahyaa wa fitnatil mamaat.
Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku
meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan
pada-Mu dari cobaan Al Masih Ad Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu
dari musibah ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-
Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).” (HR. Bukhari no. 832 dan
Muslim no. 589).

IMAM BUKHARI MEMBAWAKAN HADITS DI ATAS DALAM BAB “DOA SEBELUM SALAM”. NAMUN

YANG LEBIH TEPAT, DOA DI ATAS BUKAN DIBACA KHUSUS KETIKA TASYAHUD AKHIR,

NAMUN BISA KETIKA SUJUD PULA, YANG PENTING DI DALAM SHALAT. DEMIKIAN PENEGASAN

DARI IBNU HAJAR DALAM AL FATH, 2: 318.

Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫ فَقَا َل لَهُ قَائِ ٌل َما‬. » ‫عوذ ُ ِب َك ِمنَ ْال َمأْث َ ِم َو ْال َم ْغ َر ِم‬
ُ َ ‫صَلَةِ َويَقُو ُل « اللَّ ُه َّم إِ ِنى أ‬
َّ ‫عو فِى ال‬ ُ ‫َكانَ يَ ْد‬
َ ‫عد‬
َ ‫ب َو َو‬ َ َ‫َّث فَ َكذ‬
َ ‫الر ُج َل ِإذَا غ َِر َم َحد‬ َّ ‫َّللاِ ِمنَ ْال َم ْغ َر ِم قَا َل « ِإ َّن‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أ َ ْكث َ َر َما ت َ ْست َ ِعيذ ُ َيا َر‬
‫ف‬ َ َ‫فَأ َ ْخل‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni
a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu
dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari
hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang
yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan
mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

Maksud do’a di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindung
pada Allah dari dosa dan utang. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim, 5: 79.

Doa tersebut berisi kandungan bahwa kita meminta perlindungan dari utang
yang sebenarnya tidak ada sebab untuk kita berutang dan yang ada sebabnya,
lalu kita tidak mampu melunasi utang tersebut. Namun yang dimaksud bisa jadi
lebih umum dari itu. Bisa juga yang dimaksud adalah meminta perlindungan dari
terlilitnya utang. Demikian kata Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 2:
319. Beliau katakan juga bahwa hadits tersebut menunjukkan bahayanya
berutang dan nasib jeleknya di akhirat kelak.
Ibnu Hajar Al Asqolani menerangkan pula, “Yang dimaksud dengan meminta
perlindungan dari utang yaitu jangan sampai hidup sulit gara-gara terlilit utang.
Atau maksudnya pula, meminta perlindungan pada Allah dari keadaan tidak
mampu melunasi utang.”

Kata Ibnu Hajar pula, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits
meminta perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang
membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan
meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang
berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari
kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat
Fathul Bari, 5: 61.

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya


memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang
menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.”
(Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 12: 37).

Jadi, jangan lupa dalam tasyahud akhir kita atau dalam shalat kita untuk
menambahkan doa ini,

‫عوذُ بِ َك ِمنَ ْال َمأْث َ ِم َو ْال َم ْغ َر ِم‬


ُ َ ‫اللَّ ُه َّم إِنِى أ‬

“Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (artinya: Ya Allah,
aku meminta pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).”

Di Tasyahud Akhir, Nabi Berdoa Memohon Ampunan

Salah satu doa lagi yang diajarkan setelah tasyahud akhir adalah doa memohon
ampunan. Doa ini yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.

– ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ أَنَّهُ قَا َل ِل َر‬. – ‫ق – رضى هللا عنه‬ ِ ‫ع ْن أَبِى َب ْك ٍر‬
ِ ‫الصدِي‬ َ
‫يرا َوَلَ َي ْغ ِف ُر‬ً ‫ظ ْل ًما َك ِث‬
ُ ‫ظلَ ْمتُ نَ ْفسِى‬ َ ‫ قَا َل « قُ ِل اللَّ ُه َّم ِإ ِنى‬. ‫صَلَ ِتى‬ َ ‫عو ِب ِه ِفى‬ ُ ‫عا ًء أ َ ْد‬ َ ُ ‫ع ِل ْم ِنى د‬ َ
» ‫الر ِحي ُم‬
َّ ‫ور‬ ْ
ُ ُ‫ت الغَف‬ َ
َ ‫ار َح ْمنِى ِإنَّ َك أ ْن‬ْ ‫ َو‬، ‫ِك‬ َ ‫ فَا ْغ ِف ْر ِلى َم ْغ ِف َرة ً ِم ْن ِع ْند‬، ‫ت‬ َ َّ
َ ‫وب ِإَل أ ْن‬ َ ُ‫الذن‬ُّ
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah padaku suatu doa yang aku baca dalam
shalatku.” Beliau menjawab, ucapkanlah, “Allahumma inni zholamtu nafsii
zhulman katsiroo wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta. Faghfir lii maghfiratan
min ‘indik, warhamnii innaka antal ghofurur rohiim (artinya: Ya Allah,
sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang
besar. Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Ampunilah aku
dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang).” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)

Maksud dari “maghfiratan min ‘indik”, yaitu ampunan dari sisi-Mu adalah
permintaan ampunan yang besar dari Allah. Ibnu Hajar mengatakan seperti ini
dalam Fathul Bari, 2: 320.

Sedangkan sifat yang disebutkan di akhir doa “al ghofur ar rohim” yaitu dua sifat
yang senantiasa bergandengan. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
al ghofur berarti Allah mengampuni maksiat yang telah dilakukan dan
disesalkan. Sedangkan ar rohim berarti Allah mengasihi hamba ketika ia lalai
dari melakukan kewajiban dan ketaatan. Ini yang disebutkan oleh beliau dalam
Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 277.

Adapun ampunan Allah (maghfirah) ada dua makna, yaitu Allah menutup dosa
dan tidak memberikan hukuman. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 271.

Doa di atas juga dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Bab “Doa Sebelum
Salam”. Kalau dikatakan sebelumnya, doa semacam itu bukan khusus berada di
akhir shalat sebelum salam setelah tasyahud akhir, namun boleh juga di tempat
lainnya di dalam shalat.

Imam Nawawi rahimahullah menegaskan bahwa maksud Abu Bakr yang


meminta pada Rasul mengenai doa yang ia baca dalam shalatnya, maka
maksudnya adalah pada berbagai tempat dalam shalat. Namun bisa jadi yang
dimaksud adalah pada tasyahud akhir.

Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa Abu Bakr itu bertanya mengenai
tasyahud, lalu beliau diajarkan tentang hal itu dan dikatakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam setelahnya, “Kemudian pilihlah doa yang disukai.”
Dari sini, dapat kita tahu alasan kenapa Imam Bukhari mengatakan bahwa doa
di atas terletak sebelum salam, maksudnya setelah tasyahud akhir. (Fathul Bari,
2: 320).

Di Tasyahud Akhir, Nabi Berdoa Agar Semangat


dalam Ibadah

Di tasyahud akhir, di antara doa yang dipanjatkan Nabi adalah doa agar terus
semangat dalam ibadah, maksudnya dijauhkan dari sifat “juben”.

Sa’ad bin ‘Abi Waqqash biasa mengajarkan anaknya beberapa kalimat doa
berikut. Ia mengajarkan doa tersebut sebagaimana para pengajar mengajarkan
menulis. Ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca doa ini di dubur shalat (akhir tasyahud sebelum salam),

ُ‫عوذ‬ ُ َ ‫ َوأ‬، ‫عوذُ بِكَ أ َ ْن أ ُ َردَّ إِلَى أ َ ْرذَ ِل ْالعُ ُم ِر‬


ُ َ ‫ َوأ‬، ‫عوذُ بِكَ ِم ْن فِتْنَ ِة الدُّ ْنيَا‬ ُ َ ‫ َوأ‬، ‫عوذُ بِكَ ِمنَ ْال ُجب ِْن‬
ُ َ ‫اللَّ ُه َّم إِنِى أ‬
‫ب ْالقَب ِْر‬ ِ ‫عذَا‬
َ ‫ِبكَ ِم ْن‬

“Allahumma inni a’udzu bika minal jubni, wa a’udzu bika an arudda ilaa ardzalil
‘umur, wa a’udzu bika min fitnatid dunyaa, wa a’udzu bika min ‘adzabil qodbri
(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemah melakukan
ibadah yang mulia, aku meminta perlindungan pada-Mu dari keadaan tua yang
jelek, aku meminta perlindungan pada-Mu dari tergoda syahwat dunia (sehingga
lalai dari kewajiban), aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur).”
(HR. Bukhari no. 2822).

Perhatian kita pada meminta perlindungan dari juben. Apa yang dimaksud
dengan sifat juben tersebut? Kenapa sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri di akhir tasyahud memanjatkan doa itu?

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6: 35) dan As Suyuthi dalam Hasyiyah Sunan An
Nasai (7: 143) berkata bahwa juben adalah antonim dari kata syaja’ah yang
berarti berani. Berarti juben adalah pengecut atau tidak berani.
Al Muhallab sebagaimana dinukil dalam Syarh Bukhari karya Ibnu Batthol
menyatakan bahwa juben adalah sifat pengecut dengan lari dari medan
pertempuran. (Syarh Bukhari, 9: 45)

Dalam ‘Aunul Ma’bud (4: 316, penjelasan hadits no. 1539) disebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan dari sifat juben karena
sifat tersebut dapat membuat seseorang tidak bisa memenuhi panggilan jihad
yang wajib, tidak berani mengemukakan kebenaran, tidak bisa mengingkari
kemungkaran, juga akan luput dari kewajiban lainnya.

Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lemahnya


hati sehingga menghalangi dari melakukan amalan-amalan yang mulia seperti
jihad, berkata yang benar, sulit melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, juga
dalam hal lainnya yang merupakan hal-hal mulia dalam Islam. (Minhatul ‘Allam,
hal. 186).

Intinya, sifat juben ini menghalangi dari melakukan kewajiban dan amalan yang
mulia. Dalam tasyahud akhir sebelum akhir, hendaklah kita bisa mengamalkan
doa ini sehingga kita bisa terus dimudahkan oleh Allah dalam ibadah.

Semoga doa ini bisa dihafalkan dan dipraktekkan oleh para pembaca
Rumaysho.Com. Moga bermanfaat. Ingatlah, hanya dengan taufik dan
pertolongan Allah-lah kita bisa mudah dan semangat dalam ibadah. Jangan
bosan untuk berdoa agar terus semangat dalam ketaatan.

Di Tasyahud Akhir, Berdoa Agar Rajin Berdzikir dan


Bersyukur

Di tasyahud akhir, ada doa yang dituntunkan yang bisa kita baca dan semestinya
dihafalkan, yaitu doa meminta pada Allah untuk rajin berdzikir, bersyukur dan
bagus dalam ibadah.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,
‫َّللاِ إِنِى َل ُ ِحب َُّك‬
َّ ‫َّللاِ إِنِى َل ُ ِحب َُّك َو‬
َّ ‫يَا ُمعَاذُ َو‬

“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku


mencintaimu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda,

‫ش ْك ِر َك َو ُحس ِْن‬ َ ‫صَلَةٍ تَقُو ُل اللَّ ُه َّم أ َ ِعنِى‬


ُ ‫علَى ِذ ْك ِر َك َو‬ َ َ‫يك َيا ُم َعاذ ُ َلَ تَد‬
َ ‫ع َّن فِى دُب ُِر ُك ِل‬ َ ‫وص‬ ِ ُ‫أ‬
‫ِعبَادَتِ َك‬

“Aku memberikanmu nasehat, wahai mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat


di penghujung shalat (di akhir shalat setelah sama) bacaan doa: Allahumma
a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku dalam
berdzikir, bersyukur dan beribadah yang baik pada-Mu).”

Disebutkan di akhir hadits,

َّ ‫ى أَبَا َع ْب ِد‬
.‫الر ْح َم ِن‬ ُّ ‫صنَا ِب ِح‬ َ ‫ى َوأ َ ْو‬
ُّ ‫صى ِب ِه ال‬ َّ ‫صنَا ِب ِح‬ َ ‫َوأ َ ْو‬
ُّ ‫صى ِبذَ ِل َك ُم َعاذٌ ال‬

“Mu’adz mewasiatkan seperti itu pada Ash Sunabihi. Lalu Ash Shunabihi
mewasiatkannya lagi pada Abu ‘Abdirrahman.” (HR. Abu Daud no. 1522 dan An
Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih).

Ada tiga permintaan yang diminta dalam doa ini.

Pertama, meminta pada Allah agar dimudahkan berdzikir. Di sini bisa berupa
membaca Al Quran, memuji Allah, menyibukkan diri dengan ilmu yang
bermanfaat, dan semacam itu. Lantas kenapa dzikir didahulukan dari syukur?
Karena jika seseorang tidak berdzikir berarti ia tidak bersyukur pada Allah. Allah
Ta’ala berfirman,

ِ ‫فَا ْذ ُك ُرونِي أ َ ْذ ُك ْر ُك ْم َوا ْش ُك ُروا ِلي َو ََل ت َ ْكفُ ُر‬


‫ون‬
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS.
Al Baqarah: 152).

Kedua, meminta pada Allah untuk rajin bersyukur. Syukur adalah menampakkan
bekas nikmat Allah pada lisan hamba-Nya sebagai bentuk pujian, juga ada
bentuk pengakuan dalam hati dan diwujudkan dengan ketundukkan pada
anggota badan. Disebut syukur tentu saja dengan memanfaatkan nikmat
tersebut untuk ketaatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, serta menjauhkan
diri dari maksiat pada-Nya.

Ketiga, meminta pada Allah supaya bisa beribadah dengan baik. Yang dimaksud
ibadah yang baik adalah ibadah yang ikhlas dan ibadah yang sesuai tuntunan.

Dalam hadits disebutkan bahwa doa tersebut dibaca di dubur shalat. Dubur
shalat itu bisa berarti sebelum salam, bisa pula sesudah salam. Namun yang
lebih tepat di sini adalah sebelum salam karena dua alasan:

 Dubur shalat itu adalah ujungnya sesuatu dan masih merupakan bagian
dari sesuatu tersebut, sehingga lebih tepat dimaknakan dubur shalat di
sini adalah di akhir shalat sebelum salam.

 Sebelum salam itu adalah tempatnya doa. Namun kalau lupa dilakukan
sebelum salam, maka bisa memilih sesudah salam karena sama-sama
disebut dubur shalat.

Kapan Menurunkan Jari Telunjuk


Kapan menurunkan jari telunjuk yang digunakan untuk berisyarat saat
tasyahud?

Dalam kitab sunan disebutkan riwayat dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,


‫علَى‬ َ ‫ض َع يَدَهُ ْاليُ ْمنَى‬
َ ‫صَلَ ِة َو‬
َّ ‫س ِفى ال‬ َ َ‫ َكانَ ِإذَا َجل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫أ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫عو بِ َها َويَدُهُ ْاليُس َْرى‬
‫علَى ُر ْكبَتِ ِه‬ ُ ‫ام ْاليُ ْمنَى يَ ْد‬ ِ ‫صبَعَهُ الَّتِى ت َ ِلى‬
َ ‫اْل ْب َه‬ ْ ِ‫ُر ْكبَتِ ِه َو َرفَ َع إ‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ‫بَا ِس‬
َ ‫ط َها‬

“Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan


tangan kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari
jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya.
Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya.” (HR. Tirmidzi no. 294).

Imam Syafi’i menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi


sunnah sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Lihat Al Majmu’, 3: 301).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), “Berisyarat dengan jari
telunjuk dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan
dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau
sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan
kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar
pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang
disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat
tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid
dan ikhlas.”

Dalam Al Majmu’ (3: 301), Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua
ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa disunnahkan
mengisyaratkan jari telunjuk tangan kanan, lalu mengangkatnya ketika sampai
huruf hamzah dari ucapannya (laa ilaaha illalllahu) …”

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam
kalimat tasyahud, yaitu pada kata “laa”. Ketika sampai pada kalimat penetapan
(itsbat) yaitu “Allah”, maka jari tersebut diletakkan kembali.

Ulama Malikiyah berisyarat dari awal hingga akhir tasyahud.

Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah “Allah”. (Lihat Shifat
Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 141).
Pada hadits Ibnu ‘Umar di atas pada lafazh hadits “lalu beliau mengangkat jari di
samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa
dengannya”, berdasarkan hal itu mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a
dalam tasyahud. Adapun lafazh doa dimulai dari dua kalimat syahadat. Karena di
dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah. Hal itu
penyebab suatu doa lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti
do’anya “allahumma shalli ‘ala Muhammad …” hingga akhir tasyahuddan sampai
akhir salam. Adapun awal tasyahud “attahiyyatulillah …” sampai ucapan “wa ‘ala
‘ibadillahish shalihin” bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji
Allah dan do’a keselamatan bagi hamba-Nya.

Adapun masalah kapan selesainya berisyarat dengan telunjuk, para sahabat


yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk, tidaklah menyebutkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkannya di bagian tertentu sebelum
selesainya salam, sehingga disimpulkan bahwa mengangkat jari telunjuk itu
terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahud semuanya adalah do’a .

Imam Ar Ramli Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “ Jari telunjuk diangkat saat
ucapan “illallah”, yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah untuk
mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak jelas
menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai sesaat sebelum berdiri
ke raka’at ketiga, pada tasyahud awal atau sampai salam pada tasyahud akhir.
Adapun yang dibahas sekolompok orang zaman sekarang tentang
mengembalikannya, maka ini menyelisihi riwayat yang ada.” (Lihat Nihayatul
Muhtaj, 1: 522).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak
syahadatain (pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bagkit ke raka’at
ketiga untuk tasyahud awal atau sampai salam untuk tasyahud akhir.

Mengakhiri Shalat dengan Salam

Bagaimanakah cara salam untuk mengakhiri shalat?


Salam adalah penutup shalat. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ير َوتَحْ ِليلُ َها التَّ ْس ِلي ُم‬


ُ ِ‫ور َوتَحْ ِري ُم َها التَّ ْكب‬ ُّ ‫صَلَةِ ال‬
ُ ‫ط ُه‬ َّ ‫ِم ْفت َا ُح ال‬

“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat
adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR.
Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini
hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Cara salam adalah dengan memalingkan wajah ke kanan sampai orang di belakang
melihat pipi, begitu pula salam ke kiri sampai orang di belakang melihat pipi.
Disebutkan dalam hadits,

‫صلى هللا عليه‬- ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ُ ‫ع ْن أَ ِبي ِه قَا َل ُك ْنتُ أ َ َرى َر‬
َ ‫س ْع ٍد‬
َ ‫ام ِر ب ِْن‬
ِ ‫ع‬َ ‫ع ْن‬
َ
‫اض خ َِد ِه‬َ َ‫ار ِه َحتَّى أَ َرى بَي‬ِ ‫س‬َ َ‫ع ْن ي‬
َ ‫ع ْن يَ ِمينِ ِه َو‬
َ ‫س ِل ُم‬
َ ُ‫ ي‬-‫وسلم‬
Dari ‘Amir bin Sa’ad dari bapaknya, ia berkata, “Aku pernah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
hingga aku melihat pipinya yang putih.” (HR. Muslim no. 582).

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,

‫ع ْن يَ ِمينِ ِه َو َع ْن ِش َما ِل ِه َحتَّى يُ َرى‬ َ ُ‫ َكانَ ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ ‫س ِل ُم‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬
َّ ُ‫سَلَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمة‬
» ِ‫َّللا‬ َّ ُ‫سَلَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمة‬
َّ ‫َّللاِ ال‬ َّ ‫اض خ َِد ِه « ال‬ ُ َ‫بَي‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
sampai terlihat pipinya yang putih, lalu beliau mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’ ” (HR. Abu Daud no. 996 dan
Tirmidzi no. 295. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Salam yang termasuk bagian dari rukun adalah salam pertama, sedangkan salam
kedua tidaklah wajib.
Adapun ucapan salam adalah tanpa kalimat ‘wa baraakatuh’. Tambahan tersebut tak
ada dasarnya. Riwayat yang menyebutkan tambahan tersebut adalah riwayat
yang syadz, yaitu menyelisihi riwayat yang lebih kuat. Jadi yang lebih tepat ucapan
salam adalah ‘assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’.

Adapun jika hanya mengucapkan ‘assalamu ‘alaikum’ saja tanpa menyebut wa


rahmatullah, seperti itu sudah dianggap sah. Namun yang lebih sempurna adalah
‘assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’.

Rukun Shalat

Rukun shalat adalah bagian penting dari shalat. Jika rukun shalat tidak ada, shalat
tidaklah sah dan tak bisa tergantikan dengan sujud sahwi.

Setelah kita mempelajari sifat shalat nabi sampai serial ke-29, saat ini dan serial
berikutnya akan diulas mengenai shalat dari tinjauan fikih. Kita akan pelajari rukun
shalat terlebih dahulu.

Yang termasuk dalam rukun shalat:

1- Niat di dalam hati. Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam hadits
disebutkan,

ِ ‫إِنَّ َما اَل َ ْع َما ُل بِالنِيَّا‬


‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob)

2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh
dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.

Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan berdiri
lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ف أَ ْج ِر القَائِ ِم َو َم ْن‬ ْ ِ‫صلَّى قَا ِعدًا فَلَهُ ن‬
ُ ‫ص‬ َ ‫ض ُل َو َم ْن‬ َ ‫صلَّى قَائِ ًما فَ ُه َو أَ ْف‬
َ ‫َم ْن‬
‫ف أَ ْج ِر القَا ِع ِد‬ُ ‫ص‬ ْ ِ‫صلَّى نَائِ ًما فَلَهُ ن‬
َ
“Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang
shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri.
Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat
sambil duduk.” (HR. Bukhari no. 1065)

3- Takbiratul ihram (ucapan ‘Allahu Akbar’ di awal shalat).

4- Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).

5- Ruku’ dan thuma’ninah (tidak tergesa-gesa).

Dalil yang menunjukkan perintah untuk thuma’ninah dapat dilihat pada hadits musii’
sholatuhu (orang yang jelek shalatnya).

‫صلَّى ث ُ َّم‬َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – دَ َخ َل ْال َمس ِْجدَ فَدَ َخ َل َر ُج ٌل ف‬ َّ ‫ع ْن أ َ ِبى ُه َري َْرة َ أ َ َّن النَّ ِب‬ َ
‫عل ْي ِه‬ َ َ – ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ َّ
ُّ ِ‫على النبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم – فَ َردَّ النب‬ َّ َ َّ
َ ‫سل َم‬ َ َ‫َجا َء ف‬
‫علَى النَّ ِب ِى – صلى هللا‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ َ‫ ث ُ َّم َجا َء ف‬، ‫صلَّى‬ َ َ‫ص ِل » ف‬ َ ُ ‫ص ِل فَإِنَّ َك لَ ْم ت‬َ َ‫ار ِج ْع ف‬ ْ « ‫سَلَ َم فَقَا َل‬ َّ ‫ال‬
‫ق فَ َما‬ ِ ‫ فَقَا َل َوالَّذِى َب َعث َ َك ِب ْال َح‬. ‫ ثََلَثًا‬. » ‫ص ِل‬ َ ُ ‫ص ِل فَإِنَّ َك لَ ْم ت‬َ َ‫ار ِج ْع ف‬ ْ « ‫عليه وسلم – فَقَا َل‬
، ‫س َر َم َع َك ِمنَ ْالقُ ْرآ ِن‬ ْ
َّ َ‫ ث ُ َّم ا ْق َرأ َما تَي‬، ‫صَلَةِ فَ َكبِ ْر‬ َّ ‫ت إِلَى ال‬ َ ‫ قَا َل إِذَا قُ ْم‬. ‫غي َْرهُ َفعَ ِل ْم ِنى‬ َ ‫ِن‬ ُ ‫أ ُ ْحس‬
، ‫اجدًا‬ ِ ‫س‬َ ‫ط َمئِ َّن‬ ْ َ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫ط َمئِ َّن َرا ِكعًا‬ ْ َ‫ار َك ْع َحتَّى ت‬ ْ ‫ث ُ َّم‬
‫صَلَتِ َك ُك ِل َها‬ َ ‫ ث ُ َّم ا ْف َع ْل ذَ ِل َك ِفى‬، ‫اجدًا‬ ِ ‫س‬ ْ َ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫سا‬
َ ‫ط َم ِئ َّن‬ ً ‫ط َمئِ َّن َجا ِل‬ ْ َ‫ارفَ ْع َحتَّى ت‬ ْ ‫ث ُ َّم‬

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka
masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi
salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau
berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia
pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena
sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang
jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran,
aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika
engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang
mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah
dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud.
Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian
sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam
setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

6- I’tidal dan thuma’ninah.

7- Sujud dua kali dalam satu raka’at, disertai thuma’ninah.

8- Duduk di antara dua sujud, disertai thuma’ninah.

9- Duduk tahiyat akhir.

10- Membaca bacaan tasyahud di tahiyat akhir.

11- Membaca bacaan shalawat setelah bacaan tasyahud akhir.

12- Salam pertama, minimalnya ‘Assalamu ‘alaikum’, lengkapnya ‘Assalamu ‘alaikum


wa rahmatullah’.

13- Berurutan dalam mengerjakan rukun yang tadi disebutkan.

Diharuskan berurutan dalam mengerjakan rukun karena dalam hadits musii’


sholatuhu terdapat kata “tsumma” ketika menjelaskan urutan rukun. Tsumma
sendiri berarti kemudian yang menunjukkan makna berurutan. Perhatikan haditsnya,

‫ار َك ْع َحتَّى‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫آن‬ ِ ‫س َر َمعَ َك ِمنَ ْالقُ ْر‬ َّ َ‫ ث ُ َّم ا ْق َرأْ َما تَي‬، ‫صَلَةِ فَ َكبِ ْر‬َّ ‫ت إِلَى ال‬ َ ‫إِذَا قُ ْم‬
‫ ث ُ َّم‬، ‫اجدًا‬
ِ ‫س‬ َ ‫ط َمئِ َّن‬ ْ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫ط َمئِ َّن َرا ِكعًا‬ ْ َ‫ت‬
‫ ث ُ َّم ا ْف َع ْل ذَ ِل َك فِى‬، ‫اجدًا‬
ِ ‫س‬َ ‫ط َمئِ َّن‬ ْ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫سا‬ ْ َ ‫ارفَ ْع َحتَّى ت‬
ً ‫ط َمئِ َّن َجا ِل‬ ْ
‫صَلَتِ َك ُك ِل َها‬
َ
“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an
yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu
bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah
sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud
sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika
sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim
no. 397).

Sunnah Ab’adh

Dalam madzhab Syafi’i, ada dua macam perkara sunnah dalam shalat yaitu sunnah
ab’adh dan sunnah hay’ah.

Sekarang yang kita kaji lebih dahulu adalah sunnah ab’adh. Sunnah ab’adh adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat.

JIKA SUNNAH AB’ADH DITINGGALKAN, MAKA BISA DIGANTI DENGAN SUJUD


SAHWI.

Apa saja yang masuk sunnah ab’adh?

Ada tiga sunnah ab’adh yang bisa kami sebutkan setelah penjabaran sifat shalat
Nabi secara lengkap.

1- Duduk tasyahud awal.

2- Membaca tasyahud awal.

Dalil bahwa tasyahud awal termasuk sunnah adalah hadits dari ‘Abdullah bin
Buhainah, ia berkata,

،‫س‬ ْ ‫الر ْك َعتَي ِْن اَلُو َليَي ِْن لَ ْم َي ْج ِل‬


َّ ‫ام فِى‬ ُّ ‫صلَّى بِ ِه ُم‬
َ َ‫الظ ْه َر فَق‬ َ – ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬
َ‫س َجد‬َ َ‫ ف‬، ‫س‬ ُ َّ‫ظ َر الن‬
ٌ ‫ َكب ََّر َو ْه َو َجا ِل‬، ُ‫اس ت َ ْس ِلي َمه‬ َ َ ‫ َوا ْنت‬، َ ‫صَلَة‬ َ ‫اس َم َعهُ َحتَّى ِإذَا َق‬
َّ ‫ضى ال‬ ُ َّ‫ام الن‬ َ َ‫فَق‬
‫سلَّ َم‬ َ ُ‫س ْجدَتَي ِْن قَ ْب َل أ َ ْن ي‬
َ ‫س ِل َم ث ُ َّم‬ َ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur. Lalu ketika raka’at kedua, beliau
berdiri dan tidak duduk tasyahud awal. Para jama’ah pun turut mengikuti beliau.
Ketika di akhir shalat, saat jama’ah menunggu beliau salam, ternyata beliau
bertakbir dalam keadaan duduk dan melakukan dua kali sujud sahwi. Sujud sahwi
tersebut dilakukan sebelum salam. Kemudian beliau salam.” (HR. Bukhari no. 829
dan Muslim no. 570).

3- Shalawat pada Nabi setelah tasyahud awal.

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat
dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ada
dalam tasyahud awal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’I dan
pendapat terbaru dari Imam Syafi’i. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah
wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafi’i berkata, “Setelah tasyahud tidak
wajib menambahkan shalawat.” Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga
menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat


pada Nabi tetap ada pada tasyahud awal, di mana beliau berkata, “Allah Ta’ala telah
memerintahkan pada orang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam
kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada
salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat shalawat padanya. Oleh karena itu
ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada beliau, mereka
berkata, “Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam
kepadamu –wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat
kepadamu?” Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selalu bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang
mau bershalawat pada Nabi maka ia juga menyampaikan salam pada beliau.” (Jalaul
Afham, hal. 321).

Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan


dengan salam ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menunjukkan sesuatu yang lebih sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).

Sunnah Hay’ah
Sunnah yang lain selain sunnah ab’adh adalah sunnah hay’ah. Sunnah hay’ah adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat, jika ditinggalkan, tak perlu kembali
melakukannya dan tidak ada sujud sahwi.

Apa saja yang masuk sunnah hay’ah?

Berikut kami sebutkan berdasarkan penjelasan dari ulama Syafi’iyah.

1- Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ketika turun ruku’, ketika
bangkit dari ruku’, juga ketika bangkit dari tasyahud awal.

2- Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri ketika berdiri dalam
shalat.

3- Melihat ke tempat sujud.

4- Membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram.

5- Membaca ta’awudz setelah doa istiftah.

6- Menjahrkan (mengeraskan bacaan) pada shalat jahriyyah (Magrib, Shubuh, Isya)


dan mensirrkan bacaan (memelankan) pada shalat sirriyyah (Zhuhur dan Ashar).

7- Mengucapkan aamiin di akhir membaca Al Fatihah.

8- Membaca salah satu surat dalam Al Qur’an setelah Al Fatihah.

9- Takbir intiqol, yaitu setiap kali berpindah gerakan diperintahkan mengucapkan


takbir ‘Allahu Akbar’ selain ketika bangkit dari ruku’ yaitu yang dibaca adalah
‘sami’allahu liman hamidah rabbanaa lakal hamdu’.

10- Bertasbih ketika ruku’ dan sujud. Saat ruku’ membaca ‘subhana robbiyal
‘azhim’ (3 kali), sedangkan ketika sujud membaca ‘subhana robbiyal a’laa’ (3 kali).
11- Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk saat tasyahud awal dan tasyahud
akhir. Tangan kiri dibentangkan, sedangkan tangan kanan dalam keadaan seluruh
jari digenggam kecuali jari telunjuk memberikan isyarat.

12- Duduk dengan cara duduk tawarruk pada duduk tasyahud akhir dan duduk
selainnya dengan duduk iftirosy.

13- Membaca shalawat Ibrahimiyyah, lalu berdo’a ketika tasyahud akhir.

14- Salam kedua, sedangkan salam pertama masuk rukun shalat.

15- Khusyu’ dalam seluruh gerakan shalat. Yang dimaksud khusyu’ adalah hati
merenung apa yang diucapkan oleh lisan, baik bacaan surat, dzikir atau do’a yang
dibaca. Semuanya direnungkan dengan memahami artinya dan ketika itu merasa
sedang bermunajat dengan Allah Ta’ala.

Harus ada khusyu’ dalam bagian shalat. Jika tidak ada khusyu’ sama sekali sejak
awal hingga akhir, maka shalatnya batal.

Penjelasan masing-masing point di atas telah diterangkan dahulu saat penjelasan


sifat shalat nabi dan gerakan-gerakannya.

Sunnah Sesudah Shalat

Ada lagi perkara sunnah yang dilakukan sesudah shalat yang bisa diamalkan.

1- Membaca istighfar dan dzikir lainnya sesudah shalat.

2- Berpindah tempat ketika melaksanakan shalat sunnah atau melaksanakan shalat


sunnah di rumah. Di antara tujuannya adalah untuk memperbanyak tempat yang
jadi saksi yang mendukung pada hari kiamat kelak.

Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َّ‫صَلَة ُ ْال َم ْر ِء فِى بَ ْيتِ ِه إَِل‬
َ ِ‫صَلَة‬
َّ ‫ض َل ال‬ ُ َّ‫صلُّوا أَيُّ َها الن‬
َ ‫ فَإ ِ َّن أ َ ْف‬، ‫اس فِى بُيُوتِ ُك ْم‬ َ َ‫ف‬
َ‫ْال َم ْكتُوبَة‬

“Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian
adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731).

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َّ ‫صَلَ ِت ِه فَإ ِ َّن‬


‫َّللا َجا ِع ٌل ِفى َب ْي ِت ِه‬ ِ ‫صَلَة َ ِفى َمس ِْج ِد ِه فَ ْل َي ْج َع ْل ِل َب ْي ِت ِه ن‬
َ ‫َصيبًا ِم ْن‬ َّ ‫ضى أ َ َحد ُ ُك ُم ال‬
َ َ‫ِإذَا ق‬
‫صَلَتِ ِه َخي ًْرا‬ َ ‫ِم ْن‬

“Jika salah seorang di antara kalian menunaikan shalat di masjid, jadikanlah


shalatnya (shalat sunnah) pula sebagiannya di rumah. Karena Allah akan menjadikan
shalat tersebut kebaikan bagi rumah tersebut.” (HR. Muslim no. 778)

Disunnahkan berpindah tempat tersebut berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid


bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau
telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau
berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫صَلَة ٌ َحتَّى نَت َ َكلَّ َم أ َ ْو ن َْخ ُر َج‬ َ ‫أ َ ْن َلَ تُو‬


َ ‫ص َل‬
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara
atau pindah dari tempat shalat.” (HR. Muslim no. 883).

3- Jika shalat dilakukan di masjid dan di belakang terdapat jama’ah wanita,


disunnahkan jama’ah pria untuk tetap diam di tempatnya sampai jama’ah wanita
keluar lebih dahulu. Karena ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dapat
menimbulkan kerusakan.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,


ِ َ‫ث ُه َو فِى َمق‬
‫ام ِه‬ ُ ‫ َويَ ْم ُك‬، ُ‫ضى ت َ ْس ِلي َمه‬ ِ ‫سا ُء ِحينَ يَ ْق‬ َ َ‫سلَّ َم ق‬
َ ِ‫ام الن‬ َ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – ِإذَا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ٌ‫سا ُء قَ ْب َل أ َ ْن يُد ِْر َك ُه َّن أ َ َحد‬
َ ِ‫ف الن‬ َ ‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم – أ َ َّن ذَلِكَ َكانَ ِل َك ْى يَ ْن‬
َ ‫ص ِر‬ َ ُ‫ِيرا قَ ْب َل أ َ ْن يَق‬
َّ ‫ قَا َل ن ََرى – َو‬. ‫وم‬ ً ‫يَس‬
‫الر َجا ِل‬
ِ َ‫ِمن‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jama’ah wanita
kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum
beranjak. Kami melihat –wallahu a’lam- hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih
dahulu sebelum berpapasan dengan para pria.” (HR. Bukhari no. 870)

Anda mungkin juga menyukai