Anda di halaman 1dari 34

TUGAS AGAMA

Kelompok 3

Dengan tema:

“IBADAH HAJI MEMPERKOKOH


PERSATUAN DAN KESATUAN UMAT”

ANGGOTA KELOMPOK :
• NIKEN APRILIA AGUSTIN (27)
• IVA DWI JAYANTI (12)
• AULIA CANTIKA P. (06)
• ANGGUN YUDINA E. (04)
• M. GATAN SIGIT P. (17)
• M. DIMAS A.P (22)
• BAGAS DWI P.(07)
• DIVA JAYA AIRLANGGA (09)
• REZA ANDIKA D.A (33)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan kami karunia nikmat dan kesehatan, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat
menimba ilmu di SMA negeri 1 Pacet.
Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari ibu
Maisaroh selaku ibu guru Pendidikan Agama Islam. Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pada tema “IBADAH HAJI
MEMPERKOKOH PERSATUAN DAN KKESATUAN UMAT” yang
sedang dipelajari, agar kami semua menjadi siswa yang
berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih


banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, demi
kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan,
kritik dan saran yang sifatnya membangun apabila terdapat
kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita


semua, khususnya bagi kami pembuat makalah umumnya
para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Pacet, 14 Oktober 2022


DAFTAR ISI

COVER.................…………………………………… i
KATA PENGANTAR ………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………… iii

PENJELASAN/ISI …………....……………………………… 1
1.1. Ibadah Haji Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan
Umat.....................................................................1-5
1.2.Prolog.....................................................................6-7
1.3. Pengertian................................………………............….8
1.4. Hikmah Dibalik Sejarah Pelaksanaan Ibadah
Haji......................................................................9-11
1.5. Bekal Ibadah Haji...............................................12-14
1.6. Penyempurnaan Agama....................................15-17
1.7. Haji Akbar..........................................................18-20
1.8. Tujuan Haji..............................................................21
1.9. Pesan Pesan Allah SWT......................................22-26
PENUTUP …………………………………………................ 2
2.1. Kesimpulan …………………………………..……………........27
2.2. Saran ……………………………………………..................28-31
2.3.Penutup....................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................3
• IBADAH HAJI MEMPERKOKOH PERSATUAN DAN
KESATUAN UMAT

Bahwa umat Islam didunia ini sangat berbeda-beda,


termasuk berbeda di dalam menetapkan hari raya,
seharusnya tetap bersatu. Persatuan harus tetap
diperjuangkan dan diupayakan semaksimal mungkin,
oleh karena hanya dengan persatuan itulah, umat Islam
akan maju dan kuat. Tanpa persatuan umat Islam,
sekalipun jumlahnya besar, akan lemah dan akan
dianggap rendah oleh umat lainnya.

Dalam ibadah haji, sebenarnya ada pelajaran penting


terkait bermasyarakat yang perlu direnungkan dan
dipegangi, yaitu selain bersatu-ternyata juga harus
bersama-sama. Umat Islam dalam menjalankan ibadah
haji tidak pernah sendirian. Waktunya saja bersamaan,
yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah, semua jama'ah haji
berada di Arafah. Tidak pernah ada yang berselisih dan
berbeda di dalam menetapkan hari Arafah. Semuanya
bersepakat dan sama. Perbedaan organisasi, asal
negara, aliran, maupun madzhab, pada waktu itu tidak
menjadikan hari Arafah berbeda.

Kebersamaan dan persamaan benar-benar terjadi dalam


ibadah haji. Selain kebersamaan di padang Arafah,
mereka juga sama dalam berpakaian, berangkat ke
Muzdalifah, ke Minna untuk melempar jumrah, ke
Makkah untuk thawaf, sa'i, hingga tahallul. Semua
jama'ah haji, bagi yang laki-laki, mengenakan dua
lembar kain ikhram. Bukan saja sama warnanya, yaitu
putih, tetapi cara menggunakannya juga sama. Tidak
ada yang berlain-lainan.

Pada hari Arafah itu, saat mata hari mulai terbenam,


semua jama'ah mulai bersiap-siap meninggalkan tempat
wukuf itu. Mereka pada berangkat ke Muzdalifah untuk
mabith di tempat itu hingga tengah malam. Selepas itu,
dan biasanya, di Muzdalifah semua jama'ah haji mencari
kerikil atau jumrah sebanyak yang diperlukan, untuk
dilempar di Minna. Jumlah kerikil yang akan dibawa juga
sama, urut-urutan melemparkannya juga sama.
Semuanya serba sama, di antara jama'ah haji tidak
berdebat mencari mana yang paling benar.

Pelajaran kebersamaan juga masih tampak ketika


sampai di Makkah untuk thawwaf ifadhah dan sa'I
maupun tahallul. Selesai dari Minna, para jama'ah haji
datang ke Masjid al Haram untuk melakukan rangkain
haji sebagaimana disebutkan itu, ialah thawwaf, sya'i,
dan tahallul. Memang, oleh karena keterbatasan
tempat, rangkaian haji tersebut tidak mungkin dilakukan
secara bersamaan. Ada saja, jama'ah haji menunggu
hingga tempatnya tidak terlalu sesak, asalkan waktunya
masih tersedia atau belum terlambat. Sebab, thawwaf
ifadah, sya'i, dan tahallul tidak boleh ditinggalkan dan
atau juga dilaksanakan di luar waktu haji.
Belajar dari rangkaian ibadah itu, maka sebenarnya,
orang yang berhaji sedang diberi pelajaran penting
dalam bermasyarakat ialah tentang persatuan umat
Islam. Persatuan itu tidak mengenal asal negara, bangsa,
suku, etnis, golongan, organisasi, atau bahkan madzhab.
Pengikut madzhab yang berbeda-beda pada saat
menjalankan ibadah haji, mereka melakukan kegiatan
ritual yang sama, simbol-simbol atau lambang yang
sama, dan bahkan doa-doa yang dibaca pun juga sama.
Umat Islam benar-benar menjadi bersatu dan bersama-
sama dalam menjalankan rukun Islam yang ke lima itu.

Maka umpama saja, pelajaran dari pelaksanaan haji itu


ditangkap sepenuhnya, maka tidak ada alasan umat
Islam bercerai berai hanya atas dasar alasan berbeda
bangsa, suku, golongan, ataupun juga madzhab yang
diikuti. Tatkala sedang dalam ibadah haji mereka bisa
bersatu dan bersama-sama, maka setelah pulang ke
negerinya masing-masing pelajaran itu seharusnya
masih diingat dan dilaksanakan. Sebaliknya, pelajaran
itu bukan hanya berlaku di dalam kelas, ialah ketika di
waktu haji. Setelah keluar dari ruang kelas, mereka
berbeda dan menganggap pandangannya yang paling
benar dan apalagi yang lain dianggapnya sebagai
saingan atau musuh. Tentu tidak begitu, semoga ibadah
haji benar-benar berhasil menyatukan umat Islam dan
mabrur semuanya.
QS al-Baqarah/02:197,

ُ ‫نََّٱلحجََّفَلَرفثَوَلَ ُف‬ ۡ ‫يه‬ ٞۚ َٰ ‫رَ َّم ۡع ُل‬ٞ ‫ۡٱل َحجَُّأ ۡش ُه‬


َ‫َجدالَ ِفي‬ ِ ‫سوقَوَل‬ ِ ‫تَفمنَفرضَ ِف‬ٞ ‫وم‬
ِ ‫َٱلزادَِٱلتَّ ۡقو َٰٰۖىَوٱتَّ ُق‬
َ‫ون َََٰيأ ُ ْو ِلي‬ ُ ِّۗ َّ ‫َم ۡنَخ ۡي ٖرَي ۡعل ۡم ُه‬
َّ ‫َٱّللَوتز َّودُو ْاَف ِإنََّخ ۡير‬ ِ ‫جَوماَت ۡفع ُلو ْا‬ ۡ
ِ ِّۗ ‫ٱلح‬
ِ ‫ۡٱۡل ۡل َٰب‬
.ََ‫ب‬

Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, maka


barangsiapa yang mewajibkan (atas dirinya) untuk berhaji di
dalamnya (bulan-bulan itu), maka tidak
ada rafats (bercampur dengan isteri, cumbu-rayu, dan
berkata cabul), tidak ada kefasikan (berucap atau berbuat
sesuatu yang melanggar norma-norma susila dan agama) dan
tidak ada bantah-bantahan di dalam haji. Dan apa pun yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, (pasti) Allah mengetahuinya.
Berbekallah kamu! Maka, sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang
yang berakal bersih, murni, dan cerah!
QS Ali ’Imran/3:96-97,

َ‫تَ َّمقَا ُم‬ٞ ‫ىَل ۡل َٰعل ِمينَ ِفي ِهَء َٰاي ُۢتُ َب ِي َٰن‬
ِ ٗ‫اسَل َّلذِيَ ِببكَّةَ ُمباركٗ اَوهُد‬ ُ ‫ِإنََّأ َّولَب ۡي ٖت‬
ِ ‫َو ِضعَ ِلل َّن‬
ٞۚ ٗ ‫َٱستطاعَ ِإل ۡي ِهَس ِب‬
َ‫يَل‬ ۡ ‫َُّٱلب ۡيتَِم ِن‬ ۡ ‫َحج‬ ِ ‫ّللَعلىَٱَل َّن‬
ِ ‫اس‬ ِ َّ ِ ‫ۥَكانَء ِام ٗن ِّۗاَو‬ َ ‫ِإ ۡب َٰر ِه ٰۖيمَومنَدخل ُه‬
.ََ‫َع ِن َۡٱل َٰعل ِمين‬ َ ‫نََّٱّللَغ ِن ٌّي‬
َّ ‫ومنَكفرَف ِإ‬

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk


(tempat beribadah bagi) manusia, ialah yang di Bakkah
(Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh
alam. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya
(Baitullah), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju
Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu
bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana,
barangsiapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (dan
tidak butu) pada seluruh alam.
HR. al-Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa sanya
Nabi saw. bersabda;

.َ‫ا ْلحجَُّا ْلمب ُْر ْو ُرَليْسَلهَجزا ٌءَاَلَا ْلج َّنـة‬

Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga.


PROLOG

Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang


dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’idah, dan 9
Dzulhijjah, ditambah malam ke-10, yakni malam
lebaran Ied al-Adha. Ayat pertama di atas tidak
menyebut kata musim atau waktu dalam redaksi
ayat. Hal itu, untuk memberi kesan bahwa bulan-
bulan itu sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan
akibat terlaksananya ibadah haji ketika itu. Kesan ini,
pada gilirannya, mengharuskan setiap orang, baik
yang melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk
menghormatinya dan tetap memelihara kesuciannya
dengan menghindari bukan hanya peperangan, akan
tetapi juga segala macam dosa.

Bulan-bulan yang dimaklumi, yakni bulan yang sudah


diketahui oleh masyarakat Arab sejak sebelum
diutusnya Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa
yang mewajibkan atas dirinya dengan menetapkan
niat untuk melaksanakan haji dalam bulan-bulan itu,
maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak
ada rafats, tidak ada kefasikan, dan tidak ada juga
jidal, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan
haji. Anak kalimat “dalam bulan-bulan
itu” mengisyaratkan bahwa ibadah haji dapat
terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang
bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji
bukan seperti waktu puasa Ramadhan, yang harus
dilaksanakan sejak awal Ramadhan hingga akhirnya,
kecuali yang memiliki uzur (halangan) yang dapat
dibenarkan mengganti puasanya pada hari-hari yang
lain.

Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau


diketahui itu, antara lain merupakan waktu
permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat
berhaji sebelum bulan-bulan tersebut di atas tidak
sah menurut banyak ulama. Pada sisi lain, walau
waktunya demikian panjang, yakni 2 bulan 10 hari,
namun ada malam-malam haji yang tidak sah
dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu,
seperti wukuf di ‘Arafah yang tidak boleh sebelum
tanggal 9 Dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar
10 Dzulhijjah. Waktu yang berkepanjangan itu, antara
lain, dimaksudkan untuk memantapkan niat,
melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani, serta
melakukan perjalanan yang hingga kini—lebih-lebih
di masa lalu—membutuhkan waktu yang cukup lama.
• PENGERTIAN.

Ibadah haji merupakan salah satu sarana melakukan


komunikasi antara seorang hamba dengan Khalik-
nya. Ibadah ini pertama kali disyari’atkan pada tahun
keenam Hijrah, sebagaimana Firman Allah swt.
dalam QS Ali ’Imran/3:96-97. Kata al-Hajj menurut
bahasa berarti menyengaja. Karena itu menurut
istilah syari’at Islam, ia berarti menyengaja
mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan
beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Haji
merupakan rukun Islam yang kelima dan pokok
ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah
disyari’atkan ketiga pokok ibadah sebelumnya, yakni:
ibadah salat, ibadah puasa Ramadhan, dan ibadah
zakat.
Hikmah di Balik Sejarah Pelaksanaan Ibadah Haji.

Ibadah haji mengandung nilai-nilai historis. Dari sejak


mengenakan pakaian ihram yang melambangkan
kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali
kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-
bersih. Dengan pakaian seragam putih, mereka
berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah.
Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah berarti
naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat
diperoleh suatu hikmah, bahwa Ukuf di ‘Arafah, pada
hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik,
tubuh kita berhenti di Padan ‘Arafah, lalu jiwa-
spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di ‘Arafah
ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan
mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu,
manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan
atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia.
Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan
sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa
agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua
manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama
berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara


serempak dalam suasana khusyu’ mengesankan
keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang
dikumandangkan mensucikan dan mentauhidkan
Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus
hidup dinamis, senantiasa penuh gerak dan
perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk
menggapai keridhaan Allah swt.
Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya
hidup sehat disertai usaha sungguh-sungguh dan
perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna.

Pada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan


pertemuan tahunan secara besar-besaran, yang
pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia,
yang terdiri atas berbagai bangsa. Mereka semua
dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah
yang menjadi lambang persatuan dan kesatuan
umat. Pertemuan seperti inilah yang perlu
dimanfaatkan oleh umat Islam dalam rangka
pembinaan dan pembangunan masyarakat Islam baik
nasional maupun internasional.

Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam


didorong untuk menjadi manusia yang luas gerak dan
pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu
dan pengalaman dengan berbagai bahasa. Melalui
perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik,
rasa hormat, dan saling harga-menghargai di antara
sesama umat Islam dari berbagai penjuru dunia.
Syarat ”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman
Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:97, telah ditetapkan
oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik
setiap umat Islam agar mereka menjadi kuat dan
sehat dalam bidang harta benda, fisik, dan rohani
untuk dapat melakukan ibadah haji, yang sifatnya
wajib hanya sekali seumur hidup. Karena itu, syarat
ini pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan
ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana.
Bekal Ibadah Haji.

Jemaah Haji adalah tamu-tamu Allah swt. Dia yang


mengundang mereka melalui Pesuruh-Nya Nabi
Ibrahim, as. Di balik undangan itu, ada pesannya
kepada para undangan, sebagaimana firman-Nya
dalam QS al-Baqarah/2:197, seperti tersebut di atas,
“Datanglah dengan membawa bekal”. Bekal inilah yang
akan menentukan “Layanan Tuan Rumah” kepada
para tamu. Rumahnya tanpa warna-warni,
mengesankan kesederhaan, namun bangunan itu
dapat mengarah kemampuan jua, dari mana pun
Anda masuk selama membawa bekal, Anda akan
diterimanya.

Ada “Tata cara protokoler” yang ditetapkannya, akan


tetapi pasti menimbulkan tanya atau bahkan tawa,
jika bekal yang di bawa tidak cukup, betapa tidak,
para tamu diminta mengelilingi rumah, mondar-
mandir antara dua bukit, melontar dengan batu-batu
kecil, mencium batu hitam, pakaian yang dikenakan
pria tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup
mata kaki, dan bila pakaian telah dikenakan, jangan
lagi berhias, bersisir, atau menggunting kuku,
mencabut bulu pun bila dilakukan terkena denda,
apalagi bercumbu, membunuh binatang, atau
mencabut tumbuhan. Di sekeliling rumah-Nya banyak
sekali pengunjung, sehingga banyak kepentingan
yang dapat berbenturan dan ada juga penggoda,
bahkan Iblis dan setan cukup banyak berkeliaran
menanti mangsa atau mencari pengikut. Di sini kalau
bekal tidak cukup, bukan rumah Tuhan yang
dijumpai, akan tetapi sarang Iblis yang dihuni.

“Bekal yang terbaik adalah takwa” sebagaimana


tersebut pada ayat pertama di atas (QS al-
Baqarah/2:79). Itu pesan Allah swt., yang menjelaskan
jenis bekal. Takwa adalah nama bagi kumpulan
simpul-simpul keagamaan, mencakup, antara lain:
pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan
jatidiri, serta persamaan manusia dan kelemahannya
di hadapan Allah swt. Dengan bekal pengetahuan,
sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan
dilakukannya merupakan simbol-simbol yang sarat
makna dan apabila dihayati akan mengantarnya
masuk dalam lingkungan Ilahi, ia akan menyadari,
misalnya: rumah-Nya yang mengarah ke seluruh arah
itu, melambangkan Allah yang berada di seluruh
arah, dan ketika kesadaran ini muncul, tanpa segan
para tamu akan mencium, atau paling tidak
melambai ke batu hitam itu karena itulah lambang
“Tangan Tuhan” yang diulurkan untuk menerima para
tamu yang telah mengikat janji setia.

Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia


dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan
menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” pada saat
ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan
mengenakan pakaian ihram (pakaian khusus para
tamu itu) dan sejak itu, ia tidak akan cepat
tersinggung apalagi marah, karena rasa
kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekal itu.
Langkah pertama untuk memperoleh dan
memelihara bekal itu, adalah meluruskan niat,
karenanya singkirkan segala rayuan, hapus semua
iming-iming duniawi, dan hadapkan wajah kepada-
Nya semata. Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh
niat pelakunya, itu keterangan pesuruh-Nya “Nabi
Muhammad saw.”, dan karena itu pula, sejak dini
dipesankan: “Sempurnakanlah haji dan umrah demi
karena Allah swt. semata” (QS al-Baqarah/2:196).
Penyempurnaan Agama.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. mengishahkan


bahwa seorang Yahudi mengucapkan di hadapan
khalifah ‘Umar Ibnu al-Khattab bahwa ada ayat dalam
kitab suci tuan, seandainya kepada kami ditujukan,
maka hari turunnya kami jadikan sebagai hari
lebaran. Ayat apa yang Anda maksud, tanya ‘Umar.
Orang Yahudi menjawab, “Hari ini orang-orang kafir
telah berputusasa untuk (mengalahkan) agamamu,
karena itu jangan takut kepada mereka, takutlah
kepada-Ku, hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu
agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku dan
telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu” (QS al-
Maa’idah/05:03). Orang Yahudi tadi mengatakan, “Aku
tahu hari dan tempat turunnya, hari Jum’at, sore, Tahun
ke-10 Hijrah, saat Nabi Muhammad saw. sedang Wukuf
di ‘Arafah, dengan mengendarai untanya “Al-Ghadbaa’ ”.

Tidak keliru orang Yahudi itu, dalam Islam hanya ada


dua hari raya. Ied al-Fithr sebagai hari peletakan
batu pertama ajaran Islam, karena pada bulan
Ramadhan pertama kali al-Qur’an turun, dan hari
raya Ied al-Adha’, di mana kita rayakan peletakan
bata terakhir ajaran Islam, karena ketika itu
diproklamirkan sempurnanya bangunan agama
Islam, bahkan ketika itu—menurut sementara
ulama—putus sudah hubungan langit dan bumi, di
mana berakhir sudah wahyu-wahyu Ilahi.
Menarik untuk dihayati bahwa QS al-Ma’idah/05:03 di
atas mengaitkan antara keputusasaan orang kafir,
dan larangan takut kepada mereka dengan
kesempurnaan agama Islam. Keterkaitan itu,
menurut pakar al-Qur’an, mengandung ancaman
tersirat, keterkaitan itu berarti, bahwa
ketidaksempurnaan pelaksanaan agama,
mengundang optimisme musuh, bahkan melahirkan
keberanian mereka untuk menindas kaum muslimin.
Bila Anda ingin bukti, pelajari saja sejarah umat ini
sepeninggal Nabi Muhammad saw.

Hari raya peletakan bata terakhir dari ajaran Islam


(Hari Raya Ied al-Adha’) hendaknya dapat menjadikan
umat Islam, lebih menghayati lagi ajaran agamanya,
dan lebih mengenal betapa berbeda beragama
secara hakiki dan beragama secara imitasi. Tahukah
Anda bedanya? Saya sadurkan tulisan DR. Ahmad
Amin, seorang pujangga Mesir kenamaan, agar
semakin jelas bedanya, dengan ungkapannya,
“Tahukah tuan perbedaan antara sutera asli dan sutera
tiruan, antara harimau dengan gambarnya, antara api
yang sedang menyala dengan kata “api” yang keluar
dari mulut yang hampa? Tahukah tua beda antara
manusia yang hilir mudik bekerja dengan patung yang
dipajang dietalase, diberi baju layaknya manusia?
Tahukah tuan beda antara sang Ibu yang menangisi
putrinya yang wafat dan wanita yang dibayar untuk
menangis? Kalau tuan tahu membedakannya, maka
begitu pulalah kiranya perbedaan antara beragama
dengan benar dan beragama secara tiruan. Dalam
agama tiruan, shalat hanya gerak tubuh belaka, haji
hanya perjalanan tamasya, tiada lain, upacara ritual
hanya bak adegan sandiwara. Demikian seterusnya”.

Sungguh wajar bagi setiap muslim untuk bercermin,


menatap diri pada hari raya kesempurnaan agama
itu, dan bertanya: “Telah sesuaikah sikapnya dengan
ajaran Islam? Brenar, sudahkah cara ia beragama?
Sudahkah diperkenankannya firman Allah: “Masuklah
kalian seluruhnya di dalam agama Islam”.
Haji Akbar.

Hakekat “Haji Akbar” dalam perspektif al-Qur’an


berbeda dengan pemahaman manusia umumnya.
Manusia umumnya memahami bahwa haji akbar itu
adalah apabila wukuf di ‘Arafah jatuh pada hari
Jum’at. Sedangkan Haji Akbar perspektif al-Qur’an
adalah berbeda dengan pandangan manusia
umumnya. Namun tidak perlu gusar, karena pada
hari apa pun jatuhnya wukuf, haji Anda tetap dinamai
Haji Akbar, karena ibadah haji dinamai oleh al-
Qur’an al-Hajj al-Akbar (Haji Besar/Haji Akbar), sedang
‘Umrah, yang tanpa wukuf di ‘Arafah itu, dinamai al-
Hajj al-Ashghar (Haji Kecil).

Pada Tahun ke-9 Hijrah, Nabi Muhammad saw.


mengangkat Abu Bakar ra. sebagai Amir al-Hajj, dan
setelah keberangkatan beliau ke Mekkah, turunlah
QS al-Taubah/9:3, yang terjemahnya: “Dan (inilah)
permakluman dari Allah dan Rasul-Nya (Nabi
Muhammad saw.) kepada manusia pada Hari Haji
Akbar, bahwa Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik, demikian juga Rasul-Nya. Kemudian, jika kamu
(kaum musyrik) bertaubat, maka ia (taubat itu) baik bagi
kamu; dan jika kmu berpaling, maka ketahuilah bahwa
kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang kafir dengan siksa yang
pedih”, maka Ali bin Abiy Thalib diutus untuk
menyampaikan maklumat Allah dan Rasul-Nya
kepada seluruh manusia. Hari proklamasi itulah
dinamai oleh al-Qur’an dengan Yaum al-Hajj al-
Akbar (Hari Haji Akbar).

Al-Imam al-Qurthubiy mengemukakan dalam Kitab


Tafsirnya beberapa pendapat tentang Haji Akbar, di
antaranya: Haji Akbar adalah hari Wukuf di ‘Arafah
(kapan pun terjadinya). Inilah pandangan Mazhab
Abu Hanifah dan itu pula yang dikatakan oleh al-
Imam al-Syafi’i; sedang Imam Malik dan al-Thabariy
berpendapat bahwa hari Haji Akbar adalah hari
lebaran Ied al-Adha’. Pendapat serupa dikemukakan
pula oleh Ulama Besar Syi’ah Muhammad Husain al-
Thaba’Thaba’i dalam kitab tafsirnya, bahwa jatuhnya
Wukuf di ‘Arafah pada hari Jum’at merupakan suatu
keistimewaan, tidak dapat disangkal, karena ketika
itu, salat Jum’at dan Wukuf terlaksana dalam sehari.
Namun, bukan karena ini, haji menjadi Haji Akbar.
Maklumat Allah yang disampaikan pada hari Haji
Akbar itu adalah bahwa: 1) Allah swt. dan Rasul-Nya
berlepas diri (tidak merestui) siapa pun yang
mempersekutukan-Nya; 2) Kekuasaan Allah tidak
terbendung oleh siapa pun; 3) Perjanjian (walau
terhadap musuh/orang musyrik) harus tetap
dijunjung tinggi.

Sedangkan Maklumat Nabi Muhammad saw.


disampaikannya pada Haji Akbar (Haji Perpisahan),
isinya, antara lain, adalah: 1) Persatuan dan kesatuan
umat manusia harus terus dipelihara, tiada
perbedaan antara seseorang dengan lainnya kecuali
atas dasar pengabdian; 2) Jiwa, darah, kehormatan,
harta benda, harus dijunjung tinggi; 3) Orang-orang
lemah, seperti wanita harus dibela; dan 4)
Penindasan dalam bidang ekonomi harus
dihapuskan.
Tujuan Ibadah Haji.

Haji sebagai ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah


dana, bertujuan untuk memusatkan segala yang
dimiliki hanya tertuju kepada Allah, dan dilaksanakan
bukan di tempat yang sepi, melainkan di tempat
berkumpulnya orang banyak. Boleh jadi, orang yang
menjalankan ibadah haji ditemani oleh isterinya,
namun ia tidak boleh berbicara dengan dia yang
merangsang nafsu birahi; boleh jadi, ia ditemani oleh
musuhnya, namun ia tidak diperbolehkan bertengkar
dengan dia; ini semua dimaksudkan agar ia
mendapat pengalaman rohani yang tinggi, bukan
sekedar pengalaman rohani orang pertapa, yang
memutuskan hubungan dengan dunia luar (orang
banyak) dan bukan pula pengalaman rohani orang
yang menjalankan ibadah di pojok yang sepi,
melainkan pengalaman rohani orang yang tinggal di
daerah keramaian yang penuh kesibukan, yang
ditemani oleh isterinya, kawan-kawannya, dan
musuh-musuhnya, sebagai ujian menuju suatu
kehidupan paripurna, yakni sehat dan bahagia fisik
dan rohani di dunia dan selamat di akhirat kelak.
Ibadah haji yang mulia tapi berat ini, erat pula
kaitannya dengan perintah ber-qurban (Al-
Ma'idah,5:27).
Pesan-pesan Allah swt.

Hari ini usai sudah ibadah haji, para jama’ah telah


bersiap kembali, ada pesan Allah yang bermula
tertuju kepada mereka yang baru saja menyelesaikan
ibadah haji, namun ditujukan pula kepada seluruh
kaum muslimin, bahkan diamalkan secara populer
walau hanya setengah maksudnya oleh hampir
semua muslim. Sahabat Nabi saw. Anas bin Malik,
suatu ketika dikunjungi oleh sekelompok kaum
muslimin:

“Do’akan kami”, kata mereka!

َ َ‫عذ‬
ِ َّ‫اب ٱلن‬
.‫ار‬ َ ‫سن َٗة َوفِي ۡٱۡلٓ ِخ َرةِ َح‬
َ ‫سن َٗة َوقِنَا‬ َ ‫َربَّنَا ٓ َءاتِنَا فِي ٱلد ُّۡنيَا َح‬
Tuhan Pemelihara kami, anugerahilah kami hasanah
(segala yang baik) di dunia dan hasanah (segala yang
baik) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

“Singkat nian doamu”, kata mereka. “Apa lagi yang


kalian inginkan lebih dari itu? Kebajikan dunia dan
akhirat telah kumohonkan?”. Doa Anas bin Malik di
atas diangkat dari pesan Allah dalam QS al-
Baqarah/2:201 di sana setelah diperintahkan kepada
para Jama’ah yang baru saja selesai melaksanakan
ibadah haji agar banyak menyebut/mengingat Allah
swt.—setelah selesai pesan ini—diinformasikan
bahwa, “Ada orang yang berkata dan/atau berdoa:
“Anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia”
(tanpa memohon kebajikan di akhirat. Dan ada pula
yang menggabungkannya, seperti doa Anas di atas.
Hal ini ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2:202, yang
terjemahnya: “Mereka semua akan memperoleh
bahagian dari usaha mereka”.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari informasi


tersebut. Pertama, ucapan atau doa mereka dinamai
oleh al-Qur’an usaha. Ini sebagai isyarat bahwa doa
memang salah satu bentuk dari usaha manusia.
Karena itu, ia hendaknya selalu harus disertai dengan
usaha, bukan sekadar ucapan belaka. Pilu hati
melihat yang hanya pandai memohon dan
berkepanjangan pula tanpa dibarengi usaha. Mereka
bermohon, tapi tidak berusaha. Kedua, ayat di atas
menjanjikan setiap doa/usaha akan diperkenankan
Allah swt., semua akan memperoleh bahagian: “Siapa
yang menghendaki (berusaha memperoleh) kesenangan
hidup duniawi, maka Kami segerakan baginya apa yang
dikehendakinya, bagi orang yang Kami kehendaki”. Ayat
ini terlihat dalam QS al-Isra’/17:18, demikian juga
tentunya bagi mereka yang berusaha memperoleh
kebajikan duniawi dan ukhrawi. Intinya, sekali lagi
adalah “usaha”.

Mengenai “kebajikan duniawi”, ayat di atas tidak


menjelaskannya, akan tetapi “Silahkan mengisi wadah
itu dengan kebajikan apa pun yang Anda inginkan”,
namun tak ada salahnya kita dengarkan sedikit
perincian para pakar. Kata mereka, kebajikan duniawi
meliputi: afiat, rezeki yang memuaskan, rumah luas,
kendaraan menyenangkan, pasangan cantik/gagah,
ilmu bermanfaat, amal shaleh, nama harum, dan
sebagainya. Sedangkan kebajikan ukhrawi meliputi,
antara lain: rasa aman ketika makhluk lain ketakutan,
hisab/perhitungan yang ringan di Padang Mahsyar,
kenikmatan memandang Wajah Allah swt., dan
sebagainya.

Akhirnya, haji sebagai ibadah fisik, ibadah rohani, dan


ibadah dana, bertujuan untuk memusatkan segala
yang dimiliki hanya tertuju kepada Allah, dan
dilaksanakan bukan di tempat yang sepi, melainkan
di tempat berkumpulnya orang banyak. Dengan bekal
kesadaran akan persamaan manusia dan
kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan
menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” pada saat
ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan
mengenakan pakaian ihram (pakaian khusus para
tamu itu) dan sejak itu, ia tidak akan cepat
tersinggung apalagi marah, karena rasa
kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekal itu.
Langkah pertama untuk memperoleh dan
memelihara bekal itu, adalah meluruskan niat,
karenanya singkirkan segala rayuan, hapus semua
iming-iming duniawi, dan hadapkan wajah kepada-
Nya semata. Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh
niat pelakunya, itu keterangan pesuruh-Nya “Nabi
Muhammad saw.”. Sungguh wajar bagi setiap muslim
untuk bercermin, menatap diri pada hari raya
kesempurnaan agama itu, dan bertanya: “Telah
sesuaikah sikapnya dengan ajaran Islam? Benar,
sudahkah benar cara ia beragama? Sudahkah
diperkenankannya firman Allah: “Masuklah kalian
seluruhnya di dalam agama Islam”. Seluruh rangkaian
ibadah haji diakhiri dengan doa: “Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Itulah yang
dimohonkan atau itulah yang harus diusahakan,
bukan saja oleh mereka yang baru menunaikan
ibadah haji, akan tetapi setiap muslim yang telah
mampu membaca doa, yang selama ini dikenal
dengan doa sapu jagad itu. Semoga kita berhasil
menggelarkan isinya dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Selamat jalan para hujaj, semoga bekal yandi
bawa tidak kurang, tidak pula tercecer, berjatuhan
sedikit-sedikit. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!
Kesimpulan
Haji adalah mengunjungi Baitullah (Ka’bah) di Mekah
untuk melakukan amal ibadah tertentu dengan syarat-
syarat tertentu pula. Ibadah Haji merupakan salah satu
dari rukun Islam. yakni pada rukun yang kelima yang
wajib dikerjakan bagi setiap muslim, baik itu laki-laki
maupun perempuan yang mampu dan telah memenuhi
syarat. Orang yang melakukan ibadah haji wajib
memenuhi ketentuan-ketentuannya.
Menunaikan ibadah haji diwajibkan atas setiap muslim
yang mampu mengerjakannya dan seumur hidup sekali.
SARAN SARAN
Haji dan Umroh merupakan ibadah dengan perjalanan
panjang dan banyak kegiatan yang sangat melelahkan fisik.
Selain itu juga berisiko pada kesehatan tubuh. Apalagi kondisi
medan, iklim, dan cauaca ekstrim di Tanah Suci sangat jauh
berbeda dengan keadaan alam di tanah air.

Pertemuan besar para jama'ah dari berbagai Pelosok


Nusantara serta bangsa di dunia yang membuat kondisi
Tanah Suci menjadi luar biasa padat, juga bisa menjadi faktor
mudahnya penularan langsung atau tidak langsung berbagai
penyakit menular.

Apalagi jamaah haji juga harus membiasakan diri dengan


makanan lokal yang belum tentu cocok di perut, sebab
urusan konsumsi, sudah diatur oleh penyelenggara
perjalanan haji. Untuk itu perlu adanya tindakan pencegahan
yang disarankan dan harus dilakukan para jamaah guna
memperkecil resiko-resiko yang mungkin akan menghinggapi
selama perjalanan ibadah di Sudi Arabia.

Hal yang utama untuk diperhatikan jamaah haji adalah


• kebersihan minuman dan makanan yang kita konsumsi.
Tidak direkomendasikan jamaah haji untuk meminum air
kran, sebab air kran berbahaya untuk dikonsumsi, karena
berupa air mentah yang masih banyak mengandung
mikroorganisme. •Perjalanan panjang selama 10 jam antara
Madinah dan Mekah dalam cuaca panas terik pastilah akan
membuat para jamaah haji lelah dan kehausan. Padahal di
sepanjang perjalanan tidak bisa dipastikan akan menemukan
makanan, air minum bersih atau toilet.
•Ada baiknya para jamaah haji membekali diri dengan air
mineral botol atau jika ingin yang natural bisa dipilih air Zam
zam. Air Zam Zam aman diminum walau mentah karena
mengandung flouride tinggi yang mampu membunuh kuman.
Sehingga resiko dehidrasi selama dalam perjalanan tidak
akan terjadi.
•Para jamaah haji pun harus memeriksa dengan teliti
kebersihan tempat makan yang akan dipilih. Misalnya di
distrik Haram, sebaiknya jamaah haji menghindari untuk
makan di restauran yang kelihatan kurang bersih.
•Mengintip kebersihan restoran sebelum memesan makanan
dan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan adalah
hal yang mutlak dilakukan.
•Disarankan jamaah haji untuk selalu membawa sabun
pribadi di dalam tas yang selalu dibawa kemana-mana. Lebih
baik sedikit repot dan bijak daripada terserang sakit perut
dan ibadah menjadi terhambat, bukan? Dengan
memerhatikan kebersihan dan kesehatan makanan dan
minuman yang dikonsumsi, Insya Allah kondisi fisik para
jamaah haji selalu prima untuk mengikuti rangkaian Ibadah
Haji di tanah suci.
•Tidak menyimpan jatah makanan. Jika jamaah haji
mendapat jatah makanan yang masih hangat dan segar,
hendaknya segera dikonsumsi, tak perlu disimpan, sebab
dikhawatirkan akan menjadi basi dan akan menyebabkan
sakit perut jika dikonsumsi kemudian. Saat menerima jatah
makanan, hendaknya juga diperiksa apakah masih hangat
atau sudah basi. Sebab pengolahan makanan dalam jumlah
besar sehingga kadang diolah jauh sebelum jam makan tiba.
Jika sudah dalam kondisi tidak baik, sebaiknya tidak
dikonsumsi.
•Memerhatikan penyakit yang telah diidap sedari di tanah
air. Naik haji merupakan kegiatan yang berat, kendala fisik
kadang-kadang berbahaya, terutama bagi orang tua.
Seyogyanya sebelum keberangkatan, memeriksakan diri dan
berkonsultasi pada dokter keluarga, sehingga dokter bisa
memberikan saran bagaimana menjaga diri supaya
kemungkinan komplikasi bisa dihindari.
•Kepala kelompok juga harus diberitahu mengenai kondisi
kesehatan anggotanya, sehingga selalu tanggap dan
waspada. Sebagian besar kaum lanjut usia mengalami resiko
pembengkakan pembuluh darah yang mengakibatkan gagal
vena atau masalah jantung. Bagi yang memiliki tekanan
darah tinggi juga harus berhati-hati. Terutama pada
beberapa obat yang bisa meningkatkan tekanan jantung,
seperti obat flu dan pelega tenggorokan.
Sebaiknya selalu berkonsultasi dengan dokter dalam
kelompok. •Bagi yang mengidap diabetes, tidak berarti harus
berhenti makan karena takut gula darah naik. Sebaiknya
tetap makan makanan diet seperti salad buah dan makanan
kecil rendah gula, serta tidak tidur di siang hari dan lebih
memperhatikan penanganan luka-luka kecil akibat terinjak
atau terdorong.
•Memperhatikan kecukupan beristirahat. jamaah haji Butuh
stamina yang baik untuk bisa mengikuti rangkaian Ibadah
Haji. Untuk itu, cukup istirahat mutlak diperlukan. Jangan
sampai gara-gara terlalu banyak jalan-jalan dan belanja,
kondisi fisik menjadi drop dan menjadi tak cukup fit untuk
mengikuti ibadah. Stamina jamaah haji harus benar-benar
dijaga, agar bisa menjalankan ibadah di Padang Arafah saat
puncak Ibadah Haji berlangsung.
Menyediakan krim. Bagi jamaah haji yang berkulit sensitif,
ada baiknya menggunakan krim anti jamur. Krim anti nyamuk
juga dianjurkan untuk melindungi diri dari gigitan serangga.
Krim untuk menjaga kelembaban kulit dan melindungi kulit
dari sengatan matahari juga dianjurkan.

Anda mungkin juga menyukai