Anda di halaman 1dari 7

PENGARUH KOMERSIALISASI TERHADAP INTEGRITAS

SENIMAN DAN KARYA SENI


PENDAHULUAN
Seni selama berabad-abad telah menjadi sarana ekspresi kreatif dan
refleksi budaya manusia. Namun, dalam era globalisasi dan komersialisasi yang
semakin kuat, seni sering kali menghadapi tantangan terhadap integritasnya.
Komersialisasi, sementara membuka pintu bagi lebih banyak peluang dan
eksposur, juga dapat mengancam esensi kreativitas dan keaslian seniman serta
karya mereka. Essay ini akan menjelajahi dampak komersialisasi terhadap
integritas seniman dan karya seni mereka.

PEMBAHASAN
Kontaminasi Kreativitas oleh Motivasi Keuntungan
Komersialisasi, dalam konteks seni, seringkali memunculkan dampak yang
kompleks terhadap kreativitas seniman. Fenomena ini dapat membawa perubahan
signifikan dalam fokus dan pendekatan seniman terhadap karya mereka, terutama
ketika kreativitas mereka terkontaminasi oleh motivasi keuntungan. Pengaruh dari
aspek komersial ini dapat menggeser esensi dari ekspresi kreatif murni menuju
pertimbangan komersial yang lebih pragmatis.
Dalam dunia seni yang semakin dipengaruhi oleh pasar dan keinginan
konsumen, terdapat tekanan yang semakin kuat bagi seniman untuk menciptakan
karya-karya yang tidak hanya menggambarkan nilai-nilai seni, tetapi juga
memiliki daya tarik pasar yang tinggi (Aziz, 2021). Hal ini seringkali menjadi titik
awal di mana komersialisasi memasuki arena seni. Seniman merasa dorongan
untuk menghasilkan karya-karya yang "laku" dalam pasar, dengan harapan dapat
mendapatkan pengakuan yang lebih luas dan keuntungan finansial yang lebih
besar.
Namun, di balik dorongan ini terdapat risiko yang signifikan terhadap
integritas kreatif. Tekanan untuk memenuhi preferensi pasar dapat dengan cepat
mengaburkan visi unik seniman dan mempengaruhi proses kreatif yang
sebelumnya organik dan autentik (Manurung, 2016). Terjebak dalam persaingan
pasar, seniman mungkin tergoda untuk mengikuti tren dan menghasilkan karya
yang dianggap populer. Dalam hal ini, motivasi keuntungan mengambil alih aliran
kreativitas, dan hasilnya bisa mengorbankan ide-ide orisinal dan inovatif.
Dalam paradoks ini, seniman merasa tertekan antara mempertahankan
integritas kreatif dan menghadapi tekanan untuk mencapai hasil yang
menguntungkan secara finansial. Keberhasilan komersial dalam pasar seni
seringkali diukur oleh popularitas dan profitabilitas karya. Dalam upaya untuk
mencapai standar ini, seniman mungkin harus melakukan perubahan signifikan
pada karya mereka, bahkan jika itu berarti mengorbankan elemen-elemen yang
sebelumnya membuat karya tersebut unik dan mendalam.
Dalam konteks ini, penting bagi para seniman, pelaku industri seni, dan
masyarakat pada umumnya untuk merenungkan dampak dari komersialisasi
terhadap proses kreatif dan integritas seniman. Mengembalikan keseimbangan
antara tujuan komersial dan ekspresi kreatif murni bisa menjadi tantangan yang
kompleks, namun itu adalah langkah penting menuju memastikan bahwa seni
tetap menjadi medium yang dapat mewakili ide, perasaan, dan refleksi budaya
dengan jujur dan autentik.

Pemenggalan Integritas Karya


Pemenggalan integritas karya seni muncul sebagai salah satu konsekuensi
yang meruncing dari interaksi antara seni dan komersialisasi. Suwityantini (2018)
mengungkapkan, ketika seniman terlibat dalam usaha untuk mengakomodasi
harapan pasar, mereka kerap dihadapkan pada tuntutan untuk mengubah karya-
karya mereka dengan cara yang drastis. Dampak dari perubahan ini dapat sangat
merugikan, mengingat karya seni sering kali menyimpan esensi dan pesan
mendalam yang ingin disampaikan oleh seniman itu sendiri.
Pertimbangan komersial sering kali mengarah pada perubahan substansial
pada karya seni, baik dalam bentuk visual, naratif, maupun makna. Sebuah
lukisan, misalnya, mungkin diminta untuk diubah agar lebih sesuai dengan
preferensi pasar yang sedang tren. Namun, dalam proses transformasi ini, keaslian
dan identitas asli karya sering kali terkikis. Karya yang awalnya mencerminkan
pandangan, emosi, atau pesan personal seniman dapat berubah menjadi produk
yang hanya mengikuti arus populer, menghilangkan nilai artistik yang sebelumnya
ada.
Proses kreatif, yang seharusnya menjadi tempat untuk menyuarakan ide-
ide orisinal dan ekspresi pribadi, dapat terdegradasi menjadi kolaborasi yang lebih
mirip dengan hubungan klien-direksi. Seniman mungkin merasa harus beradaptasi
dengan keinginan klien atau sponsor yang memiliki tujuan komersial,
mengorbankan kebebasan kreatif dan otonomi. Karya seni yang awalnya
merupakan manifestasi nyata dari visi seniman bisa berubah menjadi hasil
kolaborasi yang mengaburkan garis antara visi pribadi seniman dan tujuan
keuntungan bisnis.
Dalam hal ini, peran seniman sebagai penyampai pesan dan naratif
menjadi rentan terhadap pengubahan yang mempengaruhi keaslian karya mereka.
Efeknya, tidak hanya karya seni yang menderita, tetapi juga penonton yang
mungkin kehilangan kesempatan untuk terhubung dengan karya tersebut secara
mendalam. Mereka mungkin menghadapi interpretasi yang terdistorsi atau
merasakan kekosongan dari karya yang sebelumnya begitu kuat mempengaruhi
perasaan dan pemikiran mereka.
Dalam menghadapi permasalahan ini, penting bagi seniman, pelaku seni,
dan masyarakat untuk mempertimbangkan keseimbangan yang tepat antara
kebutuhan komersial dan integritas kreatif (Jazuli, 2000). Pemahaman yang
mendalam tentang makna dan nilai karya seni dalam bentuk aslinya harus
dipertahankan, sambil tetap menerima perubahan yang dapat mengikuti
perkembangan zaman. Upaya bersama untuk menjaga integritas karya seni adalah
langkah kritis dalam memastikan bahwa keindahan, keaslian, dan pesan karya seni
tetap dapat dinikmati dan dihargai oleh generasi masa depan.

Alih Pemilikan dan Kontrol


Fenomena komersialisasi seni membawa implikasi yang lebih dalam
ketika berbicara tentang alih pemilikan dan kontrol terhadap karya seni. Di tengah
gencarnya aktivitas komersial di dunia seni, terdapat risiko yang semakin nyata
bahwa seniman kehilangan kendali atas hasil karya mereka. Penjualan hak cipta,
pemberian lisensi, dan proses reproduksi-meski dapat memberikan keuntungan
finansial-sering kali berdampak pada hilangnya kendali penuh seniman terhadap
bagaimana karya-karya mereka digunakan dan diinterpretasikan.
Pentingnya kontrol seniman atas karya mereka tak terbantahkan. Putra, et
al (2023) mengungkapkan, karya seni, selain sebagai representasi visual dari
ekspresi dan pemikiran seniman, juga menciptakan jembatan antara seniman dan
audiens. Melalui karya seni, seniman mengkomunikasikan pandangan dunia,
perasaan, atau pesan tertentu kepada penonton. Namun, dalam konteks
komersialisasi yang melibatkan penjualan hak cipta, seniman sering kali
menghadapi situasi di mana keputusan tentang penggunaan karya bukan lagi
berada di bawah kendali mereka.
Misalnya, ketika seniman menjual hak cipta atau memberikan lisensi
kepada pihak lain, mereka mungkin harus menghadapi kenyataan bahwa karya
mereka bisa digunakan dalam konteks yang tidak sesuai dengan visi asli atau
pesan yang ingin disampaikan. Penggunaan yang tidak diinginkan atau bahkan
penyalahgunaan karya seni bisa saja terjadi. Ini, pada gilirannya, bisa merugikan
integritas karya tersebut dan juga citra seniman.
Selain itu, proses reproduksi karya seni dalam skala besar juga dapat
merusak kontrol seniman terhadap distribusi dan interpretasi karya mereka. Karya
yang dihasilkan dengan makna tertentu dalam jumlah terbatas dapat kehilangan
kedalaman dan nilai emosionalnya ketika diperbanyak secara massal (Sema,
2018). Ini juga bisa mengurangi rasa khusus yang dimiliki oleh karya dalam
bentuk aslinya dan mengurangi daya tariknya bagi audiens yang lebih luas.
Dalam menghadapi tantangan ini, seniman sering kali harus menjalankan
tindakan yang berat dalam menimbang antara keuntungan finansial dan
keberlanjutan nilai artistik mereka. Penting bagi para seniman untuk
mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan yang mereka buat
terkait dengan hak cipta, lisensi, dan reproduksi. Selain itu, sebagai tanggapan atas
tren komersialisasi yang terus berkembang, mungkin perlu ada diskusi lebih lanjut
tentang bagaimana para seniman dapat tetap memiliki kendali yang wajar atas
karya mereka saat juga mengambil keuntungan dari peluang komersial.
Dengan demikian, membangun kesadaran tentang pentingnya integritas
karya seni dalam komersialisasi menjadi krusial. Upaya bersama dari seniman,
pihak terkait seni, dan masyarakat pada umumnya akan membantu memastikan
bahwa seni tetap memiliki kedalaman, kompleksitas, dan daya tarik yang mampu
berbicara kepada penonton dengan cara yang mendalam dan autentik.

Eksposur vs. Perilaku Eksploitatif


Dalam pembahasan tentang dampak komersialisasi terhadap seniman, isu
kompleks seputar eksposur dan perilaku eksploitatif muncul sebagai hal yang tak
dapat diabaikan. Sementara komersialisasi menyediakan platform untuk seniman
agar lebih banyak dikenal dan mengakui hasil karya mereka secara finansial,
ironisnya, tingginya eksposur ini tidak selalu menghasilkan dampak yang positif.
Alih-alih menjadi pintu menuju pengakuan yang layak, eksposur dalam dunia seni
sering kali memunculkan potensi untuk praktik-praktik yang mengarah pada
eksploitasi seniman.
Eksposur yang luas bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, itu
membuka peluang bagi seniman untuk terhubung dengan audiens yang lebih luas,
menerima pengakuan lebih besar, dan membantu membangun basis penggemar
yang setia. Eksposur ini juga dapat membuka pintu untuk peluang kolaborasi dan
penampilan yang dapat mengangkat karir seniman ke tingkat yang lebih tinggi.
Hal ini didukung penelitian Nugraha (2023) bahwa, di era media sosial dan
teknologi, eksposur online dapat menjadi platform untuk memperluas jangkauan
dan menghubungkan seniman dengan audiens global tanpa batas geografis.
Namun, di balik sinar sorotan tersebut, terdapat risiko nyata yang harus
diatasi oleh seniman. Eksposur yang luas dapat membuka pintu bagi praktik-
praktik eksploitatif oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan. Seniman sering
kali menemukan diri mereka di persimpangan yang sulit, dihadapkan pada
tawaran dan peluang yang menjanjikan penghasilan yang menggiurkan tetapi
mungkin merugikan citra dan integritas mereka.
Perilaku eksploitatif ini bisa berwujud dalam berbagai bentuk, termasuk
penggunaan karya seni untuk tujuan yang tidak konsisten dengan visi awal
seniman, atau pemanfaatan citra seniman untuk kampanye komersial tanpa izin
yang jelas. Seniman mungkin juga merasa terjebak dalam kontrak yang memberi
pihak lain kontrol yang tidak seimbang atas hasil karya mereka. Dalam kasus-
kasus ini, seniman mungkin merasa terperangkap antara peluang finansial dan
perlindungan terhadap citra dan karya mereka yang sebenarnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi seniman untuk menjadi
lebih berempati terhadap keseluruhan dampak eksposur dan tawaran yang
diterima. Pendidikan dan kesadaran akan risiko eksploitatif juga perlu
ditingkatkan, baik oleh seniman sendiri maupun oleh komunitas seni yang lebih
luas. Selain itu, pendekatan yang lebih berwawasan ke depan terhadap kontrak
dan perjanjian dengan pihak-pihak eksternal juga akan membantu seniman
menjaga integritas dan otonomi mereka dalam menghadapi komersialisasi
(Mulyadi, 2018).
Kesimpulannya, eksposur yang dihasilkan oleh komersialisasi dapat
menjadi senjata ganda bagi seniman. Sementara dapat membuka jalan untuk
pengakuan dan peluang finansial, seniman juga perlu berhati-hati terhadap potensi
eksploitasi. Menggabungkan kebijaksanaan finansial dengan perlindungan
terhadap nilai artistik dan citra adalah tantangan yang harus dihadapi dengan
kebijaksanaan oleh semua seniman yang ingin menjaga integritas kreatif mereka
dalam era yang semakin komersial ini.

PENUTUP
Penting untuk diingat bahwa komersialisasi bukanlah fenomena baru
dalam dunia seni. Namun, pemahaman tentang dampak yang lebih mendalam
telah meningkat seiring dengan semakin kompleksnya pasar seni saat ini.
Meskipun komersialisasi dapat membawa manfaat, melindungi integritas seniman
dan karya seni harus tetap menjadi prioritas. Penting bagi seniman, pemerintah,
dan masyarakat secara keseluruhan untuk bekerja bersama dalam mendukung
lingkungan yang memungkinkan seniman untuk tetap setia pada visi dan nilai-
nilai mereka, sambil tetap berpartisipasi dalam ekonomi yang beragam dan
kompetitif. Hanya dengan menjaga keseimbangan ini, seni akan tetap menjadi
cerminan kekayaan dan keragaman manusia yang otentik.

RUJUKAN
Aziz, A. M. K. (2021). Era Modenisme Dan Pascamodenisme: Suatu
Transformasi Seni Visual Dalam Konteks Sosio-Budaya. International
Journal Of Art & Design, 5(2), 57-65.
Jazuli, M. (2000). Mitos Dan Posisi Seniman Dalam Era Globalisasi. Harmonia:
Journal Of Arts Research And Education, 1(1).
Manurung, E. M. (2016). Paradoks Dan Manajemen Kreativitas Dalam Industri
Film Indonesia (Doctoral Dissertation, Doktor Studi Pembangunan
Program Pascasarjana Uksw).
Mulyadi. (2018). Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dalam
Kesenian Tradisional Di Indonesia. Ilmu Hukum Prima (Ihp), 1(1), 138-
163.
Nugraha, P. P. (2023). Implementasi Model Marketing 5.0 Pada Pertunjukan
Wayang Kulit Di Era Digital. Money: Journal Of Financial And Islamic
Banking, 1(2), 122-131.
Putra, Z. A. W., Olendo, Y. O., & Sagala, M. D. (2023). Kajian Kritik Seni:
Transformasi Bentuk Penyajian Musik Tradisional Krumpyung Kulon
Progo Di Era Multimedia. Jurnal Sendratasik, 12(2), 146-156.
Sema, D. (2018). Postmodernisme, Budaya Massa Dan Musik Ibadah Masa Kini.
Shift Key: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, 8(2).
Suwityantini, D. (2018). Strategi Pemasaran Karya Seni Lukis (Studi Kasus Pada
Pameran Seni Rupa Dan Pasar Seni Art Joga). Jurnal Ekobis Dewantara,
1(8).

BUKTI CEK TURNITIN

Anda mungkin juga menyukai