Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SOSIOLOGI SENI RUPA

“Masyarakat Sebagai Produk Seni”

Dosen Pengampu :
Drs. Abdul Hafiz, M.Pd.
Nessya Fitriyona, S.Pd., M.Sn.

Disusun oleh :

Rahmad Al Mutaqqim (19020011)


Rahmat Hidayat (19020012)

PENDIDIKAN SENI RUPA

JURUSAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Penulis
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahnya pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Masyarakat Sebagai Produk Seni”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Seni Rupa. Penulis
menyadari bahwa dalam penyajian makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam membantu
kelengkapan makalah ini.

Dengan menyelesaikan karya tulis ini, penulis mengharapkan banyak manfaat yang dapat
dipetik dan diambil oleh penulis dan pembaca. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah wawasan dan pemahaman bagi yang membacanya.

Padang, 21 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………1

BAB II PEEMBAHASAN

A. Masyarakat Sebagai Produk Seni………………………………………………………….2

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………..6
B. Saran………………………………………………………………………………………6

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….7

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan tentang fungsi seni dalam kehidupan, sampai sekarang tetap aka nada, sebab ada
dua pendang yang berbeda tentang benda seni. Satu pihak menekankan pentingnya seni demi
bentuk estetiknya, sedangkan pihak lain menekankan pentingnya seni demi isi estetiknya,
meskipun kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, hanya dapat dibedakan. Karena benda
seninya memang hanya satu. Mereka yang mementingkan bentuk estetiknya cenderung
menolak segala kepentingan pregmatis dalam benda seni. Di lain pihak, mereka yang
mementingkan isi estetik lebih menekankan bobot ekstrinsik seni. Bermutu tidaknya karya seni
ditentukan oleh isi, pesan, persoalan, tema dari karya itu. Bentuk hanyalah efek atau impresi
pesona untuk menerima isi seni.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana mengetahui tentang masyarakat sebagai produk seni dan seni untuk seni?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masyarakat Sebagai Produk Seni


Memang pada dasarnya seni berarti keterampilan (aktivitas manusia), karya, seni indah, seni
rupa. Inilah sebabnya orang dapat berbicara tentang seni pengobatan, seni memasak, seni
perang, seni berdagang, seni manajemen. Bahkan hidup ini juga merupakan seni. Kesenian
pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi
seseorang untuk berhubungan dengan orang lain. Seni keterampilan, keahlian, dan perbuatan
untuk menghasilkan tidak begitu saja. Untuk menguasai keterampilan seseorang harus
memiliki pengetahuan terlebih dahulu. Salah satu contohnya: seorang koki tidak lahir langsung
menjadi seorang ahli masak, akan tetapi dia belajar terlebih dahulu intuk mengetahuinya.
Seperti seorang pejuang, dia lahir tidak langsung menjadi pejuang, ia harus belajar terlebih
dahulu. Akan tetapi seni yang di persingkat maknanya yaitu seni itu yang dapat di jangkau
dengan indra, karna seni itu merupakan artefak yang dapat dilihat, didengar,. Seperti, lukisan,
musik, teater. Seni itu merupakan nilai dari seni kita dapat menilai yang mana yang baik,
indah, adil, sedehana. Akan tetapi nilai itu bersifat subjektif.
Seni merupakan ’kebebasan’, artinya tidak boleh ada suatu pendiktean terhadap
penikmatnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertunjukkan atau pementasan, sutradara
berusaha mewujudkan apa yang dia rasakan dan pikirkan. Perkara artinya seperti apa, itu
terserah kepada penonton saja. Sutradara seperti ini bisa dikatakan seniman sejati, artinya
dalam hal ini penonton boleh saja berpendapat terntang arti seni mengenai hasil karya seniman
tadi, asal semua itu bertolak dari fakta karya seni itu sendiri. Sebuah karya seni yang baik
memang bukan ilmu pengetahuan yang harus jelas batas dan isi pengertiannya. Sebuah karya
seni disebut seni apabila ia berhasil memberikan rangsangan dan daya hidup atau daya cipta
bagi penerimannya. Seni adalah suatu dinamika dalam suatu keutuhan pengalaman. Sesuatu
yang indahlah yang menggerakkan jiwa manusia. Dan gerak jiwa itu berenang dalam
kebiasaanya sendiri dalam suasana permainan yang tanpa beban. Tugas seniman adalah
menciptakan karya seni. Karya seni itu lahir dari pengalamn artistiknya. Dan tugas penerima
seni adalah menghayati karya itu lewat penginderaanya yang langsung menggerakan syaraf
perasaan dan pemikirannya.
Apabila pada sebuah benda seni, yang benar-benar disebut benda seni kalau sudah berapa
ditangan penanggap seni. Seni itu masalah komonukasi dan relasi nilai-nilai, sebuah seni
bernilai jika munculnya berbagai nilai dari benda tersebut. Nilai yang dimaksut bersifat
subjektif dan selalu bersifat historis, nilai itu bersifat historis, karena nilai itu amat tergantung
dari tempat dan zamannya. Contohnya : pada tahun 1920-an wanita besepeda itu tidak sopan,
sedangkan sekarang wanita yang bersepeda tu sudah biasa. Meskipun seni itu bersifat
2
kontekstual secara bentuk dan isi, namun ada pula yang bersifat universal memiliki batas
waktu dan tempat.meskipun demikian seni yang bersifat kontekstual dan universal dalam seni
adalah persoalan siapa yang menanggapi masalah-masalah konteks tersebut. Seni yang lebih
dikenal dengan kesenian, Secara historis kesenian lahir dari sebuah refleksi kebersamaan
dalam menyeimbangkan tata kehidupan bermasyarakat. Kesenian itu sendiri terbentuk secara
anonim. Sungguh pun bentuk kesenian tersebut pada awalnya lahir dari gagasan seseorang,
namun begitu bentuk kesenian itu tercipta, masyarakat segera meng-klaim-nya sebagai
kesenian mereka. Sehingga sampai saat ini kesenian tradisional hampir tidak pernah dikenal
siapa penciptanya. Beberapa catatan hasil penelitian menyebutkan, dalan kebudayaan masa
lampau, masyarakat menciptakan kesenian untuk kepentingan hidup yang kemudian dibentuk
tontonan sebagai tuntunan hidup beragama, berbangsa dan bernegara. Pada masa itu kesenian
diperlakukan sebagai sarana komunikasi antar individu atau kelompok dalam berbagai
aktivitas yang erat kaitannya dengan tradisi (adat istiadat dan kebiasaan) yang berlaku dalam
komunitasnya.

Seni dalam pandangan kaum pencinta keindahan tidak bekerja secara langsung
mengekspresikan ide atau sikap, tetapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu
wujud, seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. Seni juga selalu
dihubungkan dengan nilai pribadi, karena seni lahir dengan ungkapan perasaan pribadi pada
penciptaan. Karya seni juga sebagai wahana komunikasi untuk dapat dihayati, dicermati dan
barangkali sampai ketingkat dipahami menuntut visualisasi dan realitas. Teknik merupakan
kendaraan di mana ide hendak diantarkan. Sebagai suatu kendaraan seniman dituntut
menguasai teknik untuk dapat mengendarainya ke tempat tujuan yang diinginkan. Seni juga
selalu dihubungkan dengan nilai pribadi, karna seni lahir dengan ungkapan perasaan pribadi
pada penciptaan. Kesenian tradisonal sebagai media komunikasi dalam mengemban massage
(pesan), dalam perkembangannya menjadi tidak terbatas hanya untuk kepentingan politik
semata, tetapi dimanfaatkan pula oleh lembaga pemerintah dan swasta sejalan dengan
kepentingannya masing-masing. Dan memanfaatkan kesenian tidaklah bertentangan dengan
fungsi kesenian itu sendiri memanusiakan manusia, memanusiakan masyarakat. Setiap
manusia berhak memiliki jiwa seni, baik diciptakan secara individual maupun kelompok.
Penghargaan seni bisa berasal dari orang lain baikpun dari diri sendiri.

Adapula yang beranggapan ‘seni untuk seni’ yaitu adalah keabadian yang melampaui
konteks zamannya. Yanag menolaik nilai dari konteks yang sedang berlaku, sebab nilai-nilai
itu bersifat sezaman saja. Padahal nilai-nilai konteks selalu berubah, sementara nilai seni tidak
berubah. Maka, mengukur nilai seni dari nilai konteks akan dapat menimbulkan kotoran.
Khususnya pada kata karya seni yang diabadikan secara tertutup yang merupakan cara

3
seseorang berseni untuk dirinya sendiri. Adapun makna dari kalimat karya seni yang
diabadikan secara tertutup, seseorang yang berkarya dengan kepuasan sendiri dan dinikmati
untuk dirinya sendiri. Hanya mementingkan kepuasannya tidak untuk dipublikasikan. Pada
dasarnya seni betujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata, seni
yang berbentuk realitas yang dihadapi dengan secara nyata. Seni lahir karena adanya seorang
seniman yang menghadirkan karya, yang menghadirkan karya disebut sebagai representasi.
Khususnya dalam representasi seni, istilah ini dapat mengandung arti sebuah gambaran yang
melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal. Representasi eni adalah upaya
untuk mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta sebagaimana ditemukan oleh
senimannya. Adapun setiap orang memiliki potensi dengan pengembangan. Adapun
kebudayaan jelas ikut menentukan apakah seseorang memiliki pandangan mengenai apa yang
disebut seni. Akan tetapi seni sebenarnya kontekstual, karena nilai-nilai memang bersifat
kontekstual. Kesenian yang merupakan seni untuk seni inilah yang memiliki tujuan untuk
kepuasan tersendiri tanpa melibatkan orang lain. Seni sebagai wahana komunikasi antara
seniman dengan masyarakatnya, secara mutlak harus menghadirkan karya sebagai media
komunikasinya. Oleh karena itu komunikasi dengan karya menjadi penting artinya. Karya seni
sebagai hasil belum sempurna jikalau karya tersebut tidak dikomunikasikan kepada penonton
(audience), sehingga karya seni sebagai hasil dialog bagi seniman menjadi sarana komunikasi.
Oleh karena itu, ide, pikiran, fantasi, angan-angan dan lain-lain penting. Hal ini hanya
mungkin dilakukan dengan menciptakannya, dan tentu untuk menciptakannya memerlukan apa
yang disebut teknik. Teknik menjadi bagian sentral bagi seniman, karena betapapun tingkat
kemampuan seorang seniman tidak dapat lepas dari persoalan ini. Ide, pikiran, cita-cita dan
lain-lain menjadi pendorong tentang apa yang hendak diekspresikan dan teknik menjadi sarana
bagaimana untuk mengungkapkannya.

 Seni Untuk Seni


L’art pour l’art (seni untuk seni) adalah slogan Prancis yang muncul sekitar abad ke-
19. Frasa itu menegaskan bahwa nilai intrinsik seni, dan satu-satunya seni yang
sebenarnya, dipisahkan dan tidak mempunyai tujuan seperti nilai-nilai moral hingga
fungsi didaktik (pendidikan, pengajaran). Karya-karya yang mendukung soal ini
kadang-kadang digambarkan sebagai “autotelis” (dari istilah Yunani: autoteles) yang
berarti lengkap dalam dirinya sendiri. Versi latin frasa ini adalah ars gratia
artis, Inggris menjadi art for art’s sake, dan Jerman dengan Kunst fur die Kunst.
Penggunaan frasa “L’art pour l’art” ini dipopulerkan oleh Théophile Gautier (1811–
1872), seorang penyair, dramawan, novelis, jurnalis, dan kritikus seni dan sastra
Prancis. Dia meletakkan frasa tersebut dalam kata pengantar untuk bukunya pada
1835, Mademoiselle de Maupin. Meski, ada informasi lain yang menyebutkan, Gautier
4
bukanlah yang pertama memunculkan frasa itu karena frasa itu juga ditemui dalam
karya Victor Cousin (filsuf Perancis, hidup 1792–1867), Benjamin Constant (penulis
dan politis Swiss-Perancism hidup 1767–1830), dan Edgar Allan Poe (penulis dan
kritikus sastra Amerika, hidup 1809–1849).
Slogan ini juga diangkat untuk menentang di antaranya kelompok seniman
“beraliran” sosialis marxis yang menuntut nilai seni untuk melayani moral atau
bertujuan mendidik masyarakat yang mengarah pada adanya politisasi seni. Penulis
Inggris, John Ruskin (1819-1900), termasuk yang setuju soal tujuan seni ini. Kelompok
pengusung L’art pour l’art menganggap, seni tidak memerlukan pembenaran moral,
dibiarkan netral secara moral. Pelukis Amerika, James Abbott McNeill Whistler (1834-
1903), yang salah satu lukisannya Whistler’s Mother (1871) dianggap sebagai salah
satu lukisan Amerika paling terkemuka, merupakan salah seorang pendukung utama
kredo l’art pour l’art ini. Dia membuang peran seni yang biasa digunakan untuk
kepentingan negara ataupun agama. “Seni mestilah berdiri sendiri… dan menarik rasa
artistik mata atau telinga, tanpa mengacaukan hal ini dengan emosi yang sama sekali
asing baginya seperti pengabdian, rasa kasihan, cinta, patriotisme dan sejenisnya,”
seperti dikutip dari media seni budaya sejarah Amerika, Smithsonian. Sebaliknya, filsuf
Jerman, Friedrich Nietzsche, menentang frasa L’art pour l’art ini. Dia
berpendapat, l’art pour l’art seperti cacing yang memakan ekornya sendiri. “Seni
adalah stimulus besar bagi kehidupan: bagaimana orang bisa memahaminya tanpa
tujuan seperti l’art pour l’art?” tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols (1889).

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Karya seni diciptakan dengan segala macam gagasan, pengalaman, dan kejujuran dari
senimannya. Apabila karya tersebut sudah selesai maka karya tersebut dihadirkan kepada
public secara tidak langsung akan bersinggungan dengan masyarakat bahkan dengan
senimannya sendiri. Dimana posisi seniman secara mutlak sudah terpisah dari karyanya.
Berawal dari hal itu, seniman mampu memberikan pengaruh terhadap pandangan masyarakat
karena nilai dan perannya. Meskipun kedudukan seni menyatakan dirinya sendiri sebagai hal
yang diterima masyarakat sebagai kepositifan dan kenegatifan, membangun atau merusak.
Berdasarkan pokok permasalahan seni untuk seni yang dijelaskan diatas sebenarnya seni itu
sendiri dan menyangkal tidak hanya bermanfaat social dan moral. Moralnya adalah keindahan
itu sendiri. Berangkat dari permasalahan besar sehimgga muncul seni untuk seni. Seni
dimurnikan kembali dari tendensi-tendensi yang ada sebelumnya, baik dari yang politis
sifatnya, maupun yang moralistic. Seni supaya dinikmati dan dihargai bukan alas an-alasan
lain yang ada di luar seni itu sendiri. Meskipun secara kongkrit seni memiliki bentuk atau
wujud diantaranya tari, sastra, lukis. Tetapi sebenarnya teori seni untuk seni dianggap
mereaksi gejala terhadap keadaan pada zmannya dan sesungguhnya ingin membuktikan seni
memiliki ego tetapi tidak terbuktikan karena seni didalamnnya memiliki banyak fungsi.
B. Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran kepada
bapak dosen dan teman-teman tentang pembahasan makalah di atas, agar dapat
meningkatkan mutu dalam penyajian berikutmya Akhir kata kami ucapkan terimah kasih.

6
DAFTAR PUSTAKA

http://awanart.blogspot.com/2009/02/masyarakat-sebagai-produk-kesenian.html

https://gbsri.com/seni-untuk-seni-seni-untuk-masyarakat-seni-untuk-kreatifitas/

Jakob Soemardjo. Filsafat Seni. Bandung. Penerbit ITB. 2000.

https://www.indhie.com/2019/09/17/lart-pour-lart-seni-untuk-seni-apa-maksudnya/

Anda mungkin juga menyukai