Anda di halaman 1dari 3

Komodifikasi Seni, Haramkah?

Seberapa jauhkah kita melihat seni sebagai suatu instrumen investasi? Terkadang memang hal ini terlalu mengada-ada sebagian orang, terutama penggiat seni. Terlebih bagi mereka yang kukuh berpegang bahwa seni tidak boleh menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Namun praktek memperjualbelikan seni sudah ada semenjak dahulu. Bahkan secara tidak sadar, seniman yang paling antipati terhadap komodifikasi seni pun sebenarnya sudah masuk dalam praktek ini, dan praktek ini legal. Seniman menjual karyanya untuk mendapat sesuap nasi ataupun menjual tiket untuk pergelarannya, itu juga sudah merupakan jualbeli yang terkadang bahkan dikelola secara profesional, melalui broker dan berbagai media lainnya. Namun memang bagi banyak orang, seni dapat menjadi instrumen investasi yang sangat menguntungkan, terutama di negara-negara barat di mana saat ini mengalami resesi. Pun ketika perekonomian mereka sehat, tingkat inflasi mereka sangat rendah sehingga return dari investasi seni pun seakan menggiurkan, melebihi 5% setahun. Pertanyaan bagi kita saat ini adalah memang komodifikasi seni terjadi, dan banyak orang sudah menanggung untung besar dari padanya. Namun umumnya proses ini hanya berjalan pada komoditas seni rupa yang lebih mudah dan lebih tangible. Ya, seni rupa lebih mudah untuk dinilai secara eksplisit, pun jual beli juga menjadi lebih mudah karena mirip dengan jual beli emas ataupun batu berharga. Hanya saja penaksiran harga yang dilakukan tentunya lebih rumit. Jadi, apakah mungkin komodifikasi ini terjadi pada bentuk seni lainnya, terutama musik? Memang di dunia musik, musik pop seringkali dituduh sebagai biang kerok komodifikasi musik, sebagian besar dikarenakan memang musik jenis ini yang lebih mudah terjual dan tentunya menambah kocek para penggiat-penggiat musik ini. Namun kejamnya adalah tuduhan bahwa musisi ini menjual jiwanya pada uang sehingga berkarya demi uang dan bukan seni. Tapi apakah memang seni pop dan para penggiatnya karena memang berhasil secara finansial membuat mereka menjadi pengkhianat seni yang harus dipertobatkan?

Atau sebenarnya malah kesalahan ada pada pihak penggiat seni yang non -populer? Mereka kah yang bertopeng pada ketidaklakuannya seni mereka padahal sebenarnya lebih kepada ketidakmampuan mereka untuk mengolah dan menjual karya mereka secara lebih cerdik? Atau mungkin penggiat seni lebih sering berkutat di studio mereka dan lupa bahwa ada dunia keuangan di luar sana yang siap mendanai seni mereka? Karena sebenarnya kita semua penggiat seni adalah penjual seni. Pada akhirnya tergantung kemampuan kita dalam mengelola sumber-sumber daya yang ada. Bentuk seni manapun bukanlah alasan ketidak-populeran mereka ataupun bahkan kegagalan mereka supaya berhasil dari segi finansial. Sumber : http://mikebm.wordpress.com/2010/09/09/komodifikasi-seni-haramkah/

HARUS KRITIS SIKAPI KOMODIFIKASI SENI RUPA

Surabaya, Kompas - Gejala komodifikasi seni rupa seharusnya disikapi kritis oleh seniman. Pasalnya, tanpa daya kritis dan keberanian untuk keluar dari karut-marut kartel seni rupa yang dikuasai oleh pemilik modal alias kapitalis, karya seni rupa tidak lagi memiliki arti dan nilai dalam perkembangan maupun wacana seni rupa. Demikian benang merah diskusi seni rupa di sela pameran tunggal karya Herman Handoko alias Pak Beng bertajuk "To Be Myself", Selasa (11/5) di Ruang Seni Museum of Mind Surabaya. Diskusi dipandu oleh seniman perupa Syaiful Hadjar dengan pembicara Dr Djulijati Prambudi (pengamat seni rupa dan pengajar seni rupa Universitas Negeri Surabaya), Riadi Ngasiran (penulis dan pemerhati seni rupa), dan Heri S Ibrahim (pelukis). Djulijati mengatakan, Pak Beng adalah seniman eksentrik yang karyanya perlu dikaji karena dia memiliki keberanian yang luar biasa untuk tidak terjebak pada komodifikasi karya seni rupa dan kapitalisme pasar seni rupa. "Tatkala semua seniman ingin berpameran di galeri swasta, Pak Beng justru memilih pameran di Museum of Mind yang jauh dari komodifikasi karya seni rupa," katanya. Ia mengatakan, dalam perkembangan seni rupa mutakhir (kontemporer) pemahaman estetik yang cenderung memandang karya seni sekadar indah dan memesona, selayaknya ditanggalkan dan mengembalikannya kepada ranah realitas itu sendiri. "Yang menarik dari Pak Beng, konsistensinya dan karyanya memiliki tempat tersendiri dan jauh dari praktik kapitalis seni rupa. Apalagi melihat material karyanya yang sangat Sudra," kata Djulijati. Heri S Ibrahim mengatakan, karya seni rupa (visual) yang dihadirkan oleh Pak Beng sudah tidak lagi terikat dengan formalitas kekaryaan seni rupa yang mempertimbangkan rasa keindahan, baik ataupun jelek, bagus ataupun buruk. "Untuk melihat karya Pak Beng, kita harus menggunakan mata dan hati untuk memasuki realitas visual karyanya," ujarnya. Menurut Pak Beng, karyanya sangat terbuka untuk apresiasi dengan pelbagai tafsir selaras dengan pengalaman estetik khalayak yang mengapresiasinya. "Saya sendiri ingin memenangi bahasa garis dan kebebasan dalam diri saya dalam berkarya seni," tuturnya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/05/12/19535417/HARUS.KRITIS.SIKAPI.KOMODIFIKASI.SENI.RUPA

Anda mungkin juga menyukai