Anda di halaman 1dari 3

Artikel

Pengertian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Bahasa yang baik dan benar merupakan topik pembahasan yang masih sering diperdebatkan. Saya

mengamati bahwa khalayak cukup sentimen dengan diksi baik dan benar. Bahkan, beberapa teman

saya juga berpandangan kalau bahasa itu milik semua kalangan masyarakat yang seharusnya tidak

dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu.

Betulkah bahasa telah dimonopoli? Lalu, jika memang milik masyarakat, apa yang sudah kita lakukan

demi merawat dan membesarkan bahasa Indonesia, selain menggunakannya dalam keseharian?

Mari kita bedah. Pada 2019, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang

Penggunaan Bahasa Indonesia. Pada Pasal 2 ayat (1) Perpres tersebut, tertulis bahwa “Penggunaan

Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Utorodewo

(2020) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang baik tidak dapat dipisahkan dari

konteks berbahasa yang selaras dengan kesepakatan masyarakat, yakni nilai dan norma.

Bahasa yang baik berkaitan erat dengan ragam. Berdasarkan situasi komunikasi secara umum,

terdapat dua ragam bahasa: formal dan nonformal. Di luar itu, ada pula ragam beku yang dapat
ditemui pada naskah hukum dan upacara, serta ragam konsultatif pada kegiatan transaksional.

Bahkan, ragam nonformal pun dapat digolongkan ke dalam situasi yang santai dan situasi yang akrab.

Perlu diketahui, bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi. Tentu terasa

janggal ketika petugas pembawa bendera berkata, “Nih, benderanya. Kibarin, gih!” kepada petugas

pengibar bendera merah putih. Ragam nonformal tidak cocok untuk digunakan dalam suasana yang

takzim. Sebaliknya, saat sedang bercengkerama bersama teman dekat di sebuah kedai kopi, sepertinya

tidak mungkin kita berkata, “Hai, apakah Anda sudah memesan secangkir kopi hitam dengan sedikit

gula?”

Selain bahasa yang baik, Perpres Nomor 63 Tahun 2019 juga menyinggung penggunaan bahasa

Indonesia yang benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang mematuhi kaidah atau aturan. Dalam

tulisan, misalnya, kita perlu memperhatikan ejaan yang baku: telanjur atau terlanjur? Selain itu,

kalimat “Ibu saya makan, ya” tentu tidak sama dengan “Ibu, saya makan, ya”. Tanpa tanda koma,

sebuah kalimat dapat memiliki pemaknaan yang berbeda.

Barangkali, persoalan ejaan dan tanda baca tidak begitu diperhatikan dalam ragam nonformal bahasa

lisan. Namun, perlu diingat, kaidah juga bertalian dengan struktur dan logika tata bahasa. Kita tentu

pernah mengucapkan “Saya es teh manis, Mas” ketika sedang berada di sebuah restoran. Apabila

direnungi dengan saksama, sebetulnya kalimat tersebut benar-benar aneh. Pernahkah Kerabat Nara

berada dalam situasi ketika pelayan tersebut menjawab, “Oh, saya kira kamu itu manusia”? Saya

pernah. Semenjak saat itu, saya selalu berpikir ulang sebelum memesan makanan dan minuman.

Selama ini kita memandang pengertian baik dan benar sebagai sesuatu yang kaku. Padahal, bahasa

adalah sistem yang manasuka. Penggunaan bahasa sebaiknya disesuaikan dengan situasi yang ada.

Selain itu, andai kata struktur kalimat kita berantakan atau tidak logis, pesan tentu akan sukar

tersampaikan dengan utuh.

Ingat, aturan tidak dibuat untuk mempersulit kita. Justru sebaliknya, kaidah-kaidah diciptakan untuk

memetakan pola dalam berbahasa dan memudahkan pemakainya untuk berkomunikasi. Seumpama

ada regulasi yang menghambat perkembangan bahasa atau menyusahkan penggunanya, kita dapat
memberikan kritik dan saran terhadap badan yang berwenang. Dari situ, diskursus tentang kebahasaan

bisa tercipta. Dari situ pula, bahasa bisa menjadi milik Masyarakat.

Rujukan:

 Lanin, Ivan. 2016. “Bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Diakses pada 8 Desember 2020.

 Utorodewo, Felicia N. 2020. “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Diakses pada 8

Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai