Anda di halaman 1dari 6

I.

DASAR TEORI

Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari penyerapan, penyaluran dan pengurangan obat.
Deskripsi tentang penyaluran dan pengurangan obat sangat penting untuk merubah permintaan dosis
pada individu dan kelompok pasien. Pada fase farmakokinetika, obat mengalami proses ADME yaitu
absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi yang berjalan secara stimulant
langsung atau tak langsung meliputi perjalanan suatu obat melintasi sel membrane (Shargel & Yu,
1988).

Farmakokinetika mejelaskan tentang suatu obat yang dilepas dari bentuk sediaanya, obat
di absorpsi ke dalam jaringan sekitarnya, tubuh, atau keduanya. Absorpsi obat sistemik dari saluran
cerna atau dari berbagai site ekstravaskuler lain bergantung pada sifat fisika kimia obat, bentuk sediaan
yang digunakan dan anatomi fisiologi dari site absorpsi. Pendosisan oral faktor-faktor seperti luas area
saluran cerna, laju pengosongan lambung, motilitas saluran cerna dan aliran darah ke site absorpsi
mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat. Dalam farmakokitenika, keseluruhan laju absorpsi obat
dapat digambarkan baik sebagai proses masuknya orde kesatu atau orde nol. Sebagian besar model
farmakokinetika menganggap absorpsi mengikuti orde kesatu (Shargel et al, 2012).

Enzim berperan dalam proses biokimia dalam tubuh sebagai katalisator. Pada ilmu
farmakokinetika, enzim berfungsi memetabolisme obat untuk mengakhiri efek farmakologis atau efek
toksik suatu obat, dengan mengubah obat yang bersifat lipofilik menjadi hidrofilik, dari non-polar
menjadi polar sehingga lebih mudah diekskresi (M. Barry And J. Feely.1990).

Inhibitor merupakan senyawa yang dapat menghambat kerja enzim dengan mencegah sisi aktif
untuk tidak bekerja. Beberapa obat-obatan juga berfungsi sebagai inhibitor, seperti penisilin yang
berguna menghambat kerja enzim pada mikroorganisme. Penghambatan enzim metabolism kadang-
kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja
enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat
dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas. Proses inhibisi enzim diilustrasikan
pada gambar berikut (M. Barry And J. Feely.1990)
Gambar 1. Inhibisi Enzim
Onset inhibisi pemberian tunggal mengambat senyawa. Peningkatan kadar plasma obat setelah
penghambatan metabolisme mencapai konsisi stabil. Oleh karena itu potensiasi efek farmakologis
biasanya lebih cepat jika obat memiliki waktu paruh yang singkat. Interaksi yang paling relevan secara
klinis akan melibatkan obat-obatan yang rasio terapeutik yang sempit (misalnya warfarin, phenytoin)
(M. Barry And J. Feely.1990).

Berdasarkan proses terjadinya, inhibisi dapat dibagi menjadi 4 proses utama, yaitu (M. Barry
And J. Feely.1990) :

1. Inhibisi kompetitif
Pada inihibisi kompetitif, inhibitor dan substrat berkompetisi untuk berikatan dengan enzim.
Seringkali inhibitor kompetitif memiliki struktur yang sangat mirip dengan substrat asli enzim.
2. Inhibisi tak kompetitif (Uncompetitive)
Pada inhibisi tak kompetitif, inhibitor tidak dapat berikatan dengan enzim bebas, namun hanya
dapat dengan komples ES. Kompleks EIS yang terbentuk kemudian menjadi tidak aktif. Jenis
inhibisi ini sangat jarang, namun dapat terjadi pada enzim-enzim multimerik.
3. Inhibisi non-kompetitif
Inhibitor non-kompetitif dapat mengikat enzim pada saat yang sama substrat berikatan dengan
enzim.
4. Inhibisi campuran
Inhibisis jenis ini mirip dengan inhibisi non-kompetitif, kecuali kompleks EIS memiliki
aktivitas enzimatik residual.
Secara sederhana keempat jenis inhibisi tersebut dapat dirangkum dalam skema sederhana
seperti berikut (M. Barry And J. Feely.1990) :

Gambar 2. Jenis-Jenis Inhibisi Enzim.

Gambar 3. Induksi Enzim

Inhibitor enzim adalah suatu molekul yang berinteraksi dengan enzim agar kerja enzim dihambat
pada keadaan normal dengan berbagai cara. Tipe inhibisi yang utama adalah inhibisi kompetitif dan
inhibisi non kompetitif (Ophardt, 2003).

Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu inhibisi enzim, dimana inhibisi enzim
merupakan suatu proses penonaktifan enzim oleh oleh suatu molekul yang disebut dengan inhibitor
(Ophardt, 2003) :

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di


dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau
bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3
hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. (Stockley, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat (M. Barry And J. Feely.1990) antara lain:
1. Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
system kehidupan.
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda,
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang
diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap
obat.
Banyak bukti yang telah menunjukkan kombinasi yang terapi antipsikotik atipikal dan reuptake
inhibitor (SSRI) adalah strategi efektif dalam mengobati gejala beberapa gangguan kejiwaan , di mana
monoterapi kelas obat tidak efektif. Dimana Clozapine ditambah fluvoxamine adalah kombinasi seperti
yang telah ditemukan memiliki efektifitas dalam meningkatkan depresi, gejala negatif, dan obsesif-
kompulsif skizofrenia, di mana baik obat sendiri menghasilkan respon terapi bersamaan (Chuan-Yue
Wang. Et al, 2004).

Pengobatan fluvoxamine juga memungkinkan penggunaan yang lebih rendah dosis clozapine
dalam skizofrenia, yang akan menimbulkan efek samping yang merugikan dan meningkatkan toleransi
yang dari pengobatan untuk patients. Olanzapine adalah atipikal antipsikotik baru, dan kombinasinya
dengan SSRI telah terbukti meningkatkan khasiat terapi pada pasien tahan SSRI dengan obsesif
kompulsif, trikotilomania, dan pasca trauma stress. Kombinasi terapi dengan fluvoxamine juga
menambah efek klinis olanzapine dalam terapi kronis schizophrenia. (Chuan-Yue Wang. Et al, 2004).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian bersamaan menginduksi fluvoxamine


ketinggian mendalam dari tingkat darah clozapine dan olanzapine, dan diyakini menjadi sebagian besar
karena penghambatan fluvoxamine dari sitokrom P450 (CYP450) enzim-terutama CYP1A2-via yang
clozapine dan analognya, termasuk olanzapine, yang dengan metabolitnya. Perbedaan efek
fluvoxamine mungkin terkait dengan jalur metabolisme dan tingkat sekresi proporsi dua
antipsychotics. Clozapine dimetabolisme oleh CYP1A2. enzim CYP450 lainnya, termasuk CYP2C19,
CYP2C9, CYP3A4, dan CYP2D6, juga terlibat dalam metabolisme dari clozapine. (Chuan-Yue Wang.
Et al, 2004).

Meskipun olanzapine adalah congener struktural clozapine dan juga substrat enzim CYP450,
Jalur metaboliknya berbeda dari clozapine. Selain CYP1A2 dan, untuk jauh lebih rendah sejauh,
CYP2D6, olanzapine juga langsung dikonversi oleh flavin yang mengandung monooxygenase (FMO)
dan glucuronid oleh glucuronosyl transferase (Chuan-Yue Wang. Et al, 2004).

Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematis dari model yang
berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh atau metabolitnya dalam darah, urin atau cairan hayati
lainya. Parameter farmakokinetik suatu obat ini dapat digunakan untuk memperoleh gambaran dan
mempelajari suatu kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi didalam tubuh (Shargel, 2012).

Parameter farmakokinetik yang digunakan pada praktikum kali ini diantaranya adalah AUC (area
under curve), Vd (volume distribusi), F (fraksi obat terabsorbsi atau bioavailabilitas), t-max (waktu
maksimal) dan Cp max (konsentrasi plasma maksimum).

a. AUC (Area Under Curve)


Merupakan parameter yang menggambarkan jumlah obat dalam tubuh yang berkaitan
dengan efek farmakologi suatu obat. Proses disposisi obat (distribusi, metabolisme dan
ekskresi) menentukan obat di dalam darah sebagai fungsi waktu, maka seluruh proses
farmakokinetik terwujud dalam luas area di bawah kurva kadar obat dalam darah terhadap
waktu (AUC). (Shargel, 2012) :
Metode Langsung:
B C
AUC = − = 𝑀𝑜𝑑𝑒𝑙 𝐾𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑡𝑒𝑚𝑒𝑛 1 𝑂𝑟𝑎𝑙
β ka
A B C
AUC = + − = 𝑀𝑜𝑑𝑒𝑙 𝐾𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑡𝑒𝑚𝑒𝑛 2 𝑂𝑟𝑎𝑙
α β ka
b. VD (Volume Distribusi)
Merupakan parameter yang berkaitan dengan konsentrasi plasma dengan jumlah obat
jumlah obat dalam tubuh. Untuk obat yang dianggap mengikuti model kompartemen dua
terbuka, dapat digunakan persamaan (Shargel, 2012):
dosis
VD intravena =
Cp 0
F .D0
VD oral dan intramuskular =
Ke . AUC
c. Bioavailabilitas
Merupakan pengukuran laju dan jumlah obat yang diabsorbsi dari suatu produk obat
dan tersedia pada site aksi. Availabilitas absolute adalah availabilitas sistemik suatu obat
setelah pemakaian ekstravaskuler seperti oral, rektal, maupun subkutan yang dibandingkan
dengan dosis secara i.v. (Shargel, 2012):
[ AUC ] po/dosis po
Availabilitas absolute = F =
[ AUC ] i . v /dosis i . v
d. Tmax (waktu maksimal)

Menunjukkan waktu kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Selain Ka,
Tmax juga dapat menunjukkan kecepatan absorbsi dan lebih mudah dikalkulasi dibandingkan
Ka yang dinyatakan dengan satuan jam atau menit, dengan persamaan (Shargel, 2012) :

e. Cp max (konsentrasi plasma maksimum)


Merupakan kadar tertinggi yang terukur dalam darah, dimana saat kadar mencapai
puncak, proses absorbsi, distribusi dan eliminasi berada dalam keadaan seimbang. Cp max

digunakan sebagai tolak ukur untuk dosis yang diberikan apakah memberikan efek toksik atau
tidak. Dosis dapat dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar toksik
minimum (KTM). Cp maxdapat dinyatakan dengan persamaan (Shargel, 2012):

Anda mungkin juga menyukai