Anda di halaman 1dari 14

GARANSI TOKO PADA JUAL BELI ACCESSORIES HP DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM
1
Azlina Azmi Siahaan, 2Sabrina Sarda Nasution, 3Geri Bintang Rikardi
Jurusan Akuntansi Syariah II D
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
1
azlinaazmisiahaan@gmail.com
2
sabrina123sardah@gmail.com
3
geribintangrikardi@gmail.com

Abstrak
Dalam setiap transaksi, terutama dalam penjualan barang elektronik, terdapat
kemungkinan bahwa barang yang diperjualbelikan akan mengalami cacat atau kerusakan di
kemudian hari. Oleh karena itu, produsen barang elektronik memberikan jaminan (garansi)
kepada konsumen untuk memberikan perlindungan dan hak khiyar tertentu.
Menurut ulama Malikiyah, masa garansi suatu barang yang sifatnya tidak mudah rusak
harus diperpanjang untuk memberikan keamanan dan perlindungan yang lebih lama kepada
konsumen. Dalam konteks ini, produsen harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti
keawetan dan kualitas barang untuk menentukan masa garansi yang tepat.
Dalam hal ini, produsen juga harus memastikan bahwa ketentuan garansi yang
diberikan kepada konsumen jelas dan mudah dipahami, serta memberikan pelayanan yang baik
dan responsif jika ada masalah yang timbul selama masa garansi berlaku. Dengan demikian,
konsumen dapat merasa aman dan percaya dalam membeli barang elektronik yang mereka
butuhkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan perspektif hukum Islam tentang
jaminan toko untuk jual beli aksesoris ponsel. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Hak opsi, juga dikenal sebagai khiyar, adalah istilah perdagangan umum yang
mengacu pada hak istimewa untuk melanjutkan atau meninggalkan perdagangan tertentu.
Ketika ekonomi tumbuh, semakin banyak barang diproduksi untuk memenuhi permintaan
konsumen yang meningkat. Menawarkan jaminan adalah salah satu upaya tersebut. Penelitian
ini membahas tentang garansi toko pada jual beli aksesoris hp dalam perspektif hukum Islam.
Dalam konteks ini, penjual memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan kepada pembeli atas
produk yang dijualnya, yang dikenal sebagai "garansi". Dalam hukum Islam, garansi dikenal
sebagai "warranty" atau "jual beli dengan jaminan". Garansi yang diberikan oleh toko harus
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dan diatur dalam hukum Islam.
Jurnal ini membahas tentang persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh toko dalam
memberikan garansi kepada pembeli dan bagaimana penggunaan garansi dapat membantu
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul antara penjual dan pembeli. Karena adaptabilitas
dan universalitas ajaran Islam, hal ini memastikan bahwa hukum Islam akan terus dapat
diterapkan pada situasi dan kondisi muamalat yang terus berkembang.

Abstrak
In every transaction, especially in the sale of electronic goods, there is a possibility that
the goods sold may be defective or damaged in the future. Therefore, electronic goods
manufacturers provide guarantees to consumers to provide certain protections and rights.
According to the Malikiyah scholars, the warranty period of a non-easily damaged item
should be extended to provide consumers with longer security and protection. In this context,
manufacturers should consider factors such as durability and quality of the product to determine
the appropriate warranty period.

In this regard, manufacturers should also ensure that the warranty provisions provided to
consumers are clear and easily understood, and provide good and responsive service if any
problems arise during the warranty period. Therefore, consumers can feel safe and confident in
purchasing the electronic goods they need.
The purpose of this research is to shed light on Islamic legal perspectives on store
guarantees for the sale and purchase of cell phone accessories. This study employs a
qualitative, descriptive approach. Option right, also known as khiyar, is a common trading term
that refers to the privilege of either proceeding with or abandoning a given trade. As economies
grow, more and more goods are manufactured to meet the rising demand of consumers.
Offering guarantees is one such attempt. This study discusses shop guarantees for buying and
selling cellphone accessories from the perspective of Islamic law. In this context, the seller has
an obligation to provide a guarantee to the buyer for the product he sells, which is known as a
"warranty". In Islamic law, a guarantee is known as a "warranty" or "buying and selling with a
guarantee". The warranty given by the shop must be in accordance with the terms and
conditions that have been set and regulated in Islamic law. This journal discusses the terms and
conditions that must be met by stores in providing guarantees to buyers and how the use of
guarantees can help resolve disputes that may arise between sellers and buyers. Because of
the adaptability and universality of Islamic teachings, this ensures that Islamic law will continue
to be applicable to the ever-evolving situations and conditions of muamalat.

Pendahuluan

Islam adalah agama atau ajaran universal karena mengatur kehidupan manusia dengan
cara yang Allah anggap layak untuk diungkapkan kepada umat manusia. Islam bersifat
universal dalam arti berlaku untuk semua orang, di mana saja, dan di setiap lapisan masyarakat
hingga penghakiman terakhir di al-Qiyamah. Jadi Islam artinya semua orang di bumi ini agar
mereka dapat hidup dengan baik di kehidupan ini, untuk memiliki kehidupan yang bahagia di
kehidupan selanjutnya oleh asam. Islam merupakan ajaran mengandung banyak ajaran yang
berbeda-beda diklasifikasikan ke dalam tiga ajaran dasar agar umat manusia bias mencapai
tujuan hidupnya di dunia dan akhirat. Pertama-tama, ilmu tauhid, yang juga dikenal sebagai
teologi teologi, mengandung ketiga ajaran tauhid ini. Kedua, ilmu fikih, atau syariat, adalah ilmu
yang menjelaskan hukum Islam atau kebolehan beribadah. Akhirnya, kajian tentang etika dan
tata krama memberikan penjelasan tentang moral, atau ajaran tentang apa yang merupakan
perilaku yang pantas dan tidak pantas di antara manusia.
Baik rukun dan syarat jual beli, maupun bentuk jual beli yang dibolehkan syara', tunduk
pada hukum Islam sebagaimana diungkapkan oleh para ulama fikih. Semua dapat ditemukan
dalam kitab fikih. Jadi pada kenyataannya harus dilakukan secara konsisten dan bermanfaat
bagi semua pemangku kepentingan khawatir. Namun, pada kenyataannya adalah mungkin
untuk membeli dan menjual terkadang terjadi penyimpangan dari aturan yang ada, terutama di
perkembangan ekonomi yang pesat saat ini. Akhir-akhir ini, penyediaan barang menjadi
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat karena perkembangan ekonomi yang pesat
menyebabkan berbagai jenis barang konsumsi. Kondisi ini memaksa pembeli untuk menerima
barang yang ditawarkan, tetapi memberi mereka keleluasaan untuk memilih di antara produk
yang paling sesuai dengan kebutuhan dan anggaran mereka. Hal ini menyebabkan
meningkatnya persaingan antara pemasok dan produsen. Terakhir, penjual atau produsen
berusaha menarik konsumen dengan cara meningkatkan pelayanan dan fasilitas demi
kepuasan dan kesejahteraan konsumen, sehingga konsumen menerima barang yang sepadan
dengan nilai tukar yang dikeluarkan.
Islam sebagai agama universal yang berurusan dengan masalah-masalah yang sangat
dimensional, mungkin hal-hal duniawi serta ukhrawi sebagai bentuk khusus yang ditentukan
Islam urusan dunia adalah kehadiran norma-norma sosiologis berkuasa dalam Islam, dalam
bahasa fikih disebut muamalat. Muamalat adalah bidang di mana nilai-nilai yang diagungkan
tidak dapat diabaikan, bahkan jika hal itu dapat membantu pengelolaan kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, adalah tanggung jawab manusia yang terlibat dalam transaksi atau kontrak untuk
menyelesaikannya sampai selesai. Menurut firman Allah dalam Surat Al-Maidah (5): 1, yang
dapat diartikan bahwa orang yang bertransaksi atau akad harus bersama-sama mengadakan
akad atau transaksi yang telah terjadi dilakukan oleh kedua belah pihak, sehingga kedua belah
pihak harus benar-benar melaksanakan kontrak. sepakat.
Jual beli adalah contoh kegiatan ekonomi. Dalam Islam, hak milik dapat dialihkan
kepada orang lain dengan imbalan uang (harga). layanan jaminan untuk produk yang dijual
bebas dari cacat dan kualitas berhubungan langsung dengan peningkatan layanan dan
perlindungan konsumen. Setelah itu, kami mulai menyebutnya sebagai jaminan penjualan (atau
garansi). Inovasi dalam penjaminan emisi telah memasuki industri perbankan.
Dengan menjamin kesejahteraan konsumen, salah satu upayanya penjual atau
produsen dalam bentuk layanan purna jual sering disebut periode garansi. Garansi adalah
suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli atas produk yang
dijualnya. Garansi yang diberikan dapat berupa perbaikan atau penggantian produk jika
terdapat cacat atau kerusakan pada produk tersebut. Dalam konteks jual beli aksesoris hp,
garansi toko sangat penting bagi pembeli karena aksesoris hp memiliki banyak jenis dan fungsi
yang berbeda, sehingga kemungkinan terjadinya cacat atau kerusakan pada produk tersebut
lebih besar.
Jaminan toko jual beli asesoris handphone berperan penting dalam melindungi hak
pembeli dan penjual dari sudut pandang hukum Islam. Toko bertanggung jawab untuk
mematuhi syarat dan ketentuan garansi sehingga dapat menerima perlindungan. Dalam jurnal
ini, akan dibahas tentang persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh toko dalam
memberikan garansi pada pembeli, serta bagaimana penggunaan garansi dapat membantu
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul antara penjual dan pembeli.

Metodologi Penelitian

Peneliti dalam penelitian kualitatif ini menganalisis sumber-sumber hukum Islam tentang
penjualan dan jaminan toko. Kajian ini mengacu pada Al-Quran, Hadits, dan pendapat para
ulama dan ahli fikih sebagai sumber hukum Islam. Informasi tentang jual beli asesoris
handphone dan penggunaan garansi toko dalam perspektif hukum Islam diperoleh dari
berbagai sumber, antara lain buku, jurnal, dan studi kasus. Analisis isi dan teknik interpretatif
digunakan untuk menganalisis data dengan membandingkan data dari berbagai sumber.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh toko dalam memberikan garansi pada
pembeli, serta bagaimana penggunaan garansi dapat membantu menyelesaikan sengketa yang
mungkin timbul antara penjual dan pembeli dalam perspektif hukum Islam.
Hasil dan Pembahasan

1.Landasan Hukum Perlindungan Konsumen

Landasan hukum perlindungan konsumen adalah suatu badan hukum yang menjadi
dasar hukum perlindungan konsumen. Kita akan melihat perlindungan konsumen dari dua
perspektif hukum yang berbeda yaitu hukum Islam dan hukum Indonesia. Quran, Sunnah, Ijma',
dan Qiyas adalah empat sumber hukum Islam. Jika tidak ditemukan penjelasan dalam Al-
Qur'an, maka As-Sunnah menjadi sumber hukum yang utama. Setelah Rasulullah SAW wafat,
para mujtahid umat Islam mencapai mufakat atas sejumlah persoalan yang tidak secara
eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan mufakat ini kemudian dikenal dengan
Ijma'. Sedangkan Qiyas adalah sistem pembuatan hukum menurut illat hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
merupakan dasar hukum utama perlindungan konsumen di Indonesia. UUPK bukan satu-
satunya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen, tetapi UUPK memberikan
payung hukum di mana undang-undang dan peraturan terkait konsumen lainnya dapat
ditegakkan secara lebih efektif. Karena UUPK bukanlah kata terakhir tentang undang-undang
perlindungan konsumen, undang-undang perlindungan konsumen baru dimungkinkan.
Perlindungan konsumen menjadi penting karena konsumen memiliki hak untuk
mendapatkan produk atau jasa yang berkualitas dan aman, serta mendapatkan perlindungan
dari berbagai risiko yang mungkin terjadi akibat dari produk atau jasa yang diterimanya. Dalam
Islam, sumber hukum yang digunakan dalam perlindungan konsumen adalah Al-Qur'an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan hukum untuk
melindungi konsumen. Penegakan hukum di Indonesia lebih efektif karena UUPK berfungsi
sebagai kerangka hukum menyeluruh bagi semua peraturan perundang-undangan
perlindungan konsumen lainnya. Penting untuk diingat bahwa UUPK bukanlah keputusan akhir
tentang undang-undang perlindungan konsumen undang-undang baru yang melindungi hak-hak
konsumen selalu menjadi kemungkinan.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menetapkan


beberapa prinsip untuk melindungi kepentingan pihak-pihak dalam transaksi bisnis. Prinsip-
prinsip tersebut, yang meliputi tauhid, istikhlaf, al-ihsan, al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-
khiyar, at-ta'wun, keamanan, keselamatan, dan at-taradhin, digunakan sebagai kerangka untuk
melakukan bisnis. Menurut Pasal 2 UUPK, “perlindungan konsumen berasaskan manfaat,
keadilan, keseimbangan, keselamatan, keamanan konsumen, dan kepastian hukum.” Dalam
hukum Islam, prinsip tauhid tertinggi (keesaan Allah SWT) menjadi landasan bagi semua
transaksi perdagangan. Prinsip istikhlaf mengikuti dari sini, dan menyatakan bahwa segala
sesuatu yang dimiliki manusia adalah amanah dari Allah SWT, dan bahwa manusia hanyalah
pengelola amanah tersebut. Al-ihsan (kebaikan) berasal dari tauhid dan mengacu pada
melakukan perbuatan baik untuk kepentingan orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Prinsip al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta'wun, keamanan dan keselamatan,
dan at-taradhin semuanya bersumber dari ketiga pilar tersebut. Setiap pemilik usaha adalah
khalifah fi al-ardhi (pengelola masa depan dunia dan isinya) dengan prinsip al-amanah. Karena
tindakan mereka akan dihakimi oleh manusia dan Allah (SWT), mereka tidak menyembunyikan
apa pun. Landasan dari setiap hubungan bisnis yang sukses adalah ash-shiddiq, atau
kejujuran. Al-adl mengacu pada dimensi horizontal dan harmonisasi segala sesuatu di alam
semesta melalui keadilan, keseimbangan, dan kesetaraan. Prinsip al-khiyar, atau kehendak
bebas dalam transaksi bisnis, ditetapkan oleh hukum Islam untuk menghindari konflik antara
pedagang dan pelanggan. Tidak ada yang bisa melewati hidup tanpa bantuan orang lain, itulah
mengapa ta'awun sangat penting. Oleh karena itu, kerjasama manusia sangat penting,
terutama dalam upaya menyebarkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dalam hal
ini, baik pembeli maupun penjual perlu menyadari prinsip ini saat menjalankan bisnis.

3. Hak dan Kewajiban Konsumen


Hak dan tanggung jawab konsumen menurut hukum Islam dan UUPK dapat dibagi
menjadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha. Menurut hukum Islam,
konsumen memiliki enam hak: akses ke informasi yang akurat; perlindungan dari perlakuan
tidak adil; keamanan dan kesehatan produk; advokasi dan penyelesaian sengketa; kebebasan
memilih; kompensasi untuk kerugian terkait produk; dan nilai tukar yang wajar. Perusahaan
harus membayar kerugian yang dialami pelanggan mereka sebagai akibat dari produk yang
salah atau praktik penipuan. Kompensasi atas kerusakan, transaksi, tindakan, penahanan, dan
penipuan adalah lima kategori utama tanggung jawab. Hak khiyar merupakan salah satu hak
konsumen Islami yang melindungi kepentingan pembeli dan penjual. Majlis khiyar, khiyar
requirementh, khiyar aibi, khiyar tadlis, khiyar ru'yah, khiyar al-ghabn al-fahisy (khiyar al-
murtarsil), dan khiyar ta'yin adalah tujuh kategori hak khiyar. Konsumen diberikan hak khiyar,
yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah akan melanjutkan transaksi atau tidak.
Dalam ajaran Islam, konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari bahaya fisik yang
mungkin terjadi akibat cacat produk atau penipuan. Oleh karena itu, produsen atau pelaku
komersial harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsumen yang terkena dampak
negatif dari tindakan tersebut berhak atas kompensasi uang, yang dikenal sebagai dhaman,
dari pihak yang bertanggung jawab. Dalam Islam, ada lima bentuk restitusi yang berbeda, yaitu:

a. Dhaman Itlaf, yaitu ganti rugi karena perusakan. Produsen atau pelaku usaha harus
bertanggung jawab jika produk yang dihasilkan rusak atau tidak berfungsi dengan baik
dan menyebabkan kerugian pada konsumen.

b. Dhaman ‘Aqdin, yaitu ganti rugi karena transaksi. Produsen atau pelaku usaha harus
bertanggung jawab jika ada kesalahan dalam transaksi seperti penipuan atau
kecurangan.

c. Dhaman Wadh'i Yadin, atau tanggung jawab atas perbuatan seseorang. Barang
konsumen rusak atau dicuri, produsen atau pelaku usaha lain harus menanggung
kesalahan.

d. Dhaman al-Hailulah, yaitu ganti rugi karena penahanan. Produsen atau pelaku usaha
harus bertanggung jawab jika mereka menahan barang konsumen tanpa izin atau
alasan yang jelas.

e. Dhaman al-Maghrur, yang berarti pembayaran untuk ketidakjujuran. Jika produsen atau
pengecer menyesatkan pelanggan dengan memberi mereka informasi yang salah atau
membuat janji yang tidak dapat mereka tepati, mereka harus bertanggung jawab.

Dalam Islam, prinsip tanggung jawab sosial dan moral adalah sangat penting, dan ganti
rugi ini bertujuan untuk menjaga keadilan dalam hubungan bisnis antara produsen dan
konsumen. Sebagai umat Islam, kita diharapkan untuk menjalankan bisnis dengan integritas
dan mematuhi prinsip-prinsip ini untuk memastikan perlindungan terbaik bagi konsumen.
Meskipun kewajiban konsumen tidak secara eksplisit dijabarkan dalam hukum Islam,
namun beberapa hal dapat dijelaskan demikian dalam upaya menciptakan keseimbangan dan
keadilan. Ini termasuk hal-hal seperti bertindak jujur saat membeli atau menjual sesuatu,
meneliti produk atau layanan yang dimaksud, membayar harga atau nilai yang disepakati, dan
menggunakan prosedur penyelesaian perselisihan yang sesuai.
Selain itu, UUPK juga memberikan kewajiban kepada konsumen yang harus dipenuhi
sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 5. Kewajiban tersebut antara lain membaca dan
mengikuti informasi dan tata cara penggunaan atau pemeliharaan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan, beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian. barang
dan/atau jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, dan mengikuti upaya
penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen secara baik. Walaupun kewajiban
konsumen yang diatur dalam UUPK tidak dijelaskan secara khusus dalam hukum Islam, namun
pengaturan tersebut tetap sesuai dengan tujuan pengaturan dalam hukum Islam dan maqashid
al-syariah, yaitu menciptakan kemaslahatan dan menciptakan kebaikan bagi konsumen dan
pelaku usaha.

4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Islam

Hubungan pelaku usaha dengan konsumen diatur dalam prinsip muamalah yang pada
gilirannya mengatur tanggung jawab pelaku usaha dalam perlindungan konsumen dalam
perspektif hukum Islam. Untuk tujuan ini, bisnis memiliki kewajiban moral dan etika untuk
memenuhi janji mereka dan memenuhi kebutuhan pelanggan mereka. Peran dan tanggung
jawab pelaku usaha dalam perlindungan konsumen diatur lebih rinci dalam UU No. 8 Tahun
1999. Undang-undang tersebut mewajibkan pelaku usaha untuk transparan kepada
pelanggannya dengan memberikan informasi yang akurat tentang barang dan jasa yang
ditawarkan, mendukung penjualan mereka. dengan jaminan, dan memberi kompensasi kepada
pelanggan atas kerugian yang mereka alami karena pembelian mereka tidak sesuai dengan
harapan mereka.
Selain itu, pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa produk
dan layanan yang ditawarkan memenuhi standar kualitas dan keamanan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau badan-badan yang berwenang. Jika terjadi pelanggaran terhadap standar
kualitas dan keamanan tersebut, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi hukum dan
diperintahkan untuk mengganti rugi konsumen yang terkena dampaknya. Dalam Islam,
tanggung jawab pelaku usaha juga ditekankan untuk memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan dalam menjalankan bisnisnya. Pelaku usaha diharapkan untuk memperhatikan
kepentingan masyarakat dan lingkungan sekitar dalam menjalankan usahanya dan tidak
melakukan tindakan yang merugikan atau merusak kepentingan tersebut.
Mengingat hukum Islam dan Undang-undang No. 8 tahun 1999, bisnis yang memiliki
kepentingan dalam melindungi pelanggannya harus memastikan bahwa barang dan jasa yang
mereka tawarkan memiliki standar moral, etika, kualitas, keamanan, sosial, dan lingkungan
setinggi mungkin.

5. Tanggung Jawab Perlindungan Konsumen Dalam Islam.

Dalam perspektif Islam, perlindungan konsumen merupakan tanggung jawab sosial


yang sangat penting. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, pemerataan,
dan kebijaksanaan. Dalam Islam, setiap orang memiliki hak dan tanggung jawab dalam
hubungan konsumen. Oleh karena itu, dalam Islam, perlindungan konsumen tidak hanya
menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga menjadi tanggung jawab individu dan masyarakat.
Dalam jurnal Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999” disebutkan bahwa perlindungan konsumen dalam Islam mencakup
beberapa hal antara lain:

a. Keadilan dan kesetaraan: Dalam Islam, setiap orang harus diperlakukan dengan adil
dan sama. Ini berarti bahwa konsumen harus diperlakukan dengan adil dan sama oleh
produsen, distributor, dan penjual.

b. Transparansi dan kejujuran: Dalam Islam, kejujuran dan transparansi sangat dihargai.
Oleh karena itu, produsen, distributor, dan penjual harus memberikan informasi yang
jelas dan akurat tentang produk atau layanan yang mereka jual.

c. Tanggung jawab sosial: Dalam Islam, setiap orang memiliki tanggung jawab sosial untuk
melindungi kepentingan umum. Oleh karena itu, produsen, distributor, dan penjual harus
mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari produk atau layanan yang
mereka jual.

d. Kepedulian terhadap kesehatan dan keselamatan konsumen: Dalam Islam, kesehatan


dan keselamatan sangat dihargai. Oleh karena itu, produsen, distributor, dan penjual
harus memastikan bahwa produk atau layanan yang mereka jual aman dan tidak
membahayakan kesehatan atau keselamatan konsumen.

Konsumen berhak atas informasi yang jelas dan benar, pelayanan yang baik, dan ganti
rugi apabila terjadi kerugian, yang semuanya diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan ditegaskan bahwa produsen, distributor, dan
penjual wajib membayar memperhatikan hak-hak tersebut.
Dengan demikian, kewajiban untuk melindungi konsumen dalam Islam mencakup
berbagai hal, mulai dari memastikan hak-hak mereka dihormati hingga memastikan kesehatan
dan keselamatan mereka. Selanjutnya, produsen, distributor, dan penjual wajib menjunjung
tinggi hak-hak konsumen berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen.

6. Jenis - Jenis Garansi Produk

a. Garansi Tertulis
Ketika produsen atau pengecer resmi memberikan garansi kepada pembeli
secara tertulis, seperti pada kartu garansi atau surat garansi, pembeli menikmati
perlindungan yang lebih besar karena syarat dan ketentuan garansi tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. atau surat jaminan. Tanda tangan
penjamin, jangka waktu jaminan, dan jangka waktu jaminan semuanya dicantumkan
dalam kartu jaminan atau surat jaminan yang ditulis oleh pemilik atau data penerima
jaminan. Manfaat dari jenis garansi ini diberikan kepada penerima garansi di mana pun
produk tersebut dijual, dan biasanya diterapkan pada saat produk diperkenalkan ke
pasar.

b. Garansi Tidak Tertulis


Jika penjual atau distributor suatu produk membuat jaminan lisan tentang
kualitas barang yang mereka jual, itu disebut jaminan tidak tertulis. Garansi tidak tertulis
biasanya dikeluarkan oleh pabrikan yang lebih kecil, sehingga jangka waktu yang
dicakup pendek. Selain itu, mereka dapat dipenuhi dengan cacat garansi jika didasarkan
pada pernyataan dan perjanjian lisan daripada tertulis. Mendapatkan jaminan semacam
ini berisiko bagi konsumen karena sangat mudah dielakkan dengan melanggar hukum.

7. Khiyar

Dalam perdagangan Islam, pembeli atau penjual memiliki hak khiyar, mirip dengan hak
suara dalam demokrasi. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mendefinisikan khiyar
sebagai hak pilihan antara penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual
beli yang telah ditandatangani ketika terjadi akad jual beli.
Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk menentukan kesepakatan jika
terjadi ketidaksesuaian barang yang diperjualbelikan. Dalam Islam penjaminan artinya hampir
sama dengan khiyar atau ikhtiyar, artinya menyeleksi atau menanyakan kepada pembeli waktu
yang dibutuhkan penjual untuk menggunakan barang yang dibeli sekaligus, jika ada kerusakan
maka penjual harus menggantinya dengan yang baru atau semacamnya. serupa. Ikhtiyar dalam
bahasa Arab berarti bahwa orang yang memulai transaksi "Aqid" sedang memutuskan apakah
akan membatalkan kesepakatan atau menyelesaikannya.
Ada beberapa jenis khiyar antara lain sebagai berikut:
a. Khiyar a‟ib
Khiyar a'ib yaitu hak pembeli melanjutkan atau membatalkan penjualan barang ada
cacat pada barang yang ditukar karena tidak ada yang diperbolehkan untuk membeli dan
menjual barang cacat barang.

b. Khiyar Majelis
Jika pembeli dan penjual masih ada secara fisik di tempat transaksi, maka transaksi
dianggap telah terjadi melalui majelis khiyar, dan pembeli memiliki pilihan untuk melanjutkan
transaksi atau mundur.

c. Khiyar Syarath
Khiyar Syarath transaksi jual beli pembelian dan penjualan wajib atau bersyarat. Jenis
khiyar ini memungkinkan kedua belah pihak mengadakan kontrak penjualan seperti "Aku
membelikanmu ini dengan kondisi saya diberi waktu seminggu untuk cobalah".

Dalam pandangan hukum Islam, jaminan tidak sah kecuali memenuhi kriteria tertentu,
antara lain bahwa para pihak yang terlibat telah mencapai kesepakatan tentang barang yang
ditanggung oleh jaminan, jangka waktu jaminan, dan jenis kerusakan yang ditanggung oleh
jaminan. jaminan. Dalam hal ini kedua belah pihak harus bekerja sama untuk memenuhi syarat-
syarat perjanjian jual beli. Konsep agunan dalam hukum Islam juga mencakup transfer
pendapatan dari penjual ke pembeli. Oleh karena itu, dalam melakukan penawaran jaminan
dalam jual beli perlu diperhatikan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat. Tanggung
jawab dalam transaksi jual beli juga menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dalam
konteks garansi. Penjual harus bertanggung jawab terhadap barang yang dijual, termasuk
ketika barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat produksi. Sebaliknya, pembeli harus
bertanggung jawab terhadap barang yang telah dibelinya dan harus memahami persyaratan
yang harus dipenuhi ketika melakukan klaim garansi.
Dalam hal ini, ada beberapa konsep konsep yang relevan dalam memahami aspek-aspek
yang terkait dengan garansi toko jual beli aksesoris hp dalam perspektif hukum Islam, yaitu:

1. Konsep al-'aqd (perjanjian)


Dalam hukum Islam, jual beli adalah salah satu bentuk perjanjian yang dikenal sebagai
"al-'aqd al-bay'". Harus ada kesepakatan antara para pihak mengenai barang yang dijaminkan,
masa garansi, dan jenis kerusakan yang ditanggung, sebagaimana disyaratkan oleh hukum
Islam.

2. Konsep al-wakalah (pengangkatan kuasa)


Dalam beberapa kasus, penjual dapat memperoleh kuasa dari pembeli untuk mengurus
klaim garansi di toko tempat pembelian. Dalam hal ini, konsep al-wakalah dapat menjadi
relevan dalam memahami hak dan kewajiban penjual sebagai kuasa dalam mengurus klaim
garansi.

3. Konsep al-'iwad (pertukaran keuntungan)


Garansi dalam transaksi jual beli dapat dianggap sebagai bentuk pertukaran keuntungan
antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, konsep al-'iwad dapat menjadi relevan dalam
memahami aspek moral dan etika dalam penawaran garansi.

4. Konsep al-ta'awun (kerjasama)


Dalam hukum Islam, transaksi jual beli seharusnya dilakukan dengan semangat
kerjasama antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, dalam konteks garansi, penjual dan
pembeli seharusnya berusaha bekerja sama dalam memperoleh klaim garansi yang diinginkan.

5. Konsep al-khiyar (pilihan)


Dalam beberapa kasus, pembeli dapat memiliki hak untuk memilih antara mengambil
barang yang rusak atau memperoleh pengembalian uang yang dibayarkan. Konsep al-khiyar
dapat menjadi relevan dalam memahami hak dan kewajiban pembeli dalam memilih salah satu
pilihan tersebut.

Melibatkan diri dalam kehidupan orang lain melalui itikad baik dan persahabatan
merupakan inti dari konsep penjaminan (guaranty). Garansi adalah pemberian jasa penjaminan
kembali apabila terjadi kesulitan terhadap barang yang diperjualbelikan. Kedua, tindakan
garansi yang melindungi pembeli dari cacat tersembunyi pada produk mereka. Alasan ketiga
jaminan adalah untuk melindungi pembeli dari ketidakjujuran penjual, atau gharar.
Pengaruh penemuan cacat pada perjanjian jaminan dibahas dari perspektif hukum
Islam. Khiyar aib mengacu pada kekuasaan pembeli untuk memutuskan apakah akan
melanjutkan transaksi atau tidak. Khiyar ini disebabkan oleh cacat pada barang yang ada
sebelum dijual tetapi tidak diungkapkan oleh penjual atau tidak diketahui olehnya. Berarti
menjual pembeliannya mensyaratkan kesempurnaan benda yang ditukar waktu tertentu,
sebagaimana pembeli menempatkannya; “Saya membeli mobil itu dengan harga ini, jika
mobilnya rusak saya akan mengembalikannya. Adanya aib khiyar merupakan hal yang wajib
ada dalam perdagangan membeli. Karena barang bebas dari cacat adalah persyaratan
konsumen. Jika ditemukan cacat pada artikel, itu bersifat sukarela konsumen dalam membeli
dan menjual akan berubah. Untuk menghindari ini ditetapkan bahwa khiyar adalah aib karena
dengan khiyar, kehendak kedua belah pihak dapat meraih. Selanjutnya, Islam melarang
penjualan produk cacat yang diketahui dan hendak disembunyikan oleh penjual pada saat
transaksi.
Membeli dan menjual dalam Islam harus diakhiri dengan pengungkapan penuh semua
informasi yang relevan, karena menyembunyikan detail tentang kualitas produk (seperti
kekurangan atau kelalaian) dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kerugian finansial bagi
beberapa pelanggan. Ini merupakan tambahan dari ketentuan jaminan cacat yang berlaku jika
terjadi kerusakan. Karena dalam hal ini, masalah barang sudah melekat pada mereka dan baru
terungkap setelah dijual.
Ketika pembeli menderita biaya sebagai akibat langsung dari layanan di bawah standar yang
diberikan oleh penjual. Kontrak hipotek semacam itu mungkin diperbolehkan (tidak dilarang)
menurut hukum Islam. Salah satu kegiatan dalam mu'amalah adalah mencapai kesepakatan
tentang agunan. Kecuali secara khusus dilarang oleh hukum Islam, hampir semua transaksi
yang melibatkan amal adalah sah. Kemudian realita masyarakat saat ini, dengan adanya
garansi ini bukanlah hal baru, tetapi dapat diterima dan terbiasa, bahkan jaminan ini sudah
menjadi barang populer. Dalam kebanyakan kasus, sebelum membeli barang mahal, pembeli
akan menanyakan kebijakan pengembalian penjual. Jika suatu tradisi telah dianut secara luas
tanpa menimbulkan konflik apapun dengan hukum Islam, maka ia memiliki kekuatan hukum.
Jaminan adalah syarat penjualan atau pembelian, seperti yang tersirat dalam uraian
sebelumnya. Oleh karena itu, perjanjian jual beli adalah perjanjian utama yang menjadi dasar
jaminan ini. Oleh karena itu, garansi batal demi hukum jika jual beli tidak ada atau tidak sah.
Kontrak jaminan jual beli (jika ada) telah dilaksanakan, dan kontrak penjualan telah
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian akad dapat berbentuk apa saja yang
menyatakan maksud dari suatu akad sepanjang tidak bertentangan dengan syara yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam sebagai pedoman bagi Imam Malik dan Imam Ahmad.
Dalam transaksi jual-beli, untuk menghindari sengketa atau kesalahpahaman di masa
depan, biasanya dibuat perjanjian garansi yang tertuang dalam surat garansi. Surat garansi
adalah dokumen tertulis yang menunjukkan adanya kesepakatan antara pihak pembeli dan
pihak pemberi garansi, yang mengikat pihak pemberi garansi untuk memenuhi kewajibannya
kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu jika ditemukan cacat tersembunyi atau kerusakan
internal pada barang yang dibeli, yang tidak diketahui sebelumnya dan bukan disebabkan oleh
faktor eksternal. Perjanjian garansi dalam surat garansi sangat penting dalam transaksi jual-beli
karena dapat memberikan perlindungan dan jaminan bagi pembeli terhadap cacat atau
kerusakan yang tidak terlihat pada barang yang dibelinya. Dengan adanya surat garansi, pihak
pembeli dapat merasa lebih aman dan yakin bahwa mereka akan menerima barang yang
sesuai dengan standar yang diharapkan. Selain itu, surat garansi juga membantu pihak penjual
untuk menegakkan standar kualitas produk yang mereka jual. Jika suatu produk ditemukan
cacat atau kerusakan setelah pembelian, pihak penjual harus memenuhi kewajibannya kepada
pembeli dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan dalam surat garansi.
Dalam beberapa kasus, pihak penjual mungkin juga menawarkan garansi tambahan
untuk produk mereka. Garansi tambahan ini dapat memberikan perlindungan tambahan atau
manfaat tertentu bagi pembeli, seperti pemeliharaan gratis atau penggantian barang jika terjadi
kerusakan dalam jangka waktu tertentu. Namun, sebelum membuat perjanjian garansi dalam
surat garansi, baik pembeli maupun penjual harus memastikan bahwa semua persyaratan dan
ketentuan yang ditetapkan dalam surat garansi jelas dan saling dipahami. Dengan demikian,
perjanjian garansi dalam surat garansi dapat berfungsi dengan baik untuk melindungi
kepentingan kedua belah pihak dalam transaksi jual-beli. Underwriting, dalam pengertian ini,
mengacu pada kewajiban penjamin berdasarkan berbagai jaminan dan jaminan. Namun, perlu
dicatat bahwa transaksi tersebut akan dianggap "mauquf" dalam Islam jika ditemukan
kekurangan. Istilah "mauquf" menunjukkan bahwa pembeli memiliki pilihan untuk melanjutkan
kesepakatan atau mundur. Dengan kata lain, apabila pembeli mengembalikan barang tersebut
kepada penjual, maka jaminan batal demi hukum dan batalnya transaksi jual beli. Dalam
praktiknya, ada beberapa bentuk pertanggungan yang diberikan dalam garansi. Pertama,
penggantian barang dengan nilai yang sama. Artinya penjual harus mengganti barang yang
cacat atau rusak dengan barang yang nilainya sama dengan barang aslinya. Kedua, perbaikan
kerusakan gratis. Penjual harus memperbaiki barang yang rusak secara gratis, namun biasanya
perbaikan gratis hanya berlaku untuk perbaikan yang tidak melibatkan penggantian suku
cadang atau perangkat keras. Lama garansi bervariasi dari seminggu hingga bertahun-tahun
tergantung pada barang yang diperdagangkan. Dalam hukum Islam, masa garansi bisa cukup
lama.

Berikut ini adalah contoh jenis dan karakteristik pemberian garansi:


a. Jaminan bersifat as-esoir atau mengikat antara penanggung dan penanggung, tetapi
jaminan/jaminan harus ada terlebih dahulu sebagai perjanjian pokok; jika perjanjian
utama diakhiri atau masa berlaku maksimum jaminan telah berakhir, maka jaminan
juga akan berakhir.
b. Jaminan sementara, juga dikenal sebagai jaminan kontraktual, dibuat oleh satu
pihak ke pihak lain untuk waktu yang terbatas dan dalam kondisi tertentu yang
disepakati pada saat jaminan dibuat.

Disebutkan bahwa “semuanya boleh kecuali ada larangannya dalam Al-Qur’an dan
Hadits” dalam pedoman fikih muamalah. Akibatnya, jika kedua belah pihak secara hukum dapat
menyelesaikan transaksi, jaminan jual beli memungkinkan terjadinya pertukaran. Baik Al-Qur'an
maupun Hadits mendukung praktik jual beli sebagai salah satu cara manusia untuk saling
tolong-menolong.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian garansi toko jual beli aksesoris hp dalam perspektif hukum
Islam dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif, dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam pandangan hukum Islam, garansi tidak sah kecuali memenuhi kriteria tertentu,
antara lain bahwa para pihak yang terlibat telah mencapai kesepakatan tentang barang
yang ditanggung oleh jaminan, jangka waktu jaminan, dan jenis kerusakan yang
ditanggung oleh jaminan. jaminan.

2. Keuntungan yang diperoleh baik oleh penjual maupun pembeli dianggap jaminan
menurut hukum Islam. Oleh karena itu, dalam melakukan penawaran jaminan dalam jual
beli perlu diperhatikan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat.

3. Tanggung jawab dalam transaksi jual beli juga menjadi aspek penting yang harus
diperhatikan dalam konteks garansi. Penjual harus bertanggung jawab terhadap barang
yang dijual, termasuk ketika barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat produksi.
Sebaliknya, pembeli harus bertanggung jawab terhadap barang yang telah dibelinya dan
harus memahami persyaratan yang harus dipenuhi ketika melakukan klaim garansi.
4. Konsep hukum Islam seperti al-'aqd (perjanjian), al-wakalah (pengangkatan kuasa),
al-'iwad (pertukaran keuntungan), al-ta'awun (kerjasama), dan al-khiyar (pilihan) dapat
menjadi relevan dalam memahami aspek-aspek yang terkait dengan garansi toko jual
beli aksesoris hp dalam perspektif hukum Islam.

Hukum Islam membebankan persyaratan tertentu pada konsep jaminan. Para pihak
harus menyetujui ruang lingkup garansi, durasinya, dan kerusakan yang akan
dikompensasi. Pengertian hukum Islam tentang jaminan mencakup transfer nilai antara
penjual dan pembeli. Oleh karena itu, dalam melakukan penawaran jaminan dalam jual beli
perlu diperhatikan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat. Tanggung jawab dalam
transaksi jual beli juga menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dalam konteks
garansi. Penjual harus bertanggung jawab terhadap barang yang dijual, termasuk ketika
barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat produksi. Sebaliknya, pembeli harus
bertanggung jawab terhadap barang yang telah dibelinya dan harus memahami persyaratan
yang harus dipenuhi ketika melakukan klaim garansi.
Konsep-konsep hukum Islam seperti al-'aqd (perjanjian), al-wakalah (pengangkatan
kuasa), al-wad (pertukaran keuntungan), al-ta'awun (kerjasama), dan al-khiyar (pilihan)
dapat menjadi relevan dalam memahami aspek-aspek yang terkait dengan garansi toko jual
beli aksesoris hp dalam perspektif hukum Islam. Dengan demikian, pedagang dan
konsumen aksesoris hp sebaiknya memperhatikan dan memahami konsep garansi dalam
perspektif hukum Islam serta menjalankan transaksi jual beli dengan memperhatikan aspek
moral dan etika. Dengan demikian, pedagang dan konsumen aksesoris hp sebaiknya
memperhatikan dan memahami konsep garansi dalam perspektif hukum Islam serta
menjalankan transaksi jual beli dengan semangat kerjasama dan moralitas yang baik agar
dapat tercipta keuntungan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Daftar Pustaka

Abdullah, A. (2018). Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Online Menurut Hukum
Islam. Jurnal Al-Qadha, 1(1), 1-14.

Abdullah, M. A. (2018). Hukum Jual Beli Online Menurut Perspektif Hukum Islam dan
Implikasinya Terhadap Perlindungan Konsumen. Al-Hukama, 2(1), 81-96.

al-Sharbiniy, Muhammad al-Khatib. (t.th). Mughni al-Muhtaj. Juz II. Bairut: Dar al-Fikr.

Firmansyah, M. (2019). Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Online Menurut
Hukum Islam. Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan, 3(1), 53-70.

Husni, M. (2017). Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Online Menurut Hukum
Islam. Jurnal Istinbath Hukum, 3(2), 184-199.

Kurniawan, R. (2019). Penerapan Prinsip Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli
Online Menurut Hukum Islam. Jurnal Al-Muamalah, 6(1), 38-49.

Latif, M. A., & Hidayat, T. (2020). Tanggung Jawab Penjual dan Hak Konsumen dalam
Transaksi Jual Beli Online Menurut Hukum Islam. Jurnal Hukum Islam, 14(1), 1-16.

Ramadhan, M. (2020). Tanggung Jawab Penjual dalam Transaksi Jual Beli Online Menurut
Hukum Islam. Jurnal Al-Adl, 13(1), 1-16.

Sari, M. F., & Rahayu, S. (2018). Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Online
Menurut Hukum Islam. Jurnal Ilmu Syari'ah, 2(2), 251-262.

Shidarta. (2000). Hukum Perlindungan Konsmen Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Hidayat, Taufiq. 2013. "Garansi dan Penerapannya: Perspektif Hukum Islam."
Masyittah, D., Abbas, S., & Yuhermansyah, E. (2019). Sistem Garansi Barang Elektronik Dalam
Fiqih Muamalah dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal Dusturiah, 9(2), 133-
156.

Yusuf, M. (2020). Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Hukum Islam,
14(1), 99-114.

Nurhalis. (2015). Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999. Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) NW Lombok Timur.

Hasan Aedi. 2011. Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam. Bandung: Alfabeta. Halaman 59.
Idris, Nabhani. Fikih Empat Madzhab Jilid 3. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Setia Budi, Hengki Irawan. Jadi Salesman Tidak Bisa Kaya Masa Sih? Jakarta: PT Gramedia,
2010.

Irawan, James Julianto. Surat Berharga: Suatu Tinjauan Yuridis dan Praktis. Jakarta: Kencana,
2014.

Sabiq, Sayyid. 1990. Fiqh al-Sunnah. Jilid III. Penerbit: Dar al-naskh al-I'lam al-'Arabiy.

al-Zhailiy, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, juz IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Bahutiy, Mansur ibn Yunus ibn Idris. Kasyaf al-Qana', Juz I. Bairut: Dar al-Fikr, 1402 H.

al-Baihaqiyy, Ahmad ibn al-Husain ibn Ali ibn Musa Abi Bakr. Sunan al-Baihaqiyy al-Kubra, Juz
VII. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.

Anda mungkin juga menyukai