Anda di halaman 1dari 5

PERAN FASILITATOR

DESA/KELURAHAN
TANGGUH BENCANA
BNPB telah melakukan program destana sejak tahun 2012 hingga sekarang ini. Data Direktorat
Pemberdayaan Masyarakat BNPB menyebutkan dari tahun 2012 s/d 2015 total ada 266 destana
di seluruh Indonesia, yaitu tahun 2012 ada 40, tahun 2013 ada 58, tahun 2014 ada 68, dan tahun
2015 ada 100.1 Sebagai rujukan dalam mengimplementasikan program Destana adalah Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Perka BNPB No. 1/2012). Berdasarkan peraturan ini,
pengertian Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana) adalah sebuah desa atau kelurahan
yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir
sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas
demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan
yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan
peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam destana, masyarakat terlibat aktif
dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-
risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal
demi menjamin keberkelanjutan. Destana ini merupakan upaya pengurangan risiko bencana
berbasis komunitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Berdasarkan Perka
BNPB No. 1/2012, tujuan khusus pengembangan destana ini adalah:

 Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan


bencana.
 Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan
sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.
 Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan
pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB.
 Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan
teknis bagi PRB.
 Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak
pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat
(LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.
Komponen-komponen Destana antara lain:
(1) Legislasi,
(2) Perencanaan,
(3) Kelembagaan,
(4) Pendanaan,
(5) Pengembangan kapasitas, dan
(6) Penyelenggaraan PB.
Bagaimana peran fasilitator dalam memfasilitasi proses destana? Pengetahuan dan ketrampilan
seperti apa yang dibutuhkan seorang fasilitator agar dia dapat dengan baik dapat menjalankan
perannya?
Dari dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) Fasilitator Fasilitasi Ketangguhan Masyarakat
dapat diketahui mengenai maksud dan tujuan penempatan fasilitator destana. Maksud
penempatan fasilitator destana adalah untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan penyusunan
dokumen perencanaan untuk pencapaian indikator-indikator desa tangguh. Adapun tujuan
penempatan fasilitator, antara lain:

 Melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa dalam mengidentifikasi


ancaman, kerentanan serta kapasitas mereka untuk menghadapi bencana
 Melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa dalam menyusun
dokumen penanggulangan bencana
 Melakukan fasilitasi dan pendampingan untuk berkoordinasi dengan para pihak dalam
rangka internalisasi dokumen penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan
desa
Ruang lingkup pendampingan kepada masyarakat desa/kelurahan adalah untuk pencapaian
indikator-indikator desa tangguh sesuai dengan Perka BNPB No. 1/2012, yaitu:
Ada banyak target yang mesti dicapai oleh fasilitator destana. Tentu saja hal ini membutuhkan
pengetahuan dan ketrampilan yang tidak sedikit dari para fasilitator. Peningkatan kapasitas
kepada para fasilitator terpilih perlu dilakukan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPB
agar para fasilitator itu dapat mengerjakan tugas dan fungsinya dengan baik dan lancar. Hal-hal
yang perlu dipahami dan dikuasai oleh para fasilitator destana antara lain menyangkut peraturan
perundang-undangan mengenai kebencanaan dan desa, teknik fasilitasi dengan perspektif
pendidikan orang dewasa, analisa risiko bencana, teknik pengkajian desa secara partisipatif,
sosial budaya dan bahasa masyakarat setempat, kepemimpinan dan pendampingan, gender, dan
lain-lain.
Satu hal yang paling mendasar adalah para fasilitator harus sudah membaca dan memahami
peraturan perundang-undangan di bidang kebencanaan antara lain:

 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PB.
 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana.
 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional
dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam PB.
 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja BPBD.
 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008
tentang Pedoman Pembentukan BPBD.
 Perka BNPB No. 1/2012.

Lokus destana adalah desa/kelurahan. Pada akhir tahun 2014 muncul perubahan mendasar
terkait dengan desa/kelurahan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (UU No. 6/2014). Pasal 78 UU No. 6/2014 menjabarkan tujuan pembangunan desa
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan. Penyelenggaraan pembangunan desa dilakukan dengan mengedepankan
kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan
perdamaian dan keadilan sosial.
Selain itu pembangunan desa menjadi fokus prioritas dalam NAWACITA, yaitu terdapat pada
Nomor 3 "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan" dari sembilan fokus prioritas. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sasaran pembangunan desa dan kawasan
perdesaan adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan
jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.
Dengan demikian, antara tujuan pembangunan desa dalam UU No. 6/2014 dapat
mengakomodasi sepenuhnya tujuan destana, karena pengembangan destana menjadi salah satu
kondisi dalam pencapaian pembangunan desa. Daftar peraturan perundang-undangan di bidang
urusan desa/kelurahan antara lain:

 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.


 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa
yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Peraturan di Desa.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan
Desa.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa.
 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2
Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan
Musyawarah Desa.
 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3
Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.
Dalam pelaksanaan kegiatan destana di lapangan akan banyak menemui kebijakan dari
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi (Kemendesa), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BNPB, serta pemerintah
daerah dan pemerintah desa setempat. Misalkan dari Kemendesa ada program pendampingan
desa oleh para fasilitator desa, dari Kemenkeu ada program Dana Desa, dari Kemendagri ada
program peningkatan kapasitas perangkat desa, dan lain-lain. Pemahaman kebijakan, program,
kegiatan dari berbagai lembaga itu mesti dilakukan agar kegiatan lapangan destana dapat
berjalan dengan baik dan lancar.
Tugas fasilitator destana adalah melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa
guna mencapai target-target destana di atas melalui perspektif pendidikan orang dewasa dengan
pendekatan proses pendidikan kritis. Dalam buku Mansour Fakih dkk (2001), Pendidikan
Popular: Membangun Kesadaran Kritis, suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan
proses pendidikan kritis harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk
menjadi pelaku (subyek) utama, bukan sasaran perlakuan (obyek), dari proses tersebut. Ciri-ciri
pokok proses pendidikan kritis antara lain:
Belajar dari realitas atau pengalaman: yang dipelajari bukan “ajaran” (teori, pendapat,
kesimpulan, wejangan, nasehat dsb) dari seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau
pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam keadaan nyata tersebut.
Tidak menggurui: karena itu, tidak ada “guru” dan tak ada “murid yang digurui”. Semua orang
yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah “guru sekaligus murid” pada saat bersamaan.
Dialogis: proses berlangsung secara dua arah (komunikasi) dalam berbagai bentuk kegiatan
(diskusi kelompok, bermain peran, dsb) dan media (peraga, grafika, audio visual, dsb) yang
memungkinkan terjadinya dialog kritis antar semua orang yang terlibat dalam proses pelatihan
tersebut.
Proses fasilitasi, pendampingan, dan kepemimpinan dari para fasilitator destana secara sederhana
dapat diungkapkan dengan meminjam semboyan Ki Hadjar Dewantara, antara lain:

 “Ing ngarso sung tulodo” (di depan memberikan teladan).


 “Ing madya mbangun karso” (di tengah membangkitkan kehendak).
 “Tut wuri handayani” (di belakang memberikan semangat).

Dalam praktik untuk mencapai target penyelenggaraan PB dibutuhkan pengetahuan dan


ketrampilan teknik pengkajian desa secara partisipatif. Ada cukup banyak metode pengkajian
desa secara partisipatif, seperti participatory rural apprasial (PRA), perencanaan partisipatif
pembangunan masyarakat desa (P3MD), ziel orientierte projekt plannung (ZOPP), kelompok
diskusi terfokus (focused group discussion/FGD), dan lain-lain. Sebagai produk dari pengkajian
desa secara partisipatif seperti sketsa desa, kalender musim, sejarah desa, potensi desa,
kerentanan dan kapasitas desa, hubungan antar kelembagaan dan pelaku di desa, dan lain-lain.
Untuk dapat melakukan pengkajian risiko bencana di desa/kelurahan dengan baik, di samping
membutuhkan penguasaan metode pengkajian desa secara partisipatif, juga dibutuhkan
pengetahuan terhadap konsep-konsep analisis risiko bencana, meliputi bahaya bencana,
kerentanan, dan kapasitas.
Apabila RPB Desa/Kelurahan, Renkon Desa/Kelurahan, dana untuk PB, pola ketahanan ekonomi
untuk mengurangi kerentanan masyarakat, dan lain-lain sudah selesai dikerjakan maka perlu ada
pemaduan ke dalam perencanaan pembangunan desa/kelurahan melalui Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), dan Badan
Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang diperkuat dengan peraturan desa/kelurahan.

Djuni Pristiyanto
Penulis di Bidang Kebencanaan dan Lingkungan, Fasilitator LG-SAT dan Kota Tangguh
Bencana, Moderator Milis Bencana (https://groups.google.com/group/bencana) dan Milis
Lingkungan (http://asia.groups.yahoo.com/group/lingkungan)

Anda mungkin juga menyukai