net/publication/337844918
CITATIONS READS
0 12,117
3 authors, including:
All content following this page was uploaded by Irmawati Irmawati on 09 December 2019.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyusunan Dokumen
Kebijakan Budidaya Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch, 1790) Berbasis Ekosistem.
Dokumen ini bersifat living document karena masih terus berproses seiring dengan kegiatan
yang baru menyelesaikan satu tahap dari tiga tahap yang direncanakan serta perkembangan di
lapangan.
Iktiofauna yang beragam mewakili sumberdaya genetik adalah sumber makanan manusia saat
ini dan di masa depan serta berperan sebagai plasma nutfah akuakultur. Ikan memberi
kontribusi penting bagi pemenuhan nutrisi manusia di seluruh belahan dunia sehingga
kebutuhan akan produk perikanan meningkat setiap tahunnya. Terjadi resiko reduksi
keragaman genetik di setiap sistem produksi perikanan. Namun sebaliknya, aktivitas serta
kebijakan yang mempertimbangkan faktor-faktor genetik tidak banyak diterapkan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Adalah hal yang sangat penting untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan konservasi sumberdaya genetik ikan, dalam hal
ini ikan kakap putih, sebagai sumber broodstock bagi kegiatan akuakultur dan sebagai sumber
stok bagi kegiatan perikanan tangkap.
Pengelolaan sumberdaya genetik ikan, termasuk ikan kakap putih terkait langsung dengan
organisme akuatik lainnya serta harus memerhatikan faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial
secara terintegrasi. Dokumen ini menyediakan data-data tentang sebaran/distribusi broodstock
dan database genetik dan pertumbuhan ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) yang
akan bermanfaat dalam merancang program breeding dan rencana pengelolaan ikan kakap
putih.
Dokumen kebijakan ini, telah dibahas antar pakar di dalam tim dan akan dikonsultasikan
dengan multi pihak lainnya, baik dengan pakar-pakar di luar tim, calon pengguna maupun
pemerintah terkait pada direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2019.
Data-data dasar terkait dengan sumberdaya genetik ikan kakap putih dan data lainnya dari spot-
spot plasma nutfah ikan kakap putih lainnya, akan terus dilengkapi seiring dengan progress
penelitian yang masih sementara berlangsung (tahun I dari rencana tiga tahun pelaksanaan)
saat dokumen ini ditulis. Harapan penulis, dokumen ini dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan dalam menyusun dan melahirkan kebijakan terkait dengan konservasi dan
pengembangan industri marikultur ikan kakap putih di Indonesia, khususnya breeding program
dan pengelolaan kawasan konservasi sebagai tabungan induk dan kantong plasma nutfah ikan
kakap putih.
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
B. TUJUAN
Menyediakan data tentang potensi ikan kakap putih secara molekuler dan biologi
dimana selanjutnya data tersebut digunakan sebagai acuan dalam menyusun program breeding,
strategi konservasi, serta manajemen dan pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih.
BAB II
1. Database dan informasi tentang distribusi dan status populasi ikan kakap putih belum
tersedia di Indonesia.
2. Prospek pasar luar negeri ikan kakap putih yang besar belum diiringi oleh serapan pasar
lokal yang memadai seperti ikan-ikan ekspor lainnya, khususnya di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Utara.
3. Prospek pasar lokal yang masih lesu di sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Utara disebabkan oleh ikan kakap putih tidak populer di sebagian besar
wilayah di Sulawesi Selatan sehingga kurang diminati untuk dikonsumsi. Selain itu juga
disebabkan oleh masih minimnya wawasan petambak/petani ikan tentang prospek bisnis
serta teknologi pembesaran ikan kakap putih.
4. Sebagaian besar wilayah di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara, ikan kakap putih
dianggap sebagai hama bagi budidaya udang dan ikan bandeng di hampir semua wilayah
study sehingga penanggulangannya di lapangan dengan cara meracun untuk mempercepat
proses persiapan lahan budidaya udang dan/atau ikan bandeng
5. Belum diterapkan langkah-langkah manajemen untuk mengurangi hasil tangkapan ikan-
ikan muda yang belum matang gonad, terutama selama periode puncak migrasi untuk
memberi kesempatan kepada ikan-ikan muda tersebut mencapai perairan tawar yang
merupakan habitat dimana mereka bertumbuh menjadi ikan dewasa.
6. Degradasi lingkungan hidup mengakibatkan spawning ground, nursery ground dan feeding
ground yang semakin terbatas dan terdegradasi
7. Ukuran populasi efektif (Ne) yang rendah, baik pada populasi wild type maupun pada
kegiatan pembenihan berpeluang menurunkan keragaman genetik sebagai akibat dari bottle
neck effect.
8. Belum tersedia data dan belum diterapkan kontrol tentang variasi genetik pada broodstock
yang digunakan untuk memproduksi benih, serta pada benih introduksi/benih yang dirilis
ke masyarakat pembudidaya.
9. Ikan kakap putih hanya bernilai ekonomis di Kabupaten Bone, Pinrang, Pare-Pare dan
Takalar Sulawesi Selatan, dengan harga berkisar Rp. 35.000,- sampai Rp. 70.000,- per
kilogram. Di daerah lainnya: Wajo, Maros, Makassar dan Kalimantan Utara jenis ikan ini
jarang dikonsumsi sehingga bernilai rendah. Di wilayah Makassar dan Wajo, ikan kakap
putih lebih dikenal sebagai recreational fish dibandingkan sebagai ikan konsumsi.
BAB III
Sebagai sebuah proses yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan, maka program
breeding dan konservasi plasma nutfah serta program seleksi broodstock ikan kakap putih
mensyaratkan adanya kesamaan dan penyatuan visi dalam setiap tahap pelaksanaannya. Visi
tersebut harus terukur sehingga dapat dievaluasi, bersifat holistik dan berkelanjutan, serta
mampu mengintegrasikan semua bidang yang terkait.
1. “Breeding program ikan kakap putih dilakukan beriringan dengan konservasi variasi
genetik di beberapa spot plasma nutfah wild type ikan kakap putih sebagai sumber
biodiversitas dalam ekosistem dan bahan dasar pembentukan induk unggul” (Ecosystem
Approach for Aquaculture, EAA).
2. Menjadikan ikan kakap putih sebagai salah satu komoditas perikanan yang digemari dalam
rangka penganekaragaman sumber protein berbahan dasar ikan dan peningkatan ekonomi
masyarakat.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi pengelolaan pemanfaatan dan kegiatan produksi
(EAA) ikan kakap putih adalah sebagai berikut:
1. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM), khususnya yang
terkait, di pusat maupun di daerah dalam rangka konservasi dan kegiatan produksi ikan
kakap putih,
2. mengaplikasikan prinsip-prinsip konservasi pada habitat, populasi, dan proses produksi
ikan kakap putih, khususnya pada populasi yang memiliki karakter unik,
3. menyediakan perangkat hukum yang memadai bagi upaya konservasi dan kegiatan
produksi yang disertai dengan upaya penegakannya
SASARAN
1. menyusun profil, database sebaran dan status populasi, breeding value, serta rencana
pemanfaatan dan produksi ikan kakap putih melalui program breeding dan konservasi
sumber induk.
2. mengubah perspektif nelayan terhadap nilai ekonomi ikan kakap putih dari kurang bernilai
menjadi bernilai ekonomi tinggi
3. terciptanya koordinasi program dan kegiatan produksi benih yang memerhatikan fitness
populasi
Jangka Panjang
1. meningkatkan produksi dan kualitas genetik ikan kakap putih untuk karakter pertumbuhan;
sistem immun melalui pengembangan dan implementasi program vaksinasi massal; dan
porsi edible flesh.
2. menghasilkan pemanfaatan yang berkelanjutan
3. meningkatkan nilai ekonomi ikan kakap putih sehingga menjadi salah satu komoditi yang
berperan dalam peningkaan pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat
4. meningkatkan peran serta dan akses masyarakat/nelayan/petani ikan dan swasta/dunia
usaha dalam pengelolaan pemanfaatan dan kegiatan produksi ikan kakap putih
BAB IV
Ikan kakap putih, Lates calcarifer (Perciformes, Latidae) pertama kali dideskripsikan
pada tahun 1790 dengan nama Holocentrus calcarifer oleh Bloch. Pemberian nama genus
Lates oleh Cuvier & Valenciennes (1828) untuk mencakup spesies lainnya, termasuk Nile
perch (Lates niloticus). Greenwood (1976) kemudian memasukkan ikan kakap putih ke dalam
Famili Centropomidae. Famili Centropomidae dicirikan oleh dua sinapomorfis, yaitu (1) sisik
sepanjang garis lateral memanjang hingga batas posterior sirip ekor dan (2) terdapat
perluasan/ekspansi tulang saraf di vertebrae kedua pada anteroposterior. Famili Centropomidae
bersifat monophyletic dengan phylogeny terdiri dari dua subfamily, yaitu Latinae dan
Centropominae. Subfamili Latinae terdiri dari dua genera, yaitu Lates dan Psammoperca
sementara subfamili Centropominae hanya terdiri dari satu genera yaitu Centropomus. Berbeda
dengan Greenwood, Mooi and Gill (1995), Otero (2004) serta Smith and Craig (2007)
menyatakan bahwa Centropomidae bersifat paraphyletic dimana Lates dan Psammoperca
tergolong ke dalam Famili Latidae.
Ikan kakap putih memiliki ciri-ciri morfologis sebagai berikut badan memanjang,
gepeng, kepala lancip dengan bagian atas cekung, cembung di depan sirip punggung dan
batang sirip ekor lebar. Memiliki mulut lebar, pada bagian rongga mulut terdapat lidah dan
gigi-gigi halus pada rahang atas dan rahang bawah. Bagian bawah preoperculum berduri kuat.
Operculum memiliki duri kecil. Sirip punggung terbagi dua dengan posisi sedikit di belakang
sirip perut. Sirip punggung pertama terdiri dari enam hingga delapan (VI – VIII) jari-jari keras
dan saling terhubung oleh selaput halus. Sirip punggung kedua terdiri dari satu (I) jari-jari keras
dan 11 – 12 jari-jari lemah. Sirip dada pendek dan berbentuk bulat, lebih pendek dari sirip perut
dan terdiri dari 13 – 18 jari-jari lemah. Sirip perut tidak mencapai anus dan terdiri dari satu jari
keras dan 5-8 jari-jari lemah. Sirip dubur terdiri dari tiga jari-jari keras (III>II>I) dan jari-jari
lemah 8-10. Sirip ekor berbentuk bulat (rounded) dan terdiri dari 15-18 jari-jari lemah. Pada
umumnya, tinggi badan 29,30 – 33,35% dari panjang baku (SL), namun ditemukan spesimen
dengan tinggi badan hingga 37,50% dari SL. Satu duri kecil pada operkulum dengan posisi di
atas garis lateral, dan 4-5 duri kecil pada bagian bawah preoperkulum. Pada umumnya, warna
tubuh ikan kakap putih adalah hijau keabu-abuan dan pada bagian bawah tubuh berwarna
keperakan. Akan tetapi, ikan kakap putih dari perairan pantai Kabupaten Bone warna tubuhnya
dominan putih-keperakan dengan sirip ekor dan sirip anus berwarna hitam (Gambar 1).
Ikan kakap putih atau barramundi adalah spesies estuari yang dapat mencapai ukuran
panjang total hingga ± 200 cm, bobot lebih dari 50 kg, dan masa hidup hingga 20 tahun
(Shaklee et al. 1993). Barramundi adalah katadromous, yaitu ikan yang bermigrasi dari
perairan tawar ke perairan estuari. untuk memijah atau bereproduksi. Pertumbuhan dan
perkembangan Ikan kakap putih sebagian besar berlangsung di perairan tawar, sungai dan
danau hingga umur 2 – 3 tahun yang terkoneksi dengan laut. Ikan dewasa yang berumur 3 – 4
tahun kemudian bermigrasi ke laut untuk pematangan kelamin hingga memijah. Setelah
memijah, telur terbawa arus ke muara sungai, kemudian bermigrasi ke hulu untuk tumbuh
hingga dewasa (Kunvangkij et al. 1986; Irmawati et al. 2019).
Peta Distribusi Ikan Kakap Putih
Berikut adalah peta sebaran ikan kakap putih yang berhasil di data.
Gambar 2. Peta sebaran ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) di Perairan
Indonesia
Pertumbuhan adalah salah satu parameter penting pada kegiatan akuakultur. Pola
pertumbuhan ikan kakap putih di beberapa lokasi sumber induk di Perairan Indonesia disajikan
pada Tabel 1. Ikan kakap putih tumbuh dan berkembang secara proporsional di habitat
alaminya. Ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur bahkan
memiliki pertumbuhan bobot yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya.
Tabel 1. Perbandingan nilai “a” dan “b” hubungan panjang dengan bobot ikan kakap putih
(Lates calcarifer, Bloch 1790) jantan pada beberapa lokasi/populasi
Pola
No. Lokasi Jantan
Pertumbuhan
1 Perairan pesisir Galesong Selatan, a = -1.243 Isometrik
Kabupaten Takalar
b = 2.468
2 Perairan pesisir Maros Baru, Kabupaten a = -2.776 Isometrik
Maros b = 3.631
3 Perairan pesisir Kecamatan Sajoangin, a = -2.221 Isometrik
Kabupaten Wajo b = 3.259
4 Perairan pesisir Kecamatan Pitumpanua, a = -2.225 Isometrik
Kabupaten Wajo b = 3.235
5 Perairan pesisir Kecamatan Cenrana, a = -1.927 Isometrik
Kabupaten Bone b = 3.085
6 Perairan pesisir Kecamatan Sekatak, a = -2.548 Allometrik positif
Bulungan, Kalimantan Timur b = 3.478
7 Karamba Jaring Apung (KJA) Kabupaten a = -1.121 Isometrik
Barru b = 2.532
8 Tambak Kabupaten Bone a = -1.936 Isometrik
b = 3.038
Karakter morfologi yang membedakan ikan kakap putih dari Takalar, Bone, Wajo dan
Bulungan adalah tinggi badan, caudal penducle dan diameter mata. Ikan kakap putih dari Wajo
memiliki tingga badan lebih besar dibandingkan dengan ikan kakap putih dari Bone, Bulungan
dan Takalar. Ikan kakap putih dari Bulungan memiliki caudal penducle yang lebih lebar
dibandingkan dengan ikan kakap putih dari Bone, Wajo dan Takalar, sedangkan ikan dari
Takalar memiliki diameter mata yang lebih besar dibandingkan dengan ikan kakap putih dari
Bone, Wajo dan Bulungan.
Tinggi Badan: Caudal penducle:
Siwa > Bone > Bulungan > Takalar Bulungan > Bone > Siwa > Takalar
Diameter Mata:
Takalar > Bone > Siwa > Takalar > Bulungan
Gambar 2. Marka morfologi ikan kakap putih yang dapat digunakan sebagai pembeda antar
ikan kakap putih dari beberapa lokasi/spot plasma nutfah
Beberapa karakter meristik, seperti jari-jari sirip dorsal, tidak sempurnanya proses
pemisahan organ sirip perut, jari-jari siri anal, terdokumentasi pada populasi ikan kakap putih
hasil domestikasi yang dipelihara pada karamba jarring apung (KJA) (Gambar 3, 4, 5).
A B
Gambar 3. Anomali karakter jari-jari sirip dorsal pada ikan kakap putih hasil domestikasi.
A = normal; B = anomali
Gambar 4. Proses pemisahan sirip perut yang tidak sempurna (A) dan anomali karakter jari-
jari sirip anal (B) pada ikan kakap putih hasil domestikasi
Keragaman Genetik Ikan Kakap Putih di Teluk Bone dan Selat Makassar
Data keragaman haplotype dan keragaman nukleotida ikan kakap putih di beberapa
sumber plasma nutfah Perairan Indonesia masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Total jumlah haplotype ikan kakap putih yang terdeteksi adalah tujuh, lima haplotype pada
populasi liar dan tiga haplotype pada populasi terdomestikasi. Hanya satu haplotype yaitu
Hap1 pada populasi ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Bone (monomorfik)
sedangkan pada populasi ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Takalar terdeteksi lima
haplotype (Hap1, Hap2, Hap3, Hap10, dan Hap13) (polymorfik) dan dua diantaranya, yaitu
Hap3 dan Hap13 merupakan haplotype unik atau spesifik. Berdasarkan keragaman haplotype
dan keragaman nukleotida, ikan kakap putih pada spot plasma nutfah Perairan Pantai Takalar
memiliki keragaman genetik tertinggi, yang kemudian disusul oleh ikan kakap putih dari spot
plasma nutfah Kabupaten Wajo. Sedangkan keragaman genetik ikan kakap putih pada spot
plasma nutfah Bone adalah yang terendah. Keragaman genetik ikan kakap putih hasil
domestikasi yang merupakan progeny dari populasi ikan kakap putih dari perairan pantai
Takalar memiliki keragaman haplotype dan keragaman nukleotida yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keragaman genetik populasi induknya.
Tabel 3. Situs polimorfik, jumlah haplotipe dan keragaman nukleotida ikan kakap putih di Perairan
Indonesia
Rata-rata
Keragaman Keragaman Jumlah
Jumlah Situs
Populasi Sekuens Haplotype Haplotype Nukleotida Nukleotida
Polimorfik
(Hd) () yang
Terdferensiasi
Bone 5 0 1 0.0000 0.0000 ± 0.0000 0.0000
Wajo 7 4 3 0.5238 0.0021 ± 0.0011 1.3333
Takalar 9 28 5 0.8056 0.0205 ± 0.0048 13.2778
Maros 1 0 1 0.0000 0.0000 ± 0.0000 nd
Domesticated 4 27 3 0.8333 0.0267 ± 0.0078 17.3333
Over all 26 28 7 0.7262 0.0138 ± 0.0037 9.2400
Differensiasi genetik secara global dapat diestimasi melalui nilai pair-wise comparison
(FST) dan jarak genetik (GST) (Tabel 4). Nilai FST dan GST ikan kakap putih berturut-turut
adalah 0,196 dan 0,225. Pada populasi ikan kakap putih liar nilai FST dan GST terkecil berturut-
turut adalah 0.0667 dan 0.0387 (Wajo vs Bone) dan nilai FST dan GST terbesar adalah di antara
populasi Bone dan Takalar, yaitu 0,2971 untuk FST dan 0,3043 untuk GST. Nilai FST
menunjukkan bahwa 19,6% dari total keragaman genetik antara dua populasi terkait dengan
differensiasi genetik sedangkan nilai GST sebesar 22,5% menunjukkan bahwa 22,5%
keragaman genetik terjadi antar populasi. Populasi ikan kakap putih pada perairan Teluk Bone
dan Selat Makassar secara umum mengalami differensiasi, kecuali populasi antara ikan kakap
putih dari perairan pantai Kabupaten Bone dan Wajo (P < 0.05). Perairan pantai Kabupaten
Bone dan Wajo masih terletak pada wilayah geografis yang sama, yaitu Teluk Bone, sehingga
memungkinkan terjadinya aliran gen di antara dua populasi ikan kakap putih di wilayah
tersebut.
Tabel 4. Matriks nilai jarak genetik GST (diagonal bagian atas) dan nilai pair-wise comparison
FST (diagonal bagian bawah) pada tiga populasi liar dan satu populasi terdomestikasi ikan
kakap putih (Lates calcarifer, Block 1790)
Mate choice (memilih pasangan) merupakan elemen penting reproduksi pada banyak
taksa (Davies et al. 2012; Kappeler 2010). Pemilihan pasangan di lingkungan alami dan
lingkungan penangkaran atau budidaya berbeda, dimana pada lingkungan budidaya ukuran
populasi efektif (Ne) atau peluang memilih pasangan adalah terbatas. Pada kondisi budidaya
pasangan-pasangan induk (broodstocks) telah disediakan dengan maksud untuk
mempertahankan keragaman genetik maksimum. Keragaman genetik di dalam breeding
program merupakan parameter yang penting, akan tetapi harus dibarengi dengan jaminan
kompatibilitas genetik dan/atau perilaku antar individu. Hewan-hewan terdomestikasi biasanya
kehilangan beberapa atribut fisiologi dan perilaku/karakter dibandingkan saat mereka hidup di
lingkungan alami-nya dan hal tersebut berimplikasi terhadap fitness atau kebugaran. Mate
choice dapat meningkatkan kompatibilitas genetik dan perilaku antar pasangan dan dengan
demikian meningkatkan keberhasilan reproduksi pada suatu kegiatan budidaya. Memadukan
mate choice dan keragaman genetik adalah langkah penting di dalam breeding program.
Teori sexual selection yang dikemukan oleh Trivers (1972) menyatakan bahwa ikan
betina lebih selektif memilih pasangan pada kegitan reproduksi karena differential investment
(berinvestasi lebih selektif) dalam memproduksi gamet dan karena alasan parental care. Kokko
et al (2003) dan Athiainen et al. (2004) menambahkan bahwa peluang keberhasilan reproduksi
ikan betina lebih terbatas dibandingkan dengan ikan jantan sehingga ikan betina berinvestasi
lebih selektif dalam reproduksi. Ikan betina akan memilih di antara sekian banyak pasangan
(jantan) yang lebih compatible secara genetik atau pasangan dengan kualitas “good genes”
untuk meningkatkan fitness populasinya dan fitness keturunannya yang akan diwariskan pada
musim pemijahan.
Teori pemilihan pasangan tersebut di atas secara alamiah akan membantu
mempertahankan keragaman genetik pada level individu maupun pada level populasi. Brown
(1997, 1999) dan Kempenaers (2007) mengemukakan “Teori Heterozigositas” yang
memprediksi bahwa preferensi betina yang lebih terarah di dalam memilih pejantan yang
memiliki variasi alel yang lebih besar dan cenderung menghindari perkawinan sedarah
(inbreeding).
Jadi, selain keragaman genetik yang merupakan faktor yang penting, kombinasi gen-
gen yang timbul dari interaksi gen tetua dan terkait dengan fisiologi dan tingkah-laku
pemijahan adalah juga merupakan variabel yang memiliki kontribusi yang sangat bermanfaat,
yang patut untuk diperhitungkan selain heterozigositas di dalam suatu breeding program. Neff
& Pritcher (2005) memprediksi bahwa betina akan memilih pasangan pejantan yang secara
bersama-sama akan dapat memproduksi keturunan (offspring) dengan variasi genetik dan
kombinasi-kombinasi gen yang optimum.
Selective Breeding
Selective breeding merupakan suatu program yang telah terbukti memberi banyak
manfaat dan keuntungan pada kegiatan budidaya ikan karena kemampuannya meningkatkan
produksi melalui pemanfaatan pakan, tanah dan sumberdaya air yang lebih optimal. Langkah
pertama untuk memulai breeding program adalah mengumpulkan informasi dasar tentang
founder population atau base population (populasi dasar). Informasi dasar yang dimaksud
dapat berupa potensi reproduksi, keragaman genetik, dan fitness/kebugaran populasi termasuk
potensi immunitas populasi.
Salah satu strategi adalah mengukur semua karakter atau sifat yang dimiliki oleh
populasi liar (wild stock) dan kemudian melakukan seleksi untuk memaksimalkan variasi dari
karakter-karakter yang menguntungkan. Namun demikian, beberapa karakter seperti ketahanan
terhadap penyakit dan kualitas daging merupakan variabel yang sulit untuk dijadikan sebagai
tolak ukur penciri populasi liar karena dipengaruhi oleh banyak variabel independen lainnya.
Karakterisasi populasi berdasarkan sebaran geografis untuk pembentukan populasi dasar antara
lain telah dilakukan oleh Gjedrem et al. (1991). Gjedrem et al. (1991) melaporkan bahwa
92,6% keragaman genetik ikan salmon berasal dari keragaman intra populasi dan 7,4% berasal
dari keragaman inter populasi. Marka molekuler atau marka DNA adalah salah satu metode
yang dapat digunakan untuk mendesain populasi dasar pada program breeding budidaya ikan,
termasuk budidaya ikan kakap putih. Data analisis genetik ikan kakap putih berdasarkan gen
COI mitochondrial menunjukkan adanya beberapa SNP (single nucleotide polymorphism) dan
pita spesifik RAPD (random amplified polymorphic DNA) pada genom ikan kakap putih.
Penemuan SNP dan pita spesifik RAPD ikan kakap putih akan ditindaklanjuti dengan
menginvestigasi korelasi antara keanekaragaman genetik berdasarkan marka COI dan RAPD
dengan keragaman karakter-karakter quantitative, yaitu karakter yang terkait resistensi
terhadap penyakit dan pertumbuhan.
Meningkatkan Kualitas Genetik Stok
Hingga saat ini selective breeding masih merupakan opsi terbaik untuk meningkatkan
kualitas genetik. Dengan menggunakan banyak family dalam program breeding, masalah yang
ditimbulkan oleh inbreeding dapat direduksi sehingga laju perbaikan genetik di dalam stock
dapat ditingkatkan. Pengembangan program genetik yang optimal merupakan tantangan bagi
budidaya ikan kakap putih.
Langkah pertama dari selective breeding adalah mendefenisikan dengan jelas tujuan
breeding, setting karakter-karakter yang akan dikembangkan, dan kemudian mengidentifikasi
strain-strain yang memiliki performa terbaik berdasarkan breeding goal traits, sehingga
kegiatan seleksi dapat dimulai. Langkah berikutnya adalah memutuskan karakter mana yang
akan dinilai dan digunakan sebagai dasar seleksi.
Pada walk-back selection, ikan dari beberapa family dipelihara di dalam satu wadah.
Seleksi dilakukan terhadap individu dengan karakter fenotipik dan genotype terbaik kemudian
dicrossbreeding dengan tetua/broodstock dari generasi sebelumnya. Seleksi terhadap genotype
terbaik dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler.
Berdasarkan misi yang telah ditetapkan dan hasil analisis keragaman genetik, maka
dokumen kebijakan ini merekomendasikan tentang strategi pengelolaan dan pemanfaataan ikan
kakap putih kaitannya dengan kegiatan produksi melalui breeding program sebagai berikut:
1. Konservasi terhadap spot-spot plasma nutfah alami ikan kakap putih penting untuk
dilakukan sebagai tabungan induk. Hal tersebut akan sangat menunjang aquaculture
breeding schemes, yang menganut prinsip bahwa dengan menggunakan banyak family
dalam program breeding, masalah yang ditimbulkan akibat inbreeding dapat direduksi
sehingga laju perbaikan genetik dan kontrol fitness populasi yang tereduksi di dalam stock
senantiasa akan dapat dilakukan dan ditingkatkan.
2. Terkait dengan keragaman genetik yang tidak merata di setiap populasi dan antar populasi
direkomendasikan untuk menerapkan model seleksi famili yang dikombinasikan dengan
walk-back selection pada program breeding ikan kakap putih. Seleksi walk-back dengan
seleksi induk yang dioptimalkan untuk memilih tetua untuk generasi berikutnya. Walk-back
selection dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik ikan kakap putih karena
akan mengendalikan tingkat akumulasi perkawinan sedarah akibat distribusi yang tidak
merata dari sekumpulan famili. Kemajuan genetik dievaluasi dengan best linear unbiased
prediction (BLUP).
Plasma Nutfah
Ikan Kakap Putih
Karakterisasi
Karakter Keragaman
Identifikasi Pertumbuhan Genetik
Seleksi Broodstock
Benih
Gambar 6. Breeding program ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790)
3. Ikan kakap putih adalah ikan peruaya dengan siklus recruitment yang sangat lama. Ikan
kakap putih membutuhkan waktu sekitar 4 – 5 tahun untuk matang fungsional sebagai ikan
jantan dan 6 – 8 tahun untuk matang fungsional sebagai ikan betina. Kedua karakter
tersebut menyebabkan ikan ini rentang terhadap kepunahan sehingga sangat penting untuk
menentukan wilayah konservasi pada jalur-jalur ruaya ikan kakap putih. Wilayah
konservasi yang direkomendasikan adalah wilayah perairan pantai dan DAS di Desa
Akkotengeng Kabupaten Wajo dan wilayah perairan pantai dan DAS Sungai Saro
Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar sebagai wilayah dengan keanekaragaman
genetik ikan kakap putih yang tinggi, dan perairan pantai dan DAS di Desa Ajalasse
Kabupaten Bone sebagai wilayah dengan keanekaragaman genetik yang rendah. Penentuan
luasan Kawasan konservasi dan zona inti membutuhkan kajian dan evaluasi lebih lanjut.
4. Keragaman genetik ikan kakap putih yang rendah di spot plasma nutfah perairan pantai
Kabupaten Bone dapat disebabkan oleh ukuran populasi efektif (Ne) yang lebih rendah
dibandingkan dengan ukuran populasi pada spot plasma nutfah lainnya. Ukuran Ne yang
kecil selain disebabkan oleh karakter biologi-reproduksinya (hermaprodit protandri, juga
dapat disebabkan oleh mortalitas yang tinggi akibat penangkapan yang tidak ramah
lingkungan, alih fungsi lahan dan degradasi habitat. Terkait dengan hal tersebut, maka
direkomendasikan untuk menghentikan kegiatan meracun ikan-ikan predator termasuk
ikan kakap putih dengan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan sekaligus
mengupayakan solusi teknologi persiapan lahan tambak udang/bandeng yang ramah
lingkungan untuk memulihkan fitness populasi ikan kakap putih di Kabupaten Bone dan
kabupaten lainnya. Pembatasan dan pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan
kakap putih dan penentuan nilai minimal ukuran layak tangkap penting untuk dilakukan
dalam rangka meningkatkan fitness populasi ikan kakap putih wild type.
5. Melakuka evaluasi breeding value wild stock ikan kakap putih pada berbagai wilayah
geografis memberikan potensi yang besar untuk mendapatkan keuntungan genetik yang
lebih signifikan.
6. Konservasi ikan kakap putih wild stock dapat dilakukan dengan aplikasi bioteknologi, yaitu
penggunaan marka molekuler untuk mengestimasi Ne (ukuran populasi efektif) di dalam
populasinya (wild population), untuk mengevaluasi aliran gen (gene flow) antara populasi
terdomestikasi/budidaya dengan populasi liar (wild population) dan untuk memantau
perubahan ukuran populasi ikan liar.
7. Menutup aktifitas memancing bagi para “pemancing maniak” seabass, dimana barramundi
merupakan salah satu ikan target, selama periode migrasi ikan-ikan muda sebagai upaya
untuk meningkatkan ukuran populasi ikan-ikan dewasa. Selain itu juga dibutuhkan
langkah-langkah tambahan untuk melindungi ikan-ikan dewasa/matang gonad dalam
migrasinya menuju spawning ground.
8. Merancang suatu kegiatan untuk mensosialisasikan keunggulan sumberdaya ikan kakap
putih dalam rangka membuka jalur tataniaga ikan kakap putih mulai dari level petani
hingga level industri untuk menghentikan kegiatan meracun ikan kakap putih .
PUSTAKA
Athiainen JJ, Alatalo RV, Mapes J, Vertainen L. 2004. Decreased sexual signalling reveals
reduced viability in small population of the drumming wolf spider, Hygrolycosa
rubrofasciata. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B 271, 1839-1845.
Brown JL. 1997. A theory of mate choice based on heterozygosity. Behaviour Ecology, 8:60-
65.
Brown JL. 1999. The new heterozygosity theory of mate choice and the MHC. Genetica,
104:215-221.
Cuvier G, Valenciennes A. 1828. Histoire naturelle des poisons. Tome Second. Livre
Troisieme. Des poisons de la familledes perches, ou des percoides. Levrault, Paris. 490
pp.
Davies NB, West SA, Krebs JR. 2012. An Introduction to Behavioural Ecology. Fourth edition,
Wiley-Blackwell Oxford.
Dunham RA. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approaches. Book
Reviewes. Aquaculture International, 13(3):285-288.
Gjedrem T, Gjøen HM, Gjerde B. 1991. Genetic origin of Norwegian farmed Atlantic salmon.
Aquaculture 98, 41-50.
Greenwood PH. 1976. A review of the family Centropomidae (Pisces, Perciformes). Bull. Brit.
Mus. (Nat. Hist.), Zool. 29:1-81.
Kappeler P. 2010. Animal behaviour. Evolution and Mechanisms. Springer, Berlin.
Kempenaers B. 2007. Mate choice and genetic quality: a review of the heterozygosity theory.
Advanced Study Behaviour, 37:189-278.
Kokko H, Brooks R, Jennions MD, Morley J. 2003. The evolution of mate choice and mating
biases. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B 270, 653-664.
Laird L, Stead SM. 2002. The handbook of Salmon Farming. Springer.
Mooi RD, Gill AC. 1995. Association of epaxial musculature with dorsal-fin pterygiophores
in acanthomorph fishes, and its phylogenetic significance. Bull. Nat. Hist. Mus. Lond.
(Zool). 61:121-137.
Neff BD, Pritcher TF. 2005. Genetic quality and sexual selection: an integrated framework for
good genes and compatible genes. Mol. Ecol., 14:19-38.
Otero O. 2004. Anatomy, systematics and phylogeny of both recent and fossil latid fishes
(Teleostei, Perciformes, Latidae). Zool. J. Linn. Soc. 141:81-133.
Smith WL, Craig MT. 2007. Casting the Percomorph net widely: the importance of broad
taxonomic sampling in the search for the placement of serranid and percid fishes. Copeia.
35-55.
Trivers RI. 1972. Parental investment and sexual selection. Aldine Publishing, Chicago.