OLEH
FAJAR GUNAWAN
2205204010003
Indonesia mempunyai keaneragaman hayati (biodiversitas) flora, fauna dan jasad renik.
Ternak merupakan salah satu kekayaan sumberdaya genetik kelompok fauna yang perlu
mendapatkan perhatian. Indonesia mempunyai puluhan breed ternak asli dan lokal, seperti sapi
(Jabres, Bali, Madura, Aceh, Pesisir, Galekan, dll.), kerbau (Pampangan, Sumbawa, Tedong,
Munding, Kalang, Kalang, Moa, dll), kambing (PE, Kacang, Jawarandu, Gembrong, Kosta,
Marica, Samosir, Gembrong, Kejobong, dll.), domba (DEG, DET, Dombos, Dombat, Garut,
dll..), itik (Tegal, Magelang, Pengging, Mojosari, Bali, Pitalah, dll.), ayam (Kedu, Pelung,
Nunuk, Kokok Balenggek, Sentul, dll.), kuda (Sumba, Sumbawa, Makassar, dll.).
Sapi Bali merupakan salah satu Plasma Nutfah Indonesia yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 325/Kpts/OT.140/1/2010 tentang Penetapan Rumpun Sapi Bali.
Keunggulan yang dimiliki Sapi Bali berupa daya fertilitas yang tinggi, sehingga Sapi Bali
cenderung lebih produktif dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Adapun keunggulan lain dari
Sapi Bali yakni berupa persentase Karkas yang dihasilkan menurut beberapa penelitian yakni
berkisar antara 55-57% dan persentase lemak daging yang dihasilkan berkisar antara 2-6,9%.
Selain itu Sapi Bali juga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini terlihat dari sebaran
Sapi Bali di Indonesia yang luas. Kemampuan adaptasi ini ditunjang oleh daya cerna terhadap
pakan yang didapat cenderung baik. (Ditjen PKH). Dalam melestarikan sapi bali khususnya di
Pulau Bali dilakukan pemurnian, hal ini terbukti dari jaman bekas pemerintahan kolonial
Belanda atas persetujuan raja-raja di Bali dahulu yang telah menyusun dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang melarang perkawinan sapi bali yang dipelihara di pulau
Bali (dan pulau-pulau disekitarnya) dengan bangsa sapi lainnya, serta melarang pemasukan sapi
dari bangsa apapun, selain sapi bali ke pulau Bali. Kebijakan ini didukung pula oleh pemerintah
Repulik Indonesia bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia dan pulau Bali merupakan
khawasan pemurnian sapi Bali.
Disamping pemurnian, sapi juga menyumbang akan kebutuhan daging secara nasional.
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang,
pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk
memenuhi kebutuhan daging tersebut yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi dan
produktivitas sapi potong. Untuk itu bibit sapi bali merupakan salah satu faktor produksi yang
menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan
daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi Bali secara berkelanjutan.
Pembibitan sapi bali saat ini masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri skala
usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi
dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Kebijakan pengembangan usaha pembibitan
sapi bali diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan
komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan,
bimbingan, dan pengawasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi bali yang baik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah memberi informasi mengenai sumber daya genetik
ternak lokal (Sapi Bali), pemurnian dan pengembangan, serta upaya pelestarian dan konservasi
sapi bali di Indonesia sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu pemuliaan/pembibitan ternak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Sapi Bali
Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi
bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar ke
seluruh Indonesia. Sapi Bali, Bos (bibos) sondaicus, merupakan aset nasional di bidang
peternakan karena merupakan bangsa sapi ketiga di dunia, disamping Bos taurus dan Bos
indicus. Sapi bali ternyata juga merupakan sumber genetik dengan adanya perbedaan tipe
hemoglobin ketiga di dunia (HbX), disamping adanya tipe HbA pada Bos indicus dan HbB pada
Bos Taurus. (Hardjosubroto, 2000).
Dinamakan Sapi Bali karena memang penyebaran populasi bangsa sapi ini terdapat di
pulau bali. Sapi bali (Bos sondaicus) adalah salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia,
yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses
domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM, sapi bali asli mempunyai bentuk dan karakteristik
sama dengan banteng. Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang
disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi bali bukan satu subgenus dengan
bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae,
kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus
bos. Menurut (Payne et al, 1973) menyatakan bahwa bangsa sapi ini diduga berasal dari pulau
Bali, karena pulau ini sekarang merupakan pusat penyebaran/distribusi sapi untuk Indonesia,
karena itu dinamakan sapi bali dan tampaknya telah didomestikasi sejak jaman prasejarah 3500
SM. Ditinjau dari sejarahnya, sapi merupakan hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat petani di Bali. Sapi bali sudah dipelihara secara turun menurun oleh
masyarakat petani Bali sejak zaman dahulu. Petani memeliharanya untuk membajak sawah dan
tegalan, serta menghasilkan pupuk kandang yang berguna untuk mengembalikan kesuburan
tanah pertanian.
Adapun sifat kualitatif dan sifat kuantitatif sapi bali yaitu pada Tabel 1 dan Tabel 2 .
sebagai berikut :
Warna
Warna Tubuh betina Warna bulu merah bata
Warna Tubuh jantan Warna bulu merah bata tersebut berubah menjadi
kehitaman dengan makin bertambahnya umur,
perubahan warna tersebut terjadi pada kisaran umur 12
–18 bulan. Perubahan warna tersebut tidak akan terjadi
pada sapi bali jantan yang dikastrasi.
Kaki Warna putih pada empat kaki bagian bawah, mulai dari
tarsus/carpus ke bawah.
Pantat Warna putih dengan batas yang jelas (bentuk oval).
Bibir Warna putih
Punggung Terdapat garis belut berwarna hitam pada betina.
Ekor Bagian ujung berwarna hitam.
Tanduk Hitam, meruncing, melengkung ke arah tengah
Kemampuan kerja Baik
Kemampuan hidup secara liar Baik
Daya adaptasi terhadap pakan Baik
terbatas
Daya adaptasi terhadap cekaman panas Baik
Kemampuan adaptasi terhadap Baik
lingkungan jelek
Kemampuan mencerna pakan Baik
berserat tinggi
Tabel 2. Sifat Kuantitatif Sapi Bali
Kuantitatif Keterangan
Bobot Badan Umur 2 Tahun Jantan : 210 – 260 Kg
Betina : 170 – 225 Kg
Tinggi Badan Jantan : 122,3 – 130,1 Cm
Betina : 105,4 – 114,4 Cm
Panjang Badan Jantan : 125,6 – 146,2 Cm
Betina : 117,2 – 120,0 Cm
Lingkar Dada Jantan : 180,4 – 188,8 Cm
Betina : 158,6 – 174,2 Cm
Kesuburan Induk 82 – 85%
Angka Kelahiran 40 – 85%
Persentase Karkas 51 – 57%
Kadar Lemak Daging 2 – 6,9%
Kemampuan Hidup Hingga Dewasa 68 – 80%
Berawal dari menurunnya populasi Sapi Bali yang disebabkan oleh pemotongan sapi
betina produktif dan ekspor Sapi Bali yang tidak terkendali. Penurunan populasi disertai
penurunan mutu genetik Sapi Bali, maka pada tahun 1976, berdirilah proyek pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali), sesuai SK Menteri Pertanian No, 776/Kpts/Um/12/1976. P3
Bali selanjutnya menjadi Instalasi Populasi Dasar (IPD). Tahun 1986 dibangun Pusat Pembibitan
Pulukan (Breeding Centre Pulukan) di desa Pangyangan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten
Jembrana, sebagai tempat uji dan seleksi Sapi Bali. Pada Tahun 2007, berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 13/Permentan/OT.142/2/2007, P3 Bali ditingkatkan statusnya menjadi Balai
Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali. Pada tahun 2013, berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 52/Permentan/OT.140/5/2013, BPTU-HPT Denpasar berubah menjadi Balai
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar. Pada Tahun
2020, berdasarkan Permentan nomor 43 tahun 2020 terdapat perubahan struktur organisasi.
Bali sebagai sebuah daerah yang minim sumber daya alam (pertambangan)
dianugrahi plasma nuffah yang sangat produktif yakni Sapi Bali. Sapi Bali memiliki daya
adaptasi yang sangat baik sehingga cocok dikembangkan di berbagai daerah. Saat ini jenis sapi
Bali tidak hanya dikembangkan di pulau Bali saja namun sudah menjadi primadona di daerah
lain seperti Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karakteristik sapi Bali yang paling terlihat
adalah warna putih pada keempat kakinya (white shocking) dan putih pada pantat (Sampurna,
2018). Sapi Bali memiliki berat rata-rata sekitar 300-400 kg dengan proporsi karkas 57 %
dimana proporsi ini menjadi salah satu yang paling tinggi diantara sapi lokal yang ada di
Indonesia. Sapi bali memiliki bentuk seperti banteng, warna merah bata saat masih anakan
(pedet) dan warna akan berangsur-angsur menjadi lebih gelap utamanya pada sapi Bali jantan.
Tinggi rata-rata sapi Bali yakni 130 cm dengan pertumbuhan tanduk jantan lebih keluar kepala
daripada yang betina (Sampurna, 2018).
Merujuk data Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali
terlihat bahwa populasi sapi Bali jantan dan betina mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi
dimungkinkan karena (1) peningkatan konsumsi daging sapi bali, (2) faktor ketersediaan pakan,
(3) penyakit dan Kesehatan hewan, (4) tingkat fertilitas ternak, (5) cuaca dan musim di sentra peternakan
sapi Bali.
Data populasi sapi Bali jantan dan betina di Provinsi Bali tahun 2016-2020 yakni pada
tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Populasi sapi Bali jantan dan betina di Provinsi Bali tahun 2016-2020
Tahun/ekor
Sapi Bali
2016 2017 2018 2019 2020
Jantan 218.027 194.511 205.929 208.635 204.895
Peluang pasar sangat terbuka lebar bagi komoditas sapi Bali mengingat pada tingginya
konsumsi daging sapi nasional yang selama ini banyak dipenuhi oleh daging sapi impor.
Dinamika pasar komoditas Sapi Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya peningkatan
jumlah penduduk, selera pasar, hari besar keagamaan, informasi pasar dan faktor lainnya. Faktor-
faktor tersebut selain menjadi peluang sekaligus tantangan mempertahankan dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas produksi sapi Bali kedepan. Selain itu, standarisasi mutu komoditas pada
tingkat peternak maupun pengusaha peternakan menjadi hal penting untuk diaplikasikan dengan
optimal. Produk yang tersertifikasi akan lebih mudah diterima dan diserap oleh pasar.
Peningkatan permintaan yang terjadi, masih belum tercukupi oleh produksi daging
nasional (Baihaqi et al, 2020). Kekurangan pasokan daging sapi masih terjadi dalam skala
nasional sehingga hal ini menjadi peluang pasar yang besar bagi komoditas sapi Bali yang
dikembangkan di Bali untuk mengambil celah pasar yang ada. Usaha untuk meningkatkan
populasi sapi Bali menjadi suatu isu yang penting untuk memenuhi permintaan pasar.
Peningkatan populasi sapi Bali juga bertujuan untuk menstabilkan harga pada semua lembaga
pemasaran. Sehingga produsen maupun lembaga pemasaran memperoleh laba atas pengorbanan
yang mereka lakukan dalam rantai pasar, disisi lain konsumen sebagai end user mendapatkan
tingkat harga yang wajar. Definisi dasar pemasaran menekankan pada aspek penciptaan
komoditas, proses penawaran komoditas dan pertukaran komoditas antara satu pihak dengan
pihak yang lain. Penciptaan komoditas yang dalam hal ini proses produksi memerlukan
perencanaan yang baik. Manajemen peternakan yang baik sangat dibutuhkan sebagai acuan
dalam berproduksi maupun mendistribusikan komoditas yang berkualitas, tepat kuantitas dan
kontinyuitas. Tujuan dari proses ini adalah untuk memenuhi preferensi pasar yang sangat selektif
terhadap kondisi komoditas Sapi Bali yang dihasilkan.
Salah satu cara untuk mengembangkan mutu genetik sapi bali yaitu dengan dilakukan
program seleksi yang terarah. Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) atau
yang sekarang dikenal dengan nama Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali
melakukan seleksi untuk mendapatkan bibit sapi bali. BPTU terdiri atas dua bagian yaitu
Instalasi Populasi Dasar dan Pusat Pembibitan Pulukan. Pada Instalasi Populasi Dasar dilakukan
recording dan identifikasi sehingga didapatkan sapi-sapi yang mutunya bagus. Instalasi ini
merupakan kegiatan pembibitan di pedesaan yang merupakan awal dari pelaksanaan seleksi.
Selanjutnya pada Pusat Pembibitan Pulukan, sapi-sapi yang berasal dari Populasi Dasar dan
keturunan dari Pusat Pembibitan Pulukan akan mengikuti uji performans dan progeny, 5% sapi
jantan terbaik dari hasil uji performans selanjutnya mengikuti uji progeny. Dan hasil terbaik akan
dikirim ke Balai Inseminasi Buatan Singosari. BPTU Pulukan merekomendasikan standar
penilaian performans sapi Bali seperti tabel 4 dibawah ini.
a. Sapi Jantan
b. Sapi Betina
Standar mutu bibit menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 tahun 2006 untuk
menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan konsumen, diperlukan bibit ternak yang
bermutu, sesuai dengan persyaratan teknis minimal setiap bibit sapi potong sebagai berikut:
a) Persyaratan umum:
i) sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan),
tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan
tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
ii) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta
tidak menunjukkan gejala kemandulan;
iii) sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat
kelaminnya.
b) Persyaratan khusus:
Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk rumpun sapi Bali yaitu sebagai tabel 5 berikut
ini:
Tabel 5 . Persyaratan khusus Sapi Bali sebagai bibit sapi
Kualitatif Kuantitatif
Betina: Betina umur 18-24 bulan
Warna bulu merah; Tinggi gumba:
Lutut ke bawah berwarna putih; Kelas I minimal 105 cm
Pantat warna putih berbentuk setengah Kelas II minimal 97 cm
bulan; Kelas III minimal 94 cm
Ujung ekor berwarna hitam;. Panjang Badan:
Garis belut warna hitam di punggung Kelas I minimal 104 cm;
Tanduk pendek dan kecil Kelas II minimal 93 cm;
Bentuk kepala panjang dan sempit Kelas III minimal 89 cm.
Leher ramping.
Jantan umur 24-36 bulan
Jantan : Tinggi gumba:
Warna bulu hitam; Kelas I minimal 119 cm;
Lutut ke bawah berwarna putih; Kelas II minimal 111 cm;
Pantat putih berbentuk setengah bulan; Kelas III minimal 108 cm.
Ujung ekor hitam Panjang badan:
Tanduk tumbuh baik warna hitam; Kelas I minimal 121 cm;
Bentuk kepala lebar Kelas II minimal 110 cm;
Leher kompak dan kuat Kelas III minimal 106 cm.
Bertitik tolak dari rendahnya produktivitas, besarnya keragaman dan dugaaan terjadinya
biak dalam pada tingkat yang perlu diwaspadai, maka upaya perbaikan mutu genetik harus
dijalankan secara menyeluruh yang ditunjang dengan perbaikan mutu pakan, baik hijauan
maupun konsentrat. Untuk itu maka perbaikan yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas sapi Bali sekaligus meningkatkan pendapatan petani ternak pemelihara sapi Bali.
Untuk tujuan ini peran pemerintah sangatlah dominan, karena belum adanya perusahaan swasta
yang bergerak dalam usaha pembibitan dan perbaikan mutu genetik sapi Bali. Dengan demikian
perbaikan mutu genetik sapi Bali harus dilakukan melalui berbagai cara, yaitu:
1. Peningkatan mutu genetik melalui penerapan kebijakan pemuliaan (breeding policy) yang
tepat.
2. Peningkatan kelahiran dan mutu genetik melalui IB, Transfer Embrio dan penanganan
gangguan reproduksi.
3. Pengendalian penyakit.
4. Peningkatan dan perbaikan mutu pakan ternak.
5. Peningkatan kemampuan/keterampilan petani ternak dalam beternak sapi Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anonimus. 2020. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Anonymous. 2009. Program breeding BPTU sapi Bali, Pusat Pembibitan Pulukan. Balai
Ardika, I.N. 1995. Parameter fenotipik dan genetic sifat produksi dan reproduksi sapi
Baihaqi, M., Aditia, E.L. 2020. Efisiensi dan Nilai Ekonomi Daging Sapi untuk Potongan Pasar
Tradisional Berdasarkan Potongan Komersial yang Berbeda: Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan Vol.08 No. 2 Juni 2020 (hlm 86-90). Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Dati I Bali. Universitas Gadjah Mada- Yogyakarta (Thesis)
Djegho, J dan I. Pane. 1992. Role of the Bali catlle breeding and improvement project ingenetic
improvement and icrease of income and work opportunities of the farmers.
Hardjosubroto, S. 2000. Seleksi sapi Bali berdasarkan penampilan dan sifat Genetik. Indonesia.
Keputusan Menteri Peretanian Nomor 325 Tahun 2010. Tentang Penetapan Sapi Bali
Ngadiyono,N. 1997. Kinerja danprospek sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental pada
seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rillinson. 1973. Bali cattle. Word rev. Anim.Prod. 7:13-21.
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice) Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Bali.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 /Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman Pollution
and Natural Product and Bali Catlle in Regional Denpasar Bali. Proceeding of the
international seminar held at Brawijaya University, Malang
Program Pascasarjana IPB-Bogor (Thesis)
Sampurna, I Putu. 2018. Bahan ajar kuliah “Ilmu Peternakan” Ternak Besar. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Denpasar.
Sebagai Rumpun Asli Indonesia. Seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usaha Tani. Universitas Brawijaya Press (UB Press). Malang.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Tanari, M. 1999. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas sapi Bali di Provinsi
Tim Peneliti Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2000. Uji Kemurnian sapi