Anda di halaman 1dari 13

Tugas MK Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

PEMURNIAN DAN PENGEMBANGAN MUTU GENETIK SAPI


BALI DI BALI

OLEH

FAJAR GUNAWAN
2205204010003

PROGRAM STUDI MAGISTER PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Modal dasar bagi pembangunan subsektor peternakan di antaranya adalah


keanekaragaman sumberdaya hayati, khususnya sumberdaya genetik ternak. Usaha peternakan di
Indonesia membutuhkan sumberdaya genetik ternak, sebagai bahan untuk merakit bibit ternak
unggul agar peternakan mampu berkembang secara maksimal. Oleh karena itu, pelestarian dan
pemanfaatan sumberdaya genetik ternak tersebut perlu didukung oleh suatu pedoman yang dapat
melindungi potensi genetik ternak asli dan/atau ternak lokal serta kerabat liarnya, baik ternak
yang sudah dikembangkan maupun yang masih dipelihara secara subsisten. Sumberdaya genetik
ternak merupakan unsur penting dalam kegiatan pemuliaan ternak dan mempunyai peranan yang
sangat menentukan bagi perolehan bibit bermutu, sehingga sumberdaya genetik ternak sebagai
kekayaan nasional perlu dilestarikan dan dimanfaatkan guna menunjang peningkatan produksi
ternak.

Indonesia mempunyai keaneragaman hayati (biodiversitas) flora, fauna dan jasad renik.
Ternak merupakan salah satu kekayaan sumberdaya genetik kelompok fauna yang perlu
mendapatkan perhatian. Indonesia mempunyai puluhan breed ternak asli dan lokal, seperti sapi
(Jabres, Bali, Madura, Aceh, Pesisir, Galekan, dll.), kerbau (Pampangan, Sumbawa, Tedong,
Munding, Kalang, Kalang, Moa, dll), kambing (PE, Kacang, Jawarandu, Gembrong, Kosta,
Marica, Samosir, Gembrong, Kejobong, dll.), domba (DEG, DET, Dombos, Dombat, Garut,
dll..), itik (Tegal, Magelang, Pengging, Mojosari, Bali, Pitalah, dll.), ayam (Kedu, Pelung,
Nunuk, Kokok Balenggek, Sentul, dll.), kuda (Sumba, Sumbawa, Makassar, dll.).

Sapi Bali merupakan salah satu Plasma Nutfah Indonesia yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 325/Kpts/OT.140/1/2010 tentang Penetapan Rumpun Sapi Bali.
Keunggulan yang dimiliki Sapi Bali berupa daya fertilitas yang tinggi, sehingga Sapi Bali
cenderung lebih produktif dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Adapun keunggulan lain dari
Sapi Bali yakni berupa persentase Karkas yang dihasilkan menurut beberapa penelitian yakni
berkisar antara 55-57% dan persentase lemak daging yang dihasilkan berkisar antara 2-6,9%.
Selain itu Sapi Bali juga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini terlihat dari sebaran
Sapi Bali di Indonesia yang luas. Kemampuan adaptasi ini ditunjang oleh daya cerna terhadap
pakan yang didapat cenderung baik. (Ditjen PKH). Dalam melestarikan sapi bali khususnya di
Pulau Bali dilakukan pemurnian, hal ini terbukti dari jaman bekas pemerintahan kolonial
Belanda atas persetujuan raja-raja di Bali dahulu yang telah menyusun dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang melarang perkawinan sapi bali yang dipelihara di pulau
Bali (dan pulau-pulau disekitarnya) dengan bangsa sapi lainnya, serta melarang pemasukan sapi
dari bangsa apapun, selain sapi bali ke pulau Bali. Kebijakan ini didukung pula oleh pemerintah
Repulik Indonesia bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia dan pulau Bali merupakan
khawasan pemurnian sapi Bali.
Disamping pemurnian, sapi juga menyumbang akan kebutuhan daging secara nasional.
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang,
pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk
memenuhi kebutuhan daging tersebut yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi dan
produktivitas sapi potong. Untuk itu bibit sapi bali merupakan salah satu faktor produksi yang
menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan
daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi Bali secara berkelanjutan.

Pembibitan sapi bali saat ini masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri skala
usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi
dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Kebijakan pengembangan usaha pembibitan
sapi bali diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan
komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan,
bimbingan, dan pengawasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi bali yang baik.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan paper ini adalah memberi informasi mengenai sumber daya genetik
ternak lokal (Sapi Bali), pemurnian dan pengembangan, serta upaya pelestarian dan konservasi
sapi bali di Indonesia sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu pemuliaan/pembibitan ternak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi
bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar ke
seluruh Indonesia. Sapi Bali, Bos (bibos) sondaicus, merupakan aset nasional di bidang
peternakan karena merupakan bangsa sapi ketiga di dunia, disamping Bos taurus dan Bos
indicus. Sapi bali ternyata juga merupakan sumber genetik dengan adanya perbedaan tipe
hemoglobin ketiga di dunia (HbX), disamping adanya tipe HbA pada Bos indicus dan HbB pada
Bos Taurus. (Hardjosubroto, 2000).

Dinamakan Sapi Bali karena memang penyebaran populasi bangsa sapi ini terdapat di
pulau bali. Sapi bali (Bos sondaicus) adalah salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia,
yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses
domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM, sapi bali asli mempunyai bentuk dan karakteristik
sama dengan banteng. Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang
disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi bali bukan satu subgenus dengan
bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae,
kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus
bos. Menurut (Payne et al, 1973) menyatakan bahwa bangsa sapi ini diduga berasal dari pulau
Bali, karena pulau ini sekarang merupakan pusat penyebaran/distribusi sapi untuk Indonesia,
karena itu dinamakan sapi bali dan tampaknya telah didomestikasi sejak jaman prasejarah 3500
SM. Ditinjau dari sejarahnya, sapi merupakan hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat petani di Bali. Sapi bali sudah dipelihara secara turun menurun oleh
masyarakat petani Bali sejak zaman dahulu. Petani memeliharanya untuk membajak sawah dan
tegalan, serta menghasilkan pupuk kandang yang berguna untuk mengembalikan kesuburan
tanah pertanian.

Sapi Jantan Sapi Betina


Karakteristik kuantitatif sapi bali menurut Pane (1991) meliputi bobot badan 350-400 kg,
panjang badan 125-134 cm, lingkar dada 180-185 cm dan tinggi pundak 122-126 cm. Sapi jantan
tidak bergumba, memiliki gelambir kecil dan tubuh kompak. Warna sapi bali pada jantan
maupun betina sama ketika dilahirkan yaitu coklat muda. Warna ini tetap sampai dengan dewasa
pada betina, tetapi berubah menjadi hitam pada jantan. Warna hitam pada jantan dewasa yang
dikebiri berubah menjadi coklat muda, sedangkan tungkai kaki mulai dari lutut hingga sikut ke
bawah tetap berwarna putih. Sapi bali memiliki keunggulan diantaranya memiliki fertilitas yang
baik karena sapi betina mampu menghasilkan anak setiap tahun, konsumsi ransum sedikit pada
saat-saat sulit seperti musim kemarau yang panjang atau sesudah waktu utama bercocok tanam
dan dapat kembali segera ke kondisi semula, kualitas daging baik, sapi jantan kebiri muda dan
sapi jantan umumnya mempunyai berat standar untuk diekspor ke pulau atau Negara lain untuk
disembelih, dan kualitas kulit baik dan agak tipis (Williamson et al, 1993).

Adapun sifat kualitatif dan sifat kuantitatif sapi bali yaitu pada Tabel 1 dan Tabel 2 .
sebagai berikut :

Tabel 1. Sifat Kualitatif Sapi Bali

Sifat Kualitatif Keterangan

Warna
 Warna Tubuh betina Warna bulu merah bata
 Warna Tubuh jantan Warna bulu merah bata tersebut berubah menjadi
kehitaman dengan makin bertambahnya umur,
perubahan warna tersebut terjadi pada kisaran umur 12
–18 bulan. Perubahan warna tersebut tidak akan terjadi
pada sapi bali jantan yang dikastrasi.
 Kaki Warna putih pada empat kaki bagian bawah, mulai dari
tarsus/carpus ke bawah.
 Pantat Warna putih dengan batas yang jelas (bentuk oval).
 Bibir Warna putih
Punggung Terdapat garis belut berwarna hitam pada betina.
Ekor Bagian ujung berwarna hitam.
Tanduk Hitam, meruncing, melengkung ke arah tengah
Kemampuan kerja Baik
Kemampuan hidup secara liar Baik
Daya adaptasi terhadap pakan Baik
terbatas
Daya adaptasi terhadap cekaman panas Baik
Kemampuan adaptasi terhadap Baik
lingkungan jelek
Kemampuan mencerna pakan Baik
berserat tinggi
Tabel 2. Sifat Kuantitatif Sapi Bali

Kuantitatif Keterangan
Bobot Badan Umur 2 Tahun Jantan : 210 – 260 Kg
Betina : 170 – 225 Kg
Tinggi Badan Jantan : 122,3 – 130,1 Cm
Betina : 105,4 – 114,4 Cm
Panjang Badan Jantan : 125,6 – 146,2 Cm
Betina : 117,2 – 120,0 Cm
Lingkar Dada Jantan : 180,4 – 188,8 Cm
Betina : 158,6 – 174,2 Cm
Kesuburan Induk 82 – 85%
Angka Kelahiran 40 – 85%
Persentase Karkas 51 – 57%
Kadar Lemak Daging 2 – 6,9%
Kemampuan Hidup Hingga Dewasa 68 – 80%

2.2 Upaya Pelestarian dan Konservasi Sapi Bali

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan


Kesehatan Hewan, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum untuk mengelola sumber daya
genetik (SDG) Hewan dan perbibitan ternak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Pemanfaatan SDG Hewan salah satunya digunakan
sebagai materi genetik untuk pembentukan benih atau bibit. Pemerintah menetapkan kebijakan
perbibitan ternak untuk mendorong ketersediaan benih atau bibit ternak bersertifikat dan
melakukan pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya dalam rangka pembangunan
peternakan berkelanjutan. Penyediaan dan pengembangan benih atau bibit ternak dilakukan
dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Pemerintah berkewajiban membina para pelaku
usaha pembenihan dan/atau pembibitan untuk menjamin ketersediaan benih atau bibit ternak
yang bermutu dalam jumlah yang memadai secara berkelanjutan.
Dalam perkembangannya, di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi
pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu), kecuali sapi Bali
yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar Bali yang ditetapkan sebagai
daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi, yaitu: Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores
di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi
Lampung. Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali
yang terdapat di Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya
penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali
melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung program pelestarian
plasma nutfah ternak asli tersebut.
Perhatian terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama.
National Research Council (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah
menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk
mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Pulau Bali dan Pulau Sumbawa. Sementara itu,
sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi Bali yang baik. Program ini
kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949, bahwa pemilik sapi jantan yang terpilih baik,
mendapat sejumlah subsidi uang setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan
terus memperbaiki kualitas sapi miliknya (Payne et al, 1973).

Berawal dari menurunnya populasi Sapi Bali yang disebabkan oleh pemotongan sapi
betina produktif dan ekspor Sapi Bali yang tidak terkendali. Penurunan populasi disertai
penurunan mutu genetik Sapi Bali, maka pada tahun 1976, berdirilah proyek pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali), sesuai SK Menteri Pertanian No, 776/Kpts/Um/12/1976. P3
Bali selanjutnya menjadi Instalasi Populasi Dasar (IPD). Tahun 1986 dibangun Pusat Pembibitan
Pulukan (Breeding Centre Pulukan) di desa Pangyangan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten
Jembrana, sebagai tempat uji dan seleksi Sapi Bali. Pada Tahun 2007, berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 13/Permentan/OT.142/2/2007, P3 Bali ditingkatkan statusnya menjadi Balai
Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali. Pada tahun 2013, berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 52/Permentan/OT.140/5/2013, BPTU-HPT Denpasar berubah menjadi Balai
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar. Pada Tahun
2020, berdasarkan Permentan nomor 43 tahun 2020 terdapat perubahan struktur organisasi.

Bali sebagai sebuah daerah yang minim sumber daya alam (pertambangan)
dianugrahi plasma nuffah yang sangat produktif yakni Sapi Bali. Sapi Bali memiliki daya
adaptasi yang sangat baik sehingga cocok dikembangkan di berbagai daerah. Saat ini jenis sapi
Bali tidak hanya dikembangkan di pulau Bali saja namun sudah menjadi primadona di daerah
lain seperti Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karakteristik sapi Bali yang paling terlihat
adalah warna putih pada keempat kakinya (white shocking) dan putih pada pantat (Sampurna,
2018). Sapi Bali memiliki berat rata-rata sekitar 300-400 kg dengan proporsi karkas 57 %
dimana proporsi ini menjadi salah satu yang paling tinggi diantara sapi lokal yang ada di
Indonesia. Sapi bali memiliki bentuk seperti banteng, warna merah bata saat masih anakan
(pedet) dan warna akan berangsur-angsur menjadi lebih gelap utamanya pada sapi Bali jantan.
Tinggi rata-rata sapi Bali yakni 130 cm dengan pertumbuhan tanduk jantan lebih keluar kepala
daripada yang betina (Sampurna, 2018).

Merujuk data Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali
terlihat bahwa populasi sapi Bali jantan dan betina mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi
dimungkinkan karena (1) peningkatan konsumsi daging sapi bali, (2) faktor ketersediaan pakan,
(3) penyakit dan Kesehatan hewan, (4) tingkat fertilitas ternak, (5) cuaca dan musim di sentra peternakan
sapi Bali.

Data populasi sapi Bali jantan dan betina di Provinsi Bali tahun 2016-2020 yakni pada
tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Populasi sapi Bali jantan dan betina di Provinsi Bali tahun 2016-2020

Tahun/ekor
Sapi Bali
2016 2017 2018 2019 2020
Jantan 218.027 194.511 205.929 208.635 204.895

Betina 328.343 313.283 320.230 336.320 345.455

Peluang pasar sangat terbuka lebar bagi komoditas sapi Bali mengingat pada tingginya
konsumsi daging sapi nasional yang selama ini banyak dipenuhi oleh daging sapi impor.
Dinamika pasar komoditas Sapi Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya peningkatan
jumlah penduduk, selera pasar, hari besar keagamaan, informasi pasar dan faktor lainnya. Faktor-
faktor tersebut selain menjadi peluang sekaligus tantangan mempertahankan dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas produksi sapi Bali kedepan. Selain itu, standarisasi mutu komoditas pada
tingkat peternak maupun pengusaha peternakan menjadi hal penting untuk diaplikasikan dengan
optimal. Produk yang tersertifikasi akan lebih mudah diterima dan diserap oleh pasar.

Peningkatan permintaan yang terjadi, masih belum tercukupi oleh produksi daging
nasional (Baihaqi et al, 2020). Kekurangan pasokan daging sapi masih terjadi dalam skala
nasional sehingga hal ini menjadi peluang pasar yang besar bagi komoditas sapi Bali yang
dikembangkan di Bali untuk mengambil celah pasar yang ada. Usaha untuk meningkatkan
populasi sapi Bali menjadi suatu isu yang penting untuk memenuhi permintaan pasar.
Peningkatan populasi sapi Bali juga bertujuan untuk menstabilkan harga pada semua lembaga
pemasaran. Sehingga produsen maupun lembaga pemasaran memperoleh laba atas pengorbanan
yang mereka lakukan dalam rantai pasar, disisi lain konsumen sebagai end user mendapatkan
tingkat harga yang wajar. Definisi dasar pemasaran menekankan pada aspek penciptaan
komoditas, proses penawaran komoditas dan pertukaran komoditas antara satu pihak dengan
pihak yang lain. Penciptaan komoditas yang dalam hal ini proses produksi memerlukan
perencanaan yang baik. Manajemen peternakan yang baik sangat dibutuhkan sebagai acuan
dalam berproduksi maupun mendistribusikan komoditas yang berkualitas, tepat kuantitas dan
kontinyuitas. Tujuan dari proses ini adalah untuk memenuhi preferensi pasar yang sangat selektif
terhadap kondisi komoditas Sapi Bali yang dihasilkan.

Salah satu cara untuk mengembangkan mutu genetik sapi bali yaitu dengan dilakukan
program seleksi yang terarah. Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) atau
yang sekarang dikenal dengan nama Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali
melakukan seleksi untuk mendapatkan bibit sapi bali. BPTU terdiri atas dua bagian yaitu
Instalasi Populasi Dasar dan Pusat Pembibitan Pulukan. Pada Instalasi Populasi Dasar dilakukan
recording dan identifikasi sehingga didapatkan sapi-sapi yang mutunya bagus. Instalasi ini
merupakan kegiatan pembibitan di pedesaan yang merupakan awal dari pelaksanaan seleksi.
Selanjutnya pada Pusat Pembibitan Pulukan, sapi-sapi yang berasal dari Populasi Dasar dan
keturunan dari Pusat Pembibitan Pulukan akan mengikuti uji performans dan progeny, 5% sapi
jantan terbaik dari hasil uji performans selanjutnya mengikuti uji progeny. Dan hasil terbaik akan
dikirim ke Balai Inseminasi Buatan Singosari. BPTU Pulukan merekomendasikan standar
penilaian performans sapi Bali seperti tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Standarisasi Penilaian Performans Sapi Bali BPTU Sapi Bali.

a. Sapi Jantan

Klasifikasi Bagus Sedang Jelek

Jantan sapihan (205 hari)


Berat badan >100 Kg
Jantan umur 1 tahun
Berat badan >167 Kg
Jantan umur 2 tahun
Lingkar dada >162 Cm 156-162 Cm <156 Cm
Panjang badan >122 Cm 115-122 Cm <115 Cm
Tinggi gumba >122 Cm 114- 122 Cm <114 Cm
Jantan umur 4 tahun
Lingkar dada >200 Cm 191-200 Cm <191 Cm
Panjang badan >138 Cm 129-138 Cm <129 Cm
Tinggi gumba >134 Cm 125-134 Cm <125 Cm

b. Sapi Betina

Klasifikasi Bagus Sedang Jelek


Betina sapihan(205 hari)
Berat badan >97 Kg
Betina umur 1 tahun
Berat badan >150 Kg
Betina umur 1.5 tahun
Lingkar dada >145 Cm 136-145 Cm <136 Cm
Panjang badan >110 Cm 101-110 Cm <101 Cm
Tinggi gumba >112 Cm 103-112 Cm <103 Cm
Betina Umur 5 tahun
Lingkar dada >162 Cm 153-162 Cm <153 Cm
Panjang badan >122 Cm 113-122 Cm <113 Cm
Tinggi gumba >118 Cm 109-118 Cm <109 Cm

Standar mutu bibit menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 tahun 2006 untuk
menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan konsumen, diperlukan bibit ternak yang
bermutu, sesuai dengan persyaratan teknis minimal setiap bibit sapi potong sebagai berikut:

a) Persyaratan umum:
i) sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan),
tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan
tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
ii) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta
tidak menunjukkan gejala kemandulan;
iii) sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat
kelaminnya.

b) Persyaratan khusus:

Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk rumpun sapi Bali yaitu sebagai tabel 5 berikut
ini:
Tabel 5 . Persyaratan khusus Sapi Bali sebagai bibit sapi

Kualitatif Kuantitatif
Betina: Betina umur 18-24 bulan
 Warna bulu merah; Tinggi gumba:
 Lutut ke bawah berwarna putih;  Kelas I minimal 105 cm
 Pantat warna putih berbentuk setengah  Kelas II minimal 97 cm
bulan;  Kelas III minimal 94 cm
 Ujung ekor berwarna hitam;. Panjang Badan:
 Garis belut warna hitam di punggung  Kelas I minimal 104 cm;
 Tanduk pendek dan kecil  Kelas II minimal 93 cm;
 Bentuk kepala panjang dan sempit  Kelas III minimal 89 cm.
 Leher ramping.
Jantan umur 24-36 bulan
Jantan : Tinggi gumba:
 Warna bulu hitam;  Kelas I minimal 119 cm;
 Lutut ke bawah berwarna putih;  Kelas II minimal 111 cm;
 Pantat putih berbentuk setengah bulan;  Kelas III minimal 108 cm.
 Ujung ekor hitam Panjang badan:
 Tanduk tumbuh baik warna hitam;  Kelas I minimal 121 cm;
 Bentuk kepala lebar  Kelas II minimal 110 cm;
 Leher kompak dan kuat  Kelas III minimal 106 cm.

Bertitik tolak dari rendahnya produktivitas, besarnya keragaman dan dugaaan terjadinya
biak dalam pada tingkat yang perlu diwaspadai, maka upaya perbaikan mutu genetik harus
dijalankan secara menyeluruh yang ditunjang dengan perbaikan mutu pakan, baik hijauan
maupun konsentrat. Untuk itu maka perbaikan yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas sapi Bali sekaligus meningkatkan pendapatan petani ternak pemelihara sapi Bali.
Untuk tujuan ini peran pemerintah sangatlah dominan, karena belum adanya perusahaan swasta
yang bergerak dalam usaha pembibitan dan perbaikan mutu genetik sapi Bali. Dengan demikian
perbaikan mutu genetik sapi Bali harus dilakukan melalui berbagai cara, yaitu:

1. Peningkatan mutu genetik melalui penerapan kebijakan pemuliaan (breeding policy) yang
tepat.
2. Peningkatan kelahiran dan mutu genetik melalui IB, Transfer Embrio dan penanganan
gangguan reproduksi.
3. Pengendalian penyakit.
4. Peningkatan dan perbaikan mutu pakan ternak.
5. Peningkatan kemampuan/keterampilan petani ternak dalam beternak sapi Bali.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Modal dasar bagi pembangunan subsektor peternakan di antaranya adalah


keanekaragaman sumberdaya hayati, khususnya sumberdaya genetik ternak. Salah satu
sumber daya genetik yang bisa dimanfaatkan adalah Sapi Bali.
2. Sapi Bali merupakan salah satu Plasma Nutfah Indonesia yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 325/Kpts/OT.140/1/2010 tentang Penetapan Rumpun Sapi
Bali. Keunggulan yang dimiliki Sapi Bali berupa daya fertilitas yang tinggi, sehingga
Sapi Bali cenderung lebih produktif dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Sapi bali di
pulau Bali harus terus dilestarikan dengan jalan memurniakan sapi bali karena merupakan
aset nasional bahkan aset dunia.
3. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum untuk mengelola
sumber daya genetik (SDG) Hewan dan perbibitan ternak sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Pemanfaatan SDG Hewan
salah satunya digunakan sebagai materi genetik untuk pembentukan benih atau bibit.
Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan ternak untuk mendorong ketersediaan benih
atau bibit ternak bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan dan
peredarannya dalam rangka pembangunan peternakan berkelanjutan.
4. Merujuk data Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali
terlihat bahwa populasi sapi Bali jantan dan betina mengalami fluktuasi pada tahun 2016-
2020. Fluktuasi yang terjadi dimungkinkan karena peningkatan konsumsi daging sapi
bali, faktor ketersediaan pakan, penyakit dan kesehatan hewan, tingkat fertilitas ternak,
cuaca dan musim di sentra peternakan Sapi Bali.
5. Peningkatan permintaan yang terjadi, masih belum tercukupi oleh produksi daging
nasional. Kekurangan pasokan daging sapi masih terjadi dalam skala nasional sehingga
hal ini menjadi peluang pasar yang besar bagi komoditas sapi Bali yang dikembangkan di
Bali untuk mengambil celah pasar yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2020. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Anonymous. 2009. Program breeding BPTU sapi Bali, Pusat Pembibitan Pulukan. Balai
Ardika, I.N. 1995. Parameter fenotipik dan genetic sifat produksi dan reproduksi sapi
Baihaqi, M., Aditia, E.L. 2020. Efisiensi dan Nilai Ekonomi Daging Sapi untuk Potongan Pasar
Tradisional Berdasarkan Potongan Komersial yang Berbeda: Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan Vol.08 No. 2 Juni 2020 (hlm 86-90). Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Dati I Bali. Universitas Gadjah Mada- Yogyakarta (Thesis)
Djegho, J dan I. Pane. 1992. Role of the Bali catlle breeding and improvement project ingenetic
improvement and icrease of income and work opportunities of the farmers.
Hardjosubroto, S. 2000. Seleksi sapi Bali berdasarkan penampilan dan sifat Genetik. Indonesia.
Keputusan Menteri Peretanian Nomor 325 Tahun 2010. Tentang Penetapan Sapi Bali
Ngadiyono,N. 1997. Kinerja danprospek sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental pada
seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rillinson. 1973. Bali cattle. Word rev. Anim.Prod. 7:13-21.
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice) Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Bali.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54 /Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman Pollution
and Natural Product and Bali Catlle in Regional Denpasar Bali. Proceeding of the
international seminar held at Brawijaya University, Malang
Program Pascasarjana IPB-Bogor (Thesis)
Sampurna, I Putu. 2018. Bahan ajar kuliah “Ilmu Peternakan” Ternak Besar. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Denpasar.
Sebagai Rumpun Asli Indonesia. Seminar sapi Bali di Denpasar, tanggal 25-26 Mei 2000.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usaha Tani. Universitas Brawijaya Press (UB Press). Malang.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Tanari, M. 1999. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas sapi Bali di Provinsi
Tim Peneliti Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2000. Uji Kemurnian sapi

Anda mungkin juga menyukai