Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL PENELITIAN

PERTAMBAHAN ALAMIAH POPULASI SAPI BALI DI KECAMATAN


KUSAMBI DAN KECAMATAN NAPANO KUSAMBI KABUPATEN MUNA
BARAT

Oleh:

DARSON
L1A1 16 127

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat sebagian besar berasal

daging sapi terutama sapi lokal. Tingginya kebutuhan masyarakat terhadap daging

sapi tidak seimbang dengan jumlah stok sapi yang ada mengakibatkan sebagian

besar pemerintah melakukan kegiatan impor yang secara tidak langsung dapat

mematikan usaha peternakan rakyat. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya

peningkatan populasi dan produksi ternak sapi potong pada peternakan rakyat.

Kabupaten Muna Barat merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi

Sulawesi Tenggara yang memiliki prospek untuk pengembangan sapi potong

karena didukung dengan ketersediaan lahan pertanian yang cukup luas terutama di

Kecamatan Kusambi dan Napano Kusambi. Populasi sapi bali di Kabupaten

Muna Barat pada tahun 2018 berjumlah 29.292 ekor dan pada tahun 2019

mengalami peningkatan dengan jumlah 32.216 ekor yang tersebar di 11

Kecamatan. Untuk Kecamatan Kusambi berjumlah 3.573 ekor dan Kecamatan

Napano Kusambi berjumlah 1.707 ekor ( BPS Muna Barat, 2019 ).

Permasalahan utama yang terjadi di Kabupaten Muna Barat khususnya

Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi adalah pola pemeliharaan

masyarakat yang masih bersifat tradisional (ekstensif), pemeliharaan sapi secara

ekstensif sangat tergantung pada ketersediaan hijauan makanan ternak di

lingkungan pemeliharaan yang mempengaruhi pertambahan alamiah populasi

sapi.
Hijauan makanan ternak merupakan lahan yang ditanami rumput unggul atau

legum sebagai sumber makanan yang berkualitas bagi ternak dan meningkatkan

produksi hijauan makanan ternak sehingga dapat meningkatkan produktufitas

ternak . peternak umumnya menggunakan rumput yang berasal dari kebun rumput

mereka untuk pemberian pakan pada ternak yang dikangangkan Tetapi masi

sangat jarang peternak yang mengandangkan ternaknya secara intensif serhingga

pemberian hijauan pakan ternak hanya di lakukan sewaktu waktu saja.

ketersediaan kebun HMT sangat berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan pakan

ternak khususnya pada waktu waktu tertentu yang sulit memeperoleh pakan.

Kondisi peternakan yang ada di Kabupaten Muna Barat saat in cukup

memprihatinkan,dimana skala kepemilikan ternak masih rendah,lokasinya

menyebar, kurang memiliki jiwa kewirausahaan dan sistem beternak yang masi

tradisional. Salasatu cara untuk mengatasi kondisi peternakan yang ada di

Kabupaten Muna Barat yang masi memprihatinkan adalah dengan menciptakan

kawasan peternakan di daerah tertentu yang memiliki potensi utuk di jadikan

kawasan peternakan. pendekatan kawasan untuk mendorong pengembangan

peternakan, khususnya sapi potong penting di implementasikan di daerah tertentu

termasuk di Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi Kabupaten

Muna Barat.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui pertambahan alamiah populasi sapi Bali yang berada di dua

kecamatan yaitu Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi

Kabupaten Muna Barat.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan suatu

permasalahan yaitu bagaimana pertambahan alamiah populasi sapi Bali di

Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk

mengetahui pertambahan alamiah populasi sapi Bali di Kecamatan Kusambi dan

Kecamatan Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat.

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai jumlah

pertambahan alamiah populasi sapi Bali di Kecamatan Kusambi dan Kecamatan

Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori
1. Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil

domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) dan merupakan sapi asli Pulau

Bali. Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai

kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di

sawah dan ladang, persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif

tinggi pada persilangan, daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan

persentase kelahiran dapat mencapai 80% (Tanari, 2001).

Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia, hasil domestikasi banteng

(bibos banteng). Sapi bali berukuran sedang, memiliki dada dalam, tidak

berpunuk, berkaki ramping. Cermin hidung, kuku, dan ujung bulu ekornya

berwarna hitam. Kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit

berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantat dan paha bagian dalam,

berbentuk oval (white mirror). Punggungnya selalu ditemukan bulu berbentuk

garis hitam (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Warna bulu

sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam

legam setelah sapi mencapai dewasa kelamin, tetapi bagian yang berwarna putih

tetap tidak ada perubahan, sedangkan sapi betina tetap berwarna merah bata

(Utomo, 2012).

Ciri fisik sapi bali adalah berukuran sedang, berdada dalam dengan kaki yang

bagus. Warna bulu merah bata dan coklat tua. Pada punggung terdapat garis hitam

di sepanjang punggung yang disebut “garis belut” (Wiliamson dan Payne, dalam
Purnomoadi dan Dartosukarno, 2012). Syafrial dkk. (2007) menambahkan bahwa

sapi bali mempunyai ciri khas yaitu tidak berpunuk, umumnya keempat kaki dan

bagian pantatnya berwarna putih. Pedet tubuhnya berwarna merah bata.

Menurut Guntoro (2002), sapi bali sebagai salah satu bangsa sapi memiliki

ciri-ciri spesifik yang berbeda dengan bangsa sapi lainnya. Sapi bali memiliki

warna dan bentuk tubuh persis seperti banteng liar. Sapi bali jantan dan betina

memiliki warna kaki putih dan memiliki “telau”, yakni bulu putih pada bagian

pantatnya dan terdapat “garis belut” (bulu hitam) di sepanjang punggungnya. Sapi

bali tidak memiliki punuk seperti halnya banteng, bentuk badannya kompak, dan

dadanya dalam. Dibandingkan dengan sapi-sapi lain, sapi bali lebih agresif (galak)

terutama sapi bali jantan.

Di samping ciri-ciri umum tersebut di atas, sapi bali jantan dan betina juga

memiliki ciri khas. Fikar dan Ruhyadi, (2010) menyatakan ciri khas sapi bali di

antaranya rambut berwarna merah keemasan pada jantan akan menjadi lebih

hitam setelah dewasa, dari lutut ketangkai bawah berwarna putih seperti memakai

kaus kaki, bagian pantat berwarnh putih membentuk setengah lingkaran, ujung

ekor berwarna hitam, serta terdapat garis belut warna hitam di punggung

betina,sapi Bali memiliki kepala pendek dengan dahi datar, sapi Bali jantan

memiliki tanduk panjang dan besar yang tumbuh kesamping belakang, Tubuhnya

relatif lebih besar dibanding kan dengan sapi betina, berat sapi dewasa rata-rata

350 kg–450 kg, dan tinggi badan 130 cm–140 cm. Sedankan sapi Bali betina

memiliki tanduk yang lebih pendek dan kecil. warna bulu badan merah bata

(kecuali kaki dan pantat). tanduk agak di bagian dalam dari kepala, mengarah
latero-dorsal dan membelok dorsa-medial. tubuh relatif lebih kecil dibandingkan

dengan sapi jantan dan berat sapi dewasa 250 kg – 350 kg Fikar dan Ruhyadi,

(2010).

Sapi bali betina mencapai pubertas pada umur sekitar 1,5 tahun dan sudah

siap dikawinkan pada umur 2 tahun dengan lama kebuntingan sekitar 280 – 290

hari. Dengan demikian sapi bali akan melahirkan anak pertama pada saat berumur

sekitar 3 tahun (Handiwirawan & Subandriyo, 2004). Calon induk betina sapi bali

dapat dipilih yang masih muda (belum pernah kawin/beranak) hingga yang sudah

beranak 3 – 4 kali. Untuk memperoleh keturunan yang baik, induk sapi bali betina

hendaknya dipertahankan paling tua hingga umur 11 tahun atau setelah 7 kali

beranak. Penurunan kualitas anak terjadi pada kelahiran ke-8 dan seterusnya,

maka apabila induk betina melahirkan lebih dari 7 kali, anak yang dihasilkan

kualitasnya menurun dan berdampak pada pertumbuhan anak tersebut yang juga

lebih lambat (Guntoro, 2002).

Sapi bali mempunyai keunggulan dibandingkan dengan sapi-sapi lokal

lainnya karena mempunyai fertilitas yang tinggi, angka kebuntingan dan angka

kelahiran yang tinggi (lebih dari 80%) dan potensial sebagai penghasil daging.

Pertambahan bobot badan dengan pakan yang baik dapat mencapai 0,7 kg/hari

pada jantan dewasa dan 0,6 kg/hari pada betina dewasa. Persentase karkas

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkisar antara 51,5-59,8%

(Siregar,.2008).

Sapi bali memegang peranan penting sebagai sumber daging dalam negeri,

tingginya permintaan sapi bali belum diimbangi dengan usaha-usaha pembibitan


atau hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan mutu genetik ternak. Dampak dari

eksploitasi ternak seperti di atas akan berakibat pada penurunan mutu genetik

(Samarianto, 2004).

Sapi bali menyebar ke pulau-pulau di sekitar pulau bali melalui komunikasi

antar raja-raja pada zaman dahulu. Sapi bali telah tersebar hampir di seluruh

provinsi di Indonesia dan berkembang cukup pesat di daerah karena memiliki

beberapa keunggulan. Sapi bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap

lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang

rendah dan lain-lain. Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi

dibandingkan dengan sapi lain, yaitu mencapai 83%, tanpa terpengaruh oleh mutu

pakan. Tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu

keunikan sapi bali (Guntoro, 2002).

2. Populasi

Populasi adalah sekelompok organisme yang mempunyai spesies sama

(takson tertentu) serta hidup/menempati kawasan tertentu pada waktu tertentu.

Suatu populasi memiliki sifat-sifat tertentu seperti, kepadatan (densitas),

laju/tingkat kelahiran (natalitas), laju/tingkat kematian (mortalitas), sebaran umur

dan sex (rasio, anak, individu muda, dewasa dengan jenis kelamin betina atau

jantan). Sifat-sifat ini dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui kondisi

suatu populasi secara alami maupun perubahan kondisi populasi karena adanya

pengaruh perubahan lingkungan. Sebagai salah satu sifat populasi, densitas

merupakan cerminan ukuran populasi (jumlah total individu) yang hidup untuk

mengetahui kekayaan/kelimpahannya di suatu kawasan (alam), ukuran populasi


merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau

keterancaman keberadaannya di alam. Ukuran populasi dapat juga digunakan

sebagai dasar dalam pendugaan kualitas lingkungan (habitat), walaupun secara

umum tidak akan lebih baik bila didasarkan pada keanekaragaman (Tobing,

2008).

Untuk meningkatkan populasi sapi bali dibutuhkan pengelolaan dan

penanganan ternak yang baik, terutama dalam pengendalian pengeluaran ternak

dengan memperhatikan nilai pertambahan alamiah, angka kematian (mortalitas),

ternak pengganti (replacement stock), jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak

hidup dan besarnya potensi kemampuan penyediaan bibit (Budiarto dkk., 2013).

Penurunan populasi ternak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya,

rendahnya tingkat kelahiran, meningkatnya jumlah pemotongan dan kematian

ternak merupakan penyebab utama penurunan tersebut. Meningkatnya jumlah

pemotongan antara lain disebabkan oleh belumnya berhasilnya usaha peningkatan

produksi daging per satuan ternak (Sudrajad dan Rahmat, 2003).

2.1 Pemotongan Ternak

Murtidjo (1992) dalam Pipiet (2007), menyatakan bahwa peranan ternak

sapi sebagai ternak potong ternyata cukup tinggi, meskipun kerbau tak sepopuler

sapi karena dagingnya berwarna lebih tua dan keras dibandingkan dengan daging

sapi, seratnya lebih kasar dan lemaknya berwarna kuning. Usaha pengembangan

ternak sapi, memang masih banyak ditemui kendala, diantaranya yang cukup

berpengaruh adalah tingginya pemotongan betina produktif. Hal ini sejalan

dengan pendapat Jamal (2008) yang menyatakan bahwa pemotongan ternak


betina produktif perlu mendapatkan perhatian, mengingat aktivitas ini akan

mempercepat proses pengurasan populasi ternak sapi Bali.

2.2 Kelahiran Ternak

Perkawinan ternak berkerabat dekat (inbreeding) pada sistem

pemeliharaan sapi secara ekstensif diduga sebagai penyebab lain menurunnya

performa sapi. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan produktifitas sapi melalui

program pemuliaan yang berkelanjutan (Dudi, 2007). (Teolihere) (1983) dalam

(Pipiet 2007) menyatakan penurunan angka kelahiran ternak terutama dipengaruhi

oleh efisisensi reproduksi dan kesuburan yang rendah akan kematian prenatal.

Kira-kira 80 % dari variasi kesuburan normal pada kelompok ternak akan

tergantung pada faktor lingkungan.

Populasi sapi di Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini

disebabkan oleh faktor internal atau sifat-sifat alamiah ternak sapi itu

sendiri, seperti birahi diam, lama masa kebuntingan, panjang jarak kelahiran,

Disamping itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keterbatasan bibit

ungggul, perkawinan alam (Subiyanto, 2010).

2.3 Kematian (mortalitas) Ternak

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa pemeliharaan ternak sapi yang

dijumpai didaerah-daerah banyak masih menggunakan cara tradisional karena

campur tangan manusia dan teksnologi yang digunakan masih minim, sehingga

persentase yang diharapkan tidak tercapai dimana banyak terjadi kematian

terutama anak yang baru lahir.

2.4 Penjualan Ternak


Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa pemeliharaan ternak sapi yang

dijumpai didaerah-daerah banyak masih menggunakan cara tradisional karena

campur tangan manusia dan teksnologi yang digunakan masih minim, sehingga

persentase yang diharapkan tidak tercapai dimana banyak terjadi kematian

terutama anak yang baru lahir.

3. Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi

Sistem pemeliharaan sapi potong dapat di bedakan menjadi 3 yaitu sistem

pemeliharaan ekstensif,semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua

aktifitasnya di lakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem semi intensif

adalah memelihara sapi untuk digemukan dengan cara digembalakan dan pakan

disediakan oleh peternak,atau gabungan dari ekstensif dan intensif.Sementara

semi ekstensif adalah sapi-sapi di kandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh

peternak (Susilorini, 2008). Bandini (2003) menyatakan bahwa untuk

mendapatkan bibit sapi bali yang baik sebaiknya dipelihara secara semi intensif

disertai dengan pemberian pakan yang optimal sesuai dengan kebutuhan fisiologi

ternak,yaitu dengan jalan memberikan pakan tambahan berupa konsentrat dan

tidak hanya mengandalkan rumput lapang sebagai pakan basah.

Pete (2012) mengemukakan bahwa pemberian pakan pada ternak sapi

potong dapat dilakukan tiga cara, yaitu penggembalaan (pasture

fattening),kereman (dry lot fattening) dan kombinasi keduanya. Penggembalaan

dilakukan dengan melepas sapi-sapi dipadang rumput,biasanya dilakukan

didaerah yang mempunyai tempat penggembalaan yang cukup luas.kereman


dilakukan dengan memberikan pakan yang terbaik adalah kombinasi antara

penggembalaan dengan kereman.

Umumnya para petani ternak didalam usaha pemeliharaan ternak sapi masi

tradisioal. Mereka banyak menyerahkan kepada alam. Pengadaan bibit,pemberian

pakan,pemeliharaan atau sebagainya belum menggunakan teknologi modern.

Pemeliharaan sapi yang mereka lakukan hanyalah sebsgai usaha sampingan saja

(Sugeng, 2007).

Faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengembangan

populasi sapi pedaging adalah sumber daya yang tersedia. Seperti sumber daya

alam,sumber daya manusia dan sumber daya pakan ternak yang

berkesinambungan,selanjutnya proses budidaya perlu mendapat perhatian meliputi

bibit,ekologi dan teknologi serta lingkungan yang strategis yang secara langsung

maupun tidak langsung mempengaruhi keberhasilan pengembangannya (Tanari,

2007).

4. Pertambahan Alamiah Populasi

Menurut Sumadi dkk., (2001) menyatakan bahwa, pertambahan alami

merupakan selisih antara angka kelahiran dengan angka kematian pada suatu

wilayah tertentu dan waktu tertentu yang umumnya diukur selama satu tahun.

Lebih lanjut dikatakan untuk lebih meningkatkan pertambahan alamiah perlu

mempertahankan betina produktif dan mengeluarkan betina tidak produktif

terutama betina tua atau yang telah melahirkan tujuh kali. Perhitungan

pertambahan alamiah memerlukan data persentase betina terhadap populasi,

persentase kelahiran, persentase kematian anak maupun sapi tua. Persentase betina
terhadap populasi yang semakin besar kemungkinan dapat meningkatkan

persentase kelahiran pedet terhadap populasi. Dengan meningkatkan jumlah

kelahiran pedet terhadap populasi maka nilai pertambahan alami akan meningkat.

Dalam menentukan besar kecilnya nilai pertambahan alamiah adalah

diperlukan sejumlah data ketersediaan betina dewasa, tingkat kelahiran dan

kematian dari suatu populasi. Nilai pertambahan alamiah akan lebih bermakna

apabila tingkat kelahiran tinggi diimbangi dengan rendahnya tingkat kematian,

dan penghitungan dilakukan setiap tahun. Apabila nilai pertambahan alamiah

tinggi merupakan gambaran bahwa di wilayah yang bersangkutan terdapat

sejumlah betina dewasa yang produktif serta penanganan dan pengelolaannya

baik. Pertambahan alamiah sapi Bali yaitu 61,39% betina dewasa yang tersedia,

diperoleh kelahiran pedet terhadap populasi 29,72%, namun jumlah kematian

mencapai 2,32% maka nilai pertambahan alamiah di wilayah sumber bibit tahun

2011 sebesar 27,40%. Pertambahan populasi sapi Bali secara alami tersebut dapat

menghasilkan panenan pedet sebesar 48,41% (Budiarto dkk., 2013).

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya angka

pemotongan sapi betina produktif meskipun undang-undang peternakan dan

veteriner dengan tegas melarang pemotongan sapi betina produktif. Jika

pemotongan sapi betina produktif terus berlangsung tanpa pengawasan yang ketat

dan sanksi yang berat maka sumber penghasil sapi bakalan akan menjadi

berkurang yang selanjutnya akan menurunkan populasi sapi potong di Indonesia

(Utomo dan Widjaja 2006).


Untuk lebih meningkatkan pertambahan alamiah perlu mempertahankan

betina produktif dan mengeluarkan betina tidak produktif terutama betina tua atau

yang telah melahirkan tujuh kali. Perhitungan pertambahan alamiah memerlukan

data persentase betina terhadap populasi, persentase kelahiran, persentase

kematian anak maupun sapi tua. Persentase betina terhadap populasi yang

semakin besar kemungkinan dapat meningkatkan persentase kelahiran pedet

terhadap populasi. Meningkatnya jumlah kelahiran pedet terhadap populasi maka

nilai pertambahan alamiakan meningkat (Sumadi dkk., 2001).

5. Penelitian Terdahulu

Asanah (2015) melakukan penelitian dengan judul “Pertambahan Alamiah

dan Distribusi Angka Kelahiran Sapi Bali Di Kota Baubau” memperoleh hasil

penelitian bahwa nilai persentase kelahiran sapi bali sebesar 45,40% tahun,

persentase kematian sapi bali sebesar 7,86% tahun, pertambahan alamiah populasi

37,54% tahun.

Tanari (2011) melakukan penelitan dengan judul “Dinamika Populasi

Sapi Potong di Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso” memperoleh hasil

penelitian bahwa komposisi sapi potong 533 ekor jantan (34,88%) dan 995 ekor

betina (65,12%). Jumlah pedet jantan, jantan muda dan jantan dewasa masing-

masing 93,100 dan 340 ekor, sedangkan pedet betina, betina muda dan betina

dewasa masing-masing 135,130 dan 738 ekor. Nilai natural increase diperoleh

sebesar 12,13%, yang diperoleh dari tingkat kelahiran 14,83% terhadap populasi

dikurangi tingkat kematian 2,7% dan calf crop sebesar 28%


Samberi (2010) melakukan penelitian dengan judul “Estimasi Dinamika

Populasi dan Produktivitas Sapi Bali di Kabupaten Kepulauan Yapen Propinsi

Papua “ memperoleh hasil penelitian bahwa natural increase (NI) 18,18%,

potensi dan komposisi sapi bali yang dapat dikeluarkan setiap tahun tanpa

mengganggu populasi yang ada sebesar 13,11% setara dengan 354 ekor terdiri

dari sisa jantan muda sebesar 4,27% setara dengan 115 ekor, ternak afkir masing-

masing jantan 3,18 setara dengan 86 ekor dan betina 5,67% setara dengan 153

ekor.

6. Persentase kelahiran

Persentase kelahiran merupakan persentase jumblah anak yang lahir dari

satu kali kawin. Oleh karena kesukaran- kesukaran dalam penentuan kebuntingan

muda dan banyaknya kematian-kematian embrional atau abortus, maka nilai

reproduksi yang mutlak dari seekor betina dapat ditentukan setelah kelahiran

anaknya yang hidup normal, kemudian dibuat analisa mengenai pekawina-

perkawinan berturut-turutyang menghasilkan kelahira dalam satu populasi ternak .

system penilaian inilah yang di sebut calfing rate (Toelihere,1985).

Persentase kelahiran sebagian tolak ukur reproduktivitas ternak berhubungan

dengan deteksi birahi. manajemen perkawinan, lama kebuntingan, lama waktu

kosong dan jarak beranak, berhasil tidaknya perkawinan pada sapi induk yang

menghasilkan kebuntingan di tentkan oleh factor kesuburan betina

induk,kesuburan pejantan,dan tata laksana perkawinan. Oleh karena itu banayak

jumlah kawin perkebuntingan dapat di gunakan sebagai salasatu ukuran frekuensi

reproduksi induk sapi potong (Ayuni, 2005).


Tingkat kelahiran adalah banyaknya jumlah kelahiran yang dialami oleh

seekor ternak betina dalam satu tahun/periode melahirkan.Angka kelahiran adalah

jumlah anak yanh lahir per tahun dibagi dengan jumlah betina dewasa atau

populasi dikali100% (Dania, 1992). Tjeppy, (2009) menyatakan bahwa jumlah

kelahiran anak sapi per tahun sebesar 1,7 juta ekor, sedangkan kebutuhan sapi

potong 2,1 juta ekor/tahun, saat ini populasi sapi potong 10,5 juta-11 juta ekor.

Tingkat kelahiran rata rata per tahun atau angka kelahiran per tahun anak sapi di

wilayah penyebaran ialah 38,58% (dataran rendah), 49,99% (berbukit) dan 31,40

(dataran tinggi). Hasil ini menunjukan bahwa untuk daerah pegunungan tingkat

kelahiran pedet lebuh rendah dari pada yang lainnya (Thalib, 1985).

Selain itu berbagai masalah yang menghambat pencapaiyan populasi

produksi, produktifitas dan reproduktifitas ternak sapi diantaranya rendahnya

tingkat kebuntingan atau kelahiran serta tingginya tingkat pemotongan betina

produktif atau bunting yang telah menghambat perkembangan populasi

ternak.Dari total impor sapi hidup yang dilakukan oleh para pengusaha

penggemukan sekitar 30% ternyata terdapat sapi betina yang produktif yang masi

bisa di kembangkan lebih lanjut atau berproduksi (Anonim, 2003).

Payne dan Rollinson (2000) memberikan tafsiran bahwa angka kelahiran

sapi bali adalah 80%. Pastika dan Darmaja (2008), penggemukan hasil

penelitiannya bahwa dari 31 ekor pejantan dengan 1.707 perkawian memberikan

angka kelahiran untuk sapi bali di pulau bali sebesar 83,40%.

7. Persentasi Kematian
Menurut Tanari (2007), kematian (mortalitas) anak anak sapi di pengaruhi

oleh umur induk, pengaruh jenis kelamin, berat lahir dan pengaruh makanan.

Dalam perkembangan sapi bali telah diperoleh beberapa kemajuan terutama dalam

menekan angka kematian pedet sapi bali sebesar 10-80%. Hasil penelitian lainnya

diperoleh kematian pedet sebesar 7,33% dan lebih rendah lagi sebesar 7,26% pada

lokasi yang sama memperoleh terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari

populasi.

angka kematian (Mortality rate) pedet prasapi juga tinggi, bahkan ada

yang mencapai 50% (Hadi dan Ilham,2000). Masalah ini biasanya bersumber dari

kualitas pakan induk yang baik, terutama pada saat bunting tua dan menyusui,

adanya serangan parasite dan manajemen perkawinan yang belum memadai.

Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi

bakalan bermutu tinggi belum dapat terpenuhi, hal tersebut juga mencerminkan

lemahnya program perbaikan mutu genetik sapi potong.

Berbagai jenis penyakit yang sering terjangkit pada sapi berupa penyakit

menular dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi peternak dari tahun ke

tahun, ribuan ternak menjadi korban penyakit. Beberapa penyakit yang sering

terjadi pada sapi potong adalah anthrax ( radang limpa), penyakit ngorok,

penyakit mulut dan kuku,penyakit radang paha,penyakit brucellosis ( keguguran

menular), kuku busuk, cacing hati, cacing perut, dan lain lain (Anonim, 2006).

Anak anak sapi jantan lebih banyak yang mati dari pada anak anak sapi

betin.suatu hasil penelitian menunjukan bahwa anak sapi jantan yang mati pada

waktu lahir adalah 62% sedang anak sapi betina yang mati dari lahir sampai
disapih hanya 52%. Data yang lain menunjukan bahwa anak sapi jantan yang mati

rata rata 26,5 kg akibat terjadinya perkawinan pada betina muda dan belum

dewasa kelamin sehingga mengalami kesukaran partus (Wello,2003).

Tingginya fertilitas pada induk sapi bali ternyata diimbangi dengan tingginya

tingkat kematian pada pedet. Jumlah kematian dini pada pedet sapi bali mencapai

30%. Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama

penyebab rendahnya produktivitas sapi Bali. Untuk mengurangi tingginya angka

kematian pedet sebelum disapih, maka dilakukan penyapihan dini. Pada umumnya

pedet sapi bali disapih pada umur 7 bulan ( Bamualim dan Wirdahayati,2002).

B. Kerangka Pikir Penelitian

Sapi Bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia yang sejak lama menyebar

ke seluruh pelosok Indonesia termasuk Sulawesi tenggara di Kecamatan Kusambi

dan Napano Kusambi Barat Kabupaten Muna Barat. Sapi bali yang dipelihara

oleh masyarakat di Kecamatan Kusambi dan Napano Kusambi Kabupaten Muna

Barat umumnya masih menggunakan sistem pemeliharaan tradisional secara

ekstensif . Sistem pemeliharaan yang tidak tepat dapat mengakibatkan

produktivitas ternak sapi bali rendah serta berdampak langsung terhadap jumlah

populasi sapi bali. Jumlah populasi sapi bali di suatu wilayah akan tinggi jika

persentase kelahiran ternak lebih tinggi di bandingkan persentase kematian ternak.

di Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi banyak terdapat jumlah

populasi sapi Bali sehingga bagus untuk di jadikan Lokasi penelitian. Salah satu

indikator untuk mengukur pertambahan jumlah populasi sapi bali adalah dengan

cara menghitung pertambahan Populasi alamiah sapi Bali di Kecamatan Kusambi


dan Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat

pada Gambar 1.

Sapi Bali
Di Kabupaten Muna Barat

Kecamatan Kusambi Karakteristik Wilayah Kecamatan Napano Kusambi

Karakteristik Peternak

Sistem Pemeliharaan

Pertambahan Alamiah Populasi

Jumlah Populasi Persentase Kelahiran Nilai Pertambahan Alamiah Angka Kelahiran

Gambar 1. Kerangka pikir Penelitian


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) bulan mulai November 2020

Sampai Desember 2020, Berlokasi di Kecamatan Kusambi dan Kecamatan

Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak sapi Bali di

Kecamatan Kusambi dan Kecamatan Napano Kusambi Kabupaten Muna Barat.

Sedangkan sampel penelitian adalah peternak yang terpilih sebagai responden

dari kedua lokasi penelitian.

C. Teknik Penarikan Sampel

Lokasi penelitian di tentukan secara purposive sampling berdasarkan

jumlah populasi terbanyak.

Selanjutnya penentuan lokasi penelitian di Kecamatan Kusambi dan

Kecamatan Napano Kusambi dipilih desa yang memiliki populasi ternak sapi bali

15-20% dan pemilihan responden penelitian ditingkat desa dilakukan secara

purposive sampling dengan kriteria

- Responden di tentukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan jumlah

populasi Sapi terbanyak demikian pula peternak.

- Responden di tentukan secara (purposive sampling) dengan kriteria bahwa

peternak atau responden memiliki sapi induk yang perna melahirkan.


D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung

dengan responden dan pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan

kuesioner. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi-

instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan Peternakan, Badan Pusat Statistik

Sultra, Desa, Kelurahan, Kecamatan dan Penyuluh Pertanian Lapangan di daerah

penelitian.

E. Variabel Penelitian

Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu :

1. Jumlah populasi ternak sapi

2. Persentase kelahiran (%)


3. Persentase kematian (%)
4. Nilai pertumbuhan alamiah (%)

5. Angka Kelahiran

1. Populasi ternak dapat di hitung berdasarkan rumus yaitu :

N ( awal ) + N (akhir)
2

Di mana populasi awal dihitung dengan rumus :

N (awal) = N (akhir) + Di + G – Bi – E

Keterangan

N = jumlah populasi
N (awal) = jumlah populasi awal (ekor)
N (akhir) = jumlah populasi akhir (ekor)
Di = jumlah pengeluaran selama setahun (ekor)
G = jumlah kematian dalam populasi selama setahun(ekor)
(jual,potong,digaduhkan,menghibahkan)
Bi = jumlah kelahiran pedet dalam populasi setahun (ekor)
E = jumlah pemasukan dalam setahun (ekor)
(beli,menggaduhkan,dapat hadiah/hibah)

2. Angka kelahiran sapi bali pertahun

jumlah kelahiran ternak pertahun


Persentase kelahiran = X 100%
Jumlah populasi pertahun

3. Angka kematian sapi bali pertahun menurut (Sumadi dkk.,2001) yaitu :

Jumlah kematian ternak pertahun


Persentase kematian = X 100%
Jumlah populasi pertahun

4. Nilai pertambahan alamiah dihitung dengan rumus menurut

Hardjosubroto (1990) yaitu :

NI = B – D

Keterangan

NI = Natural Increase (%)

B = Persentase kelahiran pedet terhadap populasi dalam kurun waktu satu


tahun (%)
D = Persentase kematian ternak dalam kurun waktu satu tahun (%)

5. Angka kelahiran yaitu menghitung jumalh ternak sapi bali yang lahir

setiap bulan sejak Januari 2018 – Desember 2018.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh selama penelitian yaitu jumlah populasi ternak sapi

bali, presentase kelahiran ternak, persentase kematian ternak, pertumbuhan

alamiah, dan angka kelahiran sapi bali setiap bulan selama tahun 2018 di tabulasi

dan di analisis secara desktiptif.


G. Konsep Operasianal

Konsep operasianal mencangkup pengertian atau batasan atau batasan

yang di gunakan untuk mendapatkan data di lapangan yaitu :

1. Persentase kelahiran adalah persentese jumlah anak yang lahir dalam satu

populasi ternak di suatu wilayah daerah penelitian sejak bulan Januari

2018 sampai dengan bulan Desember 2018 yang diperoleh

peternak/responden.

2. Pesentase kematian yaitu persentase jumlah ternak yang mati dalam kurun

waktu Januari 2018 sampai dengan Desember 2018.

3. Pertambahan alami adalah selisih antara kematian dan kelahiran dalam

kurun waktu Januari 2018 sampai dengan Desember 2018.

4. Angka kelahiran adalah persentase kelahiran dihitung berdasaarkan

perbandingan jumlah anak dan jumlah induk dalam kurun waktu Januari

2018 sampai dengan Desember 2018.

5. Pedet pra sapih adalah anak sapi yang berumuran 0-6 bulan

6. Pedet pasca sapih adalah anak sapi yang berumuran 7-12 bulan

7. Sapi muda adalah sapi yang berumuran 13-24 bulan

8. Sapi dewasa adalah sapi yang telah berumur lebih dari 2 tahun

9. Pemeliharaan intensif adalah ternak sapi dipelihara dalam kandang secara

terus menerus dan pakan disediakan oleh peternak

10. Pemeliharaan ekstensif adalah ternak sapi dibiarkan mencari pakan sendiri

sepanjang hari di padang gembala.


11. Pemeliharaan semi insentif adalah memelihara sapi untuk digemukkan

dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh pihak peternak

12. Populasi adalah sekelompok organisme yang mempunyai spesies sama

(takson tertentu) serta hidup/menempati kawasan tertentu pada waktu

tertentu.

13. Populasi ternak adalah sekelompok ternak yang dipelihara dan dibiarkan

dalam suatu kelompok berdasarkan jenisnya, umumnya model

pemeliharaan dengan populasi ternak yang banyak dengan

mengembangkan ternak-ternak dengan kualitas genetic unggul sehingga

dapat digunakan untuk memperbaiki mutu keturunan ternak yang

dihasilkan.

14. Jumlah induk adalah jumlah betina dara,betina bunting dan memiliki anak

do dalam suatu sekelompok ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Populasi Sapi Bali dan Pemenuhan Kebutuhan Daging.        
Peternakan UIN, Riau.

Anonim. 2007. Selamatkan sapi betina produktif. Dinas Peternakan, Jambi.

Ayuni, N., 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi
Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institusi Pertanian Bogor

Badan Pusat Statistik. 2019. Kabupaten Muna Barat Dalam Angka.


Budiarto, A., L. Hakim, V. M. Suyadi, A. Nurgiartiningsih dan G. Ciptadi. 2013.
Natural Increase Sapi Bali di Wilayah Instansi Populasi Dasar Propinsi
Bali. J.Ternak Tropikal. 14(2): 46-52.

Dudi. 2007. Peningkatan Produktivitas Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo)


di Indonesia melalui Kegiatan Pemuliaan Ternak Berkelanjutan
(Review). http://deptan.go.id/ind/infotek/b-1.pdf

Dania. 1992. Ilmu produksi ternak potong. Fakultas Peternakan Universitas


Mataram. Bahan Ajar. Mataram.

Darmadja, S. G. D. 2008. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam


sekosistem pertanian di bali. Diserta. Universitas padjajaran. Bandung.

Dudi. 2007. Peningkatan produktifitas kerbau lumpur (swamp buffalo) di


indonesia melalilui kegiatan pemuliaan ternak berkelanjutan (review).
http://deptan.go.id/ind/infotek/b-1.pdf.

Fikar, S dan Ruhyadi, D. 2010 Buku Pintar Beternak dan Berbisnis Sapi Potong.
PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Karnisius. Yogyakarta

Hadi, P. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak


sapi potong di indonesia dalam rangka swasembada daging. Makalah
disampaikaikan pada pertemuan teknis penyediaan bibit nasional dan
refitalisasi UPT TA 2000. Jakarta, 11-12 juli 2000. Direktorat
pembibitan, direktorat jenderal bina produksi peternakan, jakarta

Hardjosubroto, W. 1994 Aplikasi pemuliabiakan ternak di lapang. Cetakan


pertama PT. Gramedia widiasarana jakarta.

Jamal, H. 2008. Strategi pengembangan ternak kerbau. http://blog-


husniblogspoot.com/2008/09/strategi-pengembangan-ternak
kerbau.html.diakses, 27 februari 2015
Murti, W, T dan gatot 1988. Jerbau perah dan kerbau kerja. Mediyatama sarana
perkasa, jakarta.

Murtidjo. 1990. Beternak sapi potong. Kanisius, yogyakarta.

Pasaribu, K. 2010. Kerbau Sebagai Penghasil Daging Dan Susu.


http://www.ditdjennak.go.id/buletin/artikel/4. Pdf. Di akses 15 mei 2015

Payne WJA androllinson DHL. 2000. Bali cattle. World anim. Rev. 7:13-21.

Pipiet, O. 2007. Perkembangan Populasi Ternak Kerbau Di Kabupaten Tanah


Koraja. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanidin, Makasar.

Pete. 2012. Perkandangan Sapi Potong. http://harunrexo.blogspot.com/2012/12


Perkandangan-Sapi-Potong-Html. (Diakses Tanggal 25 Maret 2015).

Subyanto. 2010. Populasi Kerbau Semakin Menurun.


http://wwwdidjennak.go.id./buletin/artikel 3. Pdf. Diakses, 5 mei 2015

Sudradjat, S rachmat, P 2003. Peduli Ternak Rakyat. Yayasan Agrindo Mandiri,


Jakarta.

Sumadi, W. Hardjosubroto, N. Ngadiyono, dan S. Prihadi. 2001. Potensi Sapi


Potong di Kabupaten Sleman. Analisis dari Segi Pemuliaan dan
Produksi    Daging. Yogyakarta.

Sugeng, B. 2007. Sapi potong. Penebar swadaya jakarta.

Susilorini, E T. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Thalib, C. 1985. Kekhsan Sapi Bali Di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Ternak.
Buletin Teknik Dan Pengembangan Peternakan. 4(16). 21-25.

Tanari, M 2007 Usaha Pengembangan Sapi Bali Sebagai Ternak Lokal Dalam
Bali Di Daerah Transmigrasi Dan Non Transmigrasi Kabupaten Konawe.
Fakultas Menunjang Pertumbuhan Proterin Asal Hewani Di Indonesia.
http://rudyet.250x.com/sem1 012/m tanari.htm. Kendari.

Toelihere, M.R. 1985, Fisiologi Reproduksi Pada Ternak, Angkasa, Bandung

Tobing, Isl. 2008. Teknik Estimasi Ukuran Populasi Suatu Spesies Primata.
Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Usvitalis. 01.(1)
Tjeppy, D. soedjana. 2009. RUU Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Direktur
Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2016. Pengkajian Integrasi Sapi Potong dengan
Perkebunan Kelapa Sawit Dengan Pola Breeding di Kalimantan
Tengah.    Laporan Akhir Hasil Pengkajian.Balai pengkajian Teknonogi
Pertanian    Kalimantan Tengah,Palangkaraya.

Wello, B. 2003. Bahan Ajar Manajemen Ternak Potong Dan Kerja. Jurusan
Prodoksi Ternak Fakultas Peternakan Unifersitas Hasanudin, Makasar.

Anda mungkin juga menyukai